Senin, 16 November 2015

Mengapa TNI/Polri Mau Dikelabuhi Amandemen Konstitusi?

TSKita

Mengapa TNI/Polri Mau Dikelabuhi Amandemen Konstitusi?

Minggu, 15 Nov 2015 - 18:38:26 WIB
Bambang Wiwoho, TEROPONGSENAYAN
9cropped-dsc_6553_1446976144657.jpg
Sumber foto : Istimewa
Bambang Wiwoho

Setelah UUD 1945 diamandemen yang keempat kalinya pada tahun 2002, baru kali ini saya mendengar seruan tegas dan jelas dari tokoh Keluarga Besar TNI – Polri, yaitu Purnawirawan Jenderal Bintang Empat, Mantan Panglima ABRI Djoko Santoso, yang menyerukan konsolidasi nasional untuk Gerakan Kembali ke Pancasila dan  UUD 1945.

Seruan yang dikemukan dalam Deklarasi Gerakan Selamatkan Indonesia Dengan Kembali Ke Pancasila & UUD 1945 hari Kamis 12 November 2015 itu, juga menegaskan gerakan harus didukung oleh seluruh komponen bangsa Indonesia termasuk TNI dan Polri yang berpedoman kepada Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Tribrata.

Sebelumnya ia menyatakan, Amandemen UUD 1945 telah membawa ketidaksesuaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amandemen juga telah menginfiltrasi  kehidupan dan pertahanan konsepsi bernegara dengan faham liberalisme baru dan kapitalisme baru. Kedua faham tersebut telah mencengkeram  dan menghisap darah bangsa Indonesia yang akan berakibat fatal bagi kita.

Seruan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945, belakangan ini kembali marak diperjuangkan oleh generasi muda dan mahasiswa antara lain dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah,  Persatuan Mahasiswa Khatolik Republik Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Gereja Kristen Indonesia, Mahasiswa Hindhu Dharma, Asosiasi Pedagang Kaki Lima, Gerakan Bumiputera, Front Nasional dan lain-lain.

Pada tahun 2004,  penulis juga pernah ikut aktif mendeklarasikan gerakan serupa yang bernama Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), yang didukung oleh para sesepuh bangsa antara lain KH.Ali Yafie, Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, aktivis Hariman Siregar, tokoh purnawirawan Polri Nugroho Djajusman, sejumlah purnawirawan dan aktivis.
 Sayang sekali, GKIR yang pada kelahirannya memperoleh dukungan luas dan menjadi tumpuan harapan masyarakat yang setia pada cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, semenjak 2009 mati suri. Selanjutnya perjuangan untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945 hanya berlangsung di ruang-ruang tertutup oleh kelompok-kelompok terbatas,  berlangsung bagaikan orang onani yang memuaskan diri sendiri tapi tidak dirasakan oleh orang lain apalagi masyarakat luas.
Syukur Alhamdulillah, meski diwarnai oleh sejumpah tuntutan lain, para pemuda, mahasiswa dan masyarakat lapisan bawah yang penulis sebut di atas tadi, gencar melakukan gerakan termasuk demonstrasi untuk menuntut diluruskan serta dikembalikannya kiblat kemerdekaan bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Baik gerakan GKIR maupun para pemuda dan mahasiswa sekarang ini menyadari dan memahami, UUD 1945 bukanlah kitab suci yang tidak bisa dikutak-katik, tidak boleh diubah. UUD 1945 perlu disempurnakan, misalkan tentang pasal masa jabatan Presiden yang memang harus dibatasi hanya boleh selama dua kali saja. Namun demikian penyempurnaan janganlah dilakukan dengan cara amandemen seperti selama ini, yang merombak total batang tubuh UUD, melainkan dengan cara adendum-adendum.

Sebagaimana telah saya tulis dalam seri artikel “Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (4) : Ancaman Presiden Soeharto/TNI Terhadap Siapa Saja yang Mau Mengubah UUD '45 (baca ini) dan juga dimuat dalam buku “Pak Harto Anak Desa Membangun Kepentingan NasionalAK”  yang diterbitkan oleh Unversitas Mercu Buana halaman 223 – 250.
Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengakui UUD 45 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen dibanding UUD 1945 yang asli. Sementara pakar hukum tatanegara Maria Farida mengatakan sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru, bukan hanya mengubah UUD 1945.

Menjadi pertanyaan mengapa UUD yang baru sama sekali itu tetap disebut sebagai UUD 1945 dan bukan UUD 2002?  Itu semua pada hemat penulis adalah manipulatif untuk mengelabui dan menghindari konflik dengan TNI – Polri, karena Sumpah Prajurit TNI yang terdiri dari lima butir, butir pertamanya berbunyi : “Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,”bukan UUD 2002! Demikian pula Tri Brata Polri yang butir keduanya berbunyi: “Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dalam menegakakan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,” sekali lagi bukan UUD 2002.

Lantas mengapa TNI – Polri mau dikelabui dengan UUD yang namanya saja UUD 1945, tetapi sesungguhnya UUD yang baru sama sekali? Itulah pertanyaan besar yang selama ini menggelayut, yang pada hari Kamis tanggal 12 November yang lalu mulai memperoleh titik terang dengan seruan Jenderal Djoko Santoso yang menyatakan TNI dan Polri harus mendukung gerakan Penyelamatan Indonesia dengan kembali ke Pancasila dan UUD 1945.
Tentu tetap dengan catatan, selanjutnya mari kita sempurnakan bersama dengan melibatkan seluruh rakyat, secara cermat dan seksama dengan cara membuat adendum-adendum.  Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa merahmati dan memberkati kita bangsa Indonesia. Aamiin.(*)

Dikutip dari media online Teropong Senayan, Minggu 15 November 2015.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda