TONGGAK-TONGGAK AWAL TASAWUF JAWA.
Berkat ridho dan hidayah Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Sunan Bonang yang berdarah campuran Samarkan – Campa, dengan cepat dapat menguasai bahkan mengembangkan kebudayaan Jawa sebagai media dakwahnya. Inti ajaran-ajaran tasawuf yang bersumber dari Al Ghazali, dengan sentuhan kelembutan dan cinta kasih Jalaluddin Rumi, mengilhami serta mengobarkan semangatnya untuk mengajarkan “wirasating ilmu suluk” atau jiwa ajaran tasawuf kepada masyarakat Jawa yang beragama Syiwa – Budha dan menyenangi mistik. Tasawuf yang menurut Al Ghazali merupakan jiwa ilmu-ilmu agama, disyiarkan melalui berbagai media komunikasi yang hebat yang belum pernah dikenal masyarakat.
Ia menciptakan aliran silat tenaga dalam yang menggunakan jurus-jurus yang dinamai sesuai alpabetik huruf Arab, guna menggembleng jiwa raga para cantrik atau muridnya sekaligus sebagai sarana belajar huruf Arab. Ia menyempurnakan instrumen gamelan Jawa serta menggubah irama-irama yang baru dan khas, sebagai daya tarik untuk mengumpulkan massa. Ia menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman dalam adat-istiadat dan budaya kehidupan sehari-hari masyarakat. Ia berkhotbah dengan mendendangkan tembang-tembang yang indah dan merdu, yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf. Tembang-tembang itulah yang kemudian kita kenal sebagai Suluk-Suluk Sunan Bonang.
Segala yang dirintis Sunan Bonang tersebut mendapat dukungan para wali seperguruan dan murid-muridnya, bahkan dikembangkan oleh terutama murid andalannya yaitu Sunan Kalijaga serta cucu muridnya yaitu Sunan Muria. Ajaran-ajaran itulah yang kemudian menjadi tonggak-tonggak awal tasawuf Jawa, yakni ajaran tasawuf yang dikemas dengan adat-istiadat dan kebudayaan Jawa.
Metode dakwah seperti itu disamping memiliki banyak keunggulan, ada pula kelemahannya, yang menurut penilaian Prof.K.H.Ali Yafie, belum sempat tuntas disempurnakan, datang penjajahan Belanda yang membawa tata nilai yang bukan saja baru, tapi juga dengan membawa agama lain berusaha menggilasnya. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain berupa dipakainya tamzil dan simbol-simbol adat-kebudayaan Jawa yang masih bercorak Syiwa atau Hindu-Budha, yang bisa multi tafsir -- bersama dengan kebudayaan Arab, Persi dan Melayu. Demikian juga penyusupan nilai-nilai keislaman dalam adat-budaya yang dilakukan secara bertahap, yang semula dimaksudkan agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Kelemahan-kelemahan tersebut sesungguhnya dari awal juga sudah diduga dan dikuatirkan oleh wali-mubalig lainnya, yaitu Sunan Ampel (ayahanda Sunan Bonang sendiri), Sunan Giri (saudara seperguruan Sunan Bonang) dan Sunan Drajat, yang dalam cerita-cerita rakyat disebut Golongan Islam Putih. Mereka berpendapat Islam harus disyiarkan sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu segala adat-istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Islam harus diajarkan secara murni dan bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran. Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, yang khawatir dakwah akan gagal jika memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata sasaran dakwahnya. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan. Sunan Bonang yakin, umat Islam Jawa di masa depan akan bisa memahami sendiri mana yang baik dan mana yang buruk, dan pada saat itu mereka akan membuang hal-hal yang tidak sesuai dengan aqidah.
Penjelasan tadi akhirnya bisa diterima, dan selanjutnya para wali yang lain juga ikut memberikan sumbangan serta peran yang sangat berarti dalam pengembangan kebudayaan Jawa yang bernafaskan Islam. Di bidang seni suara, lahir tembang-tembang Dandanggula ciptaan Sunan Kalijaga, tembang Asmaradana dan Pucung oleh Sunan Giri, Sunan Bonang menciptakan tembang Durmo, Sunan Kudus mencitakan Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan Sinom dan Kinanti, sedangkan Sunan Drajat menciptakan tembang Pangkur. Mereka juga menggubah seni wayang menjadi seni wayang kulit seperti yang sekarang sangat popular, berikut lakon-lakon khusus yang tidak ada di dalam pakem induk pewayangan, yaitu pakem induk Ramayana dan Mahabarata. Demikian pula seni budaya yang lain, dikembangkan secara luar biasa misalkan seni ukir dan seni arsitektur.
Hal lain yang juga menghambat penyempurnaannya sebagaimana dikhawatirkan Sunan Ampel, adalah peristiwa beberapa saat sebelum orang-orang Eropa berdatangan ke tanah Jawa, yakni berpindahnya kekuasaan Kesultanan Demak dari tangan Sultan Trenggono, putera dari pendiri Kesultanan, yaitu Raden Patah yang tiada lain adalah menantu Sunan Ampel dan ipar Sunan Bonang sendiri, ke tangan Sultan Hadiwijaya (menantu Sultan Trenggono) yang paham mistis kejawennya lebih kuat dibanding keislamannya. Sebagai akibatnya, di kemudian hari sering timbul kerancuan dalam memahami tasawuf Jawa yang dirintis Sunan Bonang tersebut. Bahkan tidak jarang orang menganggap tasawuf, khususnya tasawuf Jawa, sebagai ilmu mistis semata yang tidak beda dengan ilmu-ilmu perdukunan. Naudzubillah.
Berdakwah secara bertahap dan menyusup ke dalam adat-istiadat serta budaya Jawa ini, menghasilkan suatu sikap masyarakat yang memeluk Islam namun dengan tetap menjunjung tinggi budaya Jawa, yang selanjutnya dikenal sebagai sinkretisme Islam – Jawa atau Islam Kejawen, dan merupakan cikal-bakal dari apa yang kemudian disebut Islam Abangan. Kondisi masyarakat yang seperti itu dipelajari dan dimanfaatkan oleh Belanda bersama zending dan misionaris Kristen, guna menancapkan kuku mereka di bumi Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan yang berbeda dengan umat Islam Nusantara khususnya Jawa. Belanda dengan segala daya berusaha memperkuat dan mempertahankan kekuasaannya, sementara umat Islam berjuang untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuasaan tersebut.
Belanda menilai masyarakat nampaknya saja memeluk Islam dan hanya di permukaan kehidupan saja yang ditutupi dengan agama Islam, sehingga bagaikan orang yang berselimut kain yang penuh lubang-lubang besar. Jadi pada hematnya, orang Jawa tidak begitu taat melaksanakan ajaran Islam. Berdasarkan penilaian itu maka mereka beranggapan akan dengan mudah membuat orang-orang Jawa menerima tata nilai Barat termasuk agama Kristennya. Meskipun demikian mereka juga menggunakan cara-cara halus untuk menghadapi umat Islam, antara lain dengan menggiring dan menyalurkan semangat umat ke arah yang bisa menjauhi agamanya melalui pengembangan kegiatan kebudayaan.
Langkah itu ternyata salah besar. Para ulama yang semula tenang-tenang dalam lingkungannya, justru mengadakan reaksi dan perlawanan besar. Kesalahan kebijakan tadi sempat diperbaiki oleh Snouck Hurgronye menjelang akhir abad ke 19, namun semangat nasionalisme sudah terlanjur berkobar bersamaan dengan gerakan kebangkitan di negara-negara jajahan lainnya. Para priyayi dan bangsawan yang coba digarap menjadi jalur masuk sekularisme dan tata nilai Barat, ternyata sebagian besar justru bersinergi dengan pejuang-pejuang Islam. Walau para priyayi dan bangsawan itu sejak awal Dinasti Mataram-Islam tidak menyukai budaya Arab, tetapi jiwa tasawuf yang telah menyatu dalam kehidupannya berikut rasa kagumnya kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan para wali khususnya Sunan Kalijaga, membuat mereka tetap kokoh dalam keyakinan agamanya.
Demikanlah, sebagaimana pidato penobatannya menjadi Sultan pada tahun 1940, Hamengkubuwono IX yang sejak taman kanak-kanak hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Belanda bahkan di negeri Belanda, menyatakan bahwa jalan pikiran Barat harus dipadukan dengan jalan pikiran Timur, sambil harus dijaga agar jiwa Timur tidak kehilangan ketimurannya. “Saya ini Jawa dan bagaimana pun saya tetap Jawa “, katanya. (buku “Tahta Untuk Rakyat”).
Subhanallah walhamdulillah.
Beji, 02 April 2012.
1 Komentar:
dembah nuwon
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda