Salah satu tembang dolanan yang populer di masyarakat adalah “Gundul-Gundul Pacul”.(lihat ilustrasi/not lagu di bagian bawah).
Teks versi lain yang sedikit berbeda yaitu:
Gundul-gundul pacul-cul, gelelengan
Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gelelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar.
Perbedaan ada di kata gelelengan dan gembelengan, namun
keduanya memiliki arti yang sama. Perbedaan yang lain adalah kata ratan
dengan latar. Ratan berarti jalan atau jalanan, sedangkan latar berarti
halaman rumah. Tapi ternyata susah juga menterjemahkan syair tembang
tersebut, kecuali diartikan lebih dulu kata per kata sebagai berikut:
- gundul = kepala yang tidak ada rambutnya sama sekali, biasanya karena dicukur habis.
- pacul = cangkul.
- gelelengan, gembelengan = sikap atau cara berjalan sambil
menggeleng-gelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, menandakan
kesombongan.
- nyunggi = membawa sesuatu dengan menaruhnya di atas kepala.
- wakul = bakul atau tempat nasi.
- ngglimpang = terguling.
- segane dadi sak ratan/latar = nasinya tumpah tersebar memenuhi jalanan/halaman rumah.
Dengan begitu bisa digambarkan, seseorang yang berkepala gundul tanpa
rambut, membawa cangkul dan “menyunggi” bakul nasi di atas kepalanya,
berjalan “gembelengan”. Akibatnya bakulnya tumpah dan nasinya tersebar
mubazir memenuhi jalan. Apa makna dari itu semua? Ada dua hal yang perlu
kita lihat terlebih dulu sebelum mengupas kandungan maknanya.
Pertama, sang pencipta yaitu Sunan Kalijaga, adalah putera Adipati
Tuban yang kecewa dengan kehidupan feodal kerajaan Majapahit yang tidak
amanah bahkan cenderung “menindas’ rakyat. Para punggawa kerajaan
termasuk di lingkungan kadipaten Tuban dianggapnya congkak serta tidak
peduli dengan kesulitan hidup rakyat kecil. Karena itu jiwanya berontak
dan sering melakukan tindakan yang berlawanan dengan ayahanda dan para
punggawanya, sampai kemudian ia berjumpa dan berguru kepada Sunan
Bonang.
Kedua, pada saat yang bersamaan, Sunan Kalijaga juga
menggubah sendiri dan selanjutnya menyisipkan dalam cerita wayang
Mahabarata, kisah jamus kalimasada (dua kalimat syahadat) yang merupakan
senjata paling ampuh, hebat tiada tara yang dimiliki oleh Raja Kerajaan
Amarta – Prabu Puntadewa. Uniknya, Prabu Puntadewa ini adalah
satu-satunya raja yang tidak memakai mahkota serta perlengkapan pakaian
kebesaran lainnya yang lazim dikenakan oleh seorang raja. Ia hidup dan
berpenampilan sederhana sebagaimana seorang ksatria biasa dengan rambut
digelung di atas kepalanya. Muka dan kepalanya pun dilukiskan menunduk
sebagai cerminan kerendahaan hati. Kecuali pernah melakukan kesalahan
dengan berjudi mempertaruhkan kerajaannya sampai kalah dan terusir
terlunta-lunta, kehidupan selebihnya suci bersih. Demikian pula hatinya,
selalu ikhlas, jujur dan tidak pernah berbohong sehingga karena itu
darahnya diceritakan berwarna putih.
Puntadewa adalah contoh
pemimpin yang sudah dan harus mencapai maqam seorang hamba Allah yang
hidup sederhana, amanah, jujur, rendah hati, tidak ujub – riya, ikhlas,
taat dan tawakal.
Dua hal tersebut nampaknya ada hubungannya
dengan makna ajaran yang terkandung dalam tembang “Gundul-Gundul Pacul”,
yaitu seorang pemimpin yang ideal adalah pemimpin tanpa mahkota, ibarat
kepala gundul tanpa rambut. Pemimpin yang tak peduli dengan pesona
dunia demi mengemban amanah bagi alam dan kehidupan rakyatnya, yang
dilambangkan dengan pacul sebagai alat pertanian, serta kesejahteraan
rakyatnya yang dilambangkan dengan bakul berisi nasi.
Pemimpin
tidak boleh gembelengan, besar kepala – congkak lagi sombong. Karena
kesombongan itu bagaikan mengambil selendang kebesaran Gusti Allah. Jika
itu dilakukan, maka hilanglah keberkahan yang menaungi amanah
kepemimpinan, sehingga bakul terguling dan hakekat kesejahteraan
tumpah tak berguna bagi rakyat. Mau bagaimana lagi jika nasi sudah
tumpah tersebar di jalanan?
Di samping melambangkan rakyat
kecil, pacul juga merupakan akronim dari papat kang ucul atau empat hal
yang terlepas. Empat hal itu merupakan kunci utama untuk mencapai
derajat ketaqwaan, oleh sebab itu harus dikendalikan dan tidak boleh
lepas atau ucul. Ini sesuai dengan ajaran Al Ghazali dalam kitab
Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati). Menurut beliau, guna mencapai
maqam ini, kita harus menghayati serta mengamalkan tiga hal yaitu takut
dengan sebenar-benarnya takut kepada Allah, bakti dan tunduk kepadaNya
serta membersihkan hati dari segala dosa. Ketiganya itu bisa kita capai
asalkan kita bisa menahan diri dari mengerjakan yang haram, dan juga
bisa menahan diri dari mengerjakan perbuatan halal yang
berlebih-lebihan.
Bagaimana bisa melakukan itu? Sang Pembela
Akidah Islam ini mengajarkan agar kita memelihara dan mengendalikan: (1)
mata, (2) telinga. (3) mulut dengan lidahnya, (4) hati, (5) perut, dan
(6) anggota-anggota tubuh lainnya. Dari enam hal itu yang paling
menentukan adalah 5 yang pertama. Namun oleh sebagian ulama, mata dan
telinga dianggap sebagai satu kesatuan, terutama jika menyangkut
kepemimpinan, sebagaimana surat Al Anfaal ayat 22 yang menyatakan,
“Sesungguhnya seburuk-buruk binatang yang melata pada sisi Allah, ialah
orang yang pekak dan bisu (tentang kebenaran), mereka tidak mengerti”.
Jika mata dan telinga dihitung sebagai kesatuan maka empat hal yang
tidak boleh lepas liar tanpa kendali adalah (1) mata dan telinga, (2)
mulut dengan lidahnya, (3) perut, (4) hati.
Mata, demikian Al
Ghazali, adalah pangkal dari fitnah. Pandangan mata akan mempengaruhi
hati. Karena itu Sayidina Ali berkata, “Orang yang tidak menguasai
matanya, maka hatinya tidak ada harganya”. Demikian pula telinga,
berguna untuk mendengarkan pembicaraan dalam kebaikan atau sebaliknya.
Pengaruh pendengaran terhadap hati, bisa lebih buruk dari pengaruh
makanan terhadap perut.
Mengenai mulut dengan lidahnya, adalah
anggota tubuh yang paling binal lagi nakal, yang paling banyak
menimbulkan keonaran dan kerusakan, sampai-sampai ulama Malik bin Dinar
berpesan, “Jika engkau melihat hatimu membatu, badanmu lemah, rejekimu
terhalang maka itu disebabkan oleh ucapanmu yang tidak karuan.
Akan halnya perut, adalah salah satu anggota yang paling payah
diperbaiki, paling banyak ongkos dan bimbangnya serta paling besar
mudharat dan pengaruhnya. Dari perut bergolak segala tenaga yang timbul
pada anggota tubuh lainnya seperti kekuatan dan kelemahan, ketelitian
dan kecerobohan. Makanan yang masuk ke perut merupakan benih amal,
sedangkan minuman menjadi air yang menyirami benih amal. Makanan yang
baik, akan menjadi benih yang baik, yang jika disiram dengan air yang
baik akan tumbuh serta berbuah menjadi pohon dengan buah amalnya.
Tentang hati, adalah yang paling besar bahayanya, paling kuat
pengaruhnya, paling lembut urusannya, paling payah memperbaikinya dan
paling ruwet ihwalnya. Maka sebagaimana hadis yang sangat populer,
“Sesungguhnya dalam jasad manusia ada segumpal darah yang bila
keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Namun bila rusak,
rusak pula seluruh anggota badannya. Gumpalan itu adalah hati”. Karena
itu Al Ghazali menasihati, kita harus menjaga hati yang merupakan pokok
dari kehidupan manusia. “Kalau engkau merusak hati, maka seluruhnya akan
rusak. Dan kalau engkau memperbaiki hati, maka seluruhnya akan baik.
Sebab hati itu ibarat pohon. Sedangkan anggota tubuh lainnya hanya
bagaikan dahan, cabang dan ranting”.
Selanjutnya ia mengajak
kita meneladani kebiasaan para wali yang bisa disayang Allah setelah
menjalani empat hal yakni (1) membiasakan perutnya lapar dengan
berpuasa, (2) mengendalikan mulutnya dengan membiasakan berdiam diri
tidak banyak omong, (3) menyendiri dari pergaulan yang tidak karuan dan
(4) menahan mata mengurangi tidur malam untuk beribadah.
Itulah
saudaraku, pemahaman dan makna filosofis dari tembang dolanan “Gundul –
Gundul Pacul”, yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Sungguh saya
merindukan suasana masa kecil, tatkala bermain bersama kawan-kawan dan
adik-adik saya, bernyanyi riang gembira seraya memperagakan seseorang
“menyunggi” bakul dan memegang pacul, berjalan dengan sombong
“gembelengan”. Semoga kita khususnya anda saudaraku para pembaca, dan
lebih khusus lagi diri saya sendiri, bisa mengambil hikmah serta
menghayati dan mengamalkan makna filosofis dari tembang dolanan ini.
Aamiin.
Depok, 22 Maret 2013.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda