Meski
berusaha menghindari perang fisik, sejarah mencatat, tatkala pasukan Khalifah
Bani Abbas di Baghdad terdesak dan Iraq luluh lantak seperti awal abad ke-21
ini, maka para futuwwah sufiah, para pahlawan tasawuf yang rela mengorbankan
kesenangan diri termasuk harta dan keluarganyalah, yang berhasil menghalau
musuh, menyelamatkan wilayah-wilayah Islam serta menjaga perbatasan.
Pada tahun 1258 M, lebih dari 200.000 tentara Mongol
di bawah kepemimpinan Hulagu Khan (cucu Jengis Khan), menyerbu Iraq serta
menumbangkan kekuasaan Bani Abbasiyyah, bahkan
Khalifahnya yaitu Al Musta’shin dipenggal kepalanya. Mengerikan sekali, bukan hanya Istana yang
dihancurkan, tapi seluruh bangunan di Baghdad diratakan dengan tanah, seluruh
warga kota dibunuh, kecuali segelintir yang berhasil meloloskan diri. Semua
bukti-bukti peradaban Islam termasuk buku-buku perpustakaan terbesar di dunia
dimusnahkan. Seluruh kebudayaan Islam yang sudah dibangun berabad-abad hancur
lebur. Sementara itu 800.000-an rakyat jelata, wanita dan anak-anak tewas
mengenaskan di bawah tapak kaki kuda tentara Mongol yang ganas itu, diinjak
dengan tapak kaki kuda, dipermainkan dengan ujung tombaknya, dibedah dan
dibelek perutnya dengan alasan mencari
permata yang ditelan.
Pada saat itulah, tatkala balatentara Islam
hancur-lebur, ulama-ulama tasawuf yang secara fisik pada umumnya kelihatan
lemah dan rapuh, bangkit mengorganisasikan umat, menggelorakan semangat mereka
dengan tausiah serta zikir-zikirnya, mengobarkan perlawanan. Ulama-ulama sufi
yang penyair seperti Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi, menggubah
syair-syair yang menggambarkan kepedihan atas kehancuran Baghdad, dan kemudian
menggelorakan kebangkitan kembali urat nadi kekuatan Islam menjadi balatentara
Allah yang perkasa, yang pada akhirnya berhasil menumbangkan Pasukan Mongol.
Bahkan cucu Hulagu Khan yaitu Mahmud Ghazan 37 tahun kemudian, tepatnya pada
periode 1295 – 1304, memeluk Islam dan
membangun kembali perabadan Islam.
Sejarah telah mengajarkan dan membuktikan, menganut tasawuf tidaklah berarti asyik
dengan dirinya sendiri dan acuh tak acuh terhadap kehidupan sosial-kenegaraan,
tapi justru amat peduli terhadap terwujudnya rahmat bagi alam semesta, serta
bertanggungjawab terhadap bangsa dan negaranya. Semua itu diniatkan sebagai
ibadah dan amal saleh selaku pengemban amanah Allah di muka bumi, dan bukan untuk memuaskan dahaga pesona
dunia.
Banyak pengamat dunia yang takjub tak
menyangka, Islam cepat bangkit dan pulih
kembali setelah diserbu Perang Salib dan
diluluhlantakkan nyaris sampai keakar-akarnya oleh Balatentara Mongol,
sampai akhirnya mereka menemukan bahwa sumber
kekuatan Islam itu tidak terletak pada kekuatan yang nampak dari luar,
melainkan tersembunyi di dalam lubuk Islam yang dalam, terpilin dengan urat
nadinya, dan urat nadi itu ialah tasawuf serta ajaran sufi dalam berbagai
bentuk dan coraknya. (Brakell Buys dalam Pengantar
Ilmu Tarekat Uraian Tentang Mistik,
Prof.Dr.H.Abubakar Aceh halaman 18 sampai dengan 21).
Contoh
ulama tasawuf lain yang juga sangat peduli terhadap kehidupan masyarakat adalah
Syekh ‘Izzuddin Ibn ‘Abdissalam (1181 –
1262M). Ulama tasawuf yang diagungkan ini tidak hanya berpangku tangan asyik
dengan dirinya sendiri, sampai-sampai berfatwa: “Wajib menangkap raja-raja Mamaluk
yang berkhianat kepada kaum muslimin, rakyat mereka sendiri”.
Kerajaan
Mamaluk yang wilayahnya meliputi Mesir sampai dengan Syria, didirikan oleh mantan-mantan budak keturunan
Turki. Sebagai rakyat kecil pekerja keras, mereka kecewa terhadap para elit
yang malas, lambat tapi korup. Kerajaan ini mempunyai andil besar dalam sejarah
kebangkitan Islam, setelah daerah-daerah lain dan Baghdad dibumihanguskan pasukan Mongol.
Pasukan Mamaluk di bawah kepemimpinan Sultan Qutuz yang didukung para ulama
tasawuf, berhasil menahan laju serbuan Mongol
serta mengalahkannya di Ain Jalut (Palestina). Peperangan yang sangat
terkenal dalam sejarah ini terjadi pada tanggal 25 Ramadhan 658 H atau 1260 M, dan merupakan titik balik
serta membuka era baru dalam sejarah dan sistem ketentaraan kerajaan-kerajaan
Islam.
Sejarah
juga mencatat, siapakah yang menghancurkan belasan ribu pasukan Barat di
Hittin, Galilea, dekat Tiberias (sekarang wilayah Israel) pada tahun 1187M,
bertepatan dengan 10 hari terakhir Ramadhan 584H. Dalam Perang Hittin ini,
Panglima Perang Sultan Salahuddin Al-Ayubi juga memperoleh dukungan besar dari
ajakan jihad ulama-ulama tasawuf.
Kembali
kepada Syekh Izzuddin, keberaniannya menegur penguasa dengan risiko kehilangan
kedudukan dan jabatan, bahkan pernah ditahan, diusir dan hendak dibunuh tidak
membuatnya surut dalam membasmi kemungkaran. Ia menegur keras Gubernur Damaskus
– Raja Salih Ismail yang mencoba bekerjasama dengan Pasukan Salib serta menegur
penguasa-penguasa Mesir yang zalim terhadap rakyat.
Sahabatku, inginkah anda mengetahui
bagaimana Syekh Izzuddin mengajarkan hakikat dan hikmah? Menurut penuturan
anaknya, Syekh Izzuddin menceritakan suatu saat di antara bangun dan terjaga, tapi lebih dekat ke terjaga, ia
mendengar suatu suara “Bagaimana kamu
mengaku cinta pada-Ku padahal kamu tidak memakai sifat-Ku ?. Aku Maha Penyayang
dan pengasih, maka sayangi dan kasihanilah makhluk yang mampu kamu kasihi. Aku
adalah zat yang Maha Menutupi aib, maka jadilah kamu insan yang menutupi cacat
orang lain. Janganlah kamu memperlihatkan cacat dan dosamu, karena itu membuat
murka Allah Yang Maha Mengetahui segala hal yang gaib. Aku adalah zat Yang Maha
Pemurah, maka jadilah kamu insan yang pemurah pada setiap orang yang
menyakitimu. Aku adalah zat Maha Lembut, maka lembutlah pada setiap makhluk
yang Aku perintahkan untuk berbuat lemah-lembut " (tabligh-biografiulama.blogspot.com).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda