Sang Hyang Guru dan
Sang Hyang Hayu
Bait
27 :
Ana kidung angidung
ing wengi,
bebaratan duk amrem
winaca,
Sang Hyang Guru
pengadege,
lumaku Sang Hyang Hayu,
alembehan asmara
hening,
ngadeg pangawak
teja,
kang angidung iku,
yen kinarya
angawula,
myang lulungan Gusti
gething dadi asih,
sato setan
sumimpang.
Artinya :
Ada
kidung mengalun di kala malam,
yang
didendangkan seraya memejamkan mata,
perawakan
Sang Hyang Guru,
langkah
Sang Hyang Hayu,
melenggang
penuh kasih sayang,
tegak
berperawakan cahaya,
yang
melantunkan kidung ini,
bila
dijadikan bekal mengabdi,
juga
bekal bepergian (,) kebencian Tuhan berubah jadi sayang,
binatang
maupun setan menyingkir.
Bait
28 :
Sakabehing upas tawa
sami,
lara roga waluya nir
mala,
tulak tanggung kang
manggawe,
duduk samya
kawangsul,
akawuryan sagunging
sihir,
Ngadam makdum
sadaya,
datan paja ngrungu,
pangucap lawan
pangrasa,
myang tumingal kang
sedya tumekang napi,
pangreksaning
malekat.
Artinya :
Semua
bisa (racun) menjadi tawar,
penderitaan
dan penyakit pulih sehat sama sekali,
perbuatan
jahat berbalik ke yang melakukan,
semua
tikaman kejahatan tertolak,
segala
sihir tak berarti,
kosong
hampa sama sekali,
bagaikan
tak mendengar apa-apa,
juga
ucapan dan perasaan,
memusatkan
perhatian ke yang tak terbandingkan,
dalam
penjagaan malaikat.
Bait
27 – 28 ini masih menggambarkan hikmah, keutamaan dan perbawa dari Kidung
Kawedar, dengan disisipi ajaran-ajaran Islami yang menggunakan tamzil-tamzil
lama yang apabila tidak dijelaskan dengan baik, bisa membuka peluang multi
tafsir yang keliru. Oleh karena itu, jika ingin mengkaji sendiri Kidung ini, pembaca
perlu memahami serta menggunakan bahan acuan Al Qur’an dan hadis, sehingga bisa
menghayati tujuan utama ajaran Kidung Kawedar.
Bait
27 misalkan, mengajak membaca kidung di malam hari seraya memejamkan mata,
menanamkan sugesti akan sosok Sang Hyang Guru, langkah Sang Hyang Hayu dan diri
kita yang bercahaya lagi penuh pancaran kasih sayang.
Sang
Hyang Guru yang berarti Dzat Yang Maha Pandai lagi Maha Pemberi Petunjuk, tidak
langsung menggunakan sebutan asma Rasyid
(Yang Maha Pandai) dan Hadi (Yang Maha Pemberi Petunjuk), melainkan
dicari padanan makna yang akrab di telinga masyarakat, yang ketika itu masih
menganut agama Syiwa – Buddha. Penganut agama ini mempercayai serta menyembah
Dewa-Dewa, dan Dewa yang paling utama adalah Dewa Syiwa atau Betara Guru. Dalam
pementasan wayang versi Jawa, Dewa-Dewa yang berusia lebih tua, memanggilnya
Sang Hyang Adi Guru. Panggilan kehormatan Sang Hyang juga lazim diberikan
kepada Dewi pengatur rejeki khususnya melalui pertanian, yaitu Sang Hyang Sri.
Adi
atau hadi atau edhi dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak arti. Bisa berarti
indah, bagus, hebat sekali dan juga bisa berarti kepala dan permulaan. Khusus
untuk kata adi bisa berarti pula adik atau adinda. Sedangkan guru berarti orang
yang dimuliakan, pembimbing spiritual dan pengajar. Karena ini adalah kitab
dakwah agama Islam, maka pada hemat penafsir penyebutan asma Gusti Allah yang
Maha Pandai dan Maha Pemberi Petunjuk dengan Sang Hyang Guru, bukanlah
dimaksudkan sebagai Batara Guru atau Dewa Syiwa, melainkan hanya sebagai metode
komunikasi agar terdengar akrab dan mudah diterima masyarakat. Alhamdulillah,
menurut istilah dalam bahasa Jawa, digothak gathik gathuk, diotak-atik ternyata
maknanya cocok juga.
Begitu
pula sebutan Sang Hyang Hayu (Ayu). Hayu atau ayu dalam bahasa Jawa Kuno
memiliki banyak arti, antara lain cantik, molek, baik, saleh, sejahtera,
kesehatan, kebahagiaan, benar. Kata ayu juga sangat akrab bagi masyarakat sejak
tempo dulu sampai sekarang. Walaupun demikian, nama sesembahan Sang Hyang Hayu
tidak ada. Tetapi bila kata Hayu itu merujuk pada bahasa Arab, maka penyebutan
hayu yang penulisannya menggunakan yy, yaitu Hayyu, adalah merupakan salah satu
asma Gusti Allah yang berarti Yang Maha Hidup Abadi.
Baris
keenam bait 27 yaitu, ngadeg pangawak
teja atau tegak berperawakan cahaya, penggambaran sosok tokoh atau pun
tamzil seperti itu, tidak lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi
ada penggambaran yang biasa digunakan terhadap orang yang memiliki aura hebat
yakni pasuryane sumunar atau pasuryane mencorong, yang berarti
wajahnya bersinar.
Sementara
itu di dalam ajaran Islam, istilah cahaya itu sangat lazim dan dikaitkan denan
Dzat Allah, sebagaimana ayat 35 Surat An-Nur (Cahaya) sebagai berikut: “Allah adalah
cahaya bagi langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca
itu laksana bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur
dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun
tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing
cahaya-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.”
Menurut para ahli tafsir, yang
dimaksud dengan cahaya dalam surat tersebut ada bermacam-macam, mulai dari
cahaya matahari, bulan serta bintang-bintang yang menerangi langit dan manusia
di bumi, sampai dengan yang bermakna penerangan terhadap jalan kehidupan
manusia yang berupa syariat dan hukum-hukum yang mengatur tata kehidupan dan
pergaulan. Dari Surat An-Nur ini, berkembang berbagai tamzil tentang cahaya. Demikianlah
perumpamaan yang terkait dengan cahaya, menjadi baris keenam dalam bait 27
Kidung Kawedar.
Baris terakhir bait 28, kembali
menyebut kata malaikat, yang menjaga manusia sehingga memperoleh berkah dan
perlindungan dari Tuhan sebagaimana diuraikan dalam Kidung ini semenjak bait
pertama. Berbagai berkah, karomah, hikmah serta keutamaan yang banyak disinggung,
seperti mengatasi binatang buas, gangguan nyata dari jin serta aneka jenis
sihir dan magis, mungkin agak janggal bagi masyarakat zaman sekarang. Tetapi
tidak demikian halnya pada zaman dahulu. Keseharian mereka memang tidak lepas
dari hal-hal tersebut, termasuk berbagai penyakit gawat yang pada masa itu
belum diketahui penyebab dan obatnya. Mereka sangat percaya dengan kesaktian
mantera-mantera untuk mengatasinya. Oleh karena itu sangat wajar apabila Sunan
Kalijaga menanamkan sugesti mantera dalam Kidung Kawedar sebagai daya tarik
dalam berdakwah.
Semua jenis karomah, hikmah dan
keutamaan itu dalam dunia tasawuf sangat wajar, namun diibaratkan permen yang
amat menarik bagi kanak-kanak tapi tidak bagi orang dewasa. Maksudnya sebagai hadiah
daya tarik bagi salik pemula, yaitu orang yang baru belajar ilmu tasawuf.
Sedangkan bagi yang sudah mencapai tingkat hakikat apalagi makrifat, segala
hadiah daya tarik itu tidak ada artinya. Hubungannya dengan Gusti Allah bukan
lagi berdasarkan hadiah, melainkan kerinduan kepada Sang Kekasih yang tak
ternilai.
Subhanallaah walhamdulillaah.
2 Komentar:
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Assalamualaikum Bapak.
Tulisan Bpk sangat bermanfaat, menghantarkan kita pada wejangan2 luhur para leluhur yang bisa kita anut. Mhn ijin untuk copy tulisan Bpk.
Semoga Allah beri limpahan berkah pada Bpk.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda