Selasa, 04 Juni 2013

AMANDEMEN CEK KOSONG


Konstitusi
Amandemen Cek Kosong

Pidato Kenegaraan Presiden Yudhoyono di DPR (Antara/Maha Eka Swasta)Empat kali amandemen itu kebablasan. Begitulah salah satu penilaian atas hasil empat kali amandemen UUD 1945, yang telah dilakukan melalui Sidang Umum Tahunan MPR pada 1999 hingga 2002. Pihak yang lain menganggap empat kali perubahan itu baru menghasilkan konstitusi "tambal sulam", belum cukup untuk memberi landasan yang kokoh bagi praktek demokrasi.

Begitulah potret yang muncul dari Focus Group Discussion yang digelar Reform Institute, Kamis dua pekan lalu di Hotel Bumikarsa, Pancoran, Jakarta. Yang hadir dalam forum terbatas ini, antara lain, Syamsuddin Haris dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), A.M. Fatwa yang mewakili MPR, Rosita S. Noer (Lemhannas), Benny K. Harman (Komisi III DPR), Firman Jaya Daely dari DPP PDI Perjuangan, serta Yudi Latif dan Ifdal Kasim dari Reform Institute.

Perubahan besar memang telah terjadi pada UUD 1945. Bila pada naskah aslinya hanya berisi 70 butir ketentuan, empat amandemen itu telah "memekarkannya" menjadi 199 butir. Toh, masih timbul ketidakpuasan terhadap kualitas "konstitusi baru" tersebut.

Apa pun, menurut Syamsuddin Haris, perubahan UUD 1945 itu adalah sebuah keniscayaan. Konstitusi itu "disusun tergesa-gesa", yang dalam prakteknya telah memberikan kekuasaan kelewat besar pada eksekutif (executive heavy) tanpa pelembagaan checks and balances. Rumusannya pun bersifat sangat sederhana, umum, ambigu, bahkan tidak jelas hingga membuka peluang penafsiran sepihak yang menguntungkan presiden sebagai "mandataris MPR". Amandemen pun dilakukan.

Namun, tutur Syamsuddin Haris, empat kali amandemen itu baru menghasilkan konstitusi baru yang masih tambal sulam. Akibatnya, katanya, tidak menghasilkan pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif. Untuk membentuk pemerintahan yang efektif, kata peneliti senior LIPI itu, "Diperlukan struktur perwakilan rakyat dalam bentuk bikameral yang kuat."

Sayang, katanya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang mestinya merupakan salah satu "kamar" dalam sistem perwakilan dua-kamar, tak jelas juntrungannya. Kewenangan dan hak-haknya sangat terbatas.

Prinsip saling mengawasi secara seimbang itu, kata Syamsuddin, terabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen, khususnya dalam kaitan DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai perwakilan wilayah (teritori). DPR memiliki kekuasaan dan fungsi legislasi yang makin luas, sedangkan DPD sama sekali tak punya kewenangan legislasi. "Padahal, legitimasi anggota DPD sangat kuat karena dipilih langsung oleh rakyat," ujar Benny K. Harman. Mekanisme checks and balances antara DPR dan DPD tidak bisa berjalan.

Kewenangan DPR juga dikatakan melebihi hak-hak yang lazim dimiliki DPR dalam konteks presidensial. Contohnya, penerimaan duta negara lain oleh presiden harus melalui pertimbangan DPR. Konstitusi hasil amandemen juga dianggap belum melembagakan mekanisme checks and balances. Suatu RUU yang sudah disahkan DPR otomatis berlaku bila dalam 30 hari presiden tak mengesahkannya.

"Presiden yang memperoleh mandat langsung dari rakyat itu mestinya memiliki hak veto," kata Ifdal Kasim. Itu, katanya, demi prinsip checks and balances. Tanpa veto, ia bisa di-fait accompli oleh DPR. Menurut peneliti Reform Institute itu, gara-gara khawatir di-fait accompli, pemerintah pun menunda-nunda pembahasan dua RUU hasil inisiatif DPR, yakni RUU Peradilan Militer dan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi. "Kalau tidak setuju, presiden semestinya bisa memveto, agar proses demokrasi itu lebih jelas arahnya," ia menambahkan.

Ifdal Kasim juga menyorot kedudukan MPR yang tampak membingungkan. Kini terkesan ada tiga lembaga perwakilan rakyat: DPR, DPD, dan MPR. Dalam sistem presidensial, katanya, mestinya cukup DPR yang mewakili rakyat dan DPD yang mewakili teritori. "MPR tak perlu jadi lembaga permanen. Cukup ad hoc saja," katanya.

Tetapi A.M. Fatwa, Wakil Ketua MPR, berpendapat lain. Menurut dia, MPR tak bisa diformat ad hoc. "Kalau ada persoalan-persoalan bangsa yang urgen segera direspons, bisa segera diajukan ke MPR," katanya. Kalau bersifat ad hoc, kata Fatwa, harus menunggu DPR dan DPD mengadakan sidang. "Itu jelas terlalu lama," Fatwa memberi alasan.

Ifdal juga menyoroti prosesnya yang dianggap tidak memadai. Pertama, amandemen terjebak pada kepentingan jangka pendek elite partai-partai di parlemen. Realitas ini diakui Firman Jaya Daely, Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan. Menurut Firman, yang terlibat dalam proses amandemen pertama (1999), tekanan untuk tidak mengubah UUD 1945 juga besar saat itu, terutama dari Fraksi TNI/Polri yang waktu itu masih eksis. Inilah yang mendorong kekuatan-kekuatan politik reformasi di parlemen ketika itu mengambil pilihan-pilihan pragmatis.

Kedua, format legal drafting perubahan tidak sistematik, tak terpola, dan membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar. Syamsuddin Haris menyebutnya rancu dan cenderung menghindar dari model yang relatif baku, yaitu model Amerika Serikat dan negara Eropa Kontinental. Dalam tradisi Amerika Serikat, naskah konstitusi hasil amandemen didesain terpisah dari naskah aslinya. Sedangkan dalam tradisi Eropa, perubahan dilakukan langsung dalam setiap teks konstitusi yang lama.

Format legal drafting keempat amandemen itu akhirnya melahirkan problematik yang tak kalah parah. Di satu pihak, substansinya mengikuti model Eropa, tapi penyebutan pasal-pasalnya tidak berubah. Sehingga seolah tetap 37 pasal, padahal penambahan pasal baru cukup banyak. "Kelak proses amandemen memerlukan komisi konstitusi yang independen," kata Ifdal.

Dengan segala kekurangannya, apa kita perlu kembali ke UUD 1945 sesuai aslinya? "Mustahil," A.M. Fatwa memberi jawaban. Alasannya, langkah itu seperti membuka peluang kembalinya rezim otoriter. "Kami juga tak ingin kembali ke teks lama. Kami hanya meminta agar hasil amandemen ini dikaji ulang," ujar Bambang Wiwoho, mewakili Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKRI), kelompok yang berpatron kepada Jenderal (purnawirawan) Try Sutrisno, yang selama ini menyatakan tidak puas atas hasil amandemen.

Wiwoho, mantan wartawan yang kini aktif di GKRI, organ taktis yang melibatkan sejumlah besar purnawirawan, mengatakan bahwa pihaknya tak puas dengan hasil amandemen. "Tidak memberikan landasan hukum yang jelas tentang bagaimana kita menjalankan ekonomi," katanya kepada Gatra di tempat terpisah.

Akibatnya, menurut Wiwoho, kebijakan ekonomi tidak punya arah yang jelas: neoliberalisme bisa, sosial demokrat juga bisa. Peraturan perundang-undangan yang ada pun jadi tak jelas orientasinya. "Akibatnya, sumber daya alam kita begitu mudah jatuh ke tangan asing," ujarnya.

Bukan itu saja. Wiwoho juga mempertanyakan hilangnya roh musyawarah dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada. "Proses politik jadi kaku. Segala hal diputuskan lewat voting. The winners takes all," katanya. Meski itu lazim dilakukan di negara Barat, menurut dia, sistem representasi di Indonesia boleh saja berbeda. "Partisipasi publik jangan jadi terbengkalai, termonopoli oleh lembaga politik formal," ia menambahkan.

Dengan begitu, seperti halnya Ifdal dan Syasuddin Haris, Wiwoho juga menganggap perlu ada amandemen lanjutan untuk penyempurnaan konstitusi. Ifdal, dengan mengacu pada hasil diskusinya, menyebut ada beberapa pedoman untuk amandemen kelima.

Yang pertama, semangat UUD 1945 menyepakati pemerintahan presidensial. Kedua, amandemen menjamin tatanan politik yang lebih stabil. Ketiga, bangsa Indonesia berpandangan negatif terhadap sistem parlementer liberal yang menyebabkan pemerintahan jatuh-bangun. Keempat, Indonesia yang luas dan beragam memerlukan desentralisasi dan otonomi luas bagi daerah.

Masalahnya adalah timing-nya. Para peserta diskusi Reform Institute sepakat, saat ini bukan waktu yang tepat. Mengingat berbagai risiko politik yang bisa timbul, mereka menganggap perlu agenda jangka menengah dan panjang. "Yang terpenting adalah komitmen para politisi bahwa konstitusi kita perlu terus diperbaiki," katanya.

Yang perlu diprioritaskan, menurut forum diskusi itu, ialah sistem representasi rakyat yang lebih menjamin checks and balances. DPD perlu diperlakukan sebagai "Majelis Tinggi" atau "Senat", yang juga memiliki kewenangan legislasi seperti DPR. Dengan begitu, keduanya bisa membangun sistem bikameral yang kuat. Prioritas lainnya adalah adanya "hak veto" pada diri presiden, seperti lazimnya dalam tatanan presidensial.

Toh, Wiwoho punya prioritas lain. Yang penting, menurut dia, amandemen itu bisa memastikan musyawarah dan partisipasi rakyat mendapat tempat dalam penyusunan kebijakan dan peraturan perundang-undangan. "Jangan dianggap, lewat pemilu itu rakyat telah memberi cek kosong," katanya.

Putut Trihusodo
[Hukum, Gatra Nomor 14 Beredar Kamis, 15 Februari 2007]

printer Versi Cetak email Kirim Berita ke Teman komentar Komentar Anda

2 Komentar:

Blogger pak sudaryono mengatakan...

DULUNYA AKU TIDAK PERCAYA SAMA BANTUAN DARI
PERAMAL TOGEL,TAPI SEKARANG AKU SUDAH PERCAYA
KARENA SAYA SUDA MEMBUKTIKA SENDIRI.KARNA ANGKA
YG DIBERIKAN 4D BENAR2 TEMBUS 100% ALHAMBUHLILLAH
DPT 450 JUTA.DAN SAYA SELAKU PEMAIN TOGEL,DAN KEPERCAYAAN
ITU ADALAH SUATU KEMENANGAN DAN SAAT SKRAG SY TEMUKAN
ORANG YG BISA MENGELUARKAN ANGKA2 GAIB YAITU AKI ALHI
JIKA ANDA YAKIN DAN PERCAYA NAMANYA ANGKA GOIB ANDA BISA
HUBUNGI LANSUNG AKI ALHI DI NO_082 131 669 888_SAYA
SUDAH BUKTIKAN SENDIRI ANGKA GOIBNYA DEMIH ALLAH DEMI TUHAN.
INI KISAH NYAT SAYA Atau KLIK GHOB 2D 3D 4D D DISINI














DULUNYA AKU TIDAK PERCAYA SAMA BANTUAN DARI
PERAMAL TOGEL,TAPI SEKARANG AKU SUDAH PERCAYA
KARENA SAYA SUDA MEMBUKTIKA SENDIRI.KARNA ANGKA
YG DIBERIKAN 4D BENAR2 TEMBUS 100% ALHAMBUHLILLAH
DPT 450 JUTA.DAN SAYA SELAKU PEMAIN TOGEL,DAN KEPERCAYAAN
ITU ADALAH SUATU KEMENANGAN DAN SAAT SKRAG SY TEMUKAN
ORANG YG BISA MENGELUARKAN ANGKA2 GAIB YAITU AKI ALHI
JIKA ANDA YAKIN DAN PERCAYA NAMANYA ANGKA GOIB ANDA BISA
HUBUNGI LANSUNG AKI ALHI DI NO_082 131 669 888_SAYA
SUDAH BUKTIKAN SENDIRI ANGKA GOIBNYA DEMIH ALLAH DEMI TUHAN.
INI KISAH NYAT SAYA Atau KLIK GHOB 2D 3D 4D D DISINI



2 Agustus 2015 pukul 09.11  
Anonymous Anonim mengatakan...

saya atas nama cahyo dari ciparay. Saya bekerja sebagai tukan kebun jagung & saya hidup bersama istri serta ke 3 anak saya.sayapun digaji untuk mengurus kebun orang. itupun hasilnya harus di bagi lagi kepada pemilik kebun.biasanya sy hanya dapat 400 ribu satu kali panen itupun tergantung dari banyak nya hasil dari panen jangung.kalau hasil panennya bagus maka bagian saya pun banyak.tapi kalau hasilnya sedikit maka sedikit pula bagian kami.kalau dipikir-pikir itu belum mencukupi untuk makan kami sekeluarga. dan adapun kawan menawarkan sy main togel tp sy juga berpikir dengan angka yg mau pasang, sedangkan sy tdk bs rumus.tp kawan bilang tdk usah bingung dengan angka nya karna katanya MBAH TOGEL mahir mengeluarkan angka & sy pun di berikan nope MBAH TOGEL dan sy hubungi untuk minta angka. alhamdulillah baru pertama di kasih angka ehhh sy menang 8 jt. terimakasih MBAH TOGEL; ats bantuan angkanya. YG BERMINAT ANGKA KEMENANGAN HUBUNGI NOMOR HP MBAH TOGEL DI 081998357939ato invite pin bbm mbah togel 28236645

9 September 2015 pukul 19.01  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda