Minggu, 14 September 2014

Kotagede (2): Kotagede di mata DR.de Haan th 1623, Van Benervoorde th 1905, DR.Mitsuo Nakamura th 1976 dan Sekarang








Kotagede di mata para pengamat asing sejak 1623, 1905, 1976 sampai dengan sekarang.

Meskipun berada dalam satu propinsi yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, kawasan Kotagede peninggalan abad XVI ini secara administrasi pemerintahan dibagi dua. Empat unit pemerintahan terkecil, yaitu Rukun Kampung disingkat RK masuk ke Kotamadya Yogyakarta, sedangkan dua unit lainnya masuk ke Kabupaten Bantul. Pemisahan tersebut membuat kami dalam 3 hari tidak berhasil melakukan konfirmasi data-data sosial ekonomi dan kependudukan yang kami miliki dari berbagai referensi, yang semuanya berbeda atau kurang jelas.

Padahal semula saya ingin membuat catatan yang lebih detail dan akurat dibanding sebuah catatan amat menarik yang dibuat empat abad silam, tepatnya tahun 1623, oleh seorang utusan kerajaan Belanda bernama Dr. de Haan, sebagaimana tersimpan dalam Arsip Kementerian Jajahan Belanda No.992 Tentang Kotagede de Haan menulis antara lain, “Kota-kota tersebut luas sekali dan penduduknya tidak terhitung jumlahnya. Terdapat pula jalan-jalan yang sangat indah serta lebar dan berbagai pasar. Tinggi temboknya antara 24 dan 30 kaki, lebarnya 4 kaki, dan di luar mengalir sebuah sungai.

Tiga abad kemudian, tahun 1905, Asisten Residen Yogyakarta, Van Benervoorde menulis, “Pedagang-pedagang dari seluruh penjuru Jawa ke sana setiap hari dan kota itu sangat ramai.”

Di samping memiliki beberapa jalan kecil dan lorong-lorong, Kotagede di belah oleh tiga jalan utama yang menyusur dari pasar ke utara yaitu jalan Kemasan, ke barat jalan Mondorakan, ke timur jalan Karanglo. Dengan lebar kurang lebih 5 m, panjang masing-masing jalan tersebut sekitar 500 m. Di sepanjang jalan utama dan jalan-jalan sekeliling pasar itu sekarang terdapat berbagai macam toko, kantor bank syariah tingat desa (BMT) dan bengkel kerja. Aneka toko, kantor dan warung pada umumnya terdapat di sepanjang Mondorakan, toko-toko souvenir khususnya kerajinan emas dan perak di jalan Kemasan, toko busana dan salon di jalan Karanglo. Meskipun arus lalu lintas satu arah, suasana jalan sangat ramai dan padat. Aneka jenis kendaraan dan pejalan kaki lalu lalang. Ada gerobak dorong, sepeda, becak, kereta kuda atau andong, sepeda motor dan mobil, semua berpacu di jalanan yang sempit tersebut. Sementara itu trotoar bagi pejalan kaki disita dan diganggu oleh kehadiran pot-pot tanaman dari beton yang tidak terawat, yang terkesan dibangun secara sembarangan. Bersyukur sekali masyarakatnya sangat ramah satu sama lain, sedangkan kondisi jalannya sendiri cukup bagus, selokan-selokannya dalam dan bersih dengan ramram besi penutup selokan yang rapi dan kuat.

Tata kota yang digambarkan de Haan serta Mitsuo Nakamura tidaklah berlebihan, walau pun sekarang tidak 100 persen benar. Penamaan kampung-kampung di Kotagede menurut Lurah Jogonalan Sholehuddin, merefleksikan bekas-bekas suatu kejayaan peradaban masa silam, misalkan Kampung Kedhaton atau Dalem adalah lokasi bekas istana; Kampung Alun-alun bekas Alun-alun atau lapangan terbuka di depan keraton; Kampung Sayangan tempat membuat kerajinan atau peralatan dari tembaga; Kampung Samakan, tempat tinggal para pengrajin kulit; Kampung Pandean adalah untuk para pande besi; Kampung Mranggen untuk pembuat keris; Kampung Pekatikan adalah kompleks para perawat atau pengasuh kuda. Sayang sekali penataan sekaligus pengelompokan tersebut sekarang tinggal nama belaka. Penghuninya sudah campur aduk. Sedangkan bangunan istananyapun sudah tidak kelihatan bekas-bekasnya, kecuali sisasisa tembok yang mengelilingi keraton. Tembok megah yang dikagumi de Haan dan dibuat dari bata putih dan bata merah itu di beberapa lokasi masih tersisa, sebagian batu batanya dimanfaatkan penduduk untuk bangunan rumah, sebagian lagi ada yang langsung disemen dan disambung menjadi tembok rumah. Menurut buku kecil Riwayat Pasareyan Mataram jilid III yang bisa diminta di Kompleks Makam, batu bata berukuran 17 x 40 cm itu penyusunannya tempo dulu tidak menggunakan semen atau kapur tapi direkatkan
dengan nira hasil sadapan pohon kelapa. Seorang penduduk, abdi dalem Kasultanan Yogyakarta, Darwinto (43 tahun) mengatakan, waktu ia kecil tembok benteng keraton masih tinggi dan penduduk belum banyak. Tembok ini dikelilingi parit pertahanan atau jagang. Kini area kompleks bekas keraton itu sudah padat dengan rumah penduduk, beberapa diantaranya mengambil batu bata benteng untuk pondasi rumah dll. Di sebuah lokasi di sebelah selatan Kompleks Makam -- Masjid Agung, tembok tersebut berlobang besar, yang diyakini penduduk sebagai bekas diterobos untuk lewat Raden Rangga, putera pendiri Kerajaan Mataram Panembahan Senopati.

Tembok benteng istana atau Cempuri Balu Warti tidak berbentuk segiempat sebagaimana lazimnya, tapi seperti Semar (tokoh pewayangan yang berpantat besar) tidur membujur ke utara, dengan bagian pantatnya di sudut tenggara. Bagian benteng yang disebut Bokong Semar (pantat semar) itu masih lumayan baik. Sudut barat daya berbentuk dua kaki Semar yang menyatu, sudut barat laut seperti tangan kanan, sudut timur laut tangan kiri. Sementara itu kepala Semar berada di utara, sedangkan mulut Semar menjadi pintu gerbang.

Adapun lokasi bekas bangunan paseban atau balai audiensi berupa sebidang tanah di tengah kampung Kedhaton. Tanah ini teduh oleh naungan tiga pohon beringin. Di bagian tengah didirikan sebuah bangunan kecil untuk menyimpan “batu gilang” dan 3 butir batu kuning bulat, lebih besar dari bola basket. Bola batu ini konon adalah kelereng mainan Raden Rangga.

Batu gilang yang merupakan batu hitam empat segi berukuran kurang lebih 1 x 1,5 M, adalah tempat duduk P. Senopati. Di batu inilah P. Senopati menghempaskan kepala musuhnya Ki Ageng Mangir hingga pecah. Padahal ia telah tunduk dan menjadi menantu Sang Panembahan. Hempasan kepala tersebut meninggalkan bekas berupa lekukan batu. Batu

Gilang ini sesungguhnya menarik untuk diteliti lebih mendalam, karena di atas permukaannya terdapat tulisan prasasti dalam empat bahasa, Latin, Perancis, Belanda dan Italia yang disusun membentuk cakram yaitu :

- ITA MOVENTUR MUNDU S (Latin)
- AINSI VA LE MONDE (Perancis)
- Z00 GAAT DE WERELD (Belanda)
- COSI VAN IL MONDO (Italia)

Di luar lingkaran tadi terdapat tulisan :

-  AD ATERN AM MEMORIAM INFELICS
-  IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU
-  IGM (In Glorium Maximam)

Tulisan yang menggambarkan jeritan hati nan pedih seorang tawanan. Mungkinkah untuk mengenang Ki Ageng Mangir, ataukah itu rintihan pilu tawanan dari Eropa?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda