Kotagede di mata para pengamat asing sejak 1623, 1905, 1976 sampai dengan sekarang.
Meskipun berada dalam satu
propinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, kawasan Kotagede peninggalan abad
XVI ini secara administrasi pemerintahan dibagi dua. Empat unit pemerintahan
terkecil, yaitu Rukun Kampung disingkat RK masuk ke Kotamadya Yogyakarta,
sedangkan dua unit lainnya masuk ke Kabupaten Bantul. Pemisahan tersebut
membuat kami dalam 3 hari tidak berhasil melakukan konfirmasi data-data sosial
ekonomi dan kependudukan yang kami miliki dari berbagai referensi, yang
semuanya berbeda atau kurang jelas.
Padahal semula saya ingin
membuat catatan yang lebih detail dan akurat dibanding sebuah catatan amat
menarik yang dibuat empat abad silam, tepatnya tahun 1623, oleh seorang utusan
kerajaan Belanda bernama Dr. de Haan, sebagaimana tersimpan dalam Arsip
Kementerian Jajahan Belanda No.992 Tentang Kotagede de Haan menulis antara
lain, “Kota-kota tersebut luas sekali dan penduduknya tidak terhitung
jumlahnya. Terdapat pula jalan-jalan yang sangat indah serta lebar dan berbagai
pasar. Tinggi temboknya antara 24 dan 30 kaki, lebarnya 4 kaki, dan di luar
mengalir sebuah sungai.”
Tiga abad kemudian, tahun
1905, Asisten Residen Yogyakarta, Van Benervoorde menulis, “Pedagang-pedagang
dari seluruh penjuru Jawa ke sana setiap hari dan kota itu sangat ramai.”
Di samping memiliki
beberapa jalan kecil dan lorong-lorong, Kotagede di belah oleh tiga jalan utama
yang menyusur dari pasar ke utara yaitu jalan Kemasan, ke barat jalan
Mondorakan, ke timur jalan Karanglo. Dengan lebar kurang lebih 5 m, panjang
masing-masing jalan tersebut sekitar 500 m. Di sepanjang jalan utama dan
jalan-jalan sekeliling pasar itu sekarang terdapat berbagai macam toko, kantor
bank syariah tingat desa (BMT) dan bengkel kerja. Aneka toko, kantor dan warung
pada umumnya terdapat di sepanjang Mondorakan, toko-toko souvenir khususnya
kerajinan emas dan perak di jalan Kemasan, toko busana dan salon di jalan
Karanglo. Meskipun arus lalu lintas satu arah, suasana jalan sangat ramai dan padat.
Aneka jenis kendaraan dan pejalan kaki lalu lalang. Ada gerobak dorong, sepeda,
becak, kereta kuda atau andong, sepeda motor dan mobil, semua berpacu di
jalanan yang sempit tersebut. Sementara itu trotoar bagi pejalan kaki disita
dan diganggu oleh kehadiran pot-pot tanaman dari beton yang tidak terawat, yang
terkesan dibangun secara sembarangan. Bersyukur sekali masyarakatnya sangat
ramah satu sama lain, sedangkan kondisi jalannya sendiri cukup bagus,
selokan-selokannya dalam dan bersih dengan ramram besi penutup selokan yang
rapi dan kuat.
Tata kota yang digambarkan
de Haan serta Mitsuo Nakamura tidaklah berlebihan, walau pun sekarang tidak 100
persen benar. Penamaan kampung-kampung di Kotagede menurut Lurah Jogonalan
Sholehuddin, merefleksikan bekas-bekas suatu kejayaan peradaban masa silam,
misalkan Kampung Kedhaton atau Dalem adalah lokasi bekas istana; Kampung
Alun-alun bekas Alun-alun atau lapangan terbuka di depan keraton; Kampung
Sayangan tempat membuat kerajinan atau peralatan dari tembaga; Kampung Samakan,
tempat tinggal para pengrajin kulit; Kampung Pandean adalah untuk para pande
besi; Kampung Mranggen untuk pembuat keris; Kampung Pekatikan adalah kompleks
para perawat atau pengasuh kuda. Sayang sekali penataan sekaligus pengelompokan
tersebut sekarang tinggal nama belaka. Penghuninya sudah campur aduk. Sedangkan
bangunan istananyapun sudah tidak kelihatan bekas-bekasnya, kecuali sisasisa tembok
yang mengelilingi keraton. Tembok megah yang dikagumi de Haan dan dibuat dari bata
putih dan bata merah itu di beberapa lokasi masih tersisa, sebagian batu
batanya dimanfaatkan penduduk untuk bangunan rumah, sebagian lagi ada yang
langsung disemen dan disambung menjadi tembok rumah. Menurut buku kecil Riwayat
Pasareyan Mataram jilid III yang bisa diminta di Kompleks Makam, batu bata
berukuran 17 x 40 cm itu penyusunannya tempo dulu tidak menggunakan semen atau
kapur tapi direkatkan
dengan nira hasil sadapan
pohon kelapa. Seorang penduduk, abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, Darwinto (43
tahun) mengatakan, waktu ia kecil tembok benteng keraton masih tinggi dan penduduk
belum banyak. Tembok ini dikelilingi parit pertahanan atau jagang. Kini area
kompleks bekas keraton itu sudah padat dengan rumah penduduk, beberapa
diantaranya mengambil batu bata benteng untuk pondasi rumah dll. Di sebuah lokasi
di sebelah selatan Kompleks Makam -- Masjid Agung, tembok tersebut berlobang
besar, yang diyakini penduduk sebagai bekas diterobos untuk lewat Raden Rangga,
putera pendiri Kerajaan Mataram Panembahan Senopati.
Tembok benteng istana atau Cempuri
Balu Warti tidak berbentuk segiempat sebagaimana lazimnya, tapi seperti
Semar (tokoh pewayangan yang berpantat besar) tidur membujur ke utara, dengan bagian
pantatnya di sudut tenggara. Bagian benteng yang disebut Bokong Semar (pantat
semar) itu masih lumayan baik. Sudut barat daya berbentuk dua kaki Semar yang
menyatu, sudut barat laut seperti tangan kanan, sudut timur laut tangan kiri.
Sementara itu kepala Semar berada di utara, sedangkan mulut Semar menjadi pintu
gerbang.
Adapun lokasi bekas
bangunan paseban atau balai audiensi berupa sebidang tanah di tengah kampung
Kedhaton. Tanah ini teduh oleh naungan tiga pohon beringin. Di bagian tengah
didirikan sebuah bangunan kecil untuk menyimpan “batu gilang” dan 3 butir batu
kuning bulat, lebih besar dari bola basket. Bola batu ini konon adalah kelereng
mainan Raden Rangga.
Batu gilang yang merupakan
batu hitam empat segi berukuran kurang lebih 1 x 1,5 M, adalah tempat duduk P.
Senopati. Di batu inilah P. Senopati menghempaskan kepala musuhnya Ki Ageng
Mangir hingga pecah. Padahal ia telah tunduk dan menjadi menantu Sang
Panembahan. Hempasan kepala tersebut meninggalkan bekas berupa lekukan batu.
Batu
Gilang ini sesungguhnya
menarik untuk diteliti lebih mendalam, karena di atas permukaannya terdapat
tulisan prasasti dalam empat bahasa, Latin, Perancis, Belanda dan Italia yang
disusun membentuk cakram yaitu :
- ITA MOVENTUR MUNDU S
(Latin)
- AINSI VA LE MONDE
(Perancis)
- Z00 GAAT DE WERELD
(Belanda)
- COSI VAN IL MONDO
(Italia)
Di luar lingkaran tadi
terdapat tulisan :
- AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS
- IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI
VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU
- IGM (In Glorium Maximam)
Tulisan yang menggambarkan
jeritan hati nan pedih seorang tawanan. Mungkinkah untuk mengenang Ki Ageng
Mangir, ataukah itu rintihan pilu tawanan dari Eropa?
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda