Selasa, 24 April 2012

PERANG PEMBEBASAN II


Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
(UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 Perubahan keempat tahun 2002)

AGUSTUS 2008, bangsa Indonesia merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-63. Tatkala para elite bangsa tengah menyelenggarakan rangkaian demi rangkaian perayaan ulang tahun, beberapa media massa menyentakkan kita dengan menyampaikan sejumlah fakta misalkan, Kompas, Senin 11 Agustus 2008: “Penyakit Tropis Tidak Teratasi. Jumlah Penderita Tak Kunjung Turun.” Penyakit-penyakit rakyat itu antara lain adalah kaki gajah, kusta dan malaria. Penyakit ini berkembang dan menyebar karena buruknya lingkungan dan sanitasi, serta kemiskinan.

Minggu, 17 Agustus 2008, koran Seputar Indonesia menyajikan “Indonesia Dalam Percaturan Global,” yaitu:
1. Peringkat Indeks Pembangunan Manusia berada di posisi 108, sementara negara-negara Asia lainnya seperti Jepang (7), Hongkong (22), Singapura (25), Korea Selatan (26) dan Brunei (34).
2. Peringkat Infrastruktur berada di posisi 91, sementara negara-negara Asia lainnya seperti Singapura (3), Hongkong (5), Jepang (9), Korea Selatan (16), Malaysia (23) dan Thailand (27).
3. Peringkat Daya Saing berada di posisi 54, sementara negara-negara Asia seperti Singapura (7), Jepang (8), Korea Selatan (11), Hongkong (12), Malaysia (21), Thailand (28).
4. Peringkat Tempat Berbisnis berada di posisi 123, sementara negara tetangga kita Singapura (1), Selandia Baru (2), Hongkong (4), Australia (9)
5. Peringkat Indeks Persepsi Korupsi diposisi 145, sementara Singapura (4), Hongkong (14), Jepang (17), Malaysia (43).

Korupsi bersama belasan indikator instabilitas politik, ekonomi, militer dan sosial lainnya sebagai alat ukur, juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 dari Indeks (60) Negara Gagal 2007. Kedudukan Indonesia menurut Foreign Policy, yang diterbitkan Amerika Serikat berada di kelompok 41-60, memprihatinkan sekali, satu kelompok dengan sejumlah negara yang namanya jarang kita dengar antara lain Guinea, Ekuatorial, Kirgistan, Turkmenistan, Eritrea dan Moldova.

Fakta-fakta tersebut tidak boleh kita tutup-tutupi, dan juga tidak perlu membuat kita terjebak dalam pesimisme, tetapi sebaiknya harus kita syukuri karena Gusti Allah telah menganugerahkan hidayah dengan membukakan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran kita, betapa buruk keadaan kita, dan oleh karena itu kita harus menjadikan kesadaran itu sebagai ideologi pembebasan, yang dengan ridho, berkah dan rahmat-Nya, dapat membebaskan rakyat Indonesia dari berbagai belenggu keterbelakangan tersebut. Kita harus mengobarkan semangat keberanian dan optimisme rakyat untuk bangkit menjadikan Indonesia Raya sebagai negara makmur sejahtera, karena sesungguhnya kita memiliki potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia maupun segala hal yang diperlukan untuk itu.

Hal utama dari ideologi pembebasan itu adalah perang melawan korupsi, yang harus dikobarkan dan didukung oleh seluruh patriot bangsa, bak perang melawan penjajah yang menindas dan memiskinkan rakyat, yang merusak serta mengeksploitasi sumber daya alam kita, yang dengan berbagai dalih telah menyalahgunakan amanah rakyat, mempermainkan segala urusan dan kepentingan rakyat. Mengapa? Karena korupsi merupakan akar atau penyebab utama kemiskinan dan keterbelakangan, bahkan kerusakan negara sebagaimana fakta-fakta yang diungkapkan oleh berbagai media massa selama ini.

Dalam sejarah peradaban manusia, ideologi pembebasan telah mampu mengobarkan “perang pembebasan” melawan rezim-rezim penindas yang mapan, zalim dan atau yang menjungkirbalikkan akhidah ketuhanan.

Kanjeng Nabi Ibrahim, sebagai Bapak dari “agama-agama langit”, telah mengobarkan perang pembebasan melawan kekuasaan Raja Namrud, dan bahkan ayah kandungnya, dengan menghancurkan berhala-berhala sesembahan mereka.

Kanjeng Nabi Musa menyulut api revolusi terhadap struktur politik dan agama sekaligus, melawan kekuasan tirani Fir’aun yang zalim dan mengaku sebagai Tuhan.

Baginda Rasul, Kanjeng Nabi Muhammad, menyulut api revolusi dan perjuangan spiritual keagamaan dalam suatu tatanan masyarakat yang secara sosial politik dan ekonomi termasuk mapan pada zamannya.

Di era modern, Nelson Mandela telah mencatat sejarah yang gemilang dalam melawan rezim Afrika Selatan yang rasialis, diskriminatif dan kejam. Di Venezuela, Hugo Chavez pada tahun 1999, dan di Bolivia, Evo Morales tahun 2006, mulai mematahkan belenggu cengkeraman neo liberal dan kapitalisme global.

Proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan bukan hanya mengobarkan perang kemerdekaan Indonesia, tetapi juga semangat kemerdekaan bangsa-bangsa Asia – Afrika lainnya. Dengan ideologi pembebasan yang bercirikan sosialisme, keduanya bersama kekuatan rakyat berhasil mengusir penjajahan dari bumi Nusantara.

Sejarah juga mengajarkan kepada kita, perang pembebasan akan berhasil secara gemilang bila ideologi pembebasan yang ada didukung oleh dua hal penting, yaitu tokoh pengggerak dan sekelompok orang yang terpanggil.

Di masa lalu, tokoh penggerak itu biasanya adalah tokoh kharismatik yang menghayati penderitaan bangsanya, yang peduli dan rela berkorban demi kebebasan umat atau bangsanya dari penindasan rezim penguasa yang zalim, atau pun peradaban dan akhidah yang salah. Tidak jarang tokoh tadi terpaksa harus mengalami penderitaan panjang, dihukum, menjadi buronan atau diusir dari tanah kelahirannya yang justru mengobarkan simpati rakyat, dan di kemudian hari menjadikan-nya tokoh kharismatik yang dipuja dan dikagumi sebagaimana halnya para nabi dan juga Mahatma Gandhi dari India.

Mulai dari lingkungan terdekat dan kecil, sang tokoh kemudian didukung oleh kawan-kawan seperjuangan, yaitu orang-orang yang terpanggil yang pada umumnya berasal dari kalangan intelektual, ksatria dan generasi muda.

Baginda Rasul misalnya, didukung oleh para intelektual seperti Abu Bakar dan Usman bin Affan, generasi muda seperti Ali bin Abu Thalib, Hamzah sang pemburu yang handal serta Umar bin Khattab yang gagah berani.

Di era global dengan kekuatan teknologi informasi seperti sekarang, tokoh kharismatik mungkin bisa digantikan dengan tim manajemen serta sistem dan pengorganisasian yang baik. Namun ideologi pembebasan tampaknya tetap diperlukan, dan harus dicirikan oleh kepentingan bersama yang kuat, yang bisa dijadikan doktrin filosofis yang mampu menggugah kebangkitan para patriot, khususnya kaum intelektual dan generasi muda, dan akhirnya kekuatan massa sehingga bergerak menjadi kekuatan politik yang dahsyat.

Dalam tulisan sebelumnya telah saya kutipkan pernyataan amat keras Baginda (sayiddina) Ali yang akan membunuh kemiskinan seandainya ia berbentuk manusia. Kata miskin di dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 25 kali, sedangkan sebuah kata lain yang terkait erat dengan kata miskin yaitu fakir, disebut 12 kali.

Para ahli fiqih dan ahli tafsir memiliki beberapa pandangan tentang kata fakir, namun ada benang merah diantara pandangan-pandangan tersebut yaitu yang menyatakan sebagai orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primer atau kebutuhan pokoknya (ENSIKLOPEDI HUKUM ISLAM, Penerbit PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996). Terhadap pengertian yang seperti itu ada sebuah hadis yang sangat populer yang menyatakan bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran atau kekafiran.

Namun ada pula makna fakir yang lain, yang biasa digunakan untuk membahasakan diri sendiri dari para penganut tarekat dan jalan sufi, yaitu orang yang senantiasa merasa membutuhkan bimbingan dan pertolongan Tuhan, sehingga oleh sebab itu tidak boleh sombong.

Demikianlah, fakir miskin dalam satu makna adalah orang yang hidup berkekurangan, yang secara Islami harus memperoleh perhatian besar, yang harus disantuni dan dibantu melalui berbagai daya upaya antara lain dengan zakat, infaq dan sedekah.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Pasal 34 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang asli menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Begitu pula dalam Amandemen Keempat (tahun 2002) Undang-undang Dasar 1945, masalah kesejahteraan sosial bagi rakyat khususnya fakir miskin dan kaum lemah ditegaskan kembali dalam Pasal 34 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Bagaimana kenyataannya? Karena korupsi, penyalah-gunaan wewenang dan salah urus, maka di negara yang kaya raya, nagoro panjang apunjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi ini, kita tidak mampu memelihara fakir miskin, tidak mampu mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat, tidak mampu memberdayakan masyarakat lemah, tidak mampu menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak. Dan yang jauh lebih memprihatinkan lagi, generasi muda tidak memiliki gambaran dan harapan masa depan yang baik.

UUD juga menyatakan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3), sementara itu, perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 ayat 4).

Apa yang terjadi? Karena tekanan kapitalisme global, para elite membuat beberapa Undang-Undang (UU) dan kebijakan yang bertentangan dengan pasal-pasal di atas, bahkan menyerahkan begitu saja tanah air (bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) pada cengkeraman neo liberal dan kapitalisme global serta takluk pada mekanisme pasar bebas.

UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 20/2002 tentang Kelistrikan, UU 19/2003 tentang BUMN, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan UU 25/2007 tentang Penanaman Modal serta berbagai peraturan lainnya misalkan penambangan di hutan lindung, telah menyebabkan perusakan dan eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan kekuatan modal semata-mata, sehingga mengakibatkan gunung kita yang berfungsi sebagai paku bumi digempur, laut diaduk, pulau dikeduk, hutan dibabat, air tanah disedot tiada terkira. Sungguh perusakan lingkungan yang luar biasa dan perekonomian yang tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan, tidak seimbang dan tidak mandiri dan sekaligus benar-benar menjual tanah (bahan galian/tambang) air secara obral. (Pada Sidang Paripurna DPR yang kontroversial misalnya, UU Sumber Daya Air disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota. Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau kebetulan? (Kompas, Jumat 12 September 2008).

Tak pelak lagi, cengkeraman kapitalisme global dan neo liberal bersama para kolaboratornya telah menempatkan Indonesia kembali dalam belenggu penjajahan gaya baru, yang jauh lebih kejam dan serakah dibanding penjajahan Belanda di masa lalu, ditambah wabah korupsi yang merajalela, telah memunculkan kecenderungan kehidupan rakyat yang sangat memprihatinkan, yang jika tidak segera dihentikan maka akan dapat menyebabkan kehidupan rakyat bagaikan “ayam mati di lumbung padi”.

Mereka sedang membunuh pelan-pelan rakyat Indonesia. Mereka menikmati dan berpesta pora di atas penderitaan demi penderitaan kita. Mereka menguasi sumberdaya kita, menginfiltrasi dan kemudian menguasai produk-produk hukum serta perundang-undangan kita, membuat daya saing dan peringkat tempat berbisnis di Indonesia menjadi lemah, dan selanjutnya memperbodoh, membuat kita miskin, lemah lagi berpenyakitan. Ini adalah kemungkaran dan kezaliman yang terstruktur yang wajib diperangi.
Demikianlah, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip kerjasama dan hubungan internasional yang baik dan sederajat, ideologi pembebasan yang merupakan api semangat perang pembebasan tahun 2008 ini adalah cita-cita dan semangat yang mampu mengobarkan perang untuk membebaskan rakyat dari perampokan dan penindasan oleh para koruptor, neo liberal dan kapitalisme global beserta para kompradornya. Sudah barang tentu, perang ini tidak harus berupa perang fisik bersenjata api, tetapi perang ideologi dan semangat serta tekad kuat untuk melakukan perubahan tata kehidupan, mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, yang membebaskan rakyat dari belenggu keterbelakangan, dari kemiskinan dan kebodohan; tata kehidupan yang mampu mewujudkan harapan kehidupan yang baik bagi masa depan generasi muda, yang berkeadilan di segala bidang dan bebas dari dominasi serta penjajahan neo liberal dan kapitalisme global.

Tata kehidupan seperti itu adalah tata kehidupan berbang-sa dan bernegara yang pro rakyat, yang berdiri di atas prinsip-prinsip kemandirian, keadilan dan kesejahteraan rakyat, yang dikelola dengan memberdayakan dan melibatkan peranserta seluruh masyarakat secara musyawarah dan mufakat.
Elit-elit bangsa yang terpanggil, sejalan dengan itu juga harus dapat mengubah sisi buruk budaya sebagian masyarakat kita yang dikenal sebagai soft culture, lembek, nrimo, tidak berani mengungkapkan kata hatinya, suka nggerundel, ngedumel di belakang, dan jika tidak tahan memilih mutung dan pada akhirnya ngamuk atau marah tak terkendali (amuk massa).

Semoga Gusti Allah menganugerahkan kepada kita Indonesia Raya, putra-putri bangsanya yang terpanggil untuk berjuang melancarkan perang kemerdekaan II, yaitu Perang Pembebasan 2008 yang memproklamasikan dan mewujudkan Indonesia Raya yang aman tenteram, adil makmur, sejahtera dan jaya. Amiin.

* (Dikutip dari buku “ Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan oleh B. Wiwoho)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda