Senin, 28 Juli 2014

Perayaan dan Ucapan Idul Fitri



Ada kebiasaan khas Indonesia yang luar biasa dimensi dan dampak sosial-ekonominya, yaitu merayakan Hari Raya Idul Fitri secara meriah, pulang kampung beramai-ramai, memintal dan memperbarui jalinan tali silaturahim di antara sesamanya. Kebiasaan merayakan Idul Fitri juga dilaksanakan umat muslim di berbagai belahan dunia seperti Emirat Arab, Turki, Iran, Afrika Selatan, India, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Fiji serta negara-negara tetangga kita khususnya Malaysia.

Namun dibanding di negara-negara lain, perayaan Idul Fitri di Indonesia adalah yang paling meriah bahkan gegap gempita. Diperkirakan sekitar seperempat sampai sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia baik muslim maupun non muslim melakukan pergerakan dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu pulau ke pulau lain, guna ikut merayakannya. Uang puluhan trilyun rupiah, menyebar dari kota-kota besar ke kota-kota kecil, ke kampung-kampung di segenap pelosok negeri, ke pedagang-pedagang kecil sektor informal, mengikuti teori ekonomi menetes dari atas ke bawah. Semua bergembira bersama, melepas kerinduan, mengendorkan saraf-saraf yang tegang setelah selama dua belas bulan menyabung hidup di belantara kekerasan kehidupan kota besar.

Memang ada sejumlah pengamat yang menganggap semua itu sebagai pemborosan yang mestinya tidak perlu. Tapi sejumlah sosiolog, psikolog dan budayawan yang lain menilai justru sebagai kebiasaan sosial yang baik dan bermanfaat. Tentu anda sendiri, wahai Sahabatku, yang lebih bisa menilai apakah kebiasaan tersebut menghasilkan nilai positif atau tidak. Apakah pulang kampung, sungkem dan berbakti kepada ayah-bunda, saling kunjung-mengunjungi untuk bersilaturahim, yang sudah barang tentu memerlukan biaya itu bermanfaat atau tidak.

Di samping mobilitas manusia yang tinggi, perayaan Idul Fitri di Indonesia juga lazim disertai dengan pengiriman atau penyampaian ucapan Idul Fitri, yang disamping dilakukan secara tatap muka, dahulu kala juga biasa dilakukan dengan mengirim kartu lebaran. Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, pengiriman bergeser ke pesan telpon singkat, dan selanjutnya terus berkembang ke berbagai bentuk media jejaring sosial lainnya.

Ada tiga jenis ucapan yang paling lazim plus kombinasi dari ketiganya.
Pertama,  Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir bathin”.
Kedua, “ Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal ‘Aidin wal Faizin”.
Ketiga, “Selamat Hari Raya Idul Fitri. Taqaballallahu minaa wa minka”.

Tidak ada ayat Qur’an ataupun hadis yang bisa dijadikan pegangan untuk menilai, ucapan mana yang paling tepat. Namun dari ketiganya, ucapan ‘Taqabbalallahu minaa wa minkum’ yang bermakna “Semoga Allah Swt. menerima amal kami dan amal Anda”, dalam konteks ini menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita, yang memiliki kaitan sejarah dengan para sahabat Rasulullah.

Menurut sejumlah riwayat, para sahabat Nabi Muhammad Saw.bila bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya : “Taqabbalallahu minnaa wa minkum”. Ibnu Qudamah dalam “Al-Mughni” menyebutkan bahwa Muhammad bin Ziyad berkata : “Aku pernah bersama Abu Umamah Al Bahili dan selainnya dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bila kembali dari shalat Id berkata sebagiannya kepada sebagian yang lain : Taqabbalallahu minnaa wa minka. Beberapa shahabat menambahkan ucapan “shiyamana wa shiyamakum’, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

Adapun ucapan yang lain yaitu “Minal ‘Aidin wal Faizin”, adalah ungkapan kebiasaan khas masyarakat Indonesia, yang pada umumnya dirangkaikan dengan ungkapan “mohon maaf lahir dan bathin”, sehingga kemudian ada yang mengartikan minal ‘adin wal faizin sebagai maaf lahir dan batin. Padahal makna yang sesungguhnya adalah doa agar Gusti Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang kembali dan meraih kemenangan.

Di berbagai media jejaring sosial, belakangan ini banyak tulisan yang mengulas ketiga ungkapan tadi. Ada yang bisa menerimanya, tapi ada pula yang mencemooh bahkan menyalahkan. Dari berbagai pendapat tersebut, ada pula beberapa yang mengutip pandangan dari pakar tersohor kita Prof.Dr.M.Quraish Shihab, sebagaimana beliau tulis dalam buku Lentera Hati, Penerbit Mizan, hal 404 dan seterusnya.

Menurut beliau, minal ‘aidin yang berarti (semoga kita) termasuk orang-orang yang kembali, dimaksudkan sebagai kembali kepada fitrah, yakni asal kejadian atau kesucian, atau agama yang benar.

Setelah mengasah dan mengasuh jiwa – yaitu berpuasa – selama satu bulan, diharapkan setiap Muslim dapat kembali ke asal kejadiannya dengan menemukan “jati dirinya”, yaitu kembali suci sebagaimana ketika ia baru dilahirkan serta kembali mengamalkan ajaran agama yang benar. Ini semua menuntut keserasian hubungan, karena – menurut Rasulullah – al-aidin al-mu’amalah, yakni keserasian dengan sesama manusia, lingkungan, dan alam.

Sementara itu, al-faizin diambil dari kata fawz yang berarti keberuntungan. Apakah keberuntungan yang kita harapkan itu? Di sini kita dapat merujuk pada Al-Quran, karena 29 kali kata tersebut, dalam berbagai bentuknya, terulang. Menarik juga untuk diketengahkan bahwa Al-Quran hanya sekali menggunakan bentuk afuzu (saya beruntung). Itupun menggambarkan ucapan orang-orang munafik yang memahami “keberuntungan” sebagai keberuntungan yang bersifat material (Surat An Nisaa : 73).

Bila kita telusuri Al-Quran yang berhubungan dengan konteks dan makna ayat-ayat yang menggunakan kata fawz, ditemukan bahwa seluruhnya (kecuali Surat An Nisaa : 73) mengandung makna “pengampunan dan keridhaan Tuhan serta kebahagiaan surgawi.” Kalau demikian halnya, wal faizin harus dipahami dalam arti harapan dan doa, yaitu semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah Swt. sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga-Nya.

Salah satu syarat untuk memperoleh anugerah tersebut ditegaskan oleh Al-Quran dalam Surat An-Nur ayat 22, yang menurut sejarah turunnya berkaitan dengan kasus Abubakar r.a. dengan salah seorang yang ikut ambil bagian dalam menyebarkan gosip terhadap putrinya sekaligus isteri Nabi, Aisyah. Begitu marahnya Abubakar sehingga ia bersumpah untuk tidak memaafkan dan tidak memberi bantuan apapun kepadanya.

Tuhan memberi petunjuk dalam ayat tersebut: Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Surat An Nuur : 22).

Prof.Dr. M.Quraish Shihab, pakar yang memiliki reputasi internasional ini, mengakhiri ulasannya tentang ucapan-ucapan yang menyertai perayaan Idul Fitri tersebut dengan suatu kalimat penutup yang indah dan sejuk, mengajak kita “saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mengucapkan minal `aidin wal faizin. Semoga kita dapat kembali mendapatkan jati diri kita, dan semoga kita bersama memperoleh ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi. Amin.”

Demikianlah Sahabatku, ternyata menurut ahlinya, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan ungkapan-ungkapan tersebut. Yang mungkin kurang dari kita, termasuk penulis selama ini, adalah kurang memahami makna, latar belakang serta hakikat dari ungkapan itu. Kita hanya ikut-ikutan mengucapkan tanpa memahaminya, sehingga kemudian bingung tatkala ada orang yang mengkritik.

Maka sami’naa wa atho’naa, kami dengar dan kami patuh kepada Kyai Haji Mustofa Bisri atau Gus Mus dalam puisinya “Kau Ini Bagaimana Atau Aku Harus Bagaimana?”
“ Ya sudahlah…. Aku pasrah kepada Tuhan yang kusembah”.

Beji 28 Ramadhan 1433 H ( 17 Agustus 2012).


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda