Minggu, 10 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (5): ANTISIPASI MALAPETAKA PENERIMAAN MIGAS



ANTISIPASI MALAPETAKA PENERIMAAN NEGARA.

Bersamaan dengan semakin bulatnya tekad untuk melakukan reformasi perpajakan, pada tanggal 11 Maret 1983, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali memilih Jenderal Purnawirawan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia yang keempat kalinya. Selanjutnya pada tanggal 19 Maret 1983, Pak Harto melantik Kabinetnya yang dinamakan Kabinet Pembangunan IV. Dalam susunan Kabinet ini, Widjojo Nitisasatro diangkat menjadi Penasihat Eknomi Pemerintah, Ali Wardhana menjabat sebagai Menko Ekuin, J.B.Sumarlin menjabat Ketua Bappenas dan Radius Prawiro, yaitu Menteri paling senior karena sudah menjadi Menteri semenjak 8 Maret 1965, bergeser dari Menteri Perdagangan ke Menteri Keuangan. Dengan demikian tugas-tugas Ali Wardhana  untuk melakukan reformasi perpajakan juga otomatis menjadi tugas Radius Prawiro. Tetapi Radius tidak sendirian, karena disamping sudah ada tim khusus, pun Widjojo dan Ali Wardhana masih tetap mendampingi serta mendukungnya.

Meskipun demikian, Kabinet baru dengan Radius Prawiro sebagai Menteri Keuangannya  itu langsung berhadapan dengan keadaan perekonomian yang sangat tidak menggembirakan, bahkan mengkhawatirkan. Radius menggambarkan situasi tersebut sebagai perekonomian tertekan, penghasilan minyak yang lebih rendah dan penurunan cadangan devisa secara cepat. Situasi bertambah buruk lagi karena harga-harga komoditi tradisional non migas juga melemah, sementara nilai rupiah telah menjadi terlalu mahal sejak devaluasi terakahir diadakan pada bulan November 1978. Padahal nilai rupiah yang terlalu mahal berdampak buruk terhadap perdagangan. Pada bulan Maret 1983, cadangan devisa Indonesia tinggal US.$.3,3 milyar. Dalam bulan yang sama, Organisasi Negara-Negara Pengkspor Miyak (OPEC) menurunkan harga minyak sebesar US.$.5.  
Setelah selama hampir empat tahun menikmati bulan madu migas yang membius, penurunan harga tersebut sangat mencemaskan, karena penurunan US.$.1 per barrel saja, berarti samadengan penurunan ekspor Indonesia sebesar US.$.400 juta, yang akan berdampak besar serta mengakibatkan defisit transaksi berjalan. Dengan demikian, Kabinet baru harus berpacu dengan waktu menyelamatkan keadaan. Inilah saat-saat yang mengkuatirkan setelah krisis perekonomian dan politik tahun 1965. Dalam perjalanan waktu, situasi yang benar-benar kritis, sangat-sangat kritis, terjadi dan berlangsung  mulai tahun 1985, tatkala harga minyak makin meluncur ke US.$.28, US.$.25, masuk tahun 1986 turun lagi ke US.$.22 dan pada Agustus 1986 drop di bawah US.$.10. Itu berarti Indonesia kehilangan lebih dari 2/3 (dua per tiga) penghasilannya.

Sementara itu perekonomian dunia juga menunjukkan gejala-gejala kelesuan,  antara lain berupa melemahnya harga komoditi-komoditi tradisional, melemahnya arus penanaman modal ke negara-negara berkembang serta menurunnya pertumbuhan ekonomi beberapa negara maju.

Dalam rangka mengantisipasi keadaan buruk tadi, tim ekonomi harus berpacu dengan waktu. Belum genap satu bulan, pada tanggal 30 Maret 1983, Kabinet Pembangunan IV sudah harus membuat keputusan pahit, mengambil langkah-langkah penyelamatan yang penuh risiko. Rupiah didevaluasi sebanyak 27,5% dari 702 menjadi 970 per dollar. Sejalan dengan itu proyek-proyek besar terutama yang memerlukan banyak devisa dibatalkan, ditunda atau dijadwalkan kembali. Proyek-proyek tersebut antara lain pabrik olefin, pabrik aromatik, kilang minyak, pabrik aluminium, proyek rel kereta api, pembelian bis besar-besaran dan berbagai investasi di bidang perkapalan.
 Akan tetapi langkah-langkah pengamanan devisa serta penghematan itu dianggap belum cukup. Harus dilakukan reformasi ekonomi yang mendasar. Radius Prawiro menggambarkan, tembakan pertama dalam pertempuran deregulasi dan reformasi ekonomi meletus  pada tanggal 2 Juni 1983 dengan dikeluarkannya sederet kebijakan yang ditujukan guna mendefinisi ulang lingkungan perbankan.

Elemen  esensial dari reformasi perbankan 2 Juni ini mencakup hal-hal berikut:
1.  Batas pemberian kredit dihapus untuk semua bank.
2. Semua bank diberi otoritas untuk menentukan sendiri suku bunga simpanan dan pinjaman.
3. Pajak bunga, dividen, royalti untuk deposito valuta asing di semua bank pemerintah dihapus.
4. Sistem pembedaan suku bunga, yang mengatur suku bunga tergantung dari sektor yang diberi pinjaman, dihapus.(Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda