Kamis, 20 Februari 2014

Ulama-Ulama Tasawuf Berani Berperang & Berani Memperingatkan Penguasa




Meski berusaha menghindari perang fisik, sejarah mencatat, tatkala pasukan Khalifah Bani Abbas di Baghdad terdesak dan Iraq luluh lantak seperti awal abad ke-21 ini, maka para futuwwah sufiah, para pahlawan tasawuf yang rela mengorbankan kesenangan diri termasuk harta dan keluarganyalah, yang berhasil menghalau musuh, menyelamatkan wilayah-wilayah Islam serta menjaga perbatasan.

Pada tahun 1258 M, lebih dari 200.000 tentara Mongol di bawah kepemimpinan Hulagu Khan (cucu Jengis Khan), menyerbu Iraq serta menumbangkan kekuasaan  Bani Abbasiyyah, bahkan Khalifahnya yaitu Al Musta’shin dipenggal kepalanya.  Mengerikan sekali, bukan hanya Istana yang dihancurkan, tapi seluruh bangunan di Baghdad diratakan dengan tanah, seluruh warga kota dibunuh, kecuali segelintir yang berhasil meloloskan diri. Semua bukti-bukti peradaban Islam termasuk buku-buku perpustakaan terbesar di dunia dimusnahkan. Seluruh kebudayaan Islam yang sudah dibangun berabad-abad hancur lebur. Sementara itu 800.000-an rakyat jelata, wanita dan anak-anak tewas mengenaskan di bawah tapak kaki kuda tentara Mongol yang ganas itu, diinjak dengan tapak kaki kuda, dipermainkan dengan ujung tombaknya, dibedah dan dibelek  perutnya dengan alasan mencari permata yang ditelan.

Pada saat itulah, tatkala balatentara Islam hancur-lebur, ulama-ulama tasawuf yang secara fisik pada umumnya kelihatan lemah dan rapuh, bangkit mengorganisasikan umat, menggelorakan semangat mereka dengan tausiah serta zikir-zikirnya, mengobarkan perlawanan. Ulama-ulama sufi yang penyair seperti Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi, menggubah syair-syair yang menggambarkan kepedihan atas kehancuran Baghdad, dan kemudian menggelorakan kebangkitan kembali urat nadi kekuatan Islam menjadi balatentara Allah yang perkasa, yang pada akhirnya berhasil menumbangkan Pasukan Mongol. Bahkan cucu Hulagu Khan yaitu Mahmud Ghazan 37 tahun kemudian, tepatnya pada periode 1295 – 1304,  memeluk Islam dan membangun kembali perabadan Islam.

Sejarah telah mengajarkan dan membuktikan,  menganut tasawuf tidaklah berarti asyik dengan dirinya sendiri dan acuh tak acuh terhadap kehidupan sosial-kenegaraan, tapi justru amat peduli terhadap terwujudnya rahmat bagi alam semesta, serta bertanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Semua itu diniatkan sebagai ibadah dan amal saleh selaku pengemban amanah Allah di muka bumi,  dan bukan untuk memuaskan dahaga pesona dunia.

Banyak pengamat dunia yang takjub tak menyangka,  Islam cepat bangkit dan pulih kembali setelah diserbu  Perang Salib dan diluluhlantakkan nyaris  sampai  keakar-akarnya oleh Balatentara Mongol, sampai akhirnya mereka menemukan bahwa sumber  kekuatan Islam itu tidak terletak pada kekuatan yang nampak dari luar, melainkan tersembunyi di dalam lubuk Islam yang dalam, terpilin dengan urat nadinya, dan urat nadi itu ialah tasawuf serta ajaran sufi dalam berbagai bentuk dan coraknya. (Brakell Buys dalam Pengantar Ilmu Tarekat Uraian Tentang Mistik,  Prof.Dr.H.Abubakar Aceh halaman 18 sampai dengan 21).

Contoh ulama tasawuf lain yang juga sangat peduli terhadap kehidupan masyarakat adalah Syekh ‘Izzuddin Ibn ‘Abdissalam  (1181 – 1262M). Ulama tasawuf yang diagungkan ini tidak hanya berpangku tangan asyik dengan dirinya sendiri, sampai-sampai berfatwa: “Wajib menangkap raja-raja Mamaluk  yang berkhianat kepada kaum muslimin, rakyat mereka sendiri”.

Kerajaan Mamaluk yang wilayahnya meliputi Mesir sampai dengan Syria,  didirikan oleh mantan-mantan budak keturunan Turki. Sebagai rakyat kecil pekerja keras, mereka kecewa terhadap para elit yang malas, lambat tapi korup. Kerajaan ini mempunyai andil besar dalam sejarah kebangkitan Islam, setelah daerah-daerah lain dan Baghdad dibumihanguskan pasukan Mongol. Pasukan Mamaluk di bawah kepemimpinan Sultan Qutuz yang didukung para ulama tasawuf, berhasil menahan laju serbuan Mongol  serta mengalahkannya di Ain Jalut (Palestina). Peperangan yang sangat terkenal dalam sejarah ini terjadi pada tanggal 25 Ramadhan  658 H atau 1260 M, dan merupakan titik balik serta membuka era baru dalam sejarah dan sistem ketentaraan kerajaan-kerajaan Islam.

Sejarah juga mencatat, siapakah yang menghancurkan belasan ribu pasukan Barat di Hittin, Galilea, dekat Tiberias (sekarang wilayah Israel) pada tahun 1187M, bertepatan dengan 10 hari terakhir Ramadhan 584H. Dalam Perang Hittin ini, Panglima Perang Sultan Salahuddin Al-Ayubi juga memperoleh dukungan besar dari ajakan jihad ulama-ulama tasawuf.

Kembali kepada Syekh Izzuddin, keberaniannya menegur penguasa dengan risiko kehilangan kedudukan dan jabatan, bahkan pernah ditahan, diusir dan hendak dibunuh tidak membuatnya surut dalam membasmi kemungkaran. Ia menegur keras Gubernur Damaskus – Raja Salih Ismail yang mencoba bekerjasama dengan Pasukan Salib serta menegur penguasa-penguasa Mesir yang zalim terhadap rakyat.

Sahabatku, inginkah anda mengetahui bagaimana Syekh Izzuddin mengajarkan hakikat dan hikmah? Menurut penuturan anaknya, Syekh Izzuddin menceritakan suatu saat di antara bangun dan terjaga, tapi lebih dekat ke terjaga, ia mendengar suatu suara “Bagaimana kamu mengaku cinta pada-Ku padahal kamu tidak memakai sifat-Ku ?. Aku Maha Penyayang dan pengasih, maka sayangi dan kasihanilah makhluk yang mampu kamu kasihi. Aku adalah zat yang Maha Menutupi aib, maka jadilah kamu insan yang menutupi cacat orang lain. Janganlah kamu memperlihatkan cacat dan dosamu, karena itu membuat murka Allah Yang Maha Mengetahui segala hal yang gaib. Aku adalah zat Yang Maha Pemurah, maka jadilah kamu insan yang pemurah pada setiap orang yang menyakitimu. Aku adalah zat Maha Lembut, maka lembutlah pada setiap makhluk yang Aku perintahkan untuk berbuat lemah-lembut " (tabligh-biografiulama.blogspot.com).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda