Kamis, 12 April 2012

SBY & PARA PEMBANTUNYA: SAPA SIRA SAPA INGSUN



Kiriman artikel Dimas Bambang Wiwoho tersebut manarik sekali. terutama alinea penutupnya tentang “Sapa sira sapa ingsun”. Tetapi apakah para pembantu Pak SBY dan kawan-kawan koalisinya paham, khususnya mereka yang bukan wong Jawa? Apa Pak Tifatul Sembiring, Pak Suryadharma Ali, Pak Ical dll paham?
Yang pasti mereka tau adalah, Pak SBY memarahi anak buahnya di depan publik (diliput dan disiarkan langsung televisi). Kalau mereka wong Jawa, mungkin sudah langsung menjawab, ” Ora dadi Menteri, ora Koalisi ya ora pateken ” (ndak jadi Menteri, ndak Koalisi ya ndak sakit patek alias ndak apa-apa dan ndak bakal rugi).

Di masa lalu yaitu pada masa Kesultanan Demak, Sultan Trenggana wafat mendadak secara tragis karena dibunuh oleh bujang kesayangannya yang masih terbilang kanak-kanak. Kenapa gerangan? Ternyata Sultan yang sedang marah, “menjenggung” kepala anak tersebut, yang spontan menjadi tersinggung dan langsung mencabut serta menghujamkan kerisnya ke tubuh Sultan yang ndak menyangka sama sekali.
Bayangkan, seorang Sultan yang sedang membangun1000 kapal perang dengan 400.000 prajurit untuk menyerbu Portugis di Malaka dan meghadang pelayaran Portugis di Maluku, tewas mengenaskan seperti itu. Marah dengan menyentuh kepala yg dimarahi, seperti halnya memarahi di depan umum, bagi wong Jawa dianggap sebagai penghinaan besar.

Sedangkan sapa sira sapa ingsun (siapa kamu siapa saya), punya makna yang luas. Secara umum, khususnya bagi orang kebanyakan, lebih-lebih wong cilik – rakyat kecil – mengajarkan agar kita tau diri, sehingga dengan demikian bisa membawa diri dan menempatkan diri dengan baik.
Tentu saja ndak hanya orang kecil yang harus tau diri. Orang-orang besar dan para pemimpin pun harus lebih tau diri. Mosok sudah jadi orang besar, pemimpin, kok masih juga ndak tau diri atau malah justru sok, mentang-mentang jadi orang besar lalu boleh melakukan apa saja, lebih-lebih menghina orang kecil atau mempermalukan orang lain di depan umum.
Seperti juga kehidupan para bangsawan Eropa, orang Jawa juga banyak memiliki aturan dan tata cara kehidupan orang besar. Misalnya, kita boleh menyelenggarakan pesta untuk menghibur parapembantu, orang-orang dekat dan rakyat kita. Kita boleh ikut duduk di dalam pesta tersebut, tapi kita dak boleh ikut minuman keras agar jangan mabuk dan lupa diri, ndak boleh ikut berjoged apalagi ikut menyanyi, bahkan bersiul pun ndak boleh. Pemimpin harus tetap duduk manis, tegak menjaga wibawa. Pemimpin harus pandai menjaga serta menutupi perasaannya. Tersinggung ndak boleh mengumbar kemarahan. Kepanasan ndak boleh lasah, Senang pun ndak boleh dipamerkan apalagi bersorak-sorai atau melonjak kegirangan. Lebih-lebih lagi sedih, kuatir dan takut. Ndak boleh dipertontonkan, merengek, merajuk dan mengeluh. Jika itu semua dilanggar, akan hilang wibawanya.

Lalu apa Pemimpin ndak boleh menegur dan memarahi anak buahnya yang salah? Boleh dan harus, bahkan bila perlu menghukum seberat-beratnya. Tapi itu harus dilakukan secara bijaksana, ndak boleh sembarangan, agar tidak menimbulkan keresahan dalam lingkungan kekuasaannya.
Di Jawa juga berlaku peribahasa ” Esem Bupati, semon Wedana, dupak Bujang”. Artinya, meminta Bupati untuk melakukan sesuatu, cukup dengan kode senyuman. Menyuruh Wedana cukup dengan sindiran, sedangkan menyuruh seorang pekerja kasar dengan tendangan kecil atau ringan.

Meskipun demikian, dalam cerita pewayangan Prabu Kresna pernah memamerkan “sapa sira sapa ingsun”nya kepada penguasa zolim Kerajaan Astina, yaitu para Kurawa. Untuk mencegah perang saudara Baratayudha, upaya terakhir Kresna adalah tiwikrama (mengubah diri menunjukkan kehebatannya) menjadi manusia super raksasa yang sakti mandraguna, yang menganggap kecil dan lemah para Kurawa, sehingga jika diremas begitu saja akan remuk binasa. Tetapi ketika Kurawa juga tetap pada pendiriannya, apa boleh buat Kresna kembali pada keadaannya semula serta membiarkan perang Baratayudha terjadi.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan Pak SBY dan para pembantunya? Apa mereka semua wong Jawa yang sangat peduli dengan integritas dirinya, sehingga berani mengambil sikap “ora pateken”? Biarkan ajalah, gitu aja kok repot, kata almarhum Gus Dur.
(Ki Agung Watugunung, 20/02/2010)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda