Sabtu, 13 Desember 2014

CERMIN DIRI ORANG JAWA




Cermin Diri Orang Jawa

Kepada anak bangsaku,
anak bangsa yang masih punya hati nurani,
yang dalam tubuhnya bersemayam jiwa yang hidup,
yang senantiasa bersimpati pada penderitaan kemanusiaan,
yang berani bermimpi dan tegar mewujudkan impian,
yang bergegas pada panggilan bunda pertiwi,
dalam sukma tak berhitung di medan laga,
pahlawan kebenaran penghancur kebatilan.

      Apakah anda kesatria Jawa? Apakah falsafah kepemimpinan anda, falsafah kepemimpinan Jawa? Yang adiluhung, yang adigang, adigung, adiguna? Yang ing ngarsa sung tuladha, ing madya ngumbar karso (memberi suri tauladan terhadap anak buah, dalam mengumbar hawa nafsu)?

Dengarlah rintihan Raden Damarwulan, melihat tingkah polah para ksatria, prajurit dan  birokrat Majapahit yang arogan, yang semena-mena menjungkir balik etika, menindas rakyatnya:

Indah rupa langit nilakandi
Disinari oleh Dewa Surya
Tertawa puspa di lereng
Gemilang puncak gunung
Mayapada indah sekali
Laksana Suryalaya
Tanah mulya sungguh
Jawa serta Nusantara
Jiwa sukma jantung Batari Pertiwi
Kekasih Sang Dewata.
Dewata, jikalau Paduka sungguh ada,
Limpahkanlah damai ke dalam hatiku,
Aku seperti pengembara, kakiku luka, badanku remuk,
Penderitaan manusia seperti berkumpul dalam hatiku.
Dewata-dewata
Jiwaku mati dalam tubuhku, aku tak dapat merasa lagi,
Inikah jalan ke Nirwana atau jalan keedanan?
Wisnu, o, Wisnu!
Dengarlah ratap tangis jiwaku
Bersama daku berkeluh kesah kemanusiaan
Wisnu, o, Wisnu.
(Sandhyakala Ning Majapahit, Sanoesi Pane, Pustaka Jaya 1971)

          Mayoritas bangsa Indonesia adalah suku Jawa. Bahkan sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Juga Presiden Republik Indonesia I dan II adalah orang Jawa. Oleh karena itu tidaklah salah kalau gaya kepemimpinan di Republik ini, selama ini disebut bergaya Jawa. Lebih-lebih lagi, kini bahkan orang-orang seberang (bukan Jawa), cendekiawan dari Sumatera, Kalimantan, Indonesia Timur dan lain-lain, senang dan merasa bangga jika berbicara dan menulis dengan menggunakan istilah serta terminologi Jawa yang sungguh maaf, saya sendiri sebagai orang Jawa malah  justru sering menjadi bingung.


Gaya Jawa, yang sering dikemas sebagai falsafah kepemimpinan dan ksatria Jawa, tentulah tidak sebatas rentang serat atau konsep Tridarma karya Mangkunegara I dan Tripama karya Mangkunegara IV saja. Tetapi seharusnya dipelajari dari seluruh prasasti, serat, tembang, kakawin dan berbagai produk sejarah Jawa yang pernah ada. Misalkan kisah keutamaan dan keadilan Ratu Sima dari Kalingga yang tega memotong tangan puteranya karena mengambil harta yang bukan haknya, serta berbagai produk sejarah lainnya seperti Prasasti Mantuasih (tahun 905), Prasasti Wan Watengah, Prasasti Kadadu tahun   1293, Prasasti Lokanda tahun 1296, Prasasti Aladanadon tahun 1301. Bahkan bukan hanya dari lingkungan Istana saja, tapi juga dari lingkungan pantai atau pesisir serta pesantren.

Cobalah, kita renungkan bagaimana sang pujangga Mpu Tantular menggambarkan kemuliaan ksatria Erlangga yang terusir dari kerajaan, selanjutnya bertapa selama 12 tahun (lengser dan menjadi pendeta atau ”satria piningit”), kemudian tampil kembali merebut tahta:

Dia, yang seharusnya dikatakan dalam kearifbijaksanaannya mencapai taraf yang tinggi,

telah meninggalkan kehidupan di mana orang secara terbaik dapat menyadari akan hampanya segala sesuatu yang ada.

Akan tetapi tidaklah ia berbuat demikian karena didorong oleh kecenderungannya kepada keduniawian.

Sebaliknya! Dengan tangan terbuka ia melimpahkan karunianya kepada rakyat.

Tujuannya ialah agar supaya jasanya (yaitu yang diperolehnya selama bertapa) dan keberanian (yang ia miliki sebagai seorang ksatria, atau barangkali ketabahan hati yang menyebabkan seorang pertapa meninggalkan segala kenikmatan dunia),

dapat memancarkan pengaruh yang bermanfaat, ia berusaha untuk kesejahteraan dunia.

(Penulisan Sejarah Jawa halaman 23, CC Berg, Bhratara Karya Aksara, 1985)

Niat suci tersebut dibuktikannya begitu ia dapat merebut tahta dan kembali menyejahterakan rakyatnya. Maka sekali lagi ia lengser keprabon untuk betul-betul menjadi pendeta sejati yang meninggalkan kehidupan keduniawian.

Para peneliti Barat banyak yang bingung membaca kakawin, serat dan kisah-kisah tentang raja-raja Jawa yang penuh mistik, termasuk yang mencampuradukkan silsilah nabi-nabi di tanah Arab dengan silsilah para jin dan para dewata dalam dongeng pewayangan (yang tentu saja karangan dan ciptaan manusia), yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa. Juga kisah Mpu Bharada yang terbang mengguyurkan air untuk membagi kerajaan, Ken Arok si anak Dewa yang kepalanya sering mengeluarkan cahaya serta kisah-kisah mistis Jaka Tingkir dan Babad Tanah Jawa.

Menurut mantan Direktur Penerangan Agama, Departemen Agama Drs.H. Effendy Zarkasi mengutip pendapat Prof. Dr. R.M. Ng. Poerbotjaroko,
penempatan silsilah dewa di  bawah nabi-nabi, disengaja sebagai  dakwah untuk meninggikan derajat para nabi di atas para dewa.(Unsur-unsur Islam Dalam Pewayangan, Drs.H. Effendy Zarkasi, Yayasan Mardikintoko, Solo 1996)


Ken Arok si anak Dewa, pada hemat saya adalah anak rakyat jelata atau sudra, yang dengan tegar berhasil menentang arus menjebol tatanan masyarakat yang berlaku, melakukan revolusi kerakyatan yang spektakuler sehingga bisa berkuasa menjadi raja di raja. Namun raja haruslah seorang yang hebat penuh kharisma. Untuk itu perlu dibuat penggalangan citra, perlu legitimasi yang sesuai dengan alam pikiran animisme dan takhayul masyarakatnya, yakni dengan mengarang kisah-kisah magis mengenai dirinya.

Demikian pula kisah pelayaran Jaka Tingkir dan penyusupannya ke kerajaan Demak. Cobalah simak tembang ini:

Sigra milir,
Sang getek sinangga bajul,
Kawandasa kang jageni,
Ing ngarso miwah ing pungkur,
Tinepining kanankering,
Sang getek lampahnya samya.

Artinya kurang lebih:

Lajulah laju (bergeraklah maju)
rakit (yang dinaiki Jaka Tingkir)
yang didukung oleh 40 buaya
(jagabaya, pengawal),
di depan di belakang,
di kanan di kiri,
sang getek (Jaka Tingkir dan pasukannya)
bergerak lancar (menyusup ke kerajaan Demak).

Keluarga Besar Jaka Tingkir, yang adalah juga keturunan raja Majapahit dan kebanyakan menggunakan nama ksatria dengan awalan Kebo (kerbau) sebagai lambang keperkasaan, adalah ahli strategi, intelijen dan penggalangan citra serta propaganda.

Mereka menyusup ke kerajaan Demak, bergerak dengan komando tembang-tembang isyarat, misalkan lagi “kalahkan si Dadung Awuk yang dikasihi sultan, dan berilah pukulan mematikan dengan sada lanangmu”.

Sada lanang adalah sebutan sehari-hari untuk sejenis lidi daun kelapa atau enau, yang bila diisi mantera bisa menjadi senjata. Menilik kisah sejarahnya, nampaknya itu adalah isyarat sandi yang jorok. Dadung Awuk sesungguhnya bukan nama orang tapi adalah tali mahkota, bisa juga berarti bulu wanita yang dikasihi Sultan Demak, yang tiada lain adalah puteri Sultan sendiri. Sedangkan yang dimaksud sada lanang adalah lidi kejantanan Jaka Tingkir. Nah jika puteri terkasih raja sudah ditaklukkan, mau apalagi???

Demikian pula gerakan sabotase keluarga Jaka Tingkir berupa “Kerbau gila mengamuk”. Tentu saja gerakan sabotase menjadi padam setelah Jaka Tingkir dititahkan Sultan untuk memadamkannya, dengan imbalan dikukuhkan menjadi putera menantu pewaris tahta.

  Kisah magis penuh isyarat Jaka Tingkir terbilang banyak. Masyarakat Jawa waktu itu masih dalam peralihan dari animisme, Hindu-Budha ke Islam. Campuran kepercayaan yang pertama, mempercayai bahwa seorang pemimpin itu haruslah turunan dewa atau yang memperoleh wahyu dari dewata. Sedangkan Islam menegaskan bahwa diantara 25 perbuatan dan nasib manusia, 5 diantaranya merupakan hak mutlak Allah Swt, yakni:

(1)  kematian,
(2)  jodoh,
(3)  anak-anak,
(4)  harta kekayaan,
(5)  derajat-pangkat.

Qadha dan takdir Allah Swt berupa derajat-pangkat sebagai raja, kemudian dipropagandakan dalam bentuk ndaru, yakni bola cahaya dari langit (nur illahi) yang jatuh ke diri Jaka Tingkir pada suatu malam. Dan itulah kenyataan yang sekarang masih juga banyak dipercaya oleh orang Jawa. Padahal dengan tetap mempercayai qadha dan takdir Illahi, Jaka Tingkir adalah seorang ksatria yang telah digembleng untuk disiapkan menegakkan aliran darah birunya menjadi raja Jawa sebagaimana leluhurnya.

Bagaimana konsep Tridarma dan Tripama? Inilah strategi penggalangan citra, rekayasa sosial yang bak pisau bermata dua dan juga situasional.

Konsep Tridarma:
(1)  Mulat sarira hangrasa wani,
(2)  Rumangsa melu handarbeni,
(3)  Wajib melu hanggondeli/hangrungkebi,

yang kini sering diajarkan dalam penataran-penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah falsafah perjuangan yang bagaikan pisau bermata dua, kiri kanan OK, tergantung siapa yang memegang atau menafsirkannya, dan sudah barang tentu mudah menjadi bahan “plesedan”, satire, sebagaimana kebiasaan masyarakat Jawa (artikel ini dibuat dan dipublikasikan Februari 1998 tatkala P4 masih berlaku).

Betapa tidak. Rumangsa melu handarbeni dan wajib melu hangrungkebi, yang merupakan padanan etos manajemen sense of belonging, dan oleh karenanya menuntut rasa tanggungjawab untuk menjaga atau mempertahankannya, dibelokkan maknanya sebagaimana banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari dewasa ini, menjadi antara lain, karena ini milikku maka aku berhak memanfaatkannya, berhak memetik hasilnya lebih dulu, berhak apa saja. Naudzubillahi mindzalik.

Sementara itu semboyan “tiji tibeh” yaitu mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh, atau mati satu mati semua, mukti satu mukti semua, yang semula dimaksudkan untuk mengorbankan semangat kebersamaan dan pantang menyerah dalam perjuangan, bisa disalahartikan (mungkin lebih tepat disalahgunakan) sebagai pesta pora bersama. Mukti mengandung makna hidup bahagia, sekaligus mulia, sejahtera dan juga berkecukupan.

Tetapi jurus ”tiji tibeh” ini, ternyata bukan hanya monopoli orang Jawa, bahkan Nazaruddin, anak muda yang belum berumur 33 tahun, anggota DPR-RI dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang kelahiran Pematang Siantar, yang sedang menjadi buronan internasional sebagai tersangka koruptor di tahun 2011 sekarang, juga sedang melancarkan jurus ini dengan menyatakan ia tidak korupsi sendiri, melainkan bersama-sama dengan pengurus partai serta anggota-anggota DPR lainnya.(Alinea ini penulis tambahkan kemudian).

Demikian pula konsep Tripama yang mengisahkan keteladanan tiga orang ksatria dalam cerita wayang, yang patut ditiru oleh para prajurit dan abdi dalem, lebih banyak mencerminkan pengabdian sepihak para prajurit dan abdi dalem, atau tuntutan loyalitas mutlak kepada raja, kepada pimpinan.

Tiga orang ksatria itu ialah pertama, Patih Suwanda yang merelakan dirinya tewas menghadapi musuh, sementara raja junjungannya Prabu Arjuna Sasrabahu asyik bercengkerama dengan 800 putri persembahan sang Patih. Kedua, Kumbakarna dari kerajaan Alengka, yang walaupun sadar rajanya yang tiada lain kakak kandungnya salah, tetap harus dibela sampai titik darah penghabisan, dengan dalih demi mempertahankan tanah air dan bukan untuk membela keangkaramurkaan. Ketiga, Adipati Karna yang juga walaupun sadar rajanya salah, tapi karena ia telah berhutang budi menikmati harta dan tahta, maka seperti Kumbakarna, ia rela membela kebatilan melawan kebenaran, bahkan meskipun pihak yang haq itu adalah saudara-saudara kandungnya sendiri.

Dalam negara republik yang demokratis, konsep perjuangan yang seperti itu sudah barang tentu kurang lengkap, tidak mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga negara, hak dan kewajiban para pemimpin bangsa. Bahkan bertentangan secara diametral dengan semboyan Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia sebagai abdi masyarakat, abdi rakyat, abdi negara.

Jelas bahwa etos perjuangan dan falsafah kepemimpinan Jawa yang seperti tadi, bersifat situasional. Hanya tepat untuk anak zamannya, dan oleh karena itu perlu dikaji secara lebih mendalam jika harus digunakan pada masa sekarang.

Konsep Islami

Secara garis besar, falsafah kepemimpinan dan ksatria Jawa dapat dikelompokkan menjadi dua bagian berdasarkan periodenya. Pertama, sebelum Islam sebagaimana terdapat pada masa Ratu Sima, Dharmawangsa, Erlangga (Airlangga), Gajah Mada dan Damarwulan (Raden Gajah). Kedua, sesudah Islam atau Konsep Islami.

Walaupun belum mengenal konsep Islami, ternyata Konsep Pertama mengandung muatan etika sosial sesuai sunatullah dan sunah Rasul, sebagaimana dapat kita  jumpai pada Nasihat Bagi Penguasa, karya Imam Besar Al Ghazali.

Marilah kita lihat 15 sifat utama Gajah Mada. Maha Menteri Gajah Mada menurut Rakawi Prapanca dalam kitab Negarakartagama, memiliki 15 sifat yang membuatnya besar. (Perundang-undangan Majapahit, Prof.Dr.Slamet Muljana, Penerbit Bhratara, Djakarta, 1967).
(1)     Ia wijnya, artinya bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi berbagai       macam kesukaran, sehingga akhirnya selalu berhasil menciptakan ketenteraman.
(2)     Ia mantriwira, pembela negara yang berani tiada tara.

(3)     Wicaksaneng naya, bijaksana dalam segala tindakan. Kebijaksanaannya senantiasa terpancar dalam setiap perhitungan dan tindakan, baik ketika menghadapi lawan maupun kawan, bangsawan atau pun rakyat jelata.
(4)     Matanggwan, memperoleh kepercayaan karena rasa tanggungjawabnya yang besar sekali dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan ke atas batu kepalanya.
(5)     Satya bhakty aprabhu, bersifat setia dengan hati yang tulus ikhlas kepada negara serta Seri Mahkota. Empat puluh lima tahun ia setia mengabdi negara dan Sang Prabu. Padahal jika mau, dengan sedikit tenaga saja ia sudah bisa merebut mahkota dan menduduki singgasana. Setiabakti telah mendarah daging dalam hidupnya, sehingga segenap pikiran dan tenaganya ditumpahkan buat mewujudkan kebesaran Majapahit, ditumpahkan kepada tiga mahkota berturut-turut sejak tahun 1319 sampai ajalnya tiba tahun 1364.
(6)     Wagmi wak, pandai berpidato dan berdiplomasi mempertahankan atau meyakinkan sesuatu.
(7)     Sarjjawopasama, rendah hati, berbudi pekerti baik, berhati emas, bermuka manis dan penyabar. Sifat ini pada umumnya hanya ditemukan pada ahli-ahli politik serta diplomat ulung.
(8)     Dhirotsaha, artinya terus menerus bekerja rajin dan sunguh-sungguh.
(9)     Tan lalana, selalu nampak gembira walaupun pedalamannya sedang gundah atau pun terluka.
(10)   Diwyacitta, mau mendengarkan pendapat orang lain dan mau bermusyawarah.
(11)   Tan satrisna, yaitu tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangan yang berisi girang dan birahi.
(12)   Sih-samastabhuwana, artinya menyayangi seluruh dunia sesuai dengan falsafah hidup bahwa segala   yang ada di dunia ini adalah fana, bersifat sementara. Sih-samastabhuwana atau kasih untuk semesta alam, kurang lebih mengandung arti yang sama dengan rahmatan lil alamien. Meskipun demikian ia menyayangi sekaligus kehidupan fana dan kehidupan abadi.
(13)   Ginong pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk. Amar ma’ruf nahi munkar. Tiap saat Gajah Mada mawas diri apakah sudah mengutamakan ginong pratidina.
(14)   Sumantri, menjadi pegawai  yang senonoh dan sempurna kelakuannya. Gajah Mada mengabdi kerajaan selama 45 tahun, 33 tahun diantaranya menjabat pangkat patih mangkubumi dan perdana menteri. Selama itu pula ia terpuji sebagai pegawai yang berjasa dan selalu berkelakuan baik.
(15)   Sifat yang terakhir, anayaken musuh atau bertindak memusnahkan lawan. Gajah Mada senantiasa menjalankan politik kasih sayang kepada teman negara, namun tak pernah gentar menewaskan musuh yang mengganggu dengan pendirian atau kelakuan yang salah. Kebesaran Majapahit ditegakkannya atas dasar perdamaian, dan tak takut menumpahkan darah dalam membelanya.

Konsep kedua, secara jelas dapat kita jumpai pada kitab Wulangreh dan kitab Wedhatama. Kedua kitab ini, lebih-lebih Wulangreh, secara tegas dan jelas melandasi falsafah kehidupan yang dikemukakannya, berdasarkan dalil (Quran), kadis (hadis) dan ijemak (ijma atau kesesuaian pendapat dari para ulama), serta menekankan agar kita mengikuti Rukun Islam dan menjalankan syariat agama dengan antara lain menegakkan salat (Bab I, Bab XI dan XIII).

Membaca Wulangreh yang berbahasa Jawa itu, terasa seperti menemukan mutiara dan gubahan bebas dari telaga pemikiran Al Ghazali. Demikian pula Serat Centini yang justru lebih terkenal dan penuh aneka ragam persoalan, landasan pemikirannya adalah ajaran Islam. Sementara itu Wedhatama (Kitab Utama atau Kitab Luhur) lebih banyak bercerita tentang ajaran-ajaran ma’rifat.

Wulangreh atau ajaran tentang perilaku terdiri dari 13 Bab yaitu:

1.       Pelajaran tentang cara memilih guru.
2.       Pelajaran tentang cara memilih teman.
3.       Pelajaran agar manusia memegang teguh kejujuran serta menjauhi watak adigang, adigung dan adiguna (mentang-mentang kuasa, mentang-mentang pandai dan mentang-mentang banyak jasa lagi berani).
4.       Pelajaran tentang tatakrama, budi pekerti serta cara membedakan baik dan buruk.
5.       Pelajaran tentang bagaimana menghormati;
5.1. Allah
5.2. Orang tua
5.3. Mertua
5.4. Saudara
5.5. Guru
6.       Pelajaran tentang kepemimpinan dan hidup bernegara.
7.       Pelajaran tentang pengendalian hawa nafsu.
8.       Pelajaran tentang budi pekerti luhur dan tercela.
9.       Pelajaran tentang menjalin persaudaraan serta surat-menyurat.
10.     Pelajaran tentang tawakal, sabar, mengamalkan rasa syukur dan rendah hati.
11.     Pelajaran tentang agama Islam dan pengabdian kepada negara.
12.     Tentang suri tauladan para leluhur.
13.     Nasihat Sang Pujangga.

Tradisi Kemunafikan

Sementara para pujangga kraton, bahkan para rajanya sendiri mengajarkan budi pekerti luhur yang Islami, di masyarakat luas, berlaku pula ajaran-ajaran tentang “kambing hitam” dan kemunafikan atau hipokrisi dalam pergaulan.

Ajaran mencari “kambing hitam” telah saya kemukakan dalam Prakata buku Kepemimpinan Jawa – Falsafah dan Aktualisasi yang saya kutip kembali sebagai berikut: “Dalam keseharian, kita masih sering menjumpai budaya hidup kambing hitam, budaya hidup tercela (tidak ksatria) yang memang banyak ditanamkan kepada kita semenjak masa kanak-kanak. Cobalah renungkan, tatkala anak kita yang baru belajar berjalan tertatih-tatih, tiba-tiba terjatuh. Kebanyakan dari kita akan menghibur si anak dengan mengatakan. ‘Sudah diam, jangan menangis, memang kodok yang nakal’. Nah Sang Kodok yang tak tahu-menahu menjadi kambing hitam. Tapi yang lebih ironis adalah, tanpa kita sadari, kita telah menanamkan budaya kambing hitam kepada generasi muda kita.”

Ajaran kemunafikan atau hipokrisi Jawa dijumpai pula di masyarakat Sumatera Barat, yakni “Iyokan nan di orang, lalukan nan di awak”. Maknanya kurang lebih, iyakan saja apa kata orang tapi laksanakan terus niat kita.

Di Jawa ajaran ini dituangkan dalam nasihat: “Jika engkau diperintah oleh orang yang lebih tua atau pemimpinmu, padahal sesungguhnya kamu tidak sependapat, maka di hadapan yang bersangkutan kamu harus diam saja dan jangan membantah. Nanti di belakang mereka, kamu boleh tidak mematuhi perintahnya”.

Seorang peneliti Barat yang pernah tinggal cukup lama di Yogyakarta, Niels Mulder menyatakan: “Disebabkan oleh cita-cita ini kebudayaan Jawa sangat kaya sekali petuah bijaksana untuk menjaga agar kehidupan masyarakat teratur, baik dan damai, tidak sebagai tujuan dalam sendirinya, tetapi karena penguasaan atas dunia luar mendatangkan ketenangan batin seperti keadaan tentram (tentrem) yang setengah sosial dan setengah psikologis dan perasaan pribadi mendalam mengenai kepuasan yang tenang (ayem).

Untuk dapat menikmati kepuasan itu orang harus belajar menguasai emosi-emosinya sambil mengikuti aliran masyarakat (ngeli), menanamkan kesabaran (sabar), rendah hati (andhap asor), dan kemampuan untuk menerima kemalangan dengan anggun dengan harapan akan mengalami hari esok yang lebih baik (nrimo).  Beberapa orang akan menyerah begitu saja (pasrah) pada kehidupan sebagaimana adanya, tetapi kepasrahan ini merupakan sikap yang kurang dikehendaki.” (Pribadi dan Masyarakat di Jawa, Niels Mulder, (hal 65) Penerbit Sinar Harapan, Jakarta 1985)

      Sikap dan perilaku tersebut, khususnya ngeli tapi ojo keli (mengikuti jalannya arus air tapi jangan terseret arus), sebetulnya mengandung ajaran keselarasan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun seperti juga diakui oleh Neils Mulder, cara hidup ideal itu menimbulkan kesan tidak adanya kepribadian dalam hubungan-hubungan antar manusia.

Celakanya, sikap mengalah demi harmonisasi kehidupan tadi dapat;
(1)  disalahgunakan oleh pihak lain yang semena-mena,
(2)  bagi yang mengalah, lambat laun batas antara mengikuti dan terseret arus bisa kabur, lebih-lebih lagi bila pihak arus kuat semakin kuat. Maka yang terjadi seringkali adalah kemunafikan.

Ajaran kemunafikan ditambah berbagai penafsiran sesuka hati atas falsafah kehidupan dan watak semena-mena (mentang-mentang), kini cenderung menjadi ancaman bahaya moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Maka janganlah juga heran bila dalam berbagai forum, rapat, briefing dan sejenisnya, perintah atau pun himbauan pimpinan tidak memperoleh sanggahan, seakan-akan semua peserta pertemuan setuju saja, padahal sebenarnya tidak.

Kidung Penutup

Inilah masyarakat kita.
Inilah negeri kita.
Rindu dendamku pada kerelaan berkorban Damarwulan,
yang tetap meneruskan rencana berangkat ke medan laga,
walau utusan tiba membawa kabar maut nan menjelang ibundanya.
Dan dengarlah lagi rintihannya tentang Majapahit yang krisis (sebagaimana Indonesia sekarang?):

“Apa gunanya Majapahit ditolong lagi?
Agama sekarang sudah takhayul,
pendetanya semua ganas dan buas,
memeras rakyat sekuat-kuatnya.
Apa terjadi di daerah rumah sembahyang,
baik jangan kuterangkan.
Agama dulu meninggikan budi,
sekarang sudah jadi penjara.
Orang melihat lahirnya saja,
tidak tahu akan batinnya.
Arca disembah seperti dewa sebab tak
bisa berpikir lagi.
Pendeta menambah kebodohan lagi, supaya kuasa makin luas, supaya berwujud keinginan rendah.
Kesatria, namanya saja tinggal kini,
sifatnya sudah sebagai perampok.
Rakyat kurus, tidak bisa ditolong lagi.
Walaupun keadaan dapat diubah,
apakah gunanya, apakah gunanya?”

Maka tatkala aku melihat cermin diriku meruyak dahsyat Perjamuan Jiwa Kahlil Gibran:

Hantu masalah  gentayangan dalam lembah,
Di atas puncak jiwa raja dan nabi mengembara,
Pikiranku berpaling menuju kenangan.
Dan, memamerkan padaku kejayaan Chaldea dan keangkuhan Asyria dan kemuliaan Arabia.
Di lorong sempit gentayangan hantu hitam kawanan penyamun.
Dan, di celah-celah dinding ular berbisa bernafsu mematuk kepalanya,
Di sudut jalan bertiup keredupan bercampur cakar kematian.
Ingatan tercabik di samping tirai kealpaan.
Dan, menyingkirkan padaku kebencian akan Sodom dan Gomorah.

Bau busuk kecurangan bangkit dari lorong sempit,
Bercampur kesakitan dan penyakit,
Dan, bagai panah simpanan ditajamkan,
Melukai akal sehat, dan udara murni diisi racun.

Pagi menjelang kekasih,
Dan, jerami kesadaran mengelus
Matanya yang tidur.
Cahaya violet muncul dari seberang perbukitan
Menepiskan selimut malam
Keluar dari kemegahan dan kejayaan kehidupan
Pedesaan tertidur dalam kebisuan dan kedamaian terjaga di atas lembah
Azan subuh memperkeras rapalan doa mereka,
Dan memenuhi udara dengan bunyian menyenangkan.
Lihatlah jalan mengerang karena tertindih jiwa tamak yang tergesa-gesa,
Udara dipenuhi dentang besi, kertak jentera, dan suitan uap air panas
Kota menjelma sebuah lapangan tempur dimana yang kuat
bersaing dengan yang lemah
Dan, si kaya menuai pekerjaan si miskin.

Betapa indahnya kehidupan, kekasih!
Bagaikan hati seorang penyair!
Dipenuhi cahaya dan jiwa.
Betapa kerasnya kehidupan, kekasih!
Bagaikan hati seorang penjahat!
Dipenuhi rasa bersalah dan ketakutan.
Bangun kasihku, bangun negeriku,
Karena jiwaku menyerumu dari seberang lautan yang mengamuk,
Jiwaku membentangkan sayapnya di atas gelombang berbuih yang murka
Dan cintaku, negeriku, menarik ke dekatmu. (Petikan acak dan gubahan bebas dari “Perjamuan JiwaKahlil Gibran, Airmata dan Senyuman, terjemahan Iwan Nurdaya – Djafar, Grafikatama Jaya 1991)


Catatan:


1. Artikel ini disampaikan dalam acara peluncuran dan bedah buku “Kepemimpinan Jawa-Falsafah dan Aktualisasinya”, penerbit PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta 23 Pebruari 1998, selanjutnya juga diterbitkan oleh penerbit yang sama pada April 1998 atau sebulan sebelum Gerakan Reformasi Mei 1998.

2.   Dalam buku “Kepemimpinan Jawa. Falsafah dan Aktualisasi”, Dr.Soeyatno Kartodirdjo hanya mengemukakan  falsafah-falsafah Jawa yang berasal dari Puro Mangkunegaran di Solo, yaitu yang terkandung dalam Kitab Tridarma karangan KGPAA Mangkunegara I dan Kitab Tripama karangan KGPAA Mangkunegara IV (halaman 31). Sementara itu Karkono K.Partakusumo disamping mengemukakan filosofi yang terkandung dalam kedua kitab tersebut juga membahas kandungan falsafah dari kitab-kitab lain seperti Wulangreh, Nitusastra, Asthabrata, Pustaka Raja Purwa, Centini dan Serat Witaraja. Semuanya berasal dari Kasunanan Surakarta.

3.  Pak Suhadi dari Lembaga Arkeologi Nasional mengemukakan sebagai berikut: “Bidang saya adalah masalah tulisan-tulisan kuno. Tentang maca (membaca) tulisan-tulisan kuno, ternyata dalam karangan beliau tentang sifat-sifat raja Jawa, bukan saja ada dalam kitab Tripama, tapi juga dalam prasasti mulai tahun 905.Tahun 905 itu ada prasasti Mantuasih, tahun 907 prasasti Wan Watengah terus melesat ke prasasti Kadadu tahun 1293, prasasti Lokanda tahun 1296, pasasti Aladanadon tahun1301, yangterakhir ditemukan tahun 1991 di daerah Bojonegoro, semuanya dalam lempeng tembaga. Sebagian juga memuat tentang sifat-sifat raja yang diterangkan oleh pujangga istana. Karena dengan sifat raja yang baik itu, sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, Siwa dan Brahma, diwujudkan dalam memerintah dengan menggunakan Asthabrata. Jadi saya hanya menunjukkan bahwa sumber-sumber yang sangat asli dan dapat dipercaya, yaitu pada abad ke-10 sudah ada ajaran-ajaran kebaikan, sudah dimulai 1000 tahun yang lalu, sangat tua sumber-sumber prasasti itu. Kalau dalam Islam, seringkali disebut hukum perasaan, tapi piagam yang serupa tentang hukum atau status tanah dan sebagainya, hanya pembukaan, mukadimah. Itu sifat-sifat raja yang baik, artinya tidak ada perbedaan, prinsipnya sama (prinsipnya Brahma, Wisnu dan Siwa). Setelah masuk Islam baru ada pergeseran.”

Jakarta,22 Pebruari 1998.























0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda