KOTAGEDE
Abad XVI dengan 1.000
Lorong
Susunan kota itu
mencerminkan aslinya
pada abad ke 16.
Tetapi sekarang ini pusat
geografis kota itu
bukan di tempat di mana
keraton dulu
terletak, tetapi pasar.
Penilaian Dr. Mitsuo Nakamura
tersebut dituangkan dalam disertasinya di Universi
tas Cornell,
Amerika Serikat tahun 1976 dengan judul “The Crescent Arises Over the Bayan
Tree : A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town”.
Pendapat ini sangat menarik, karena, kota yang memiliki susunan asli dengan
usia lebih dari empat abad di Indonesia kemungkinan memang tinggal Kotagede,
yang terletak sekitar enam kilometer di sebelah tenggara Yogyakarta.
Ke kota cikal
bakal kerajaan Dinasti Mataram II itulah pada suatu sore diakhir Mei 2002,
rombongan kami (Tim Krakatau) meluncur, menyusuri jalan utama kota Yogya yaitu jalan
Sultan Agung ke arah Wonosari, belok kanan masuk ke jalan Gedong Kuning
langsung menghujam ke pusat kota tua tersebut. Di kawasan Kotagede, jalan
Gedong Kuning itu menyempit dan berganti nama menjadi jalan Kemasan.
Jika anda
seorang wisatawan, janganlah heran jika di Daerah Istimewa Yogyakarta menjumpai
sebuah jalan lurus sepanjang beberapa kilometer, memiliki beberapa nama.
Misalkan Jalan Sultan Agung tadi, pada beberapa ruas jalan ia memiliki 5 nama
berturut-turut yaitu Jl. Laksamana R.E. Martadinata, Jl. K.H. Akhmad Dahlan,
Jl. P. Senopati, Jl. Sultan Agung dan Jl. Kusumanegara.
Kembali ke
Kotagede, jalan Kemasan berakhir di sebuah simpang empat, dua jalan diantaranya
mengapit sebuah pasar yang disebutkan oleh Dr. Nakamura tadi. Sejak abad ke 16
pasar ini bernama Pasar Gede, masyarakat setempat sering hanya menyebut
Sargede. Di depan pasar, mobil kami berhenti. Saya dan rekan photografer Anand
Yahya turun serta berjanji dengan anggota rombongan yang lain untuk nanti
berkumpul kembali, makan malam sate sapi di Lapangan Karang, Kotagede. Suasana
pasar sungguh sangat ramai. Para pedagang kaki lima nampak memenuhi halaman
pasar sampai ke badan-badan jalan di sekelilingnya. Di sudut pasar menghadap
jalan Kemasan berdiri sebuah monumen yang dibangun tahun 1940 oleh Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Tatkala kami sedang asyik mengamati suasana sambil memotret,
seseorang keluar dari kantor Radio Kota Perak di jalan Mentaok Raya, di samping
pasar menyapa dengan ramah, memperkenalkan diri - M. Jumadi Ngudi Suharto.
Sebuah penyambutan spontan yang sangat menyenangkan. Perjamuan mendadak di
tengah jalan ini berlangsung belasan menit, dan semakin asyik dengan
bergabungnya seorang pengendara Vespa, Asmi T yang memboncengkan puterinya.
Ternyata ia seorang putera Indonesia asal Aceh yang menikahi wanita Kotagede.
Kebetulan sekali Azmi kenal baik dengan adviser Krakatau, Amran Zamzami yang
juga kelahiran Aceh.
Tak terasa
waktu Maghrib tiba. Segera kami mohon diri menuju Masjid Agung yang berada di
sebelah barat daya pasar. Sambil berjalan saya mencoba meresapi tulisan sarjana
Indologi muda usia Hubertus Johannes van Mook tahun 1926. Dikemudian hari van
Mook menjadi Menteri Urusan Jajahan Belanda dan merupakan lawan
penting dari
para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Mengenai
kompleks Masjid yang juga sekaligus kompleks makam keluarga pendiri Kerajaan
Mataram ini, van Mook menulis antara lain: “........... masjid dengan
lapangannya sendiri, yang dengan bagusnya ditanami secara teratur dengan
pohonpohon hias. Masjid dengan dua kolam (kulah) di depannya untuk pencucian
keagamaan, dengan halamannya yang teduh dan tembok kelilingnya itu seluruhnya
merupakan kesatuan yang serasi. Suasana tenang halaman yang tersapu bersih dan teduh
terus berlanjut sampai ke ruang dalam masjid, yang remangremang, sedangkan
suara pengajian Qur’an dan rumus-rumus agama serta suara ceria anak-anak yang
bermain di bawah pohon-pohon melenyapkan kesunyiannya. Bayangan atap sirap yang
landai turun semakin condong dan dedaunan yang menjalar saling
menggapai
satu sama lain melintasi kilauan air kolam yang tenang, dan para pemeluk agama
yang saleh datang pergi berlalu bagai bayang-bayang yang beraneka warna lewat
diantara tempat yang terkena sinar matahari. Seperti halnya dengan seluruh
tempat-tempat keramat, di sini
orang Jawa mampu menggabungkan pekerjaan manusia dan pekerjaan alam, untuk
menciptakan suasana tafakur dan ketenangan yang menyejukan hati, yang merupakan
sifat tempat-tempat suci dan makamnya”.
Selama tiga hari
selanjutnya kami tinggal di Kotagede, menjalankan sebagian besar shalat lima waktu
di masjid tersebut, salah satu diantaranya untuk mencoba menangkap nuansa,
menghayati suasana tahun 1925-1926 yang sangat detail digambarkan van Mook.
Mengenai tata letak, pertamanan dan fisik bangunan sekarang tak jauh berbeda
dengan gambaran van Mook, kecuali kolam untuk cuci kaki yang mengelilingi
masjid tidak diisi air alias dikeringkan. Sementara pohonpohon besar tepat di
halaman masjid sudah tiada dan diganti dengan beberapa pohon sawo kecik berumur
sekitar empat tahun. Namun demikian, di seluruh kompleks makam dan masjid masih
cukup teduh antara lain oleh pohon beringin dan pohon-pohon kantil atau gading
yang bunganya harum semerbak.
Yang sungguh terasa berbeda
adalah nuansa kemanusiaannya. Meski suara adzan maghrib telah berhenti, suasana
di kompleks masih ramai, antara lain oleh suara televisi dan alunan gitar dari
beberapa orang pemuda. Di dalam masjid, suara qomat terdengar seperti
bersahut-sahutan melalui pengeras suara berbagai masjid lain, berdekatan satu
sama lain. Seorang imam yang berwajah teduh, sholeh dan berwibawa, berdiri di
pengimaman menghadap makmum. Dengan sabarnya, ia menunggu jamaah datang satu
demi satu, serta memintanya memenuhi shaf terdepan berkapasitas sekitar 21
orang. Sementara shalat Maghrib berlangsung,
meskipun terlambat jamaah
terus berdatangan, sehingga begitu shalat usai total jamaah hampir memenuhi
tiga shaf ditambah beberapa orang jamaah wanita di shaf belakang. Barangkali
jumlah masjid yang banyak dibanding hanya satu di masa lalu, menyebabkan Masjid
Agung ini seperti terasa kosong. Demikian pula mobilitas penduduk yang semakin
tinggi sejalan dengan kemajuan zaman, membuat para jamaah melaksanakan shalat
lima waktu di tempat dimana mereka sedang berada.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda