Cermin Diri Orang Jawa
Kepada anak bangsaku,
anak bangsa yang masih punya hati nurani,
yang dalam tubuhnya bersemayam jiwa yang hidup,
yang senantiasa bersimpati pada penderitaan kemanusiaan,
yang berani bermimpi dan tegar mewujudkan impian,
yang bergegas pada panggilan bunda pertiwi,
dalam sukma tak berhitung di medan laga,
pahlawan kebenaran penghancur kebatilan.
Apakah anda kesatria Jawa? Apakah falsafah
kepemimpinan anda, falsafah kepemimpinan Jawa? Yang adiluhung, yang adigang,
adigung, adiguna? Yang ing ngarsa sung tuladha, ing
madya ngumbar karso (memberi suri tauladan terhadap anak buah, dalam
mengumbar hawa nafsu)?
Dengarlah rintihan Raden Damarwulan,
melihat tingkah polah para ksatria, prajurit dan birokrat Majapahit yang arogan, yang semena-mena
menjungkir balik etika, menindas rakyatnya:
Indah rupa langit
nilakandi
Disinari oleh Dewa Surya
Tertawa puspa di lereng
Gemilang puncak gunung
Mayapada indah sekali
Laksana Suryalaya
Tanah mulya sungguh
Jawa serta Nusantara
Jiwa sukma jantung Batari
Pertiwi
Kekasih Sang Dewata.
Dewata, jikalau Paduka
sungguh ada,
Limpahkanlah damai ke
dalam hatiku,
Aku seperti pengembara,
kakiku luka, badanku remuk,
Penderitaan manusia
seperti berkumpul dalam hatiku.
Dewata-dewata
Jiwaku mati dalam tubuhku, aku tak dapat merasa lagi,
Inikah jalan
ke Nirwana atau jalan keedanan?
Wisnu, o, Wisnu!
Dengarlah ratap tangis
jiwaku
Bersama daku berkeluh
kesah kemanusiaan
Wisnu, o, Wisnu.
(Sandhyakala Ning Majapahit, Sanoesi Pane, Pustaka Jaya 1971)
Mayoritas bangsa Indonesia adalah suku Jawa. Bahkan sebagian besar penduduk
Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Juga Presiden Republik Indonesia I dan II
adalah orang Jawa. Oleh karena itu tidaklah salah kalau gaya kepemimpinan di
Republik ini, selama ini disebut bergaya Jawa. Lebih-lebih lagi, kini bahkan
orang-orang seberang (bukan Jawa), cendekiawan dari Sumatera, Kalimantan,
Indonesia Timur dan lain-lain, senang dan merasa bangga jika berbicara dan
menulis dengan menggunakan istilah serta terminologi Jawa yang sungguh maaf,
saya sendiri sebagai orang Jawa malah
justru sering menjadi bingung.
Gaya Jawa, yang sering dikemas
sebagai falsafah kepemimpinan dan ksatria Jawa, tentulah tidak sebatas rentang
serat atau konsep Tridarma karya Mangkunegara I dan Tripama karya Mangkunegara
IV saja. Tetapi seharusnya dipelajari dari seluruh prasasti, serat, tembang,
kakawin dan berbagai produk sejarah Jawa yang pernah ada. Misalkan kisah
keutamaan dan keadilan Ratu Sima dari Kalingga yang tega memotong tangan
puteranya karena mengambil harta yang bukan haknya, serta berbagai produk
sejarah lainnya seperti Prasasti Mantuasih (tahun 905), Prasasti Wan Watengah,
Prasasti Kadadu tahun 1293, Prasasti
Lokanda tahun 1296, Prasasti Aladanadon tahun 1301. Bahkan bukan hanya dari
lingkungan Istana saja, tapi juga dari lingkungan pantai atau pesisir serta
pesantren.
Cobalah, kita renungkan bagaimana
sang pujangga Mpu Tantular menggambarkan kemuliaan ksatria Erlangga yang
terusir dari kerajaan, selanjutnya bertapa selama 12 tahun (lengser dan menjadi
pendeta atau ”satria piningit”), kemudian tampil kembali merebut tahta:
Dia, yang seharusnya dikatakan dalam
kearifbijaksanaannya mencapai taraf yang tinggi,
telah meninggalkan kehidupan di mana
orang secara terbaik dapat menyadari akan hampanya segala sesuatu yang ada.
Akan tetapi tidaklah ia berbuat
demikian karena didorong oleh kecenderungannya kepada keduniawian.
Sebaliknya! Dengan tangan terbuka ia
melimpahkan karunianya kepada rakyat.
Tujuannya ialah agar supaya jasanya
(yaitu yang diperolehnya selama bertapa) dan keberanian (yang ia miliki sebagai
seorang ksatria, atau barangkali ketabahan hati yang menyebabkan seorang
pertapa meninggalkan segala kenikmatan dunia),
dapat memancarkan pengaruh yang
bermanfaat, ia berusaha untuk kesejahteraan dunia.
(Penulisan Sejarah Jawa halaman 23, CC Berg, Bhratara Karya Aksara,
1985)
Niat suci tersebut dibuktikannya
begitu ia dapat merebut tahta dan kembali menyejahterakan rakyatnya. Maka
sekali lagi ia lengser keprabon untuk betul-betul menjadi pendeta sejati yang
meninggalkan kehidupan keduniawian.
Para peneliti Barat banyak yang
bingung membaca kakawin, serat dan kisah-kisah tentang raja-raja Jawa yang
penuh mistik, termasuk yang mencampuradukkan silsilah nabi-nabi di tanah Arab
dengan silsilah para jin dan para dewata dalam dongeng pewayangan (yang tentu
saja karangan dan ciptaan manusia), yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa.
Juga kisah Mpu Bharada yang terbang mengguyurkan air untuk membagi kerajaan,
Ken Arok si anak Dewa yang kepalanya sering mengeluarkan cahaya serta
kisah-kisah mistis Jaka Tingkir dan Babad Tanah Jawa.
Menurut mantan Direktur
Penerangan Agama, Departemen Agama Drs.H. Effendy Zarkasi mengutip
pendapat Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbotjaroko,
penempatan silsilah dewa
di bawah nabi-nabi, disengaja
sebagai dakwah untuk meninggikan derajat
para nabi di atas para dewa.(Unsur-unsur Islam Dalam
Pewayangan, Drs.H. Effendy
Zarkasi, Yayasan Mardikintoko, Solo 1996)
Ken Arok si anak Dewa, pada hemat
saya adalah anak rakyat jelata atau sudra, yang dengan tegar berhasil menentang
arus menjebol tatanan masyarakat yang berlaku, melakukan revolusi kerakyatan
yang spektakuler sehingga bisa berkuasa menjadi raja di raja. Namun raja
haruslah seorang yang hebat penuh kharisma. Untuk itu perlu dibuat penggalangan
citra, perlu legitimasi yang sesuai dengan alam pikiran animisme dan takhayul
masyarakatnya, yakni dengan mengarang kisah-kisah magis mengenai dirinya.
Demikian pula kisah pelayaran Jaka
Tingkir dan penyusupannya ke kerajaan Demak. Cobalah simak tembang ini:
Sigra milir,
Sang getek sinangga bajul,
Kawandasa kang jageni,
Ing ngarso miwah ing pungkur,
Tinepining kanankering,
Sang getek lampahnya samya.
Artinya kurang lebih:
Lajulah laju (bergeraklah maju)
rakit (yang dinaiki Jaka Tingkir)
yang didukung oleh 40 buaya
(jagabaya, pengawal),
di depan di belakang,
di kanan di kiri,
sang getek (Jaka Tingkir dan
pasukannya)
bergerak lancar (menyusup ke
kerajaan Demak).
Keluarga Besar Jaka Tingkir, yang adalah juga keturunan raja Majapahit dan kebanyakan menggunakan nama
ksatria dengan awalan Kebo (kerbau) sebagai lambang keperkasaan, adalah ahli
strategi, intelijen dan penggalangan citra serta propaganda.
Mereka menyusup ke kerajaan Demak,
bergerak dengan komando tembang-tembang isyarat, misalkan lagi “kalahkan si
Dadung Awuk yang dikasihi sultan, dan berilah pukulan mematikan dengan sada lanangmu”.
Sada lanang adalah sebutan
sehari-hari untuk sejenis lidi daun kelapa atau enau, yang bila diisi mantera
bisa menjadi senjata. Menilik kisah sejarahnya, nampaknya itu adalah isyarat
sandi yang jorok. Dadung Awuk sesungguhnya bukan nama orang tapi adalah tali
mahkota, bisa juga berarti bulu wanita yang dikasihi Sultan Demak, yang tiada
lain adalah puteri Sultan sendiri. Sedangkan yang dimaksud sada lanang adalah
lidi kejantanan Jaka Tingkir. Nah jika puteri terkasih raja sudah ditaklukkan,
mau apalagi???
Demikian pula gerakan
sabotase keluarga Jaka Tingkir berupa “Kerbau gila mengamuk”. Tentu saja
gerakan sabotase menjadi padam setelah Jaka Tingkir dititahkan Sultan untuk
memadamkannya, dengan imbalan dikukuhkan menjadi putera menantu pewaris tahta.
Kisah
magis penuh isyarat Jaka Tingkir terbilang banyak. Masyarakat Jawa waktu itu
masih dalam peralihan dari animisme, Hindu-Budha ke Islam. Campuran kepercayaan
yang pertama, mempercayai bahwa seorang pemimpin itu haruslah turunan dewa atau
yang memperoleh wahyu dari dewata. Sedangkan Islam menegaskan bahwa diantara 25
perbuatan dan nasib manusia, 5 diantaranya merupakan hak mutlak Allah Swt,
yakni:
(1) kematian,
(2) jodoh,
(3) anak-anak,
(4) harta kekayaan,
(5) derajat-pangkat.
Qadha dan takdir Allah Swt berupa
derajat-pangkat sebagai raja, kemudian dipropagandakan dalam bentuk ndaru,
yakni bola cahaya dari langit (nur illahi) yang jatuh ke diri Jaka Tingkir pada
suatu malam. Dan itulah kenyataan yang sekarang masih juga banyak dipercaya
oleh orang Jawa. Padahal dengan tetap mempercayai qadha dan takdir Illahi, Jaka
Tingkir adalah seorang ksatria yang telah digembleng untuk disiapkan menegakkan
aliran darah birunya menjadi raja Jawa sebagaimana leluhurnya.
Bagaimana
konsep Tridarma dan Tripama? Inilah strategi penggalangan citra,
rekayasa sosial yang bak pisau bermata dua dan juga situasional.
Konsep Tridarma:
(1) Mulat sarira hangrasa wani,
(2) Rumangsa melu handarbeni,
(3) Wajib melu hanggondeli/hangrungkebi,
yang
kini sering diajarkan dalam penataran-penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila) adalah falsafah perjuangan yang bagaikan pisau bermata
dua, kiri kanan OK, tergantung siapa yang memegang atau menafsirkannya, dan
sudah barang tentu mudah menjadi bahan “plesedan”, satire, sebagaimana kebiasaan
masyarakat Jawa (artikel ini dibuat dan dipublikasikan Februari 1998 tatkala P4
masih berlaku).
Betapa tidak. Rumangsa melu
handarbeni dan wajib melu hangrungkebi, yang merupakan padanan etos
manajemen sense of belonging, dan oleh karenanya menuntut rasa
tanggungjawab untuk menjaga atau mempertahankannya, dibelokkan maknanya
sebagaimana banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini, menjadi
antara lain, karena ini milikku maka aku berhak memanfaatkannya, berhak memetik
hasilnya lebih dulu, berhak apa saja. Naudzubillahi mindzalik.
Sementara itu semboyan “tiji
tibeh” yaitu mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh,
atau mati satu mati semua, mukti satu mukti semua, yang semula dimaksudkan
untuk mengorbankan semangat kebersamaan dan pantang menyerah dalam perjuangan,
bisa disalahartikan (mungkin lebih tepat disalahgunakan) sebagai pesta pora
bersama. Mukti mengandung makna
hidup bahagia, sekaligus mulia, sejahtera dan juga berkecukupan.
Tetapi jurus ”tiji tibeh” ini, ternyata bukan hanya
monopoli orang Jawa, bahkan Nazaruddin, anak muda yang belum berumur 33 tahun,
anggota DPR-RI dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kelahiran
Pematang Siantar, yang sedang menjadi buronan internasional sebagai tersangka koruptor
di tahun 2011 sekarang, juga sedang melancarkan jurus ini dengan menyatakan ia
tidak korupsi sendiri, melainkan bersama-sama dengan pengurus partai serta
anggota-anggota DPR lainnya.(Alinea ini penulis tambahkan kemudian).
Demikian pula konsep Tripama yang
mengisahkan keteladanan tiga orang ksatria dalam cerita wayang, yang patut
ditiru oleh para prajurit dan abdi dalem, lebih banyak mencerminkan pengabdian
sepihak para prajurit dan abdi dalem, atau tuntutan loyalitas mutlak kepada
raja, kepada pimpinan.
Tiga orang ksatria itu ialah
pertama, Patih Suwanda yang merelakan dirinya tewas menghadapi musuh, sementara
raja junjungannya Prabu Arjuna Sasrabahu asyik bercengkerama dengan 800 putri
persembahan sang Patih. Kedua, Kumbakarna dari kerajaan Alengka, yang walaupun
sadar rajanya yang tiada lain kakak kandungnya salah, tetap harus dibela sampai
titik darah penghabisan, dengan dalih demi mempertahankan tanah air dan bukan
untuk membela keangkaramurkaan. Ketiga, Adipati Karna yang juga walaupun sadar
rajanya salah, tapi karena ia telah berhutang budi menikmati harta dan tahta,
maka seperti Kumbakarna, ia rela membela kebatilan melawan kebenaran, bahkan
meskipun pihak yang haq itu adalah saudara-saudara kandungnya sendiri.
Dalam negara republik yang
demokratis, konsep perjuangan yang seperti itu sudah barang tentu kurang
lengkap, tidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara,
hak dan kewajiban para pemimpin bangsa. Bahkan bertentangan secara diametral
dengan semboyan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia sebagai abdi
masyarakat, abdi rakyat, abdi negara.
Jelas bahwa etos perjuangan dan
falsafah kepemimpinan Jawa yang seperti tadi, bersifat situasional. Hanya tepat
untuk anak zamannya, dan oleh karena itu perlu dikaji secara lebih mendalam
jika harus digunakan pada masa sekarang.
Konsep Islami
Secara garis besar, falsafah
kepemimpinan dan ksatria Jawa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
berdasarkan periodenya. Pertama, sebelum Islam sebagaimana terdapat pada masa
Ratu Sima, Dharmawangsa, Erlangga (Airlangga), Gajah Mada dan Damarwulan (Raden
Gajah). Kedua, sesudah Islam atau Konsep Islami.
Walaupun belum mengenal konsep
Islami, ternyata Konsep Pertama mengandung muatan etika sosial sesuai
sunatullah dan sunah Rasul, sebagaimana dapat kita jumpai pada Nasihat Bagi Penguasa,
karya Imam Besar Al Ghazali.
Marilah kita lihat 15 sifat utama
Gajah Mada. Maha Menteri Gajah Mada menurut Rakawi Prapanca dalam kitab
Negarakartagama, memiliki 15 sifat yang membuatnya besar. (Perundang-undangan Majapahit,
Prof.Dr.Slamet Muljana, Penerbit Bhratara, Djakarta, 1967).
(1) Ia wijnya,
artinya bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi berbagai macam kesukaran, sehingga akhirnya selalu
berhasil menciptakan ketenteraman.
(2) Ia mantriwira,
pembela negara yang berani tiada tara.
(3) Wicaksaneng
naya, bijaksana dalam segala tindakan. Kebijaksanaannya senantiasa
terpancar dalam setiap perhitungan dan tindakan, baik ketika menghadapi lawan
maupun kawan, bangsawan atau pun rakyat jelata.
(4) Matanggwan,
memperoleh kepercayaan karena rasa tanggungjawabnya yang besar sekali dan
selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan ke atas batu kepalanya.
(5) Satya
bhakty aprabhu, bersifat setia dengan hati yang tulus ikhlas kepada
negara serta Seri Mahkota. Empat puluh lima tahun ia setia mengabdi negara dan
Sang Prabu. Padahal jika mau, dengan sedikit tenaga saja ia sudah bisa merebut
mahkota dan menduduki singgasana. Setiabakti telah mendarah daging dalam
hidupnya, sehingga segenap pikiran dan tenaganya ditumpahkan buat mewujudkan
kebesaran Majapahit, ditumpahkan kepada tiga mahkota berturut-turut sejak tahun
1319 sampai ajalnya tiba tahun 1364.
(6) Wagmi
wak, pandai berpidato dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan
sesuatu.
(7) Sarjjawopasama,
rendah hati, berbudi pekerti baik, berhati emas, bermuka manis dan penyabar.
Sifat ini pada umumnya hanya ditemukan pada ahli-ahli politik serta diplomat
ulung.
(8) Dhirotsaha,
artinya terus menerus bekerja rajin dan sunguh-sungguh.
(9) Tan
lalana, selalu nampak gembira walaupun pedalamannya sedang gundah atau
pun terluka.
(10) Diwyacitta,
mau mendengarkan pendapat orang lain dan mau bermusyawarah.
(11) Tan
satrisna, yaitu tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati
kesenangan yang berisi girang dan birahi.
(12) Sih-samastabhuwana,
artinya menyayangi seluruh dunia sesuai dengan falsafah hidup bahwa segala yang ada di dunia ini adalah fana, bersifat
sementara. Sih-samastabhuwana atau kasih untuk semesta alam,
kurang lebih mengandung arti yang sama dengan rahmatan lil alamien.
Meskipun demikian ia menyayangi sekaligus kehidupan fana dan kehidupan abadi.
(13) Ginong
pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk. Amar
ma’ruf nahi munkar. Tiap saat Gajah Mada mawas diri apakah sudah
mengutamakan ginong pratidina.
(14) Sumantri,
menjadi pegawai yang senonoh dan
sempurna kelakuannya. Gajah Mada mengabdi kerajaan selama 45 tahun, 33 tahun
diantaranya menjabat pangkat patih mangkubumi dan perdana menteri. Selama itu
pula ia terpuji sebagai pegawai yang berjasa dan selalu berkelakuan baik.
(15) Sifat yang
terakhir, anayaken musuh atau bertindak memusnahkan lawan. Gajah
Mada senantiasa menjalankan politik kasih sayang kepada teman negara, namun tak
pernah gentar menewaskan musuh yang mengganggu dengan pendirian atau kelakuan
yang salah. Kebesaran Majapahit ditegakkannya atas dasar perdamaian, dan tak
takut menumpahkan darah dalam membelanya.
Konsep kedua, secara jelas dapat kita jumpai
pada kitab Wulangreh dan kitab Wedhatama. Kedua kitab ini,
lebih-lebih Wulangreh, secara tegas dan jelas melandasi falsafah kehidupan
yang dikemukakannya, berdasarkan dalil (Quran), kadis (hadis) dan ijemak (ijma
atau kesesuaian pendapat dari para ulama), serta menekankan agar kita mengikuti
Rukun Islam dan menjalankan syariat agama dengan antara lain menegakkan salat
(Bab I, Bab XI dan XIII).
Membaca Wulangreh yang
berbahasa Jawa itu, terasa seperti menemukan mutiara dan gubahan bebas
dari telaga pemikiran Al Ghazali. Demikian pula Serat Centini yang
justru lebih terkenal dan penuh aneka ragam persoalan, landasan pemikirannya
adalah ajaran Islam. Sementara itu Wedhatama (Kitab Utama atau Kitab
Luhur) lebih banyak bercerita tentang ajaran-ajaran ma’rifat.
Wulangreh atau
ajaran tentang perilaku terdiri dari 13 Bab
yaitu:
1. Pelajaran
tentang cara memilih guru.
2. Pelajaran
tentang cara memilih teman.
3. Pelajaran
agar manusia memegang teguh kejujuran serta menjauhi watak adigang,
adigung dan adiguna (mentang-mentang kuasa, mentang-mentang pandai
dan mentang-mentang banyak jasa lagi berani).
4. Pelajaran
tentang tatakrama, budi pekerti serta cara membedakan baik dan buruk.
5. Pelajaran
tentang bagaimana menghormati;
5.1. Allah
5.2. Orang
tua
5.3. Mertua
5.4. Saudara
5.5. Guru
6. Pelajaran
tentang kepemimpinan dan hidup bernegara.
7. Pelajaran
tentang pengendalian hawa nafsu.
8. Pelajaran
tentang budi pekerti luhur dan tercela.
9. Pelajaran
tentang menjalin persaudaraan serta surat-menyurat.
10. Pelajaran
tentang tawakal, sabar, mengamalkan rasa syukur dan rendah hati.
11. Pelajaran
tentang agama Islam dan pengabdian kepada negara.
12. Tentang suri
tauladan para leluhur.
13. Nasihat Sang
Pujangga.
Tradisi Kemunafikan
Sementara para pujangga kraton,
bahkan para rajanya sendiri mengajarkan budi pekerti luhur yang Islami, di
masyarakat luas, berlaku pula ajaran-ajaran tentang “kambing hitam” dan
kemunafikan atau hipokrisi dalam pergaulan.
Ajaran mencari “kambing hitam” telah
saya kemukakan dalam Prakata buku Kepemimpinan Jawa – Falsafah dan
Aktualisasi yang saya kutip kembali sebagai berikut: “Dalam keseharian,
kita masih sering menjumpai budaya hidup kambing hitam, budaya hidup tercela
(tidak ksatria) yang memang banyak ditanamkan kepada kita semenjak masa
kanak-kanak. Cobalah renungkan, tatkala anak kita yang baru belajar berjalan
tertatih-tatih, tiba-tiba terjatuh. Kebanyakan dari kita akan menghibur si anak
dengan mengatakan. ‘Sudah diam, jangan menangis, memang kodok yang nakal’. Nah
Sang Kodok yang tak tahu-menahu menjadi kambing hitam. Tapi yang lebih ironis
adalah, tanpa kita sadari, kita telah menanamkan budaya kambing hitam kepada generasi
muda kita.”
Ajaran kemunafikan atau hipokrisi
Jawa dijumpai pula di masyarakat Sumatera Barat, yakni “Iyokan nan di orang,
lalukan nan di awak”. Maknanya kurang lebih, iyakan saja apa kata orang tapi laksanakan terus
niat kita.
Di Jawa ajaran ini dituangkan dalam
nasihat: “Jika engkau diperintah oleh orang yang lebih tua atau pemimpinmu,
padahal sesungguhnya kamu tidak sependapat, maka di hadapan yang bersangkutan
kamu harus diam saja dan jangan membantah. Nanti di belakang mereka, kamu boleh
tidak mematuhi perintahnya”.
Seorang peneliti Barat yang pernah
tinggal cukup lama di Yogyakarta, Niels Mulder menyatakan: “Disebabkan oleh
cita-cita ini kebudayaan Jawa sangat kaya sekali petuah bijaksana untuk menjaga
agar kehidupan masyarakat teratur, baik dan damai, tidak sebagai tujuan dalam
sendirinya, tetapi karena penguasaan atas dunia luar mendatangkan ketenangan
batin seperti keadaan tentram (tentrem) yang setengah sosial dan
setengah psikologis dan perasaan pribadi mendalam mengenai kepuasan yang tenang
(ayem).
Untuk dapat menikmati
kepuasan itu orang harus belajar menguasai emosi-emosinya sambil mengikuti
aliran masyarakat (ngeli), menanamkan kesabaran (sabar), rendah
hati (andhap asor), dan kemampuan untuk menerima kemalangan dengan
anggun dengan harapan akan mengalami hari esok yang lebih baik (nrimo). Beberapa orang akan menyerah begitu saja (pasrah)
pada kehidupan sebagaimana adanya, tetapi kepasrahan ini merupakan sikap yang
kurang dikehendaki.” (Pribadi dan Masyarakat
di Jawa, Niels Mulder, (hal 65) Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1985)
Sikap dan
perilaku tersebut, khususnya ngeli tapi ojo keli (mengikuti jalannya
arus air tapi jangan terseret arus), sebetulnya mengandung ajaran keselarasan
dalam kehidupan bermasyarakat. Namun seperti juga diakui oleh Neils Mulder,
cara hidup ideal itu menimbulkan kesan tidak adanya kepribadian dalam hubungan-hubungan
antar manusia.
Celakanya, sikap mengalah demi
harmonisasi kehidupan tadi dapat;
(1) disalahgunakan
oleh pihak lain yang semena-mena,
(2) bagi
yang mengalah, lambat laun batas antara mengikuti dan terseret arus bisa kabur,
lebih-lebih lagi bila pihak arus kuat semakin kuat. Maka yang terjadi
seringkali adalah kemunafikan.
Ajaran kemunafikan ditambah berbagai
penafsiran sesuka hati atas falsafah kehidupan dan watak semena-mena
(mentang-mentang), kini cenderung menjadi ancaman bahaya moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Maka janganlah juga heran bila
dalam berbagai forum, rapat, briefing dan sejenisnya, perintah atau pun
himbauan pimpinan tidak memperoleh sanggahan, seakan-akan semua peserta
pertemuan setuju saja, padahal sebenarnya tidak.
Kidung Penutup
Inilah masyarakat kita.
Inilah negeri kita.
Rindu dendamku pada kerelaan
berkorban Damarwulan,
yang tetap meneruskan rencana
berangkat ke medan laga,
walau utusan tiba membawa kabar maut
nan menjelang ibundanya.
Dan dengarlah lagi
rintihannya tentang Majapahit yang krisis (sebagaimana Indonesia sekarang?):
“Apa gunanya Majapahit ditolong
lagi?
Agama sekarang sudah takhayul,
pendetanya semua ganas dan buas,
memeras rakyat sekuat-kuatnya.
Apa terjadi di daerah rumah
sembahyang,
baik jangan kuterangkan.
Agama dulu meninggikan budi,
sekarang sudah jadi penjara.
Orang melihat lahirnya saja,
tidak tahu akan batinnya.
Arca disembah seperti dewa sebab tak
bisa berpikir lagi.
Pendeta menambah kebodohan lagi,
supaya kuasa makin luas, supaya berwujud keinginan rendah.
Kesatria, namanya saja tinggal kini,
sifatnya sudah sebagai perampok.
Rakyat kurus, tidak bisa ditolong
lagi.
Walaupun keadaan dapat diubah,
apakah gunanya, apakah gunanya?”
Maka tatkala aku melihat
cermin diriku meruyak dahsyat Perjamuan Jiwa Kahlil Gibran:
Hantu masalah gentayangan dalam lembah,
Di atas puncak jiwa raja dan nabi
mengembara,
Pikiranku berpaling menuju kenangan.
Dan, memamerkan padaku kejayaan
Chaldea dan keangkuhan Asyria dan kemuliaan Arabia.
Di lorong sempit gentayangan hantu
hitam kawanan penyamun.
Dan, di celah-celah dinding ular
berbisa bernafsu mematuk kepalanya,
Di sudut jalan bertiup keredupan
bercampur cakar kematian.
Ingatan tercabik di samping tirai
kealpaan.
Dan, menyingkirkan padaku kebencian
akan Sodom dan Gomorah.
Bau busuk kecurangan bangkit dari
lorong sempit,
Bercampur kesakitan dan penyakit,
Dan, bagai panah simpanan
ditajamkan,
Melukai akal sehat, dan udara murni
diisi racun.
Pagi menjelang kekasih,
Dan, jerami kesadaran mengelus
Matanya yang tidur.
Cahaya violet muncul dari seberang perbukitan
Menepiskan selimut malam
Keluar dari kemegahan dan kejayaan
kehidupan
Pedesaan tertidur dalam kebisuan dan
kedamaian terjaga di atas lembah
Azan subuh memperkeras rapalan doa
mereka,
Dan memenuhi udara dengan bunyian
menyenangkan.
Lihatlah jalan mengerang karena
tertindih jiwa tamak yang tergesa-gesa,
Udara dipenuhi dentang besi, kertak
jentera, dan suitan uap air panas
Kota menjelma sebuah lapangan tempur
dimana yang kuat
bersaing dengan yang lemah
Dan, si kaya menuai pekerjaan si
miskin.
Betapa indahnya kehidupan, kekasih!
Bagaikan hati seorang penyair!
Dipenuhi cahaya dan jiwa.
Betapa kerasnya kehidupan, kekasih!
Bagaikan hati seorang penjahat!
Dipenuhi rasa bersalah dan
ketakutan.
Bangun kasihku, bangun negeriku,
Karena jiwaku menyerumu dari
seberang lautan yang mengamuk,
Jiwaku membentangkan sayapnya di
atas gelombang berbuih yang murka
Dan
cintaku, negeriku, menarik ke dekatmu. (Petikan acak dan gubahan
bebas dari “Perjamuan Jiwa” Kahlil
Gibran, Airmata dan Senyuman, terjemahan Iwan Nurdaya – Djafar, Grafikatama Jaya 1991)
Catatan:
1. Artikel ini
disampaikan dalam acara peluncuran dan bedah buku “Kepemimpinan Jawa-Falsafah
dan Aktualisasinya”, penerbit PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta 23 Pebruari 1998,
selanjutnya juga diterbitkan oleh penerbit yang sama pada April 1998 atau
sebulan sebelum Gerakan Reformasi Mei 1998.
2. Dalam buku “Kepemimpinan Jawa. Falsafah dan
Aktualisasi”, Dr.Soeyatno Kartodirdjo hanya mengemukakan falsafah-falsafah Jawa yang berasal dari Puro
Mangkunegaran di Solo, yaitu yang terkandung dalam Kitab Tridarma karangan
KGPAA Mangkunegara I dan Kitab Tripama karangan KGPAA Mangkunegara IV (halaman
31). Sementara itu Karkono K.Partakusumo disamping mengemukakan filosofi yang
terkandung dalam kedua kitab tersebut juga membahas kandungan falsafah dari
kitab-kitab lain seperti Wulangreh, Nitusastra, Asthabrata, Pustaka Raja Purwa,
Centini dan Serat Witaraja. Semuanya berasal dari Kasunanan Surakarta.
3. Pak Suhadi dari Lembaga Arkeologi Nasional
mengemukakan sebagai berikut: “Bidang saya adalah masalah tulisan-tulisan kuno.
Tentang maca (membaca)
tulisan-tulisan kuno, ternyata dalam karangan beliau tentang sifat-sifat raja
Jawa, bukan saja ada dalam kitab Tripama,
tapi juga dalam prasasti mulai tahun 905.Tahun 905 itu ada prasasti Mantuasih, tahun 907 prasasti
Wan Watengah terus melesat ke prasasti
Kadadu tahun 1293, prasasti Lokanda tahun
1296, pasasti Aladanadon tahun1301, yangterakhir ditemukan tahun 1991 di daerah
Bojonegoro, semuanya dalam lempeng tembaga. Sebagian juga memuat tentang
sifat-sifat raja yang diterangkan oleh pujangga istana. Karena dengan sifat
raja yang baik itu, sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, Siwa dan Brahma, diwujudkan
dalam memerintah dengan menggunakan Asthabrata.
Jadi saya hanya menunjukkan bahwa sumber-sumber yang sangat asli dan dapat
dipercaya, yaitu pada abad ke-10 sudah ada ajaran-ajaran kebaikan, sudah dimulai
1000 tahun yang lalu, sangat tua sumber-sumber prasasti itu. Kalau dalam Islam,
seringkali disebut hukum perasaan, tapi piagam yang serupa tentang hukum atau
status tanah dan sebagainya, hanya pembukaan, mukadimah. Itu sifat-sifat raja
yang baik, artinya tidak ada perbedaan, prinsipnya sama (prinsipnya Brahma,
Wisnu dan Siwa). Setelah masuk Islam baru ada pergeseran.”
Jakarta,22 Pebruari
1998.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda