Selasa, 24 April 2012

REFORMASI BIROKRASI : JAUH PANGGANG DARI API.


Kehidupan bermasyarakat dari suatu Negara-Bangsa, akan berlangsung baik bila dilayani oleh suatu tata pemerintahan yang amanah (good governance).

Di dalam cerita pewayangan yang menjadi sumber inspirasi masyarakat, tugas Pemerintahan, dalam hal ini kerajaan, dirumuskan sebagai upaya mewujudkan kehidupan umum yang “tata-tentrem-kerta raharja-adil ambeg paramarta”. Artinya, negara dengan masyarakatnya tertata baik dan tertib, aman tenteram, adil makmur sejahtera.

Di masa pasca kemerdekaan, pengalaman menunjukkan tata pemerintahan dengan aparatnya yang lazim kita sebut sebagai birokrasi, lebih memposisikan dirinya sebagai penguasa dibanding pelayan atau abdi masyarakat. Bahkan lebih dari itu, disamping bermental penguasa juga sarat dengan KKN.

Tatkala gerakan reformasi digulirkan pada th 1998, masyarakat mengharapkan birokrasi yang buruk itu dapat diubah secara total. Namun setelah reformasi berjalan 12 th, harapan itu seperti sia-sia. Berbagai liputan, artikel dan surat pembaca di media massa, keluhan bahkan makian di jaringan twitter dan facebook, menujukkan betapa kesal dan marah masyarakat terhadap birokrasi kita, termasuk kepada aparat penegak hukum. Memang harus diakui, ada beberapa kemajuan di bidang pelayanan publik misalkan perpanjangan SIM dan pembuatan paspor. Tapi yang lainnya, masih jauh panggang dari api. Jauh dari harapan masyarakat. Bahkan hal yang kasat mata dan di depan mata saja, yaitu ketertiban umum terutama tertib lalulintas, makin lama bukan makin baik tapi justru semakin semrawut.

Dalam hal pemberantasan KKN, setahun terakhir ini masyarakat semakin muak menyaksikan drama-drama yang mengungkapkan kebobrokan sistem dan praktek-praktek busuk birokrasi kita, mulai dari kasus suap-menyuap di DPR, Ayin – Jaksa Urip, kasus Cicak versus Buaya + Godzila, Anggodo, Skandal Century, mark-up tiket Deplu, Gayus Tambunan sampai dengan tertangkapnya Hakim Ibrahim dll, dll.

Jika pada masa Orde Baru almarhum Prof. Dr. Sumitro memperkirakan besaran korupsi di kalangan birokrasi sekitar 30%, dalam kasus korupsi tiket Departemen Luar Negeri yang sekarang sedang ditangani Kejaksaan Agung, terungkap mark-up tiket sebesar 80%.

Sebagaimana juga pernah dilakukan di awal Orde Baru dengan memberikan gaji khusus sebesar 9 kali gaji pegawai negeri lainnya kepada pegawai-pegawai Departemen Keuangan, sistem remunerasi yang intinya memberikan gaji jauh lebih besar kepada karyawan instansi-instansi tertentu khususnya Departemen Keuangan dewasa ini, juga tidak membuahkan hasil yang baik. Karena penyebab utama KKN dan buruknya birokrasi bukanlah semata-mata pada masalah gaji, tapi justru pada sistem birokrasi itu sendiri.

Sistem birokrasi kita sampai sekarang masih tetap membuat area-area gelap dan abu-abu serta boros, yang secara potensial membuka peluang bagi berbagai tindak KKN yang sangat merugikan, mempersulit serta mencekik masyarakat. Oleh karena itu, sekaranglah saatnya, masyarakat luas termasuk media massa harus semakin meningkatkan tekanan agar para elite nasional, Pemerintah dan khususnya Presiden segera melakukan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh dan terukur.

Tata Pemerintahan yang amanah harus diwujudkan dengan antara lain:
1. Program pemberantasan korupsi secara sistematis dan terpola, preventif dan represif berupa penataan sistemis untuk menutup berbagai peluang yang memungkinkan terjadinya korupsi, mark-up dan suap-menyuap al:

(a). Transparansi, kepastian waktu dan biaya serta persyaratan pengurusan aneka perijinan/ surat keterangan/ surat kepemilikan dan sejenisnya, dengan konsekuensi persetujuan otomatis bersyarat untuk perijinan.

(b). Perbaikan sistem serta prosedur pengadaan barang dan jasa dengan membuat standar spesifikasi teknis yang baku beserta standar harga yang betul-betul riil, transparan dan menjadi pengetahuan umum masyarakat, sehingga tidak ada tender akal-akalan serta tidak semata-mata didasarkan pada harga penawaran terendah.

(c). Transparansi dan konsistensi rencana tata ruang dan tata guna tanah.

(d). Khusus masalah pemberantasan korupsi di bidang perpajakan dan bea cukai yang sekarang ini sedang jadi bahan pembicaraan hangat, di samping masalah integritas karyawan dan kontrol sosial masyarakat, maka secara sistem perlu dilakukan al.

(d.1). peraturan-peraturan dengan berbagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya harus baku, gamblang dan tidak multi tafsir serta menjadi pengetahuan umum. Dengan demikian peluang sengketa perpajakan baik yang berupa keberatan ataupun keraguan wajib pajak dapat ditiadakan atau ditekan sekecil mungkin.

(d.2). menegakkan secara taat azas sistem self assessment yaitu menghitung sendiri, melaporkan dan menyetor kewajiban pajaknya, sehingga menekan sekecil mungkin kontak langsung antara wajib pajak dengan aparat pajak.

(d.3). memisahkan secara tegas aparat pembuat peraturan – pelaksana dan peradilan pajak.

(d.4).Kasus Pajak sebagai alat bargaining politik.
Meskipun sistem perpajakan sudah bagus, sengketa masalah perpajakan di mana dan kapan saja, tetap bisa terjadi, karena kelemahan manusiawi yang berupa kerakusan.

Sengketa masalah perpajakan harus diselesaikan secara fair, transparan, akuntable dan pada saatnya, dan jangan disimpan untuk menjadi alat bargaining politik. Kesan sebagai alat bargaining politik sekarang ini terasa kuat dengan diributkannya kasus sengketa pajak perusahaan-perusahaan tambang batubara, khususnya milik seorang pengusaha sekaligus politisi terkenal.

Masalah perpajakan memang berpotensi untuk menjadi alat bargaining kekuasaan, tapi itu harus dicegah karena merusak sendi-sendi dasar pengelolaan negara dan Pemerintahan. Di masa Pak Mar’ie Muhammad menjadi Dirjen Pajak, pernah dilakukan pengamatan kepada sejumlah pengusaha dan politisi yang sangat vocal. Ternyata ada diantara mereka yang pembayaran pajaknya tidak sepadan dengan gaya hidup dan harta bendanya. Kepada mereka Pak Mar’ie diam-diam mengirim surat yang disebut “Surat Cinta”, yang mengingatkan secara halus keseimbangan antara hak dan kewajibannya sebagai warga Negara yang baik, dengan membayar pajak sebagaimana mestinya.

Respon terhadap “Surat Cinta” tersebut baik sekali. Mereka segera memperbaiki sendiri SPTnya termasuk kekurangan bayarnya, tanpa merasa dipermalukan apalagi ditakut-takuti. Bahkan ada diantara mereka yang bicara terus terang kepada publik bahwa ia telah menerima “Surat Cinta” dari Dirjen Pajak serta menghargai surat tersebut.
2. Memberantas korupsi secara konsekuen, konsisten dan tanpa pandang bulu, antara lain melalui :
(a) Membuat dan memberlakukan UU Pembuktian Terbalik Asal-Usul Harta Kekayaan yang berlaku bagi semua warga negara tanpa kecuali

(b) Pemberlakuan UU Perlindungan Saksi Pelapor Tindak Pidana Korupsi yang memadai dan taat azas yang bisa melindungi keselamatan saksi pelapor baik secara fisik maupun dari tuduhan pencemaran nama baik.

(c) Menghukum seberat-beratnya para koruptor sehingga betul-betul memberikan efek jera serta menyederhanakan proses pemecatan dengan tidak hormat PNS/TNI-Polri yang korupsi.

3. Gerakan Pola Hidup sederhana secara taat azas, baik dalam tata pemerintahan termasuk sistem anggarannya, maupun pribadi masyarakat khususnya pejabat negara/PNS/TNI-Polri. Pada masa awal Reformasi Sistem Perpajakan Nasional (1983 - sd awal 1990-an) misalnya, Ditjen Pajak mengatur dan mengawasi hal ini secara ketat sehingga mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas.

4. Reformasi mendasar sistem kepegawaian aparat birokrasi yang baik, berdayaguna dan tepat guna, sekaligus memantapkan serta meningkatkan etika dan tanggungjawab publik/akuntabilitas aparat Pemerintah dan Pejabat Negara secara transparan. Jangan sampai terulang kembali kasus-kasus BLBI dan Skandal Century oleh pejabat-pejabat BI, ibarat “Gaji mega besar minus tanggungjawab”.

5. Membangun kontrol sosial masyarakat dengan :
(a) menerbitkan dan mengumumkan secara terbuka, meluas dan terus-menerus sistem kepangkatan dan gaji PNS/TNI-Polri.

(b) membangun sistem komunikasi dan menggalang keberanian masyarakat luas untuk melaporkan gaya hidup keluarga PNS/TNI-Polri/Pejabat Negara yang melampaui batas kewajaran penghasilannya sebagaimana butir 5 (a) di atas.

(c). Membuat identitas tunggal kependudukan yang komprehensif dan terintegrasi.

Tanpa itu semua, reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN hanyalah omong kosong belaka. Naudzubillah. (B. Wiwoho)

BAHAN DISKUSI DI “RUMAH PERUBAHAN”, Jakarta, 4 April 2010.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda