Dalam
tasawuf, ada salah satu ajaran yang cukup penting yaitu tentang uzlah atau
mengasingkan diri. Tasawuf memang meyakini, tiada yang dapat memberi manfaat
kepada seseorang agar bisa selalu dekat dengan Gusti Allah kecuali beruzlah.
Sebab dengan beruzlah manusia dapat berfikir jernih.
Menurut Al
Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa
‘Umdatus Saalikien (Raudhah, Taman Jiwa Kaum Sufi, edisi Indonesia,
penerbit Risalah Gusti), uzlah itu ada dua macam yaitu faridhah dan fadhilah. Uzlah
faridhah yaitu menghindar dari segala keburukan dan golongan buruk. Sedangkan
uzlah fadhilah adalah menghindari segala yang berlebih-lebihan beserta para
pendukungnya.
Perjalanan
seorang salik atau penempuh jalan tasawuf dalam mengenal dan mendekat ke Gusti
Allah, akan banyak menjumpai godaan dan rintangan yang dapat mengancam kesela-matannya.
Sedangkan keselamatan itu terdiri dari sepuluh bagian. Yang sembilan bagian
tersembunyi di balik diam, yaitu diam dari segala hal yang tidak berguna, dan yang satu lagi ada dalam uzlah.
Al-Imam
Ibnu Athaillah Askandary dalam kitab Al-Hikamnya yang amat termasyhur
berpendapat, sebaik-baik uzlah adalah menghindarkan hati dari keramaian pikiran
duniawi. Orang Jawa Tempo dulu menyebut hal itu sebagai topo ngrame, bertapa di tengah keramaian. Secara fisik kita berada
di tengah keramaian, namun jiwa kita sesungguhnya sedang bertapa.
Oleh
karena itu wahai Sahabatku, menganut
tasawuf tidak berarti harus mengasingkan diri ke tempat sunyi di
gua-gua, gunung atau hutan, membenamkan diri sepenuhnya dalam ritual-ritual
ibadah, salat, puasa, duduk tafakur dan wirid semalam suntuk, memperbanyak
amalan sunah sampai melupakan kewajiban selaku khalifatullah fil ardh. Melupakan tugasnya selaku wakil dan utusan
Gusti Allah dalam mengelola dan mewujudkan rahmatan
lil alamin, rahmat bagi alam semesta dan segenap isinya, sampai-sampai tak
peduli dengan kezaliman, tak peduli dengan kemungkaran yang merajalela.
Kehidupan
penganut tasawuf harus meneladani kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan para
sahabatnya, yang dalam suka dan duka selalu berada di tengah rakyatnya, mengatur
keseimba-ngan urusan dunia dan akhirat tanpa mengganggu hatinya dengan fantasi-fantasi pesona dunia.
Sahabatku,
saya berharap anda masih ingat tiga hadis yang cukup populer dan melengkapi
satu sama lain, yang banyak menjadi bahan ceramah. Yang satu mengisahkan
kejadian tatkala Rasulullah kembali dari Perang Tabuk, bertemu dengan
sahabatnya, Mu’az. Jadi Rasullullah pun ikut berperang bersama para sahabatnya.
Sewaktu bersalaman, terasa olehnya telapak tangan Mu’az kesat, menandakan
banyak melakukan pekerjaan kasar. Lantas beliau bertanya mengapa tangan Mu’az
kasar. Dengan berseri sahabat utama itu menjawab: “Saya membajak tanah, untuk
nafkah ahli rumahku, ya junjungan”. Alangkah jernih muka Rasulullah mendengar
jawaban sahabatnya yang tidak ikut berperang itu, sehingga diciumnya keningnya
seraya bersabda: “Engkau tak akan
disentuh api neraka, Mu’az”.
Kejadian
yang kedua adalah, sebagaimana dikisahkan Ibnu Abbas, datang suatu kaum kepada
Rasulullah yang menceritakan mengenai segolongan kawan mereka yang setiap hari
berpuasa, setiap malam bersembahyang tahajud dan banyak berzikir.
Mendengar
itu Rasulullah bertanya: “Adakah di
antara kalian yang hadir yang mempunyai makanan dan minuman cukup?”. Mereka
menjawab: “Mudah-mudahan kami semua adalah demikian. Jawab Nabi berikutnya: “Kalian lebih baik dari mereka”.
Peristiwa
ketiga adalah tatkala para sahabat tengah membanggakan seseorang yang siang
malam hanya tekun beribadah sehingga tidak ke mana-mana. Lalu Nabi bertanya: “Siapa yang menjamin makan minumnya?”. Jawab
para sahabat: “Saudaranya”. Maka Kanjeng Nabi pun menegas-kan: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.
Ketiga
hadis tersebut menegaskan bahwa semangat Islam adalah semangat berjuang,
semangat berkorban dan semangat bekerja keras atau mujaahadah. Kerja keras
menurut Prof.K.H.Ali Yafie, “itu polanya di dalam tasawuf bermacam-macam; ada
yang disebut riyaadhah, uzlah dan zuhud. Semua itu adalah kiat-kiat kerja keras
yang tidak berdiri sendiri-sendiri dan merupakan suatu proses mujaahadah, yang
pada ujungnya adalah mengabdi. Artinya, kita memerlukan segala sesuatu yang
bermanfaat untuk diri kita dan masyarakat.”
Di dalam
tasawuf, disamping uzlah, kita juga mengenal dua istilah lain yang ketiganya
saling berkaitan, yaitu zuhud dan wara. Zuhud adalah kondisi mental yang tidak
mau terpengaruh oleh harta benda dan pesona dunia dalam mengabdikan diri kepada
Allah, dan bukan berarti tidak mau sama sekali memiliki harta benda serta tidak
suka mengenyam nikmat dunia.
Mengenai
sifat zuhud, Sayidina Ali bin Abi Thalib berpendapat, terletak di antara dua
kalimat dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah, yang artinya: “Agar kamu tidak berdukacita atas apa yang lepas dari dirimu, tidak
pula bersukaria atas sesuatu yan diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Surat Al
Hadiid: 23). Maka siapa saja yang tidak berputus asa dan berduka atas sesuatu
yang telah pergi darinya, dan tidak pula bersukacita dengan sesuatu yang
diperolehnya, sesungguhnya ia telah memiliki sifat zuhud yang sempurna.
Kanjeng
Nabi Muhammad Saw juga menegaskan perihal zuhud ini tatkala menjawab pertanyaan
seorang sahabat yang meminta ditunjukkan amal perbuatan yang apabila dikerjakan
disukai Allah dan sekaligus disukai sesamanya. Sabda beliau, “Berzuhudlah di dalam dunia niscaya dikasihi
Allah, dan berzuhudlah di antara sesama manusia
niscaya engkau dikasihi manusia”. (HR.Ibnu Majah).
Mengutip
pendapat Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus
Salikin dan Al-Harawi dalam Manazilus
Sa’iirin, Prof.Dr.H.Abubakar Aceh menyatakan ada tiga derajat zuhud. Derajat pertama, menjauhkan segala
pekerjaan yang buruk, memperbanyak perkerjaan yang baik dan memperdalam
keyakinan serta iman. Derajat kedua,
memelihara taqwa, meningkat naik dari kecemaran jiwa dan menjaga jangan sampai
melanggar batas-batas larangan Allah. Derajat
ketiga, ialah berlaku wara’ pada tiap waktu dan ketika, menghindarkan
segala sebab yang dapat menimbulkan syirik dalam ibadah dan meresapkan fana
dalam tauhid yang sebulat-bulatnya.
Sedangkan
wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang membahayakan, serta menahan diri dari
hal-hal yang bisa memudharatkan, termasuk apa-apa yang syubhat dan lebih-lebih
yang haram.
Banyak
contoh kisah-kisah kehidupan zuhud dan wara’ di masa Rasulullah dan para
sahabat yang bisa kita jadikan suri tauladan. Ahli hadis ternama Syekh Muhammad
Zakariyya al-Khandhalawi dari Kandhlah-Muzhafar Nagar-India misalkan, telah
menghimpun kisah-kisah teladan kehidupan Rasulullah beserta para sahabat untuk
menjadi cermin dan pedoman kehidupan, ke dalam buku Fadhail A’mal, edisi bahasa Indonesia oleh Tim Pustaka Nabawi, Cirebon,
2003. Juga Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandallawy dalam Sirah Sahabat, Pustaka Al-Kautsar 1998.
Sahabatku,
mungkin anda masih ingat kisah Khalifah Abubakar dan Khalifah Umar, yang
memuntahkan makanan dan susu yang telah diminumnya karena berpegang pada
prinsip hidup wara’ tadi. Abubakar memiliki seorang budak yang selalu
memberikan sebagian pendapatannya kepada beliau. Pada suatu hari ia
menghidangkan sedikit makanan kepada Abubakar yang segera mencicipinya.
Kemudian hambanya berkata, “Tuan, biasanya tuan selalu bertanya kepadaku, dari
manakah penghasilanmu ini? Namun pada hari ini tuan tidak menanyakannya”. Jawab
Abubakar, “Aku sangat lapar sehingga tidak sempat menanya-kannya. Sekarang
jelaskan tentang makanan itu”.
Hambanya
menjawab, “Pada zaman jahiliyah dulu, aku bertemu suatu kaum dan membacakan
mereka mantera. Mereka berjanji kepadaku akan memberi imbalan atas jasaku. Dan
pada hari ini aku melewati perkampungan mereka. Kebetulan mereka sedang
melangsungkan pernikahan, jadi mereka memberiku makanan ini”. Abubakar langsung
berteriak, “Kamu nyaris membinasa-kanku”. Ia pun dengan susah payah segera
berusaha memuntahkan makanan yang telah ditelannya itu, sampai betul-betul
berhasil.
Seorang
sahabat yang melihatnya berkata, “Semoga Allah merahmati anda. Anda telah bersusah
payah mengeluarkan isi perut anda, hanya karena sesuap makanan”. Jawab
Abubakar, “Walaupun aku harus kehilangan nyawa untuk mengeluarkan makanan itu,
pasti tetap akan kukeluarkan. Kudengar sabda Nabi saw., “Badan yang tumbuh dengan makanan haram, maka api neraka pantas
untuknya. Aku khawatir, jika sebagian dari badanku ini tumbuh dari makanan
itu”.
Khalifah
Umar pun memiliki pengalaman yang hampir sama dengan Abubakar. Suatu ketika ia
mencicipi susu. Ternyata rasa susu itu lain dari biasanya, sehingga Umar
langsung bertanya kepada si pembawa susu, dari mana dan bagaimana
mendapatkannya. Orang itu menjawab, “Ada
beberapa ekor unta hasil sedekah sedang merumput di hutan. Lalu para
penggembala memerah sedikit susu dari unta-unta tersebut dan memberiku sedikit”.
Mendengar itu, Umar segera memasukkan tangannya ke mulut, lalu memuntah-kan
semuanya.
Baginda
Rasul juga mempunyai pengalaman yang membuatnya tidak bisa memejamkan mata
sepanjang malam. Berkali-kali beliau gelisah mengubah posisi tidur, sehingga
isterinya bertanya, “Mengapa engkau tidak dapat tidur, ya Rasulullah?”. Jawab
beliau, “Tadi ada tergeletak sebuah
kurma. Karena khawatir kurma itu terbuang sia-sia, maka aku memakannya.
Sekarang aku khawatir, mungkin kurma itu dikirim ke sini untuk disedekahkan”.
Itulah
tiga contoh sikap kehati-hatian yang merupakan inti dari perilaku wara’.
Kanjeng Nabi yang tidak bisa tidur dan Abubakar serta Umar yang memuntahkan isi
perutnya, menggambarkan prinsip hidup dalam menyikapi harta yang meragukan,
yang syubhat, apalagi yang haram. Sikap seperti itulah yang seyogyanya kita
jadikan pegangan hidup.
Begitulah
Sahabatku, jadi tasawuf itu tidak berarti meninggalkan sama sekali pesona dunia
dengan hidup apa adanya di tempat-tempat nan sunyi-sepi. Namun jangan sampai
pula hati kita terbelenggu oleh nafsu dunia, apalagi kemudian menutupinya
berlagak membuat keseimbangan sebagai dermawan yang obral hadiah atau pun
sedekah. Naudzubillah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda