Kamis, 27 Januari 2022

IKTIBAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO (1): MARAH TAPI MAU MENGAKOMODASI.

 

IKTIBAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO (1): MARAH TAPI MAU MENGAKOMODASI.

panjimasyarakat.com

Tidak terasa, 27 Januari 2022 ini, tokoh yang pernah sangat berkuasa memimpin negeri maritim - zamrud khatulistiwa selama 32 tahun, Soeharto, sudah 14 tahun wafat meninggalkan kita semua. Banyak hal bisa ditulis tentang almarhum, untuk diambil hikmahnya. Untuk iktibar, sebagai bahan pelajaran dalam kehidupan, terutama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bukan untuk mencari-cari kesalahannya, dan juga bukan untuk memujanya. Berikut ini rangkuman cuplikan tentang Pak Harto dari buku trilogi TONGGAK TONGGAK ORDE BARU.

 

 

Presiden Soeharto sedang mengamati mushaf Al Qur'an dalam pembukaan Festival Istiqlal II, September 1995.

PENAMPILAN KESEHARIAN.

Menggali kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, baik tentang kekurangan maupun kelebihannya. Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar.

Bagi orang kebanyakan saja, tidak mudah menjadi pendengar yang baik, apalagi bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan ucapan ataupun keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun penulis melihatnya dalam suatu pertemuan terbuka, mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat. Apalagi menaikkan satu kaki di atas kursi.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya, tidak banyak basa-basi, hemat bicara serta tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah, bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan. Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos, kecuali sedang bermain golf atau memancing.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada penulis dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo, Senin 28 Januari 2008. “Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal, tidak pernah melihatnya duduk sambil mengangkat kaki. Tidak pernah ma’gerra’-gerra, bicara keras dan bernada tinggi.’Demikian pula tangannya tidak ikut sibuk ketika sedang berbicara.” Sikap seperti itu menurut pak Kyai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar, tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini (buku 2 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 1 – 23).

 

JATUH BANGUN STRATEGI PEMBANGUNAN.

Pak Harto mengawali pemerintahannya pada masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dengan membentuk Kabinet Ampera, dengan tugas utama menciptakan stabilitas politik serta stabilitas dan rehabilitasi ekonomi. Sebelumnya, di masa Orde Lama, selama bertahun-tahun perekonomian kita terbengkalai dan tidak memperoleh perhatian yang cukup memadai. Bahkan dalam menghadapi soal-soal ekonomi, prinsip- prinsip ekonomi seringkali diabaikan.

Sidang Dewan Stabilisasi dan Rehabilitasi di bawah komando Pak Harto, dilaksanakan pertama kali tanggal 31 Agustus 1966, atau segera setelah penutupan Seminar Angkatan Darat II, di Operation Room Departemen Pertahanan dan Keamanan, berlangsung dari pukul 20.00 sampai 02.00 dini hari. Dalam Sidang ini Pak Harto secara tegas memberikan dukungan jaminan stabilitas politik serta pengamanan pelaksanaan kebijakan stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi yang akan diambil oleh tim arsitek ekonomi.

Dalam rangka itu prinsip-prinsip ekonomi harus senantiasa di pegang teguh, antara lain keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor, arus barang dan arus uang, penyediaan kesempatan kerja dan pertambahan penduduk usia kerja. Demikian pula asas efisiensi dalam penggunaan sumber- sumber ekonomi, asas keadilan dalam pembagian beban dan pembagian rezeki serta asas perlunya investasi bagi pertumbuhan ekonomi.

Lahirlah kebijakan  Trilogi Pembangunan tahap I yang mengutamakan stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Kemanan di atas segalanya, kemudian membangun dan tumbuh baru dibagi. Dengan dratis pembangunan yang semula dilandasi filosofi ideologis beralih pada pragmatisme. Pemerataan yang berfungsi menyejahterakan masyarakat luas dan sesuai prinsip gotongroyong menjadi nomer buntut, karena alasan tak mungkin ada pemerataan jika tidak ada hasil pertumbuhan yang harus di bagi merata. Pragmatisme menggiring penganutnya untuk mengutamakan hasil. Walhasil, banyak nyerempet ke sikap tujuan menghalalkan cara.

 

Stabilisasi yang dapat dengan cepat diwujudkan, menurut penilaian ekonom senior Frans Seda yang mendampingi Pak Harto di awal Orde Baru, adalah hasil kombinasi dari lima hal yaitu aspek-aspek keahlian dalam analisa dan menyusun konsep-konsep operasional, keberanian moral untuk mengambil keputusan, konsekuen dalam pelaksanaan, tim kerja dalam penataan dan pragmatisme dalam pendekatan ( buku 1 TONGGAK TONGAK ORDE BARU : 81).

 

Sejalan dengan kebijakan itu dibuka berbagai fasilitas penanaman modal asing maupun dalam negeri, yang dalam tempo singkat tumbuh menggilas usaha-usaha rakyat yang sudah ada sebelumnya. Perdebatan tentang strategi pembangunan berkembang seru dan meluas. Pembangunan yang tiada lain menganut strategi menetes ke bawah, trickle down theory, kue pembangunan membesar baru turun untuk diratakan, dianggap muskil. Tak kurang dari Proklamator Kemerdekaan Bunga Hatta ikut mengkritisinya (buku 1 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU: 87 – 90).

Perusahaan-perusahaan modal asing dari Multi National Corporation (MNC), deras masuk dengan segala keistimewaannya.  Terjadi pesekongkolan antara pengusaha dan oknum penguasa, nyaris seperti  sekarang. Bedanya pada era itu pengusaha di luar pemerintahan,  sekarang masuk dalam pemerintahan. Akibatnya perusahaan kecil dan industri rakyat tergilas.

Korupsi pun berjangkit. Ketidakadilan merebak. Tak pelak lagi, muncul perlawanan dan gerakan-gerakan masyarakat khususnya para  mahasiswa, yang berujung pada Jakarta rusuh besar pada 15 – 16 Januari 1974 yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Malari.

 

Meskipun marah besar atas peristiwa tersebut, Presiden Soeharto mau mendengar dan mengakomodasi berbagai tuntutan mahasiswa, dengan memperbaiki strategi pembangunan yang membalikkan masalah pemeratan menjadi prioritas utama. Maka dikeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat luas sampai di tingkat pedesaan, serta berbagai insentif untuk pengembangan usaha rakyat kecil.

 

Urutan prioritas trilogi pembangunan diperbaiki: pemerataan menjadi nomer satu, nomer dua pertumbuhan. Keduanya didukung oleh stabilitas nasional. Dalam hal pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya diluncurkan kebijakan Delapan Jalur Pemerataan, yang mencakup berbagai bidang kehidupan baik yang bersifat material seperti pangan, sandang dan perumahan, maupun non material seperti pendidikan dan keadilan (buku 1 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 160 – 168).

 

Demi menjaga kepastian dan konsistensi jalannya pembangunan, maka sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan arah serta pedoman pengelolaan negara dan penyelenggaraan pemerintahan, yang dituangkan di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selanjutnya pemerintah menjabarkan menjadi Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Di atas  kertas, sebagaimana dilihat dalam buku-buku Repelita terutama  Repelita I dan II, penjabaran strategi serta kebijakan pembangunan beserta koreksi dan perbaikannya nampak jelas dan bagus, dengan prioritas dan tahapan-tahannya.

 

Pak Harto bersama Harmoko, Sukamdani Gitosardjono dan Abdul Gafur, beberapa saat sebelum lengser.

Sayang sekali, Presiden Soeharto tidak cukup teguh mengamankan kebijakan-kebijakan tersebut. Terjadi inkonsistensi dan banyak gangguan, beberapa di antaranya yang cukup menyolok mata, diuraikan dalam Bagian IV: KABINET PEMBANGUNAN, PROGRAM DAN GANGGUAN. Saking kuatnya gangguan, penulis kemudian menuangkan dalam judul Bab: Bagai Halaman yang Terus Disapu Sekaligus Dikotori.  (halaman 219 – 240). KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme) merebak dalam berbagai bentuk. (bersambung: Sejarah Yang Berulang-Ulang).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda