Selasa, 30 April 2013

Suluk, tembang dakwah Walisongo (5): ILIR - ILIR, KOLABORASI TOKOH ISLAM ABANGAN DENGAN ISLAM PUTIHAN.



         Tembang Ilir-Ilir selain mengiringi pembukaan Festival Istiqlal II Sabtu malam tanggal 23 September 1995, juga dibuat secara instrumentalia untuk “jingle” atau “sign music” yang disiarkan secara berulang-ulang setiap hari di area Masjid Istiqlal selama Festival berlangsung dua bulan.

         Tembang ini bagi kami masyarakat Pantura (Pantai Utara) Jawa, dianggap sebagai produk kolaborasi tokoh Islam Putihan yaitu Sunan Giri dengan tokoh Islam Abangan yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Giri bersama Sunan Ampel dan Sunan Drajat adalah tokoh-tokoh Islam Putihan dalam Walisongo, sedangkan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang, Sunan Kudus dan Sunan Muria merupakan tokoh-tokoh Islam Abangan.

         Islam Abangan berdakwah dengan  cara menyusupkan secara halus simbol dan nilai-nilai keislaman ke dalam adat-istiadat dan budaya kehidupan sehari - hari masyarakat. Mereka memakai tamzil – tamzil dan simbol adat – kebudayaan yang masih bercorak Syiwa atau Hindu – Budha, yang bisa multi tafsir, bersama dengan kebudayaan Arab, Persi, China dan Melayu. Mereka memasukkan nilai – nilai keislaman secara bertahap agar mudah dipahami dan tidak menimbulkan gejolak.

          Sementara itu Islam Putihan berpendapat Islam harus disyiarkan  sebagaimana aslinya secara lurus. Oleh sebab itu adat – istiadat yang tidak sesuai harus langsung dibuang, agar di kemudian hari tidak timbul salah persepsi yang membingungkan. Sejak awal Islam harus diajarkan secara bersih dari segala tata nilai yang mengotorinya, bagaikan kain putih yang bersih dari segala kotoran.  Pendapat ini dipatahkan oleh Sunan Bonang dan kawan-kawan, yang khawatir dakwah akan gagal jika dilakukan dengan memaksakan kehendak tanpa mau memahami kondisi nyata sasaran dakwahnya. Dakwah haruslah komunikatif dan kontekstual. Bahwa ada kekurangan dan kelemahan, biarlah waktu dan generasi-generasi berikutnya yang menyempurnakan.

         Yang sungguh patut dicontoh, meskipun berbeda pendapat tidaklah menyebabkan mereka berpisah jalan apalagi bermusuhan. Tidak ada di antara mereka, semenjak dahulu sampai dengan para pengikutnya di masa sekarang, yang merasa dirinya paling hebat dan paling suci. Istilah anak muda zaman sekarang, tidak ada di antara mereka yang mengklaim sebagai pemegang kunci surga. Mereka tetap bersahabat dan bersaudara, namun berdakwah dengan cara dan metode masing-masing. Meskipun demikian tidak berarti mereka tidak memiliki persamaan sama sekali. Dalam hal berdakwah menggunakan media kesenian, mereka menemukan titik pertemuan bahkan sepakat mengembangkan gamelan Jawa serta menciptakan tembang-tembang dengan irama khas, mulai dari jenis tembang mainan atau tembang dolanan anak-anak, sampai dengan yang berirama meditatif – kontemplatif seperti tembang-tembang macapat yang terus kita kenal dan lestarikan sekarang ini.

          Sebagaimana telah saya singgung dalam berbagai tulisan terdahulu, memang tidak banyak data sejarah yang bisa dijadikan pegangan 100 persen tentang kisah perjuangan mereka. Sebagian besar bahkan bertolak dari cerita-cerita yang dituturkan secara lesan dari generasi ke generasi menjadi legenda. Sebagai contoh adalah suluk tembang “Ilir-Ilir”, sebagian masyarakat menyebut “Lir-Ilir”, yang dipercaya merupakan karangan Sunan Giri namun disempurnakan serta dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga. Menilik kelaziman masa kini, kemungkinan besar Sunan Giri itu penciptanya, sedangkan Sunan Kalijaga yang pandai mendalang itu menjadi penyanyinya. Sungguh keteladanan yang perlu dilestarikan, meskipun berbeda namun mereka tetap bisa berkolaborasi dalam bidang musik, dan jalan seiring serta saling melengkapi dalam berdakwah.

         Syair tembang pengobar semangat dalam berdakwah yang merupakan hasil kolaborasi Islam Putihan dengan Islam Abangan itu adalah sebagai berikut:

                  Lir-ilir, lir ilir
                  Tandure wus (wis) sumilir
                  Tak ijo royo – royo
                  Tak sengguh penganten anyar
                 
                     Cah angon, cah angon
                  Penekno blimbing kuwi
                  Lunyu-lunyu penekno
                  Kanggo mbasuh dododiro (dodotiro)
                 
                  Dodotiro – dodotiro
                  Kumitir bedah ing pinggir
                  Domono jlumatono
                  Kanggo sebo mengko sore
                 
                  Mumpung padhang (gede) rembulane
                  Mumpung jembar kalangane
                  Sun (Yo) surako,
                  Surak hore (iyo).

          Untuk memahami makna tembang ini marilah kita kupas sedikit demi sedikit. Ilir itu adalah bahasa Jawa dari kipas. Jadi  “lir-ilir” berarti dikipasi, dikipas-kipas. Bisa juga dimaksudkan sebagai cuaca sejuk mendukung. Intinya, bersegeralah, bergegaslah!

         “Tandure wis sumilir”,  maksudnya kondisi untuk menanam benih sudah mendukung. Benih itu adalah “Islam”, yang akan mengalir bagaikan hembusan angin sepoi-sepoi (sumilir).

         Islam disimbolkan “ijo royo-royo”, hijau dari padi yang tumbuh subur menutup seluruh permukaan sawah.”Tak sengguh penganten anyar”, bagaikan pengantin baru yang harus disambut gembira dan dimuliakan.

         “Cah angon, cah angon”, wahai anak gembala, wahai kaum muda, para santri penggembala umat. “Penekno blimbing kuwi”, panjatlah pohon belimbing itu. Belimbing adalah buah bersegi lima, yang melambangkan rukun islam sekaligus juga salat lima waktu. Bersamaan dengan itu masyarakat di sekitar Demak –Jepara – Kudus, diajak menanam belimbing dalam arti kata yang sesungguhnya, sehingga sampai sekarang wilayah tersebut merupakan salah satu penghasil utama buah belimbing.

         “Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodotiro”,  meskipun licin pajatlah, karena diperlukan untuk mencuci pakaianmu. Manusia hidup wajib mengenakan pakaian khususnya pakaian keimanan atau agama. Agama dalam bahasa Jawa adalah agami, akronim dari agemaning iman atau pakaian keimanan.

         “Dodotiro – dodotiro, kumitir bedahing pinggir”,  dodot adalah kain tradisional Jawa yang dipergunakan sebagai pakaian sehari-hari.  Pakaian yang ada itu sudah robek di semua pinggirnya, di seluruh kelilingnya. Karena itu “domono jumlatono”, jahitlah. Perbaiki diri. Karena akan “kanggo sebo mengko sore”, akan dipakai untuk menghadap Gusti Allah di akhir kehidupan. Sore itu menandakan akhir hari. Agama yang baik akan menjadi pembungkus diri, menemani kita menghadap Gusti Allah di akhir kehidupan kita. Dan hidup itu hanya sebentar, bagaikan orang yang sedang dalam perjalanan, berhenti sejenak untuk minum.

          “Mumpung padhang rembulane”, menggambarkan suasana yang bagus, terang – benderang karena bulan purnama. “Mumpung jembar kalangane”, menggambarkan bulan purnama di langit yang cerah itu, di kelilingi oleh sebuah lingkaran besar yang indah, bagaikan sebuah arena permainan yang luas dan lapang. Semua ini mengisyaratkan situasi, kondisi dan “timing” yang tepat serta mendukung kegiatan dakwah. Sebab itu marilah kita sambut dengan sorak – sorai gegap gempita. “ yo (ayo) surako….. surak iyo…….”.

         Begitu mendalam makna tembang Ilir-Ilir ini. Begitu besar semangat dakwah yang dikobarkan.

         Begitu mulia cerminan ukhuwah islamiyah, jalinan rasa persaudaraan di antara sesama umat Islam, meski itu Islam Putihan dan Islam Abangan. Yang dicari dan diutamakan adalah persamaannya, bukan perbedaannya. Dengan sikap dan dakwah yang seperti itu, kini Indonesia dengan pulau Jawa di dalamnya, menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pasti ada saja yang tidak senang dengan kenyataan ini. Tetapi biar sajalah. Mari kita terus perbaiki saja diri kita sendiri, agar bisa menjadi teladan yang baik bagi keluarga dan masyarakat di sekeliling kita.

Alhamdulillah.

Depok, 26 Maret 2013.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda