ACARA DISKUSI PELUNCURAN BUKU TIDAK ADA NEGARA ISLAM

Diselenggarakan oleh Yayasan Paramadina, PT Penerbit Djambatan dan Panji Masyarakat Jakarta, 7 November 1997

Pengantar Penyelenggara
Kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang berdasarkan Islam. Itulah yang seyogyanya kita perhati­kan dan kita dalami maknanya di banding penegakan sebuah nama, yaitu "Negara Islam".
"Apalah artinya sebuah nama?" Hal ini berulang kali ditegaskan di dalam buku Tidak Ada Negara Islam, baik oleh Nurcholish Madjid, yang lebih terkenal dengan sebutan Cak Nur, maupun almarhum Dr. Mohammad Roem.

Marilah kita alihkan acara ini sepenuhnya kepada moderator dan para pengupas buku dalam acara bedah buku ini, supaya banyak waktu tersisa untuk pertanyaan-pertanyaan dari floor sehingga peluncuran dan diskusi bedah buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Akhirul kalam, kami, atas nama penyelenggara, sekali lagi mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Wassalam.

Kata sambutan dari Keluarga Bapak Mohammad Roem diwakili oleh Bapak Adi Sasono (cucu almarhum Dr. Mohammad Roem)

Bapak Hamid al-Gadri dan ibu, Ibu Dahlan Ranuwihardjo, Bang Ali Sadikin dan teman-teman sekalian yang saya hormati. Assalamu'alaikum wr. wb.
Mohammad Roem lahir tahun 1908 dan lulus sebagai Meester in de Rechten (Mr.) pada tahun 1939. Pada tahun yang sama, Cak Nur lahir di muka bumi. Jadi diskusi ini berlangsung antara dua generasi yang berjarak 31 tahun. Sesungguhnya, diskusi tentang negara Islam atau negara nasional sudah dijadikan isu oleh keponakan Pak Mohammad Roem yang bernama Dahlan Ranuwihardjo di Universitas Indonesia pada tahun 1952. Saat itu, keponakan Mohammad Roem itu, atau paman saya, menjadi ketua pengurus besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan apabila kemudian pada tahun 1983 diskusi itupun muncul, yang bikin gara-gara adalah orang yang sekarang masih rajin bikin gara-gara. Namanya Muhammad Amien Rais. Jadi calon presiden kita ini memang punya bakat bikin gara-gara.

Tanggal 1 November 1982, dalam edisi nomor 376, saudara Amien Rais diwawancarai oleh majalah Panji Masyarakat yang sekarang dipimpin oleh Mas Bambang Wiwoho, mengenai topik "Tidak Ada Negara Islam". Kemudian beliau diwawancarai sekali lagi pada tanggal 11 Februari tahun berikutnya, saat mana Mohammad Roem sudah berusia 75 tahun. Artinya, sudah lama beliau itu mandeg pandito.

Tanggapan Mohammad Roem tentang Muhammad Amien Rais ini menarik dan penting disimak. Beginilah ucapan seorang pandito kepada seorang Muhammad Amien Rais, "Amien Rais itu benar, bijaksana dan tidak mengejutkan". Perlu saya ulangi di sini, kalau kita mencari kata kunci untuk menilai Amien Rais, menurut pandito yang usianya sudah 75 tahun itu, "Amien Rais itu benar, bijaksana dan tidak mengejutkan". Namun itu 15 tahun yang lalu. Kalau orang itu benar dan bijaksana, biasanya tidak mengejutkan. Tetapi kalau orang dibilang "mengejutkan", itu biasanya benarlah adanya. Tapi, sekali lagi, ini kisah 15 tahun yang lalu. Saya tegaskan ini berulang kali supaya kita paham bagaimana Mohammad Roem menilai Muhammad Amien Rais.

Selamat datang, Mas Amien Rais (Amien Rais baru tiba di acara diskusi - red). Tadi saya menyebut begini: Mbah saya 15 tahun yang lalu menilai anda dengan tiga kata kunci, "Amien Rais itu benar, bijaksana dan tidak mengejutkan". Itu 15 tahun yang lalu, jadi pasti sekarang lebih menjadi-jadi. Saya kutip lebih jauh kata-katanya, 'Jika Amien Rais mengatakan tidak ada negara Islam dalam Sunnah, saya rasa itu benar. Tidak saja ia benar akan tetapi juga bijaksana". Karena di Indonesia istilah itu lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, malah sampai ada yang alergi, mendengar istilah itu. Saya bahkan pernah mengorek salah satu catatan Anggaran Dasar Masyumi, di mana istilah itu juga tidak ada. Kata Mohammad Roem tentang "benar dan bijaksana" dan "tidak mengejutkan" entah benar atau tidak, saya tidak tahu, Mas Amien. Pokoknya, menurut Mohammad Roem, anda itu tidak mengejutkan. Kata beliau lebih lanjut, "Negara kita yang tercinta bernama Republik Indonesia. Menurut pendapat saya, Republik lebih dekat dengan Sunnah Nabi daripada kerajaan, akan tetapi sebagaimana kita melihat dalam sejarah Islam, Nabi dalam hal ini tidak memberi kepastian".

Muhammad Amien Rais, kata Mohammad Roem, memang tidak mengikuti jejak nenek moyang kita seperti Dr. Tjokroaminoto, K.H. Agus Salim, Haji Samanhudi, K.H. Ahmad Dahlan dan lain-lainnya, yang dalam upaya menjelaskan hal ini, tidak memakai kata­-kata sederhana dan tidak mengejutkan orang lain. Itu saja bedanya.

Mohammad Roem adalah sebuah pribadi yang menarik. Pada tahun 1950, beliau menjadi Komisaris Agung Indonesia di kerajaan Belanda, tatkala usianya baru 42 tahun. Kemudian tahun berikutnya sampai tahun 1953, beliau berada dalam Kabinet Natsir sebagai Menteri Dalam Negeri. Tahun 1956, pada usia 48 tahun, beliau menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri I dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Masyumi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960, dan antara tahun 1962-1966, yaitu selama empat tahun empat bulan, Mohammad Roem masuk penjara. Sebagai cucunya, saya beberapa kali mengunjungi beliau di penjara Madiun, dan di penjara Madiun pangkat Mohammad Roem entah naik entah turun, tapi yang jelas di situ beliau dianggap "lurah". Saya rasa, jabatan tersebut diperlukan karena di penjara itu banyak sekali orang-orang besar sehingga diperlukan satu orang yang sabar untuk memimpin semuanya, mendamaikan kalau ada rebutan main badminton, main tenis, atau berenang. Oleh karenanya, secara musyawarah mufakat, Mohammad Roem dipilih sebagai "lurah" di penjara Madiun.

Paman saya, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, adalah orang yang dekat dengan Bung Karno. Dalam istilah sekarang, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo waktu itu masuk dalam "sistem". Beliau menjadi anggota Dewan Nasional dalam usia yang cukup muda, yaitu sekitar 30-an, dan saya tidak bisa membayangkan nasib HMI tanpa adanya Ahmad Dahlan Ranuwihardjo dalam "sistem". Dan sebagai Sekretaris Umum (Sekum) Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), saya juga tidak bisa membayangkan ada ICMI kalau tidak ada HMI, karena 99 persen anggota ICMI adalah anggota HMI juga.

Surat terakhir Mohammad Roem kepada Cak Nur dikirimkan pada tanggal 8 September, yaitu 16 hari sebelum Mohammad Roem wafat. Cak Nur menjawab surat Mbah Roem itu pada tanggal 15 September, sembilan hari sebelum beliau wafat. Jadi sampai hari-hari terakhir, beliau masih aktif dan masih bisa menjalin masa-masa suka dan duka bersama-sama. Sebuah pribadi yang unik, Mbah Roem suka sekali berenang di rumah Duta Besar Amerika, suatu yang tidak lazim bagi seorang pemimpin Islam pada waktu itu. Saya diajak masuk klub naik kuda, dibayari, dan diberi sepatu lars panjang. Ini karena Mohammad Roem adalah pendiri dari klub naik kuda tersebut. Suatu hari, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo bertanya, "Pak Roem, anda kan sudah tua, kenapa belajar naik kuda?" Dia bilang, "Dia (kuda) jarang diperbudak orang!"

Pada saat bersamaan, Mohammad Roem juga bersahabat lahir batin dengan para pemimpin Masyumi. Dia tidak setuju dengan pendapat bahwa Mohammad Natsir itu manut miturut dengan Syahrir hanya karena sama-sama orang Padang. Memang masalah kesukuan juga masuk pertimbangan, tapi sebagai seorang sahabat, beliau merasa dekat dengan Mohammad Natsir. Pada saat yang bersamaan, saya juga sering makan bersama Mbah Roem dan Pak Kasino, Pak Subagyo, Pak Kardi dan lain-lainnya. Sesuatu yang mungkin pada hari-hari ini sulit kita bayang­kan: sebuah pergaulan yang mulia yang tetap mengakui perbedaan tapi juga tetap berlandaskan persahabatan dalam satu moralitas politik yang tinggi.

Saya kira untuk menjaga semangat seperti itulah diskusi malam ini, tatkala yang hadir di sini tidak sedang berpikir tentang likuidasi bank. Itupun saya kira karena tidak ada yang punya bank di sini, dan oleh karenanya tidak ada juga yang akan mengajukan ke PTUN. Saya sendiri sebagai cucu bangga dengan kakek saya, yang dalam usia muda sudah mencapai taraf politik yang tinggi. Saya juga bangga dengan paman saya. Sedangkan saya sendiri, taraf politik saya yang paling tinggi adalah sebagai mantan anggota MPR.

Saya dan Amien Rais disatukan karena orangtua kita bersahabat. Bapak dan ibu saya dengan bapak dan ibu Mas Amien Rais bersahabat di sekolah, di Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta. Saya disuruh bapak saya mencari anak Pak Suhud dan bersahabat dengannya, karena itu ajaran dari Rasulullah. Dan saya lakukan itu sampai sekarang. Saya bersahabat dengan Mas Amien Rais. Kebetulan kita sama-sama di ICMI: dia sebagai Ketua Dewan Pakar, saya sebagai Sekretaris Umum, dan nasib kitapun sama karena kita berdua sama-sama dianggap pengurus yang "bermasalah". Bedanya hanya satu: Amien Rais menyatakan mundur, dan saya sebagai Sekum harus memproses keanggotaan saya, yang sampai sekarang belum saya lakukan. Jadi nasib kita sama, pengurus yang bermasalah.

Mengenai Nurcholish Madjid, saya menghormati beliau sebagai orang pintar. Saya, sebagai orang teknik yang sederhana, sering naik bis ke mesjid Al-Azhar untuk mencari Cak Nur dan bertanya tentang perkara-perkara yang orang teknik tidak terlalu paham. Dan saya melihat antara Cak Nur dengan Mbah Roem ada persamaan dari segi kemuliaan budi, dari keluasan pandangan dan dari pergaulan (bedanya hanya satu: Cak Nur tidak belajar naik kuda).

Dan akhirnya, izinkanlah saya menyatakan bahwa sebenarnya antara Amien Rais dengan Cak Nur itu banyak persamaannya. Mereka sama-sama anggota alumni Universitas Chicago. Cuma perbedaannya yang fundamental adalah: Cak Nur itu orang Jawa Timur, tapi gayanya Solo, sedangkan Amien Rais orang Solo, tapi gayanya Jawa Timur.

Dan akhirnya kepada sahabat saya, saudara Agus Edy Santoso. Agus ini adalah orang yang terkenal ngotot dan tanpa dia buku ini tidak mungkin ada. Dia seorang aktivis LSM sejati luar dalam, suami-istri kerjanya kalau tidak demonstrasi, nge-lobi. Saya bangga mempunyai teman seperti saudara Agus Edy Santoso, dan saya mengucapkan terima kasih atas kehormatan yang diberikan kepada keluarga kami untuk membuka acara ini. Terima kasih yang sedalam-dalamnya saya ucapkan kepada pemimpin Penerbit Djambatan, dan kepada semua penyelenggara termasuk majalah Panji Masyarakat dan lain-lainnya yang menjadi tuan rumah malam ini, dan juga kepada Pak Husein, tuan rumah dan direktur Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
Wassalamu'alaikum wr. wb.

Pembawa Acara
Terima kasih kepada Bapak Adi Sasono. Selanjutnya acara peluncuran buku Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik Nurcholish Madjid dan Mohammad Roem. Peluncuran buku ini akan ditandai dengan penyerahan buku secara simbolis dari Penerbit Djambatan, yang dalam hal ini akan diwakili oleh Bapak Syarifuddin Syamsudin, kepada keluarga Mohammad Roem yang akan diwakili oleh Bapak Adi Sasono. Kemudian kepada Bapak Nurcholish Madjid dan kepada tiga tokoh masyarakat yaitu Bapak Ali Sadikin, Bapak 'Imaduddin Abdurrahim dan kepada Bapak Hamid al-Gadri. (Acara peluncuran buku dilakukan)

Pembawa Acara
Acara penyerahan buku telah selesai dan terimakasih atas kesediaan bapak-bapak sekalian untuk maju ke podium. Selanjutnya kita akan memasuki acara puncak pada malam ini, yaitu diskusi bedah buku Tidak Ada Negara Islam: Surat-surat Politik antara Nurcholish Madjid dengan Mohammad Roem. Pada diskusi ini yang akan menjadi pembicara adalah Dr. Nurcholish Madjid, Dr. Muhammad Amien Rais dan Dr. Yusril Ihza Mahendra, dan yang bertindak sebagai moderator pada malam ini adalah Bapak Ekky Syahruddin. Kepada Bapak Ekky Syahruddin, saya persilahkan untuk memulai acara ini. Terima kasih.

Ekky Syahruddin (moderator)
Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, kita sangat berbahagia pada malam hari ini, karena acara ini disaksikan oleh antar generasi. Kita menyaksikan di sini bahwa walaupun Pak Natsir tidak hadir, dari keluarga Pak Natsir hadir Ibu Saleh Widodo.

Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, juga di sini hadir Bapak Hamid al-Gadri dan ibu. Pada zaman Kabinet Parle­menter dulu, beliau adalah ketua fraksi dari PSI, yang tadi disebut oleh Pak Adi Sasono tidak menerima dianggap terpengaruh oleh Pak Natsir hanya karena beliau orang Padang. Saya baca dalam risalah parlemen bahwa Masyumi dan PSI pernah berbeda pendapat dalam soal apakah pada bulan puasa orang boleh libur atau tidak? Saya terus terang heran karena Masyumi yang orang-orangnya dianggap tidak modern, berpendapat bahwa pada bulan puasa tidak usah libur, sementara PSI yang katanya modern ber­pendapat pada bulan puasa sebaiknya libur saja. Jadi PSI lebih Islami ketimbang Masyumi, dan inilah salah seorang saksi hidupnya, Pak Hamid al-Gadri.

Saudara-saudara, di sini kita akan berbicara mengenai ada-tidaknya konsep negara Islam itu di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kalau memang tidak ada, mengapa kita dulu sampai heboh mau membentuk negara Islam? Dan mengapa perlu sekali adanya penjembatanan di sini? Soalnya, kalau tidak ada, artinya selama ini hanya "diada-adakan". Tetapi, kalau memang benar diada-adakan, kenapa kok pengikutnya banyak sekali? Dan kenapa kita enak saja boleh membicarakan hal-hal demikian, dan kemudian ramai-ramai menyesal sesudahnya? Nah, barangkali hal ini perlu kita selesaikan malam ini.

Siapa pelopor yang menyatakan tidak ada negara Islam itu? Kan ada Amien Rais, jadi dia sangat berjasa bagi negara Pancasila, walaupun Cak Nur tidak percaya ini. Komentar Cak Nur, "Apa Panji Masyarakat itu tidak salah kutip? Saya tahu kok Amien Rais." Tapi setelah ditunggu-tunggu ternyata Amien Rais tidak meralat. Artinya benar bahwa dia mengatakan tidak ada negara Islam itu. Jadi saudara-saudara, ketika kemudian Pak Roem mengatakan tidak ada negara Islam, perlu ditilik apakah itu terjadi sebelum atau setelah Konstituante. Apakah pada waktu Konstituante dia mengatakan begitu juga? Soalnya seseorang bisa saja mengatakan begitu setelah idenya kalah, kan?

Tapi di sini kita tidak bicara soal kalah atau menang, kita mau bicara kebenaran. Namun, memang kemudian kita kaget bahwa ternyata bukan Nurcholish Madjid yang memelopori soal bukan negara Islam tersebut, tetapi ternyata Amien Rais. Sekali lagi, itu karena Amien Rais aman ngomong apa saja di Indonesia, karena, ibarat ekonomi, beliau itu memberikan fundamental yang kuat. Fundamental politik akan lemah kalau bukan karena Pancasila, kan? Jadi fundamental politik kuat akibat, antara lain, anjuran Amien Rais.

Kemudian, saudara-saudara, kita perhatikan sosok Cak Nur di sini. Apakah beliau dulu dalam perkembangan intelektualnya juga menganggap konsep negara Islam itu tidak ada? Kalau tidak ada, mengapa ketinggalan oleh Amien Rais? Tapi saya lihat dari catatan, bahwa keli­hatannya bukan demikian masalahnya, karena sebagai orang HMI, saya rasa duluan Cak Nur daripada Amien Rais, karena, seperti kata Utomo (Utomo Danandjaya - red), kan duluan pertemuan di Menteng Raya.
Nah, okelah, mari kita lihat pendirian Cak Nur sampai tuntas, "Islam yes, Parpol Islam no". Jadi Cak Nur itu malah tidak sama sekali memberikan sisa, bahkan tidak untuk parpolnya. Dengan kata lain, "Bukan saja kaum Islamnya, parpolnyapun no way!" Kan begitu Cak Nur, dahsyat sekali! Sementara, Pak Roem bilang, "Islam no, Parpol Islam why not?" Begitu. Jadi ini merupakan masalah nuansa. Namun, bagaimanapun juga, barangkali kalau kita bicara soal ekonomi, hal ini bukan fundamentalnya, sebab fundamental kita itu sebetulnya tidak berubah. Semua orang menganggapnya bagus, hanya sekarang tiba-tiba menjadi jelek. Jadi fundamental politik juga dipengaruhi oleh tingkah lakunya. Saya rasa, di sini Amien Rais mau menanyakan apakah sebetulnya kalangan Islam itu berperilaku Islami atau tidak?

Nah, sekarang hal ini syukur Alhamdulillah telah direkam di dalam buku ini. Dan inilah hebatnya: kalau orang besar surat-menyuratnya saja laku, kalau orang biasa, walau sudah lama menulis artikel, belum tentu bisa masuk koran. Inilah bedanya orang biasa dengan orang pintar.

Sekarang kita persilahkan Cak Nur untuk menanggapi secara pribadi. Cak Nur, dalam 15 menit mendatang, bisa dibayangkan tidak alam pikiran Mohammad Roem dan mengapa ada surat-menyurat di antara anda? Dan, saudara-saudara, perlu disimak bahwa hanya beberapa gelintir orang sajalah yang menerima copy surat Cak Nur itu. Sayapun tidak masuk dalam lingkaran itu, walaupun baru kemarin saya mulai dilibatkan. Mengapa? Karena untuk menjadi anggota lingkaran Cak Nur syaratnya luar biasa. Lingkaran ini patut disebut imperial circle. Saya alhamdulillah bisa masuk ke dalam circle Cak Nur pada tahap terakhir. Dulu saya belum memenuhi syarat.
Cak Nur, coba ceritakan dinamika surat-menyurat anda dengan Pak Roem, dan manfaat yang anda harapkan darinya. Silahkan.

Nurcholish Madjid
Assalamu'alaikum wr. wb.,
Barangkali saudara-saudara melihat bahwa saya merasa agak nervous (gugup - red) bicara seperti ini, karena meskipun saya hanya numpang, tetapi saya tetap menjadi salah satu pusat perhatian di sini. Saya tahu bahwa saya numpang Mas Amien, numpang Pak Roem, numpang Mas Adi Sasono. Tapi saya dengan senang hati menerima kehormatan ini. Terima kasih.

Saudara-saudara sekalian, untuk diketahui, ulang tahun Masyumi itu adalah tanggal 7 November, berdasarkan hasil dari Kongres Umat Islam di Yogyakarta untuk menindak­lanjuti revolusi atau proklamasi, yang memakan tempat beberapa bulan sebelumnya, yaitu tanggal 17 Agustus. Kongres Umat Islam seluruh Indonesia di Yogyakarta itu kemudian menghasilkan keputusan untuk mendirikan partai politik bernama Masyumi, yaitu singkatan dari Majlis
Syuro Muslimin Indonesia. Suatu nama yang sebetulnya sudah ada sebelumnya sebagai kesatuan antara NU dan Muhammadiyah, tetapi kemudian diluruskan sebagai partai politik.

Saudara-saudara sekalian, barangkali saudara-saudara bisa membaca antara garis-garis. Saya akui saya memang agak obsessed dalam surat-menyurat ini, apalagi yang berkenaan dengan persoalan yang kini sedang dibahas. Terus terang saja, memang suatu kebetulan yang sangat luar biasa bahwa topik tersebut juga dimulai oleh teman saya, Mas Amien Rais, yang sama-sama belajar political science di Chicago. Oleh karena itu, kita mempunyai banyak buku yang sama termasuk karya Leonard Binder, seorang Yahudi tengik yang pada waktu itu adalah anggota muda Ergun. Ergun itu adalah sebuah organisasi pemuda Israel atau Yahudi yang menteror orang-orang Palestina supaya pergi dari Palestina yang mau dijadikan negara Israel itu. Tetapi nampaknya mereka kemudian tiba-tiba tobat, lalu mempelajari Islam, mempelajari bahasa Arab, mempelajari bahasa Persi dan Urdu, dan kemudian banyak sekali menulis mengenai Islam, walau kadang-kadang dengan nada apologetik. Ini maksudnya dengan nada bahwa mereka bukan sebagai pembela Israel.

Tapi, di antara sekian banyak kelas yang disajikan oleh Leonard Binder ada satu yang menarik, yaitu Perbandingan Politik Timur Tengah, di mana dengan sendirinya Islam terbawa-bawa. Dan dari situlah kita bisa terlibat dalam diskusi-diskusi yang kadang-kadang cukup sengit dengan profesor ini, termasuk yang berkenaan dengan masalah apa yang disebut dengan Daulah Islamiyah? Beliau melansir bahwa daulah itu memang sebuah kata Arab, tetapi yang menggunakannya pertama kali dalam pengertian negara itu sebetulnya adalah orang Persi, yang menyangkutkannya dengan kosmologi Arya bahwa penguasa itu selalu mempunyai hubungan yang spesial dengan dewa. Inilah yang disebut faham Diwaraj - yaitu bahwa setiap manusia itu mempunyai hubungan khusus dengan dewa, yang karena itu posisinya selalu di atas. Ini bersangkutan dengan pokok kosmologi lain yaitu roda nasib.

Sebetulnya, arti daulah dalam bahasa Arab asli ialah "giliran", sehingga yang berkuasa itu disebut orang-orang yang sedang "mendapat giliran". Daulah Umawiyah artinya giliran Bani Umayah, Daulah Abbasiyah-pun begitu, Daulah Utsmaniyah-pun begitu. Masa sekarang ini barangkali bisa disebut "Daulah Suhartowiyah", atau giliran Suharto. Jadi, arti daulah itu tidak persis seperti apa yang ditulis Mas Amien dalam makalahnya, dan juga tidak ada di dalam hadits maupun Al-Qur'an. Yang ada dalam Al-Qur'an itu dikaitkan, dalam bahasa sekarang, dengan masalah kewajiban untuk meratakan pembagian kekayaan nasional. Di antara semua anggota masyarakat: Kallayakunu dawlat-u bayna ahyamikum. Karena itulah ketika saya mem­baca artikel Mas Amien Rais yang sebetulnya merupakan hasil wawancara, saya sebetulnya tidak terlalu terkejut. Akan tetapi yang menarik bagi saya adalah penyorotan terhadap suatu statement khusus mengenai tidak adanya negara Islam.

Kemudian saya tunggu-tunggu apakah ada reaksi, dan ternyata ada, walaupun seperti yang dalam surat telah saya katakan, saya sudah mau menulis artikel untuk dikirim kepada Panji Masyarakat yang intinya adalah dukungan bagi Mas Amien Rais. Tetapi, mungkin sekali bahwa Mas Amien Rais tidak memasukkan pilihan kata yang subtle atau yang tidak terlalu langsung. Akan tetapi harus diperjelas di sini bahwa yang dimaksud dengan "tidak ada negara Islam" itu adalah dalam arti formal. Aspek konsekuensi dari sebutan "Negara Islam" itu, karena mencakup agama, apalagi karena agama itu Islam, menuntut orang untuk menerapkannya dalam kehidupan nyata. Dan tuntutan itu bisa saja mencakup perwujudan sebuah negara.

Itu saya kira harus jelas, karena banyak yang mengira bahwa tatkala kita mengatakan tidak ada negara Islam, itu suatu bentuk penafian total. Maka dari itu, dari artikel Mas Amien Rais yang ditanggapi oleh Pak Roem dan kemudian saya perkuat dalam berbagai surat saya, yang teramat penting ialah yang tadi dikatakan oleh Mas Adi Sasono, yaitu etika dan moral politik.

Kebetulan Masyumi telah tampil sebagai salah satu kelompok di Indonesia yang paling baik dalam soal itu. Yang paling sentral dalam soal moral dan etika politik adalah suatu penampilan diri dalam politik yang meng­hasilkan idiom-idiom terpelajar dan orang-orang yang berkarakter dan yang berpendidikan. Dari segi prinsip, orang-orang seperti itulah yang sebetulnya hendak diungkapkan melalui surat-menyurat dengan Pak Roem itu.

Saudara-saudara sekalian, memang dalam surat-surat tersebut, sudah saya akui adanya hal-hal psikologis yang menyebabkan saya sekarang merasa cukup aman untuk mengatakan bahwa saya itu dibesarkan sebagai anak Masyumi, atau orang intern Masyumi. Oleh karena terjadinya pertengkaran-pertengkaran di keluarga mengenai partai ini, di situ saya sebut bagaimana ibu saya begitu prihatin karena mendapat berita bahwa saya bertengkar dengan Pak Natsir. Beliau begitu khawatir sehingga tiap malam sembahyang untuk mendoakan saya.

Saya berangkat ke Jakarta pada tahun 60-an, dengan berbekal surat keterangan dari paman saya bernama Sonhaji, seorang tokoh Masyumi dari Jombang Selatan, bahwa saya itu kader Masyumi di Jakarta. Tapi pada waktu itu begitu berbahaya memiliki surat itu. Akhirnya surat itu hilang, entah disimpan di mana. Tapi kalau anda mau lihat simbol-simbol Masyumi, boleh datang ke rumah saya, karena masih saya simpan. Jadi, saudara-saudara, memang ada semacam obsesi dari pihak saya, dan obsesi ini terusik oleh diskusi-diskusi yang berpotensi ilmiah yang antara lain termuat di dalam disertasi Robert Myers, yang bernada don't criticize (jangan mengritik).

Ini semua tidak lepas dari peran Masyumi yang menga­takan bahwa Pak Natsir itu berada di bawah pengaruh Syahrir dan sebagainya. Karena saya memang agak emosional- sentimental, saya tidak terima hal tersebut dalam alam bawah sadar saya, walaupun saya tetap ingin mencari buktinya. Nah, itulah sebetulnya dorongan untuk surat-menyurat dengan Pak Roem itu.

Saudara-saudara sekalian, setelah 14 tahun surat-me­nyurat tersebut berlangsung, alhamdullillah sekarang telah diterbitkan. Hal ini merupakan jasa cucu Pak Roem sendi­ri, yaitu Mas Adi Sasono, yang tadi sudah tampil. Oleh karena itu saya haturkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada beliau dan juga kepada Mas Dahlan Ranuwihardjo. Karena beliau-beliau inilah yang menjamin, bahwa Insya Allah Pak Roem dalam hidupnya di alam baka sekarang ini merelakan bahwa surat-suratnya itu diter­bitkan.

Semula, ketika surat-menyurat itu masih berlangsung, sudah terpikir oleh Mas Adi Sasono untuk menerbitkannya. Tetapi, setelah dikonsultasikan kepada Pak Roem, mula-mula Pak Roem menyetujui tapi kemudian tidak. Dan kemudian, seperd dikatakan tadi, beliau meninggal hanya beberapa hari setelah surat saya yang terakhir. Sehingga saya sempat menganggap itu sebagai wasiat belaka, tidak untuk diterbitkan sekarang atau kapanpun juga. Maka, ketika saudara Agus mendesak-desak terus, saya katakan kepadanya, "Saya tidak berani, saudara Agus, anda harus minta izin dulu kepada keluarga Pak Roem". Saya selalu mengatakan begitu, dan sikap itu terus-menerus saya pertahankan selama 14 tahun. Baru sekarang surat-surat tersebut diterbitkan, dan mudah-mudahan timing-nya.-pun tepat yaitu 7 November, ulang tahun Masyumi.

Nah, saudara-saudara sekalian, Masyumi memang bubar, atau lebih tepatnya - secara "legal-formal" menurut istilah­nya Pak Prawoto - "Masyumi membubarkan diri." Maka-nya tidak ada masalah ilegalitas di situ. Masyumi membubar­kan diri karena segala usaha untuk merehabilitasi diri tidak berhasil. Akan tetapi, saya kira Masyumi sebagai suatu ungkapan visi atau pandangan etis dan moral politik itu masih hidup sampai sekarang, dan saya kira masih sangat relevan untuk Indonesia sekarang. Ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa adalah kita bangsa Muslim yang terbesar di muka bumi, mudah-mudahan malam ini merupakan suatu awal yang baik untuk mengkaji-ulang apa yang telah diperbuat oleh Masyumi dan mempelajari kembali dasar etika dan moral politik tersebut. Perlu diingat, pada Pemilu tahun 1955, dari empat partai yang tampil - yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI - Masyumi adalah partai yang paling "Indonesia", atau yang paling tidak meliputi seluruh daerah Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Simak nama-nama ini: Bapak Kasman Singodimedjo, Yusuf Wibisono, Sigiman, Wiryo Sanjoyo dan Syafruddin Prawironegoro (karena beliau itu orang Jawa, kan mustinya jadi Prawironegoro. Tapi beliau barangkali sudah terkena pengaruh Sunda, jadi Jawanya adalah Jawa bagian Barat). Tapi apalah artinya ini semua?

Bapak-bapak dan ibu-ibu, terutama teman-teman yang lebih muda, merupakan suatu hal yang menarik bahwa sebetulnya dari segi sosiologi, nama mereka itu tidak ada yang berasal dari kalangan santri. Kalau santri itu namanya ialah Abdurrahman Wahid, Muhammad Amien Rais, dan Bang Ekky ini. Ekky-nya mungkin sedikit kebarat-baratan tapi Syahruddin itu benar-benar Banten asli. Artinya, nama-nama itu tidak dikenal di kalangan pesantren.

Ini menarik sekali dan sebetulnya bisa dikembalikan kepada peran K.H. Agus Salim, ketika beliau masih ngemong mahasiswa-mahasiswa BHS, PHS dan THS yang menjadi anggota Jongjava, tapi kemudian kecewa dengan Jong Java. Mereka ini lalu mengadu kepada K.H. Agus Salim, yang penyampaiannya dilakukan oleh seorang bangsawan Solo yang tinggi sekali tingkat kebangsa-wanannya. Namanya santri Syamsul Rizal atau Raden Syam-sul Rizal.
Melalui Syamsul Rizal inilah kemudian dibentuk JIB (Jong Islamieten Bond) yang ketuanya ialah Yusuf Wibisono. Kemudian mereka mengaji dan tidak diterima oleh K.H. Agus Salim, karena saking sangat terpelajarnya, mereka mengaji dalam bahasa Belanda. Buku-buku yang dipilihpun ialah buku-buku Islam dalam bahasa Barat, yang dalam hal ini adalah bahasa Belanda, yang pada waktu itu tidak ada yang lain kecuali terbitan Ahmadiyah. Maka dari itu banyak sekali orang yang memakai buku-buku Ahmadiyah tanpa menjadi anggota Ahmadiyah. Nama majalahnya pun dalam bahasa Belanda. Nah, tanya saja Amien Rais. Ia tahu bahasa Belanda, karena ibunya berba­hasa Belanda.

Kembali ke pokok permasalahan, artinya ada suatu disjunction yang kemudian dihubungkan kembali oleh K.H. Agus Salim. Ini sangat teramat dihayati oleh Mohammad Roem, karena Pak Roem itu dekat sekali dengan Agus Salim, yang selalu disebutnya seorang Marxis. Nah, inilah kiranya sebuah hal yang menarik sekali untuk dipelajari latar belakangnya.

Kebetulan saudara Yusril mengkaji hal ini secara ilmiah dalam disertasi Doktornya. Oleh karena itu kita bisa mendengar lebih banyak dari beliau berkenaan dengan masalah Masyumi dan corporate thinking-nya tersebut.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih, terutama kepada Mas Adi Sasono yang telah membuat semuanya ini menjadi mungkin. Demikian juga kepada penerbit, panitia serta sponsor yang membuat pertemuan malam ini bisa berlangsung.
Terima kasih dan wassalam.

Ekky Syahruddin
Terima kasih, Cak Nur. Barangkali Mas Amien Rais perlu menjelaskan apakah pikiran-pikiran Mr. Mohammad Roem yang mengatakan tidak ada negara Islam itu adalah suatu pendapat yang umum, eksklusif atau minoritas di dalam tubuh Masyumi.

Yang kedua, kalau memang tadi Cak Nur memuji-muji Masyumi, apakah itu berarti Masyumi menganggap negara Islam itu ada sedangkan Cak Nur mengang­gapnya tidak ada? Jadi karena kita sekarang sedang bicara intellectual discourse, tolonglah jelaskan yang satu ini. Kita ini sekarang sedang berusaha menjelaskan kenapa negara Islam itu tidak ada. Bukankah ini berarti umat Islam pernah mau begitu, dan masa itu tidak ada bekasnya sampai sekarang? Apakah dengan dikatakan "tidak ada negara Islam", bekasnya otomatis akan hilang begitu saja? Apakah itu tidak berarti penghujatan terhadap faham yang mengatakan Islam itu pernah ada sebagai negara dan secara faktual pernah diperjuang­kan?

Nah, apakah ini lalu tidak menimbulkan distorsi historis? Apa dengan begini Cak Nur mau menghilangkan distorsi itu - bukan saja distorsi antara Islam yang bukan formal negara dengan Islam yang ashlah, seperti yang anda katakan tadi - tapi juga antara keduanya dengan negara yang sekarang sedang eksis?

Jadi, saudara-saudara, di depan kita ini duduklah ma­nusia-manusia ajaib. Ketiga-tiganya sama-sama merupakan "Natsir-Natsir Muda". Dari dulu saya dengar Amien Rais adalah Natsir Muda, Nurcholish Madjid adalah Natsir Muda, dan apalagi Yusril Ihza Mahendra, yang karena lebih muda, adalah Natsir Mudajuga. Sementara saya yang setiap hari ke rumahnya malah tidak disebut-sebut. Ini mungkin karena tujuannya lain.
Sekarang, Mas Amien Rais, coba jelaskan sedikit.

Muhammad Amien Rais
Assalamu'alaikum wr. wb., al-hamdulillahi rabbil-'alam1,in wa shalatu wa salamu 'ala ashrdfilmursaUn wa 'ala alihi wa shahbihi ajmain.

Karena waktunya pendek, saya akan bicara singkat supaya nanti Mas Yusril juga bisa bicara. Tesisnya tentang Masyumi, jadi saya kira penguasaannya tentang alif-ba-ta-nya Masyumi cukup plus.
Ketika saya mengatakan dengan tegas "Tidak Ada Ne­gara Islam", dalam konteks sebuah wawancara yang dibuat seperti makalah oleh Muchtar Effendy Harahap, salah seorang tokoh muda di Yogyakarta, kata-kata saya tentu terukur dan tidak asal bicara. Barangkali itu merupakan suatu statement yang penting setelah saya, katakanlah, melakukan pengembaraan intelektual pada masa "Noroyono" itu. Artinya saya sekarang sudah "Kresno".

Dulu, waktu saya masih muda, sebelum kembali ke Chicago, saya bertemu dengan Pak Syafi'i Ma'arif dan kemudian Cak Nur. Kemudian kita bertiga menghabiskan ratusan jam di cafetaria, di perpustakaan, di rumah saya dan di apartemen Cak Nur. Kami ngomong macam-macam, dan karena saya pernah tinggal di Mesir selama setahun, saya juga pernah bertemu dengan tokoh-tokoh al-Ikhioan al-Muslimin, dan sering pergi ke markas besar­nya. Saya sering wawancara dengan al-Mursid al 'am, yang pemimpin tertingginya bernama Umar bil Mitsani, yang sekarang sudah almarhum. Saya juga bertemu dengan Mustafa Masyhur, Yussuf Jamal, Abbas Asysi dan lain-lain. Di samping itu, saya.juga. alhamdulillah sempat mempelajari Jama'atul Islami yaitu dasar Masyumi itu sendiri.

Dan dalam, katakanlah, pengembaraan intelektual saya itu, lima belas tahun yang lalu saya membuat statement yang oleh Cak Nur ditanggapi. Kemudian Mbah Roem me­nanggapi secara lebih mendetail lagi. Dan saya kemukakan di sini bahwa sampai sekarang saya belum bergeming dari pendapat saya itu. Malah pada kesempatan ini, saya akan tambahkan sedikit dengan argumen-argumen yang mungkin lebih meyakinkan.
jadi, dalam wawancara tersebut, saya menegaskan bahwa konsep negara Islam, Islamic State atau Daulah al-Islamiyah tidak ada di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Tidak ada perintah dalam Islam untuk menegaskan negara Islam. Selaras dengan ini, agama tidak memberikan bentuk tertentu yang baku dan formal untuk negara, apalagi bentuk tertentu negara Islam yang dianggap memiliki sangsi dan legitimasi keagamaan. Hanya saya sedikit ingin mengatakan di sini bahwa kata-kata saya tentunya ada bedanya dengan apa yang ada di dalam Al-Qur'an, karena di situlah tertera esensi negara Islam seperti yang didiskusikan oleh banyak tokoh-tokoh kita. Ini memang nampaknya tidak ada petunjuk-petunjuknya. Jadi lain dengan ketika saya dengan teman-teman mesti membuat tobat nasional. Saya menga­takan kalau suatu soal tidak ada di dalam Al-Qur'an, kan sah-sah saja kalau dilakukan. Tahlilan nasional, misalnya, memperingati siapa? Lihat saja ibu kita itu (Ibu Tien Suharto - red). Jadi itu kan sebenarnya boleh.

Tetapi, masalah nilai-nilai, substansi sampai format negara Islam itu memang tidak diindikasikan di dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Nah, pernyataan di atas beserta alasan-alasan yang melatar-belakanginya masih tetap relevan dikemukakan dalam kesempatan ini.
Lima belas tahun setelah wawancara di atas, pendapat saya masih belum berubah. Malah pada kesempatan ini dapat dikemukakan beberapa alasan lain di balik pendapat yang ketika itu sempat mengundang perdebatan hangat. Jadi, pertama-tama, menurut Cak Nur, istilah bahasa Arab untuk negara sebagai identitas politik yang dikenal dalam era modern adalah daulah. Memang hal ini sama sekali tidak ada di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah saw.

Secara etimologis, kata daulah berarti pergantian, perpindahan dan pergiliran. Di dalam Al-Qur'an, surat al-Hasr ayat 7 ada kata dulahu, yaitu bagian ayat yang mengatakan harta kekayaan jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja, Kay la yakuna dulatan baynal-aghniyai minkum. Kemudian dalam surat al-Imran ayat 140 ada kata nudawiluha (wa tilkal-ayamu nudawiluha bayna annas), yaitu ketika Allah berfirman bahwa pada masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan atau nudawil di antara manusia. Jadi di dalam surat Al-Qur'an, tidak ada kekuasaan yang langgeng, pasti cepat atau lambat akan ganti. Mengapa saudara-saudara bertepuk tangan dan ketawa riuh, saya tidak paham.

Walaupun kata-kata ini memiliki akar kata yang sama dengan kata daulah yaitu wau, dai dan lam, pengertian negara sama sekali tidak terkandung. Kemudian argumen saya berikutnya adalah demikian: di dalam sejarah Islam klasik, kata daulah pernah digunakan pada peristiwa naiknya Dinasti Abbasiyah ke tampuk kekuasaan. Sebutan­nya adalah Daulah Abbasiyah, yang maksudnya tidak lain adalah giliran keluarga Abbasiyah atau berpindahnya kekuasaan ke tangan keluarga Abbasiyah dari Muawiyah.

Seiring dengan perjalanan waktu, istilah daulah berarti kekuasaan, dinasti atau rezim. Walau demikian, daulah dalam arti negara adalah produk zaman modern sejarah Islam, khususnya setelah kesultanan Utsmani bubar dan dunia Islam menjadi negara-negara dan bangsa-bangsa yang berdaulat dan merdeka. Berikutnya, ada kalangan yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an sebagai dalil wajib penegakan negara Islam. Misalnya disebutkan bahwa rangkaian ayat dalam surat al-Maidah ayat 44, 45, dan 47 berisi perintah membentuk negara Islam, yaitu dalam tiga untaian ayat: Warnan lam yahkum bima anzalallahu faulaika humul-kafirun, faulaika humulzha limun, faulaika humul-fdsiqun.
Itulah yang oleh sementara ulama dianggap perintah untuk mendirikan negara Islam, walau argumentasi semacam ini lebih tepat dipandang sebagai terlalu keras, atau bahkan sebagai pemutar-balikan makna yang terlalu mengabaikan konteks.

Rangkaian ayat ini sesungguhnya berkisah tentang arbitrase yang dilakukan Nabi terhadap kalangan ahli kitab Yahudi dan Nasrani. Ayat-ayat yang menggunakan kata yahukum dan bentuk-bentuk turunan dari ha-kaf-mim, merujuk kepada persoalan menetapkan keputusan hukum atau memutuskan perkara. Sayangnya, melalui semacam penafsiran akrobatik, ayat-ayat ini ditanggalkan dari konteksnya dan dijadikan landasan bahwa Al-Qur'an mewa­jibkan pembentukan negara Islam.

Kemudian, saya yakin sekali bahwa urusan-urusan kenegaraan dan pemerintahan sebenarnya bersifat ijtihadi dan dilatar-belakangi oleh perkembangan masyarakat. Maksudnya, asas pembentukan negara dan pelaksanaannya adalah suatu keharusan vang bersumber dari kehidupan sosial, bukan dari perintah Ilahi atau kewajiban agama. Kalau memang pembentukan negara Islam merupakan kewajiban agama, tentu ada nash ayat Al-Qur'an yang jelas, tegas dan langsung.

Kemudian, argumen saya yang berikutnya adalah selain tidak didasarkan pada argumentasi yang kuat, pendapat yang mengatakan bahwa ada bentuk tertentu negara Islam yang wajib ditegakkan umat Islam juga memiliki dampak negatif. Citra Islam yang ditampilkan menjadi kurang toleran, bermusuhan, tidak dapat bekerja sama dengan kekuatan politik lain, dan tidak dapat hidup berdampingan secara damai dengan unsur-unsur masyarakat lainnya. Citra negatif semacam ini sebenarnya merupakan produk orientalisme, akan tetapi sayang sekali bahwa pendapat yang mengatakan bahwa negara Islam itu ada secara tidak sengaja membenarkan dan mendukung citra buatan orientalisme tersebut. Tentu saja kalau saya mengatakan tidak ada negara Islam itu tidak berarti Islam tidak memiliki peran apa-apa dalam kehidupan sosial. Pernyataan tidak ada negara Islam sama sekali tidak berarti agama Islam harus dikebiri, sehingga perannya hanya terbatas pada kawasan yang sangat sempit, yaitu spiritualitas pribadi yang tidak memiliki relevansi sosial. Ini adalah faham fundamentalisme sekuler yang ingin supaya agama menyingkir dari kehidupan masyarakat dan penanganan persoalan-persoalan antar umat manusia.

Saya yakin bahwa yang penting bagi kita umat Islam ialah bagaimana menjalankan etos agama, menegakkan keadi­lan sosial dan menciptakan masyarakat yang egaliter, yaitu suatu masyarakat yang jauh dari eksploitasi manusia atas manusia dan eksploitasi suatu golongan atas golongan lain. Apabila tugas ini terlaksana, berarti kita sudah menjalan­kan misi agama seperti yang diajarkan oleh Nabi kita yang kita cintai, yaitu menciptakan tatanan sosial yang selaras dengan kode moral dan nilai keagamaan yang dapat menjadi rahmatan lil-âlamin.

Nah, kemudian apakah Pancasila itu bisa kita terima? Kalau saya yang ditanya, saya lebih dari bisa menerimanya, karena waktu saya dulu sering ke tempat Pak Natsir, beliau sering mengatakan, "Amien, Islam itu serba sila".

Jadi, kalau menerima Pancasila itu lebih daripada bisa, malah amat sangat bisa, tidak ada persoalan antara Pancasila dengan agama kita ini, dan tidak ada yang kita tutupi kalau kita memang menerima Pancasila sebagai dasar negara, filosofi negara, dan juga sebagai, kata­kanlah, pondasi kehidupan kenegaraan dan kebangsaan kita.

Dan, saudara-saudara sekalian, saya memang sesung­guhnya ingin bahwa pada akhir abad ke-20 ini kita bisa melakukan ijtihad yang seluas-luasnya karena memang nenek moyang kita tidak meninggalkan bayangan riset mengenai politik Islam itu. Teori-teori politik Islam itu sangat miskin di dalam khazanah intelektual Islam. Kalau dalam fiqh, itu memang luar biasa. Saya kira Imam Syafe'i, Ahmad Hanbali, Ahmad Hanafi dan Imam Maliki itu luar biasa kalau sudah bicara fiqh, walau terkadang memang bisa njelimet sekali. Tetapi ketika kita membuka khazanah Islam mengenaipolitical théories, itu memang tidak banyak. Mungkin sedikit di Ibn Khaldun dalam Muqadimah-nya.. Lantas yang agak terkenal tentu al-Mawardi. Kemudian pada zaman kita ini tidak banyak, paling hanya al-Mawdudi yang sangat normatif serta Muhammad al-Arsyad, yang menurut hemat saya, sedikit lebih bagus daripada al-Mawdudi.

Saya sekarang ingin tanya. Apakah cukup applicable apabila di Indonesia, negara Muslim terbesar itu, kita mengembangkan pandangan dengan titik tolak tidak ada negara Islam itu, yang mementingkan penegakan akhlak, moral dan etika Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di mata Allah, kita dinilai dengan nilai yang sangat tinggi. Mungkin delapan atau sembilan kalau bisa mengisi Pancasila secara betul, yang menurut saya sudah hebat sekali. Karena itulah Pancasila jangan dijadikan formalisme kosong; dikasih penataran P-4 malah makin banyak korupsinya. Saya kira itu sikap hidup yang agak gendeng (sinting - red). Dikibar-kibarkan bukan malah makin bagus, karena before and after P-4, kenyataannya malah semakin kontras. Masih mending bahwa setelah P-4 itu, kemudian terjadi reduksi korupsi, nepotisme dan kolusi. Tapi kok kenyataannya malah makin parah?
Memang ada yang mengatakan, "Mas Amien, bayangkan, ada P-4 saja masih seperti itu. Bayangkan kalau sama sekali tidak ada." Begitulah logikanya. Itu saya kira debat kusir juga, artinya tetap tidak mau mengalah.
Saya kira untuk sementara sekian dulu, terima kasih.

Ekky Syahruddin
Jadi, saudara-saudara, dari kedua orang tadi makin jelas bahwa istilah daulah itu artinya giliran. Bagus tidak istilah itu kita pakai? Karena kalau istilah itu dipakai, satu daulah itu makan berapa puluh tahun, Cak Nur? Daulah Abbasiyah dan Utsmaniyah itu saja berapa tahun lamanya - 100 tahun? Coba bayangkan, kalau pakai daulah itu 100 tahun. Jadi mendingan jangan pakai daulah deh! Sebab kalau pakai daulah. jadi sakral namanya itu.

Saudara-saudara, memang telah saya katakan tadi bahwa kita tidak untuk bergembira ria di sini. Kita mau menda­lami. Sebetulnya, katakanlah partai-partai kita dahulu itu kan tidak semata-mata etis, dan hanya mau formal. Itu fakta, ya toh? Cuma itulah dorongannya. Tapi apakah betul mereka salah mengaji, atau salah mengaji cara Ahmadiyah, maka jadinya begitu? Tapi apa betul demikian? Sebab NU pun, yang bukan Ahmadiyah dan yang anti Muhammadi­yah, dulu sama juga begitu.
Jadi ini sebetulnya perlu kita lihat secara letterlijk, mengapa ada pergeseran dan ketidak-pengakuan itu? Tapi tuan-tuan yang muda ini kan menghargainya? Jadi saya bingung, kenapa kalian di satu sisi merangkul dan meng­hormatinya tapi di sisi lain menafikan pikirannya? Ini bagaimanapun juga kan perlu dijembatani. Jadi barangkali yang ahli A-B-C-D-nya Masyumi, saudara Yusril Ihza Mahendra, bisa menjelaskan ini.

Pergeseran pikiran itu sudah diperdebatkan oleh Mas Dahlan Ranuwihardjo pada tahun 1952 di aula Universitas Indonesia. Bagi beliau, Indonesia adalah negara nasional dan bukan negara agama, dan waktu itu Dahlan berbicara sebagai ketua umum PB HMI. Tapi, saudara-saudara, bagaimanapun juga toh kita memang sudah memilih Pancasila, yang sekarang sudah jadi milik kita bersama. Cuma, malam ini bukan itu yang ingin kita bicarakan. Kita ingin bicara mengenai proses intelektualisasinya, sehingga makin memantapkan diskursus ini, seraya tetap meng­hormati orang-orang tua dan para sesepuh kita. Silahkan, Pak Yusril.

Yusril Ihza Mahendra
Assalamu'alaikum wr. wb.,
Saya berterima kasih, karena saya diajak berbicara pada malam ini. Walaupun saya tidak sempat membaca buku ini, tetapi bukan berarti saya tidak mengikuti surat-menyurat ini, karena pada waktu surat-menyurat itu sedang berlangsung, saya masih sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dan Bapak Mohammad Roem pada waktu itu berbaik hati memberikan copy surat-menyuratnya itu kepada saya, yang masih saya simpan dengan utuh sampai sekarang. Jadi saya hanya mendasarkan apa yang saya ingat pada tahun 1982 itu. Dan baru tadi saya sebentar mengingat kembali surat-menyurat yang dilakukan dua tokoh besar 15 tahun-an yang lalu itu.

Sebenarnya, memang banyak hal-hal yang perlu dijernihkan sekitar Masyumi, idenya tentang kehidupan bernegara, kiprah politiknya dan kerjasamanya dengan kelompok-kelompok lain di luar dirinya, antara lain PSI. Dari segi waktu, saya kira memang sekarang adalah saat yang paling baik, ketika kita sudah jauh dari saat peristiwa itu terjadi, untuk membicarakan masalah-masalah ini dengan pikiran yang lebih jernih, ketika prasangka-prasangka politik, kebencian ataupun konflik itu sudah mulai berkurang, apalagi sebagian besar tokoh-tokoh yang terlibat pada peristiwa-peristiwa di masa lalu itu telah berpulang ke Rahmatullah.

Sekarang anggota-anggota Masyumi yang masih ada barangkali tinggal Pak Anwar Haryono dan Pak Hasan Basri. Orang-orang PSI tinggal Pak Hamid dan Pak Badyo. Sudah tidak banyak. Dari kita-kita ini, barangkali sayalah yang paling kurang. Hanya apalah namanya yang sesuai, barangkali turunan atau cucu orang Masyumi.

Mudah-mudahan sesepuh-sesepuh kita tersebut bisa lebih jernih melihat persoalan, apalagi ada Pak Yus di sini untuk turut menganalisa soal ini. Jadi ketika saya harus menjawab pertanyaan sekitar soal PDI waktu itu, saya menanyakan mengapa Megawati itu seperti ngamuk-ngamuk begitu, padahal PDI-nya itu telah dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru ini. Hanya begitu, kok seperu kalang kabut.
Saya ingat, pada tahun 1960 saya membantu bapak saya menurunkan lambang Masyumi dari depan rumah saya, saat partai baru dibubarkan dengan zhalim oleh Soekarno. Dari segi itu, Soeharto sebenarnya tidak membubarkan PDI. Tapi lucunya, ketika Soekarno membubarkan Masyumi dengan cara yang zhalim, seingat saya pada waktu itu orang Masyumi tidak bikin demonstrasi di mana-mana. Namun mereka memang membawanya ke jalur hukum dan menggugat ke pengadilan, walaupun sampai hari ini guga­tan tersebut belum diputuskan oleh pengadilan. Saya waktu itu masih kecil, umur saya sekitar empat atau lima tahun. Saya membawa palu menurunkan lambang Masyumi dari depan rumah saya, karena ayah saya memang ketua cabang Masyumi pada tahun 1960.

Tadi Pak Nurcholish mengatakan bahwa hari ini lebih pantas dibilang hari ulang tahun Masyumi. Sebetulnya hari jadi Masyumi itu persisnya bukan tanggal 7 November, tetapi tanggal 8 November. Kongresnya memang tanggal 7, tetapi baru besoknya Masyumi resmi didirikan. Dan Masyumi-pun sebetulnya bukan singkatan dari Majlis Syuro Muslimin Indonesia seperti yang tadi dikatakan Pak Nurcholish Madjid. Pada zaman Jepang memang Masyumi itu adalah bentuk mobilisasi sosial keagamaan pengganti MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia), dan pada waktu itu memang namanya Majlis Syuro Muslimin Indonesia.

Kemudian dicari singkatan yang kiranya tidak terlalu aneh didengar oleh orang Jepang, maka disingkatlah namanya sebagai Masyumi. Soalnya, Masyumi itu nama gadis Jepang, jadi Jepang akan senang menengar nama Masyumi.

Tapi ketika pada tanggal 7 dan 8 November diadakan Kongres Umat Islam di Yogya, mereka memikirkan nama yang baik bagi partai ini. Agus Salim sempat mengusulkan nama Partai Rakyat Islam. Yang lainnya menghendaki Partai Politik Islam Indonesia, dan ada juga yang menghendaki Masyumi.

Pada akhirnya, diputuskanlah namanya menjadi Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. Jadi, sekali lagi, namanya yang benar adalah Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. Dan sejak itu Masyumi hanyalah sebuah nama, dan bukan lagi singkatan dari Majlis Syuro Muslimin Indonesia.
Pada waktu itu juga diputuskan bahwa Masyumi menjadi satu-satunya Partai Islam dan tujuannya adalah mene­gakkan kedaulatan negara Republik Indonesia dan agama Islam. Yang salah dalam hal ini justeru keponakan Pak Roem yaitu Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, yang tulisannya saya sempat bantah pada tahun 1987 di harian Pelita. Pada waktu itu, Pak Dahlan mengatakan Kongres Pembentukan Masyumi bulan November tahun 1945 memutuskan untuk mendirikan negara Islam. Tetapi itu tidak ada dalam  risalah persidangan dan laporan detailnya. Hal tersebut sampai sekarang masih dapat dibaca di harian Kedaulatan Rakyat terbitan Semarang edisi 8 dan 9 November 1945.

Baiklah sekarang kita fokuskan pembicaraan kepada istilah negara Islam tadi itu. Saya kira Pak Roem benar ketika beliau mengatakan bahwa dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Masyumi, kata-kata "Negara Islam" tidak ada. Itu juga menunjukkan bahwa Pak Roem juga seorang jurist yang berpikir secara formalis. Untuk mengerti ideologi sebuah partai memang tidak cukup hanya membaca AD/ART-nya saja, tapi kita juga harus memperhatikan statement-statement politik yang dibuat oleh partai tersebut, dokumen-dokumen partai yang tersedia, termasuk juga istilah-istilah yang dipergunakan pada waktu itu, dan juga program-program aksi atau program-program mendesak partai. Saat itu, itulah yang diperjuangkan oleh Masyumi. Saya telah membaca Anggaran Dasar Masyumi yang enam kali berubah antara tahun 1945 sampai 1956 dan memang tidak ada istilah negara Islam di dalamnya. Tetapi kalau anda membaca tulisan dua tokoh, bukan demikianlah kenyataannya. Yang pertama ialah H. Zainal Abidin Ahmad, yang bukunya pertama kali terbit pada tahun 1946, dan diterbitkan di Pematang Siantar, Sumatra Utara. Pada waktu itu buku kecil yang isinya memperkenalkan Masyumi kepada khalayak ramai tersebut banyak beredar di Sumatra Utara. Di dalamnya, Pak Zainal mengemukakan bahwa Masyumi berjuang untuk menegakkan sebuah negara Islam.

Pada tahun 1952, Zainal Abidin Ahmad menerbitkan sebuah buku berjudul Membentuk Negara Islam, dan istilah-istilah yang terdapat di dalamnya malah lebih banyak lagi terdapat dalam karya-karya almarhum IsaAnshori. Beliau memang sering sekali menggunakan istilah negara Islam.
Hal inilah yang tidak saya temukan dalam tulisan Pak Natsir, tulisan Syamsuddin Prawiranegara ataupun tulisan tokoh-tokoh lain seperti Sugiman. Yusuf Wibisono, walaupun sering menulis, tidak pernah menggunakan istilah "Negara Islam". Beliau hanya mengatakan bahwa Islam itu memenuhi syarat untuk dijadikan dasar bagi sebuah negara modern. Jadi saya kira soal ada atau tidaknya istilah "Negara Islam" hanyalah merupakan persoalan istilah dan sifatnya agak kontradiktif.

Seperti apa yang ditanyakan oleh Pak Ekky Syahruddin tadi, adakah konsep "Negara Islam" itu di dalam Al-Qur'an dan Sunnah (Hadis)? Konsep itu adalah sesuatu yang ada di dalam pikiran kita, dan merupakan produk pemikiran manusia. Tetapi, inilah yang perlu dijernihkan sekali lagi. Semua orang Islam yakin bahwa Al-Qur'an dan Hadis bukanlah konsep hasil pemikiran manusia. Al-Qur'an itu bukanlah suatu konsep karena Al-Qur'an itu wahyu. Demikian juga Hadis itu adalah ucapan, perbuatan dan tingkah laku serta sikap diam Nabi yang dikodifikasikan dalam kitab-kitab Hadis.
Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa Al-Qur'an, seperti yang dikatakan oleh Mas Amien Rais tadi, memiliki petunjuk-petunjuk yang bersifat umum dan berlaku universal tentang segala hal, termasuk antara lain prinsip-prinsip dan asas-asas tentang bagaimana kita menyelenggarakan kehidupan pribadi, kehidupan masyarakat maupun - di masa modern ini - dalam kehidupan negara.

Nah, menurut saya, terserah orang apabila hasil seperti itu mau dinamakan negara Islam atau tidak. Istilah ilmu hukum, fiqh Islam dan ilmu Kalam tidak ada di dalam Al-Qur'an. Tapi para pemikir menyusun konstruksi tentang ilmu Kalam dan istilah aqidah Islam yang menurut saya tidak ada dalam Al-Qur'an.

Jadi kalau orang kemudian berijtihad, ya, pertama-tama dengan cara merujuk kepada prinsip-prinsip yang dike­mukakan oleh Al-Qur'an, dan kemudian dengan melihat situasi yang ada di masyarakatnya. Baru kemudian mereka menyusun konsep tentang sebuah negara, yang lalu mereka namakan negara Islam. Menurut saya, kita tidak bisa salahkan mereka, itu hak mereka sendiri.

Memang pada waktu itu saya sempat mempersoalkan ini dengan Pak Natsir. Saya tanya kepada beliau, "Pak Natsir, kenapa ideologi Masyumi itu disebut sebagai ideologi Islam?" Setahu saya, rumusan ideologi resmi Masyumi, atau tafsir asas Masyumi, ditulis oleh Pak Natsir sendiri, dan untuk menulisnya, Pak Natsir sempat berkelana antara lain ke Pakistan, ke Turki, ke Mesir dan ke negara-negara Timur Tengah untuk mengadakan serangkaian per­bincangan dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka.

Di Pakistan, pada tahun 1952, ia berbicara dengan Perdana Menteri Muhammad Alidan dan Menteri Luar Negeri Syeikh Muhammad Abdurrahman, walau sayangnya beliau tidak bertemu Al-Mawdudi. Itu saya sudah cek, baik kepada orang jemaat maupun kepada Pak Natsir sendiri. Dan setelah pulang, Pak Natsir mulai menulis hasil ru­musan-rumusannya, yang draft-nya oleh Muktamar Masyumi di Bandung tahun 1952 diterima sebagai tafsir asas Masyumi.

Jadi apa yang disebut konsep itu sebetulnya konsep Pak Natsir, tapi kenapa konsep ini malah lalu disebut ideologi Islam, bukannya ideologi Masyumi atau ideologi Natsir? "Ya, orang bilang begitu", kata pak Natsir enteng.

Saya jadi berpikir bahwa istilah penamaan itu mungkin hanya penting, tetapi tidak menyangkut hal yang pokok. Jadi kalau misalnya pak Ekky Syahruddin ini dulu waktu masih bujangan- mau menikah sebagai orang Islam dan aktivis Islam, tentu beliau ingin supaya rumah tangga beliau itu betul-betul menjadi rumah tangga Islami, betul tidak? Tetapi apakah perlu di depan rumahnya - apalagi sekarang ini dia adalah anggota DPR, jadi jangan-jangan ia akan mendapat rumah di Kalibata, misalnya - dicantumkan "Rumah tangga Islam Ekky Syahruddin"? Apakah orang tidak akan ketawa terbahak-bahak? Apa-apaan si Ekky ini, begitu pikiran orang.

Jadi, menurut saya, istilah negara Islam itu mungkin penting tetapi tidak pokok, sebab saya pikir orang makan tekor setengah matang, terus minum susu, terus minum madu satu sendok itu penting bagi kesehatan, tapi tidak pokok. Kalau saya diberi minum susu, malah muntah-muntah. Jadi saya pikir yang pokok itu orang makan nasi dan lauk-pauk secukupnya tiga kali kalau normal, tapi kalau lagi krisis moneter seperti sekarang, barangkali satu kali saja sudah cukup. Jadi orang itu perlu makanan pokok, tapi tidak perlu yang lain kecuali yang penting saja. Kembali ke persoalan negara Islam, menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam dalam sebuah negara bagi saya itu pokok, tapi apakah negaranya lalu disebut negara Islam atau tidak, itu hanya "penting" saja, tapi tidak pokok.

Saya cukup lama melakukan riset di Pakistan, di mana saya tinggal di Mansura selama kira-kira sembilan bulan. Mansura itu adalah markas besar dari Jema'at al-Islami di kota Lahore pada waktu itu. Di situ saya amati perjalanan Pakistan secara empiris untuk menerapkan ide-ide Islam pada sebuah negara di abad ke-20 ini. Dan menurut pengalaman saya selama di situ, rasanya terlalu berat bagi negara seperti Pakistan itu untuk menyandang predikat sebagai sebuah negara Islam. Ya, itu berat sekali, sebab bagaimana mau di-sebut negara Islam karena ayat Al-Qur'an yang pertama itu adalah Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, sementara 73 persen rakyat Pakistan itu buta huruf. Saya kira itu masalah mendasar bagi Pakistan. Bagaimana kita menyelesaikan masalah kalau 73 persen penduduknya buta huruf dan hanya 27 persen yang bisa membaca. Orang Pakistan yang pandai, pandai sekali, yang goblok, goblok sekali. Begitulah kiranya.

Nah, mengenai soal negara Islam itu, apakah yang kemudian dilakukan Masyumi? Masyumi memang menyu­sun sebuah draft Konstitusi Republik Indonesia. Pada waktu mereka membentuk panitia, boleh-lah kalau sekarang disebut Panitia Sebelas, mumpung mau sidang MPR kan. Ada Tim Sebelas atau Tim Sembilan, kalau begitu. Panitia Sebelas diketuai oleh Pak Rizal Abidin Ahmad, dan anggotanya banyak sekali, termasuk Pak Natsir, Pak Roem, Pak Syafruddin, Pak Oetsman Ralibi dan lain-lainnya. Mereka ini diserahi tugas menyusun konstitusi yang akan diperjuangkan di Konstituante, dan oleh Mu'tamar Masyumi tahun 1956, draft itu diterima. Di dalamnya tercantum "Konstitusi Republik Islam Indonesia". Itu masih saya simpan dokumennya.

Tapi istilah Republik Islam itu tentatif, dan kemudian lebih jauh dikatakan atau "Konstitusi Republik Indonesia". Dalam Pasal I tercantum nama negara, dan sebagai dasar negara disebut Republik Islam Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa atau Republik Indonesia berdasarkan Islam. Itupun istilahnya sudah tentatif. Jadi itu betul-betul tidak main-main, dan yang ikut bukan hanya orang Masyumi saja, tetapi juga orang NU, PSII dan semuanya yang Islam-Islam itu. Nah, jadi sekarang Gus Dur (Abdur­rahman Wahid - red) janganlah sampai cuci tangan, karena orang NU juga memperjuangkan negara Islam di Konstituante.

Itu semua kenyataan historis yang tidak bisa kita bantah. Jadi mereka perjuangkan itu. Saya juga menemukan dokumen-dokumen rapat Dewan Partai Masyumi tahun 1957 menjelang Sidang Konstituante. Mereka bilang, tujuan mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara itu adalah perjuangan maksimal karena Konstitusi Republik Indonesia - yang pada saat itu adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 - telah memenuhi syarat-syarat minimal sebuah negara seperti dikehendaki oleh Islam. Jadi kalau Islam menjadi dasar negara, itu merupakan target maksimal. Artinya, kalau tidak tercapai, tidak apa-apa. Dan itu tegas dikatakan demikian. Jadi mereka perjuangkan Konstituante itu karena bebannya berat, apalagi karena itu merupakan janji-janji Pemilu. Contoh saja Golkar. Kalau para jurkam-jurkam itu sudah mengumbar janji muluk-muluk, janji-janji tersebut nantinya kan akan ditagih orang, ya tidak Pak Ekky?

Jadi, pada saat itu jurkam-jurkam tersebut sudah kampanye ke mana-mana, bahwa pokoknya kalau Masyumi menang, mereka akan perjuangkan Islam sebagai dasar negara. Jadi, bagaimanapun juga, mereka harus perjuangkan Islam sebagai dasar negara, karena mereka telah janji. Pada waktu itu, Pak Kasman Singodimedjo menduga akan ada tiga dasar negara, yaitu Islam, Pancasila dan Komunis. Tapi rupa-rupanya orang PKI cukup pintar. PKI tidak mengajukan Komunis sebagai dasar negara, tetapi PKI bergabung dengan Pancasila. Jadi Pancasila itu didukung oleh partainya Pak Hamid, walaupun Sutan Takdir Alisjahbana pernah bilang, "Pancasila itu kayak keranjang, bisa diisi macam-macam". Tapi itu Pak Takdir, yang walaupun tidak cukup yakin, masih tetap mendukung.

Jadi pada waktu itu ada Pancasila, ada Islam dan ada Komunisme. Komunis PKI tidak memperjuangkan komunisme tapi bergabung dengan Pancasila. Nah, ketika pidato-pidato dasar negara itu sudah selesai dibicarakan, dibentuklah secara kompromistis sebuah Panitia Perumus. Dan rumusan-rumusan komprominya itu sudah dijadikan dasar negara, yaitu Pancasila, dengan sila pertama yang berbunyi "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" menurut agama-agama yang hidup di tanah air kita ini, yaitu Islam, Hindu, Buddha, Kristen dan agama-agama lainnya. Ini karena pada waktu itu orang PKI mendukung Pancasila juga.

 Nah, Pak Kasman sempat bertanya, "Kenapa mendu­kung Pancasila, kalian itu kan PKI yang tidak bertuhan?" Dan jawaban Nyoto: "PKI sebagai partai memang tidak bertuhan,sama juga dengan Masyumi yang sebagai partai sebetulnya juga tidak bertuhan. Yang sembahyang lima kali sehari semalam itu kan orang Masyumi, sementara partai Masyumi tidak bisa sembahyang."

Jadi, kata Wikana, pada waktu itu Ketuhanan Yang Maha Esa berarti kebebasan beragama dan aspek itulah yang diterima oleh PKI, walaupun hal ini dibantah habis-habisan oleh Ihsan Sari. Katanya, dalam Komunisme, kebebasan beragama artinya juga kebebasan untuk tidak beragama serta kebebasan untuk ber-propaganda anti-agama seperti di Rusia. Jawab Wikana, "Itu Rusia, Indonesia lain, bung!" Debatnya jadi tidak karu-karuan. Tapi pada waktu akhirnya dilakukan voting menjelang usul kembali ke UUD 45, jumlah yang mendukung Islam sebagai dasar negara itu 205 suara dan yang mendukung Pancasila sebanyak 252 suara, dan dalam 252 suara tersebut terdapat 98 suara PKI. Hal itu harus diingat betul - jangan pernah dilupakan. Karena andaikata dari 252 suara itu minus PKI, jumlah para pendukung Islam di Konstituante itu lebih banyak daripada jumlah pendukung Pancasila.
Tapi meskipun pendukung Pancasila itu lebih banyak berkat adanya dukungan PKI, Murba dan lain-lainnya di Konstituante, ketentuan f dari forum masih belum terpenuhi. Sementara, keputusan baru bisa diambil kalau 3 dari forum menyetujui, sesuai dengan pasal 135 UUDS 1950. Tetapi dalam keadaan seperti itu, menurut saya tidak banyak yang bisa diperbuat, karena pada waktu itu keadaannya bergantung pada PNI. Masyumi sudah menerima Pancasila tapi hanya sebatas tafsiran Ketuhanan Yang Maha Esa menurut agama-agama Islam, Kristen, Buddha dan Hindu. Ini karena orang Masyumi khawatir Tuhan-nya ditafsirkan ala PKI. Nah, ketika PNI mau bergabung, masalahnya menjadi mana Pancasila versi Masyumi dan mana Pancasila versi PKI.

Di Jawa Tengah, Hadisubeno dan Imam Sopadeleno membentuk blok nasionalis Islam, tapi di pusat, PNI-nya Suwiryo dan para Sukarnois lain-lainnya itulah yang menjadi masalah, walaupun mereka tetap memelihara kerjasama dengan kelompok ini. Jadi ada ketegangan antara Jawa Tengah dengan pusat pada waktu itu. Singkat kata, pada waktu itu sudah dilakukan voting, tetapi keputusan tidak bisa diambil. Sebetulnya, usul pemerintah kembali ke UUD 45 itu sudah ditolak oleh Konstituante. Jadi kalau mau bicara jujur, sebetulnya di Konstituante, baik Pancasila maupun Islam tidak bisa dijadikan dasar negara, karena dua-duanya tidak dapat dukungan i . Itulah persoalannya. Tapi setelah dikeluarkannya Dekrit, baru orang Masyumi dapat menerima. Oke, kita menerima, dan pada waktu itu yang diakui bukan negara Islam, tetapi Islam sebagai dasar negara. Apakah itu mau disebut negara Islam atau tidak, saya kira terserah orang.

Di dalam UUD 45 tidak ada istilah negara Pancasila. Tapi apakah hal itu dapat menjadi dasar bagi kita untuk mengatakan bahwa negara ini bukan negara Pancasila, kita tidak tahu. Begitulah pemaparan saya. Terima kasih. Wassalam.

Ekky Syahruddin
Ternyata pendukung Yusril Ihza Mahendra banyak juga. Jadi Amien Rais dan Cak Nur juga salah sangka. Biarpun di dalam UUD 45 tidak tertera bahwasanya Pancasila adalah sebuah negara, tetap saja negara ini disebut negara Panca­sila. Jadi ada atau tidaknya sesuatu konsep jangan dilihat secara harfiah, karena anggapan demikian sangatlah salah. Namun sayangnya, Yusril beraninya hanya mengomeli saya; luong yang ngomong Cak Nur dan Amien Rais kok saya yang diganjar.

Yusril ini hebat sekali, tapi sayang dia banyak menyentuh hal-hal pribadi, seperti menyindir-nyindir saya Golkar. Tapi tidak apa-apa, sebab saya memang sudah masuk Golkar semenjak tahun 1964-1965. Saya memang Cxolkar dan saya tidak akan beranjak dari situ, sebab kalau saya keluar, saya tidak loyal. Tetapi, biarpun saya sudah lama di Golkar, tetap pangkat saya masih rendah, karena saya belum menjadi speech writer Golkar. Tidak seperti Yusril, yang biarpun sudah menjadi penulis pidato Ketua Pembina Golkar, tapi berlagak seolah-olah tidak tahu-menahu mengenai Golkar, atau seolah-olah tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Golkar. Tetapi, okelah, saya kira kita tidak usah membawa hal-hal pribadi, kita kembali saja kepada yang nyata.

Cak Nur, mungkin pemaparan Yusril Ihia Mahendra tadi cukup bagus ya? Rumah saya tidak akan disebut "Ru­mah Ekky Syahruddin Islami", karena memang kalau ditulis demikian, kan namanya konyol! Jadi berarti Yusril ini suka "mengonyol-ngonyolkan" orang-orang. Oke, apakah Cak Nur mau membahas Yusril? Atau marilah saya alihkan diskusi kepada publik. Siapa yang ingin bertanya? Saya akan catat dulu. Oh, ada sebuah permintaan dari Bang Ali - beliau menolak bicara karena takut beliau jadi anak buah Yusril.

Ibu Titi
Pertama-tama, saya ingin bertanya, apakah forum ini adalah forum agama ataukah forum politik? Dua-duanya bagi saya sih oke saja. Sekarang saya ingin bertanya kepada Bapak Amien Rais, calon presiden kita. Dalam hal in

« Kembali ke halaman awal