Luar biasa! Uang Negara yang dikumpulkan dari keringat
dan air mata rakyat dalam bentuk pajak, disalahgunakan. Kekayaan Negara berupa
sumber daya alam anugerah Gusti Allah Yang Maha Kuasa dibuat “bancakan awut-awutan”.
Uang korupsi itu bagaikan lagu Bengawan Solo yang legendaris, mengalir sampai
jauh. Ke Amerika Latin, ke berbagai Negara, ke partai politik, ke para elite
dan keluarganya, ke “lebih 40 perempuan dan pustun”, ke mana-mana. Meskipun
yang dikorupsi ada juga pengadaan prasarana ibadah, semoga saja hasil korupsinya tidak sampai
menyentuh sarana dan prasarana ibadah seperti masjid dan pesantren.
Korupsi di negeri berketuhanan khususnya Islam ini,
sudah bak iklan sebuah minuman penyegar. Kapan saja, di mana saja, apa bahkan
siapa saja. Tidak peduli ustadz dan Al Qur’an, apalagi sapi dan bangunan. Dari
prajurit sampai jenderal, dari pegawai rendah sampai menteri, dari jalanan yang
panas terik berdebu sampai ke ruangan sejuk berpendingin nan nyaman.
Korupsi bukan saja sudah membudaya, tapi mulai
mendarah-daging nyaris menjadi DNA (deoxyribonucleic acid), terkandung secara
genetika. Naudzubillah. DNA adalah
biomolekul sel-sel tubuh manusia. Tentu ini hanyalah sebuah pengibaratan
saja, guna menggambarkan betapa sudah amat bersimaharajalelanya hama korupsi di
Indonesia.
Karena telah menyusup masuk DNA maka kita tidak risih
lagi, bahkan enjoy saja melakukan dan menikmati aneka perbuatan dari pohon
korupsi, mulai dari akar, batang, dahan, ranting, daun dan buah korupsi. Sikap
rakus dan tamak, tidak jujur, menghalalkan segala cara, memberi dan menerima
hadiah karena pekerjaan kita, suap-menyuap, rekayasa memenangkan tender dan
memperoleh order kerja melalui korupsi dan kolusi, mark-up, manipulasi
spesifikasi teknis dan sejenisnya, adalah komponen-komponen dari pohon korupsi
tadi. Karena mulai menjadi DNA, kita tidak takut lagi pada hukum-hukum buatan
manusia maupun hukum-hukum Tuhan. Ibadah okey, maksiat pun jalan terus.
Dalihnya sederhana, cari yang haram saja sudah, apalagi yang halal.
Mengapa semua itu bisa terjadi wahai saudaraku? Wahai
Ustadz, Pak Kyai, Buya, Habib, Syekh? Apakah Islam tidak melarang korupsi?
Sesungguhnyalah, banyak ayat dan hadis yang secara tegas
melarang korupsi, suap-menyuap, perbuatan mengambil hak orang lain secara batil
dan mengkhianati amanah. Salah satu hadis riwayat Muslim yang sangat populer, mengisahkan kekesalan Kanjeng Nabi Muhammad
Saw tatkala Ibnu Lutbiyah datang melapor kepadanya seraya berkata: “Ini untuk
anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku”. Mendengar itu
Rasulullah lalu berdiri di atas mimbar kemudian bersabda, “Apa sih maunya
seseorang yang kutugasi untuk menangani sesuatu pekerjaan, sampai berani
mengatakan ‘ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku?’
Kalaulah dia tidak aku tugasi dan hanya duduk-duduk saja di rumah ayah atau di
rumah ibunya, apakah mungkin hadiah itu datang sendiri kepadanya? ……. dan seterusnya”
sampai beliau mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dan berkata: “Ya Allah,
bukankah telah aku sampaikan. Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan”.
Abu Hurairah juga mengisahkan sabda Rasulullah tentang
nasib buruk orang-orang yang menipu dan
korupsi. Sementara Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadis yang menegaskan “Allah
melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap”.
Belakangan ini berita-berita media massa yang
menggambarkan aliran uang korupsi di Indonesia, luar biasa gegap-gempitanya.
Bentuknya bisa macam-macam. Bisa berupa hadiah dan sumbangan. Bisa berupa uang
ataupun barang, rumah, mobil, jas, jam tangan mewah dan lain sebagainya. Namun
pada umumnya reaksi yang timbul di masyarakat hanyalah berdecak, menggelengkan
kepala atau mentertawakan aliran yang ke para perempuan, baik yang ternyata
isteri muda atau pun sekedar “perempuan untuk selingkuh tidak untuk nikah”.
Naudzubillah.
Dalam sebuah debat televisi bahkan ada yang berkilah,
bagaimana kita tahu uang dan hadiah yang kita terima itu hasil korupsi? Di
sinilah kepekaan, daya kritis dan ketaatan kita diuji agar kita peduli terhadap
asal-usul harta benda yang kita peroleh, sesuai hadis: “Siapa yang tidak peduli
dari mana ia memperoleh harta, maka Allah Swt tidak akan peduli pula dari mana
Dia akan memasukkan ke dalam neraka” (Sahih Muslim).
Hadis ini mengajarkan kita semua tanpa kecuali khususnya
para tokoh masyarakat, ibu rumahtangga serta anak-anak yang sudah beranjak
dewasa agar bersikap kritis terhadap sumber rejeki pemberi hadiah dan
sumbangan, bahkan nafkah dari suami atau orangtuanya. Wajarkah kekayaan dan
uang gaji atau penghasilannya? Jika tidak, menjadi kewajiban kita untuk
mengingatkan. Jika tidak mau diingatkan secara baik-baik, kita bisa tingkatkan
untuk menolak atau menyalurkan pemberiannya kepada fakir miskin atau untuk
membangun prasarana umum seperti jalan, jembatan dan sarana irigasi.
Prihatin atas semakin maraknya korupsi, sesungguhnya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional VI tanggal 25 – 29 Juli
2000, telah membahas dan mengeluarkan fatwa yang secara tegas menyatakan korupsi itu haram.
Kini, 13 tahun sudah fatwa itu yang merupakan penegasan
kembali sekaligus penjabaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana digariskan
oleh Al Qur’an dan hadis itu dikeluarkan, tetapi nyatanya korupsi bukan mereda
justru semakin merajalela. Bahkan pengadaan Al Qur’an di Departemen Agama pun
dikorupsi.
Nampaknya perlu sebuah gerakan kebangkitan kesadaran dan
pertobatan yang digarap secara serius, bukan hanya bersifat represif tapi juga
harus preventif secara sistemis, yang dimulai dari diri kita masing-masing atau
individu, yang harus terus digalang dan digelindingkan bagaikan bola salju,
kian lama kian besar. Bukan hanya tidak melakukan korupsi, tapi juga menggalang
gerakan sosial membendung aliran hasil korupsi. Dalam adat ketimuran, memang
tidak mudah melakukannya, namun dengan niat yang kuat, dengan saling
ingat-mengingatkan dan dukung-mendukung, Allahuma amin, akan menjadi perkuatan
gerakan yang berhasil.
Depok, 13 Juni 2013
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda