Sabtu, 28 Desember 2024

CARA PRESIDEN SOEHARTO MEMILIH MENTERINYA (1): MENDALAM TAPI TIDAK HIRUK PIKUK

 

BUKU 2 TRILOGI THE UNTOLD STORY TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU


 

Pengantar: Lima tahun sekali, pasca Pemilihan Presiden, media sosial banyak menyajikan informasi tentang susunan Kabinet Presiden Terpilih. Informasi itu bisa jadi tebak-tebakan, dugaan atau bisa juga harapan, karena bukan berasal dari sumber resmi apalagi dari yang paling berwenang. Berikut ini kami sajikan sebuah  referensi -- merupakan satu-satunya yang ada – tentang bagaimana salah seorang Presiden Republik Indonesia yaitu Presiden Soeharto merekrut para pembantu dekatnya. Referensi ini ditulis oleh Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho di dalam buku 2 dari trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU, yang edisi revisinya diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas. Semoga menjadi bahan bacaan menyegarkan yang relevan dengan keadaan sekarang. Selamat mengikuti.

 

Menggali kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, baik tentang kekurangan maupun kelebihannya. Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar.

Bagi orang kebanyakan saja, tidak mudah menjadi pendengar yang baik, apalagi bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan ucapan ataupun keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun penulis melihatnya dalam suatu pertemuan terbuka, mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat. Apalagi menaikkan satu kaki di atas kursi atau meja.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya, tidak banyak basa-basi serta tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah, bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan. Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos, kecuali sedang bermain golf atau memancing.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada penulis dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo, Senin 28 Januari 2008. “Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal, tidak pernah melihatnya duduk sambil mengangkat kaki. Tidak pernah ma’gerra’-gerra, bicara keras dan bernada tinggi.’Demikian pula tangannya tidak ikut sibuk ketika sedang berbicara.” Sikap seperti itu menurut pak Kiai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar, tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut. Sebagai mantan wartawan yang bertugas di Istana selama hampir delapan tahun dan mengenal dekat karena berbagai tugas berikutnya antara lain tokoh-tokoh pimpinan Operasi Khusus (Opsus) Ali Moertopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), serta pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro, saya sering memperoleh bocoran dari beliau bertiga, catatan sebagian daftar 300-an tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja, selalu tersedia dan senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang- bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun daerah, khususnya teman- teman seperjuangannya, sehingga daftar atau kumpulan nama tersebut dapat dengan mudah beliau himpun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat membutuhkan, beliau menugaskan Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk, informasi yang lebih mendalam tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan- loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran dan kapasitas pribadinya.

Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria, serta bagaimana kehidupan rumahtangganya, harmonis atau tidak. Jika pria, beristeri lebih dari satu atau tidak. Kehidupan rumahtangga dianggap penting, karena apabila terhadap lingkungan yang kecil itu saja seseorang tidak mampu mengelolanya dengan baik, bagaimana mungkin mengelola lingkungan yang jauh lebih besar. Pak Harto ingin betul-betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara.

Mantan pejabat Opsus/BAKIN sahabat penulis yang menolak disebutkan namanya, menceritakan pada 26 April 2021, penelitian hal- hal seperti itu terhadap seseorang tokoh apalagi calon pejabat penting, merupakan hal wajar dan sudah merupakan prosedur operasi standar pada masa itu. Menurut mantan pejabat yang membidangi masalah penggalangan tadi, penelitian bisa dilakukan dengan cepat tanpa yang bersangkutan mengetahui, dan hampir semua staf atau pejabat BAKIN mampu melakukannya.

Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului pulang kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan Yoga Sugomo yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan, semenjak itu tidak lagi berlanjut. Yoga yang sangat kesal dan prihatin, mengajak penulis menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Perihal kekecewaanya terhadap Pak Harto dan lebih khusus kepada Jenderal Benny Moerdani, ia menceritakan, dalam suatu pertemuan rutin mingguan di bulan Mei 1985, Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain:

(1)      Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah.

(2)      Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah.

(3)      Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial serta sasaran tembak.

(4)         Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Karena itulah Yoga menyarankan agar Pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk, Yoga akan mengamankannya.

Saran Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto serta ditolak oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima Angkatan Bersenjata Benny Moerdani yang juga hadir malam itu, melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan, terutama dengan Benny Moerdani. Sementara Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Soeharto yang ternyata diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya mendukung Pak Yoga.

Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga Sugomo, sehingga memutuskan tidak akan menghadap Pak Harto lagi, jika tidak dipanggil. Semenjak itu pula, pertemuan rutin, hampir setiap Jumat malam di kediaman Jalan Cendana, Jakarta Pusat, yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti. Pertemuan tersebut digunakan Presiden dan pembantu terdekat untuk mengevaluasi keadaan. Mereka mengolah informasi-informasi penting serta membuat perkiraan keadaan ke depan, berikut langkah-langkah untuk mengantisipasinya.

Yoga Sugomo yang kesal dan prihatin atas sikap Pak Harto dan kedua sejawatnya tadi, menenangkan diri dengan memperpanjang kunjungannya ke Jepang menyertai delegasi Persatuan Alumni Mahasiswa Indonesia di Jepang pertengahan Juni 1985. Selama dua minggu, Yoga lebih banyak menghabiskan waktunya di hotel dengan berzikir dan sesekali menerima kunjungan serta ngobrol santai dengan tamu- tamu sahabat dekatnya baik sahabat dari Indonesia yang sudah tinggal di Jepang, maupun dari komunitas intelijen. Yoga juga banyak mengajak diskusi soal tasawuf dan aneka dzikir serta wiridan, yang sedang ditekuninya sebagai seorang salik, seorang murid pencari jalan menuju Tuhan, terutama dari sang guru, sang mursyid Abah Anom dari Tasikmalaya.

Ia juga memenuhi undangan makan siang dari mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda, sambil bicara santai bersendau gurau sebagaimana layaknya seorang sahabat. (B.Wiwoho, buku ke-2  Tonggak-Tonggak Orde Baru, Penerbit Buku Kompas: 1-7. Bersambung: Mengutamakan Loyalitas dan Setiakawan) ***

 

    #Soeharto  # Takeo Fukuda  # Ali Moertopo  # Yoga Sugomo    #Ali Yafie  #Tien Soeharto #Benny Moerdani  # Sudharmono #Opsus # BAKIN  # Radius Prawiro # Majelis Ulama Indonesia

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru

 

                                                                

 

 

 

 

 

 

 

(5)       

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda