Minggu, 15 November 2015

OPERASI WOYLA : Kisah Operasi Pembebasan Pesawat Garuda Indonesia


Operasi WoylaOperasi Woylayogasyubah AsaYopandieharmoko
OPERASI WOYLA

Buku Operasi Woyla menceritakan kisah nyata tentang operasi penyelamatan pesawat milik maskapai penerbangan Garuda yang dibajak pada Sabtu pagi 28 sampai Selasa 31 Maret 1981, yang mengangkut 6 (enam) orang awak pesawat dan 48 penumpang. Pesawat jenis McDonel Douglas berkapasitas 102 penumpang tersebut berangkat dari Jakarta, singgah di Palembang dengan tujuan akhir Medan, dibajak begitu tinggal landas dari pelabuhan udara Talang Betutu, Palembang. Pesawat ini sebagaimana kelaziman kala itu, diberi nama salah satu gunung atau sungai di Indonesia, dan untuk pesawat bernomor penerbangan GA 206 ini diberi nama Woyla, yaitu nama sebuah sungai besar di Aceh Barat.
Karena mengisahkan operasi penyelamatan pesawat Garuda “Woyla”, maka buku ini pun diberi judul OPERASI WOYLA.

Buku ini disusun berdasarkan suatu pengamatan yang dilakukan melalui beberapa rekonstruksi, wawancara-wawancara dengan para pelaku langsung, menelaah rekaman-rekaman pembicaraan selama pembajakan berlangsung, mengamati film-film dokumentasi yang dibuat oleh televisi Muangthai, serta menyimak dokumen-dokumen tertulis baik yang dibuat oleh pejabat-pejabat yang menangani peristiwa tersebut maupun oleh media massa luar dan dalam negeri seperti Suara Karya, Sinar Harapan, Kompas dan Tempo.

Mengingat situasi politik keamanan yang keras dan ketat di masa itu, dan juga demi melindungi para anggota pasukan komando yang terlibat langsung dalam operasi fisik pembebasan dari kemungkinan balas dendam dan ancaman lain, maka tidak semua pihak boleh diwawancarai. Bersyukur penulis bergerak cepat menelusuri dan merekonstruksi tatkala beberapa tempat kejadian masih mendekati aslinya, bahkan beberapa berkas masih ditempatnya. Dan yang lebih membantu pula, Jenderal Yoga Sugomo dan Duta Besar Indonesia untuk Muangthai Letnan Jenderal Hasnan Habib berbicara terbuka apa adanya, dengan mempersilahkan penulis untuk menyaring sendiri mana yang pantas mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Insya Allah pada saat yang tepat apa-apa yang belum diungkapkan sampai hari ini, bisa diungkapkan kelak sebagaimana adanya.

Operasi Woyla berhasil baik dan dikagumi dunia internasional, berkat ridho Gusti Allah Swt serta kerja keras yang cermat dan baik dari 3 pusat kendali penanganan operasi yaitu Crisis Center Jakarta yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo, Crisis Center Don Muang yang dipimpin Jenderal Yoga Sugomo dan Letnan Jenderal Hasnan Habib serta Pasukan Komando yang dipimpin Letnan Jenderal Benny Murdani. Mereka-mereka yang terlibat dalam operasi nyaris tidak tidur dan tidak meninggalkan lokasi tugas masing-masing selama hampir empat hari.

Buku Operasi Woyla adalah sebuah bahan sejarah yang dikemas secara populer dan disajikan semenjak dini ketika peristiwanya masih hangat, dan pelaku-pelakunya masih lengkap. Dengan demikian diharapkan semua pihak dapat secara cepat memberikan pembetulan, meluruskan yang ternyata bengkok dan mengisi hal-hal yang masih kosong atau terlampaui.

Karena yang menyusun adalah seorang wartawan – bukan sastrawan dan sejarawan – buku ini menurut penulisnya, tentu masih jauh dari sempurna. Meskipun demikian, berdasarkan cara, bentuk dan saat penyajiannya, mudah-mudahan bisa memberikan sumbangan atau setidak-tidaknya memancing munculnya bahan sejarah yang lebih lengkap dan dapat dipercaya, sehingga kelak tidak akan terjadi pemalsuan sejarah.

Guna melengkapi gambaran situasi nasional pada masa itu, berikut kami kutipkan tiga pernyataan tentang Operasi Woyla. Pertama, pesan Presiden Soeharto kepada Jenderal Yoga Sugomo 28 Maret 1981 jam 16.15 di Jalan Cendana 8 Jakarta, yang juga dikutip di bagian depan buku Operasi Woyla, yaitu; “Kau boleh melakukan tindakan apa saja untuk menyelamatkan penumpang dan pesawat, asal jangan mengorbankan kehormatan negara. Dan kalau seandainya semua jalan gagal, kau boleh melancarkan operasi militer. Tapi ingat, jangan grusa-grusu! Jangan gegabah!”

Kedua, catatan tulisan tangan Jenderal Yoga Sugomo kepada penulis tertanggal 17 Oktober 1981: “terima kasih sebesar2nya kpd sdr Wiwoho. Yang secara berani dan obyektif mengungkapkan suatu “mysterie” yg oleh berapa fihak selalu dicoba utk ditutupi. Semoga buku ini akan merupakan bekal utk terus “Berjuang” selaku Prajurit Pena. Yoga Soegomo (dengan tandatangan)”.
 
Ketiga, pernyataan Letnan Jenderal Ali Murtopo kepada penulis pada tanggal 20 September 1983, yang kemudian menjadi semacam testimoni tentang Yoga Sugama, dan diterbitkan dalam buku “Memori Jenderal Yoga” sebagai berikut: “ ….karena pengalaman, saya rasa Pak Harto sukar untuk meninggalkan Pak Yoga dalam penugasan-penugasan negara. Dan juga tidak mungkin ada fitnah lagi. Saya tahu orang-orang yang memfitnah. Saya tahu berapa kali Pak Yoga difitnah. Belakangan sih ada, mulai lagi, umpamanya pada sekitar tahun 79 – 80, yaitu sesudah pembentukan kabinet. Sampai pak Yoga ke Hankam itu pun sudah difitnah. Tapi mungkin karena Pak Yoga sudah berpengalaman, Pak Harto sudah berpengalaman, pak Harto sudah lebih mengenal Pak Yoga, dan Pak Yoga sudah tidak emosional, sudah mampu menyesuaikan, maka tidak terjadi hal-hal yang jelek. Yang lebih jelek, karena sebetulnya saat itu sudah jelek sekali. Tapi karena Pak Harto sudah ndak bisa dibohongi, ya sudah.
Waktu mengenai Woyla mau dicoba lagi. Saya pikir, suruh orang-orang itu baca buku Operasi Woyla saja. Betul nggak? Waktu Woyla, pejabat mana yang berani secara voluntary, secara sukarela menawarkan diri menjalankan tugas. Coba menawarkan diri. Padahal risikonya besar sekalu. Lebih besar dibanding lucknya.”

Mengapa pak Yoga sampai menulis seperti itu? Juga mengapa pak Ali Murtopo menyatakan hal yang senada? Biarlah kelak waktu dan sejarah yang mengungkapkan. Semoga.
Beji, Depok 13 malam 14 Oktober 2015.

DIKUTIP DARI BLOG bukusahabatwiwoho : https://bukusahabatwiwoho.wordpress.com/2015/09/14/operasi-woyla/



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda