Kamis, 11 September 2014

Kotagede (1): Kota Abad XVI Dengan 1.000 Lorong




KOTAGEDE
Abad XVI dengan 1.000 Lorong

Susunan kota itu mencerminkan aslinya
pada abad ke 16. Tetapi sekarang ini pusat
geografis kota itu bukan di tempat di mana
keraton dulu terletak, tetapi pasar.

Penilaian Dr. Mitsuo Nakamura tersebut dituangkan dalam disertasinya di Universi
tas Cornell, Amerika Serikat tahun 1976 dengan judul “The Crescent Arises Over the Bayan Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town”. Pendapat ini sangat menarik, karena, kota yang memiliki susunan asli dengan usia lebih dari empat abad di Indonesia kemungkinan memang tinggal Kotagede, yang terletak sekitar enam kilometer di sebelah tenggara Yogyakarta.

Ke kota cikal bakal kerajaan Dinasti Mataram II itulah pada suatu sore diakhir Mei 2002, rombongan kami (Tim Krakatau) meluncur, menyusuri jalan utama kota Yogya yaitu jalan Sultan Agung ke arah Wonosari, belok kanan masuk ke jalan Gedong Kuning langsung menghujam ke pusat kota tua tersebut. Di kawasan Kotagede, jalan Gedong Kuning itu menyempit dan berganti nama menjadi jalan Kemasan.

Jika anda seorang wisatawan, janganlah heran jika di Daerah Istimewa Yogyakarta menjumpai sebuah jalan lurus sepanjang beberapa kilometer, memiliki beberapa nama. Misalkan Jalan Sultan Agung tadi, pada beberapa ruas jalan ia memiliki 5 nama berturut-turut yaitu Jl. Laksamana R.E. Martadinata, Jl. K.H. Akhmad Dahlan, Jl. P. Senopati, Jl. Sultan Agung dan Jl. Kusumanegara.

Kembali ke Kotagede, jalan Kemasan berakhir di sebuah simpang empat, dua jalan diantaranya mengapit sebuah pasar yang disebutkan oleh Dr. Nakamura tadi. Sejak abad ke 16 pasar ini bernama Pasar Gede, masyarakat setempat sering hanya menyebut Sargede. Di depan pasar, mobil kami berhenti. Saya dan rekan photografer Anand Yahya turun serta berjanji dengan anggota rombongan yang lain untuk nanti berkumpul kembali, makan malam sate sapi di Lapangan Karang, Kotagede. Suasana pasar sungguh sangat ramai. Para pedagang kaki lima nampak memenuhi halaman pasar sampai ke badan-badan jalan di sekelilingnya. Di sudut pasar menghadap jalan Kemasan berdiri sebuah monumen yang dibangun tahun 1940 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Tatkala kami sedang asyik mengamati suasana sambil memotret, seseorang keluar dari kantor Radio Kota Perak di jalan Mentaok Raya, di samping pasar menyapa dengan ramah, memperkenalkan diri - M. Jumadi Ngudi Suharto. Sebuah penyambutan spontan yang sangat menyenangkan. Perjamuan mendadak di tengah jalan ini berlangsung belasan menit, dan semakin asyik dengan bergabungnya seorang pengendara Vespa, Asmi T yang memboncengkan puterinya. Ternyata ia seorang putera Indonesia asal Aceh yang menikahi wanita Kotagede. Kebetulan sekali Azmi kenal baik dengan adviser Krakatau, Amran Zamzami yang juga kelahiran Aceh.

Tak terasa waktu Maghrib tiba. Segera kami mohon diri menuju Masjid Agung yang berada di sebelah barat daya pasar. Sambil berjalan saya mencoba meresapi tulisan sarjana Indologi muda usia Hubertus Johannes van Mook tahun 1926. Dikemudian hari van Mook menjadi Menteri Urusan Jajahan Belanda dan merupakan lawan
penting dari para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Mengenai kompleks Masjid yang juga sekaligus kompleks makam keluarga pendiri Kerajaan Mataram ini, van Mook menulis antara lain: “........... masjid dengan lapangannya sendiri, yang dengan bagusnya ditanami secara teratur dengan pohonpohon hias. Masjid dengan dua kolam (kulah) di depannya untuk pencucian keagamaan, dengan halamannya yang teduh dan tembok kelilingnya itu seluruhnya merupakan kesatuan yang serasi. Suasana tenang halaman yang tersapu bersih dan teduh terus berlanjut sampai ke ruang dalam masjid, yang remangremang, sedangkan suara pengajian Qur’an dan rumus-rumus agama serta suara ceria anak-anak yang bermain di bawah pohon-pohon melenyapkan kesunyiannya. Bayangan atap sirap yang landai turun semakin condong dan dedaunan yang menjalar saling
menggapai satu sama lain melintasi kilauan air kolam yang tenang, dan para pemeluk agama yang saleh datang pergi berlalu bagai bayang-bayang yang beraneka warna lewat diantara tempat yang terkena sinar matahari. Seperti halnya dengan seluruh tempat-tempat keramat, di sini orang Jawa mampu menggabungkan pekerjaan manusia dan pekerjaan alam, untuk menciptakan suasana tafakur dan ketenangan yang menyejukan hati, yang merupakan sifat tempat-tempat suci dan makamnya”.

Selama tiga hari selanjutnya kami tinggal di Kotagede, menjalankan sebagian besar shalat lima waktu di masjid tersebut, salah satu diantaranya untuk mencoba menangkap nuansa, menghayati suasana tahun 1925-1926 yang sangat detail digambarkan van Mook. Mengenai tata letak, pertamanan dan fisik bangunan sekarang tak jauh berbeda dengan gambaran van Mook, kecuali kolam untuk cuci kaki yang mengelilingi masjid tidak diisi air alias dikeringkan. Sementara pohonpohon besar tepat di halaman masjid sudah tiada dan diganti dengan beberapa pohon sawo kecik berumur sekitar empat tahun. Namun demikian, di seluruh kompleks makam dan masjid masih cukup teduh antara lain oleh pohon beringin dan pohon-pohon kantil atau gading yang bunganya harum semerbak.

Yang sungguh terasa berbeda adalah nuansa kemanusiaannya. Meski suara adzan maghrib telah berhenti, suasana di kompleks masih ramai, antara lain oleh suara televisi dan alunan gitar dari beberapa orang pemuda. Di dalam masjid, suara qomat terdengar seperti bersahut-sahutan melalui pengeras suara berbagai masjid lain, berdekatan satu sama lain. Seorang imam yang berwajah teduh, sholeh dan berwibawa, berdiri di pengimaman menghadap makmum. Dengan sabarnya, ia menunggu jamaah datang satu demi satu, serta memintanya memenuhi shaf terdepan berkapasitas sekitar 21 orang. Sementara shalat Maghrib berlangsung,
meskipun terlambat jamaah terus berdatangan, sehingga begitu shalat usai total jamaah hampir memenuhi tiga shaf ditambah beberapa orang jamaah wanita di shaf belakang. Barangkali jumlah masjid yang banyak dibanding hanya satu di masa lalu, menyebabkan Masjid Agung ini seperti terasa kosong. Demikian pula mobilitas penduduk yang semakin tinggi sejalan dengan kemajuan zaman, membuat para jamaah melaksanakan shalat lima waktu di tempat dimana mereka sedang berada.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda