Dewa Ruci,
Jagad Besar Jagad
Kecil
Bait
23 :
Bumi gunung segara
myang kali,
sagunging kang
sesining bawana,
kasor ing arta
dayane,
sagara sat kang
gunung,
guntur sirna guwa
samyo nir,
singawruh arta daya,
dadya teguh timbul,
lan dadi paliyasing
prang,
yen lelungan kang
kapapag widi asih,
sato galak
suminggah.
Artinya :
Bumi
gunung lautan dan sungai,
segenap
isi dunia,
tunduk
kepada arta daya,
lautan
mengering (,) itu gunung,
dan
guntur sirna (,) goa lenyap,
siapa
yang paham arta daya,
menjadi
manusia tangguh,
dan
mampu mencegah peperangan,
siapa
yang berjumpa dalam perjalanan menjadi segan dan sayang,
binatang
buas menyingkir.
Bait
24 :
Jim peri prayangan
padha wedi,
mendhak asih
sakehing drubiksa,
rumeksa siyang
dalune,
singa anempuh
lumpuh,
tan tumama ing
ngawak mami,
kang nedya tan
raharja,
kabeh pan linebur,
sakehe kang nedya
ala,
larut sirna (,) kang
nedya becik basuki,
kang sinedya waluya.
Artinya :
Jin
setan semua takut,
semua
hantu takluk,
karena
dilindungi siang malam,
siapa
yang melawan akan tak berdaya,
tidak
akan mengenai (mencederai) diriku,
siapa
yang berniat merusak kesejahteraan (berniat jahat),
semua
akan lebur,
semua
yang berniat buruk,
larut
lenyap (,) yang berniat baik mulia,
yang
diinginkan keselamatan.
Bait
25 :
Siyang dalu rineksa
ing Widhi,
dinulur saking
karseng Hyang Suksma,
kaidhep ing janma
akeh,
aran wikuning wiku,
wikan liring mudya
semedi,
dadi sasedyanira,
mangunah linuhung,
paparab Hyang
Tegalana,
kang asimpen yen
tawajuh jroning ngati,
kalising panca baya.
Artinya :
Siang
malam dilindungi Tuhan,
segala
urusannya lancar karena kehendak Yang
Maha Menguasai Jiwa
dihormati
oleh banyak manusia,
disebut
pendetanya para pendeta,
menguasai cara berkomunikasi dengan Tuhan,
terwujud
segala kehendaknya,
berkat
pertolongan Allah karena keteguhan
imannya,
memiliki
sebutan sebagai orang yang ikhlas dan
tulus,
pandai
menyimpan dalam hati kemampuannya bertatapan wajah dengan Allah,
terhindar
dari mara bahaya.
Bait
26 :
Yen kinaryan atunggu
wong sakit,
ejim setan datan
wani ngambah,
rineksa malaekate,
nabi wali angepung,
sakeh lara padha
sumingkir,
ingkang sedya
mitenah,
marang awak ingsun,
rinusak dening
Pangeran,
eblis lanat sato
mara mara mati,
tumpes tapis sadaya.
Artinya :
Jika
digunakan buat menunggui orang sakit,
jin
setan tiada yang berani mendekat,
dijaga
malaikat,
nabi
dan wali mengepung melindungi,
segala
penyakit menyingkir,
yang
hendak memfitnah,
kepada
diriku,
dirusak
oleh Tuhan,
iblis
laknat dan binatang yang mendekat
(,)
datang untuk mati,
semuanya
tumpas tiada bersisa.
Sebelum
mulai pembahasan, dalam terjemahan bait 23 – 26 terdapat beberapa tanda (,). Ini
dimaksudkan sebagai tambahan tanda baca koma, untuk memudahkan membaca serta
memahami maknanya. Tanda baca koma tersebut dalam naskah asli sesungguhnya
memang ada meskipun tidak ditulis, sesuai kaidah membaca macapat.
Bait
23 – 26 menguraikan apa yang disebut dalam filosofi Jawa, “jagad gede – jagad
cilik atau jagad besar – jagad kecil”, yang tiada lain merupakan ajaran tasawuf
tentang bagaimana mengendalikan hawa nafsu manusia agar bisa mencapai tahap
manunggaling kawula – Gusti.
Bumi,
gunung, lautan, sungai dan alam raya dengan segenap isinya, dalam pandangan
orang awam adalah jagad atau dunia atau alam raya. Alam raya ini dalam tasawuf bisa
tunduk kepada seseorang, apabila orang tersebut mampu mendayagunakan arta
dayanya. Orang yang seperti ini akan diangkat derajatnya menjadi kekasih Gusti Allah
yang dianugerahi segala macam kelebihan, walaupun yang bersangkutan tidak
meminta bahkan sudah tidak memiliki keinginan apa-apa kecuali menempatkan diri
sepenuhnya sebagai hamba sekaligus kekasih Allah, yang senantiasa taat, tunduk
dan patuh kepada-Nya.
Dalam
ajaran tasawuf, diri manusia pada umumnya diibaratkan sebagai jagad kecil yang
merupakan copy dan miniatur dari alam raya, sedangkan
alam raya disebut jagad besar. Manusia akan tetap menjadi jagad kecil apabila
kerohaniannya tidak dapat mengalahkan kemanusiaannya yang dipenuhi hawa nafsu.
Sebaliknya jika rohaninya bisa menundukkan unsur kemanusiaan atau unsur
lahiriahnya, sehingga hakikat dirinya lebih menonjol dibandingkan jangkauan
pancainderanya, maka masuklah ia ke dalam “alam
malakut yang jabarut”, yaitu alam yang dihuni para malaikat dan ruh suci. Dalam keadaan yang seperti itu manusia menjadi
jagad besar, sedangkan alam raya yang kita lihat justru berbalik menjadi jagad
kecil. Begitu besar rohani kita sehingga tidak dapat ditampung oleh bumi dan
langit. Sementara itu bumi, langit dan seisinya menjadi kecil bagi manusia.
Mereka semua tunduk dan takluk kepada manusia yang seperti itu.
Dalam
filosofi Jawa, hubungan jagad besar – jagad kecil diajarkan secara indah
melalui cerita wayang dengan kisah Dewa Ruci, yaitu kisah khas Jawa yang
disisipkan dalam babon kisah induk Mahabarata. Kisah ini menurut penelitian Prof.Dr.RM.Ngabehi Purbotjaroko dan
Dr.Stutterheim (kariyan.wordpress.com, diunduh
pada 8 Oktober 2014), dikarang oleh Mpu Syiwamurti dalam bahasa Jawa Kuno pada
masa peralihan kerajaan Majapahit ke Demak. Oleh Sunan Bonang kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa peralihan Jawa Kuno – Jawa Tengahan, dan
selanjutnya oleh pujangga Keraton Surakarta, Yasadipura yang hidup pada abad 18, digubah lagi dengan
bahasa Jawa Tengahan – Jawa Baru, sebagaimana naskah Serat Suluk Dewa Ruci yang selama ini dikenal masyarakat.
Kisah
Dewa Ruci adalah sebuah ajaran tasawuf mengenai manunggaling kawula – Gusti, yang akan bisa dicapai apabila manusia
dalam hal ini tokoh wayang Bima, bisa mengendalikan dan menguasai sepenuhnya hawa
nafsunya, sehinga bisa menemukan jati diri atau hakikat kemanusiaanya. Sedangkan Dewa Ruci yang berarti Dewa Cerdik,
digambarkan sebagai Dewa yang kerdil, yang hanya sebesar telapak tangan Bima,
dan merupakan miniatur dari Bima. Dewa Ruci sesungguhnya adalah jati diri Bima
yang meskipun secara fisik kecil, namun bisa menelan Bima; karena jatidiri Bima
(yaitu Dewa Ruci) telah berubah menjadi jagad besar, yang mampu menundukkan
alam raya sesisinya termasuk kemanusiaan Bima, yang menjadi jagad kecil di
dalam diri Dewa Ruci.
Oleh
Sunan Kalijaga yang merupakan murid Sunan Bonang, kisah Dewa Ruci bersama kisah
Jimat Kalimasada (Ajimat Sakti Dua Kalimat Syahadat) dan kisah-kisah carangan (ranting) khas Jawa lainnya
seperti Petruk Jadi Ratu, dipopulerkan ke masyarakat dalam bentuk pertunjukkan
wayang kulit, sebagai sarana dakwah agama Islam. Kisah-kisah wayang dakwah
tersebut masih sangat populer di kalangan penggemar wayang sampai sekarang.
Serupa
dengan kisah Dewa Ruci, cucu pujangga Ranggawarsita yang juga cicit Yasadipura,
yaitu Iman Anom, pada tahun 1884 M, menggubah Suluk Ling Lung Sunan Kalijaga (Syeh Malaya). Suluk Ling Lung
secara jelas merupakan ajaran tasawuf yang dituangkan dalam kisah pencarian
jati diri Sunan Kalijaga, semenjak dari pemuda berandalan, kemudian disadarkan
dan berguru ke Sunan Bonang, sampai akhirnya berjumpa dengan Nabi Khidir.
Perjumpaan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir dilukiskan hampir sama dengan
perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci, namun dalam bentuk ajaran tasawuf yang cukup
kental.
Dalam
tasawuf, manusia digambarkan terdiri dari dua unsur yaitu ruh atau roh dan
tubuh. Dari kinerja keduanya menghasilkan
apa yang kita sebut dengan jiwa. Jiwa manusia ini apabila suci dari
segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah kedudukan dan
status jiwa tersebut ke alam malakut-jabarut. Dalam keadaan seperti itu manusia
bisa bertawajuh, membulatkan hati dan
menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah (bait 25), sehingga tiada lagi
dinding penghalang antara sang jiwa dengan Sang Pencipta. Di mata orang ini,
alam raya dengan segala pesona dunianya menjadi nampak begitu kecil bagaikan
sebutir biji sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh mata batinnya
menjadi jagad kecil, karena dirinya telah berubah menjadi jagad besar.
Manusia
yang seperti itu memperoleh sebutan rohaniyin
malakutiyin, manusia-manusia rohani yang berada dalam alam malaikat, yang
tak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Meskipun tubuhnya bergaul berada
di tengah sesama manusia lainnya, tetapi jiwanya sedang melakukan perjalanan
yang tak terbatas lagi tiada ujung, senantiasa berada di sisi Gusti Allah Yang
Maha Agung. Ia telah mencapai tingkat yang oleh orang Jawa disebut tapa ngrame, mati sak jeroning urip dan urip sak jeroning mati. Hidup bagaikan
bertapa di tengah keramaian, dan menjalani kematian di dalam kehidupan serta
hidup di dalam kematian.
Al
Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa
‘Umdatus Saalikien (Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi) menyatakan, orang
tersebut sudah mencapai tingkatan mati dari nafsunya dalam keadaan masih hidup
di dunia, dan menghidupkan hatinya yang mati, sampai kedudukannya kokoh dalam
penyaksiaannya terhadap yang Qadim (yang ada terus menerus tanpa awal dan tanpa
akhir), serta menempatkan selain Dia pada tempat ketiadaan.
Secara
sederhana bisa dikatakan ia telah mematikan, sebetulnya lebih tepat mampu
mengendalikan sepenuhnya nafsu pesona dunianya, dan sebaliknya menghidupkan
atau mengutamakan kemuliaan rohaninya.
Tidak
sembarang orang bisa menghadap Presiden lebih-lebih selalu berada di sisinya.
Apalagi berhadapan dengan Gusti Allah tanpa penghalang sama sekali. Hanya
orang-orang yang disayang lagi dikasihi Gusti Allahlah yang bisa. Sebagai
kekasih Allah, kalau mau ia bisa dianugerahi banyak hal dan segala keinginannya
akan dipenuhi. Ia memperoleh mangunah
linuhung sebagaimana diuraikan dalam
bait 25, juga bait-bait awal serta bait-bait selanjutnya. Betapa tidak. Kalaulah
kita menjadi kesayangan seorang Raja, Presiden atau konglomerat, banyak
kesenangan yang bisa kita dapat. Apalagi menjadi kekasih Gusti Allah, menjadi
wali Allah. Hanya sayang, orang yang menjadi kekasih Gusti Allah adalah justru
orang-orang yang sudah mati sak jeroning
urip, sehingga bisa disebut sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi bagi
dirinya sendiri, kecuali semata-mata mengabdi kepada Gusti Allah.
Orang
yang senantiasa taat dan ikhlas kepada Allah, yang sudah bisa mengendalikan
hawa nafsunya, akan sampai ke maqam makrifat, bisa berhadapan dengan Gusti
Allah tanpa penghalang, menurut Al Gazhali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, bisa memperoleh anugerah 40 kemuliaan, dua puluh
ketika masih di dunia dan dua puluh lagi di akhirat. Mulai dari yang berbentuk
pujian, kekayaan hati, keberkahan, sampai pun tatkala sudah wafat masih
diijinkan memberikan syafaat kepada orang lain di padang mahsyar dan lain-lain.
Lantas
apa yang harus dilakukan lagi di dunia ini oleh orang-orang yang sudah mencapai
maqam makrifat? Seperti Bima dalam cerita Dewa Ruci, harus kembali ke kerajaan
Amarta, kembali ke masyarakat mewujudkan rahmatan
lil alamin, hamemayu hayuning bawono,
mewujudkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, bukan hanya bagi
keluarga Pandawa, apalagi bagi diri Bima pribadi. Bima harus kembali ke tengah rakyatnya
untuk tegar memberantas kebatilan dan menegakkan kebenaran, serta melindungi
dan menyejahterakan mereka.
Ketegaran
memberantas kemungkaran dan kebatilan tanpa kompromi sedikit jua itulah, yang menimbulkan
ungkapan bagi orang-orang yang tegar, kokoh dan lurus dalam membasmi
kemungkaran dan kebatilan, bagaikan Bima yang tidak peduli tembok kokoh pun
akan ditabrak demi kebaikan dan kebenaran.
Manusia
sebagai abdullah atau hamba Allah, mengemban tugas khalifah fil ard, atau wakil dan utusan Gusti Allah untuk mengelola
alam raya demi terwujudnya rahmatan lil
alamin. Bukan dengan lantas berzuhud pergi uzlah, menyepi
lari dari hiruk pikuk masyarakat. Dia harus tapa
ngrame, berzuhud dan wara di tengah keramaian dunia, menjalankan tugasnya
sebagai khalifah fil ard, yang semuanya semata-mata demi Allah, seperti
dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan para wali
lainnya. Selaku duta Allah yang
menjalankan tugas-tugas kemanusiaan semata-mata demi Allah, maka segala
tindak-tanduk dan caranya pun harus betul-betul
taat dan sesuai dengan aturan Allah, antara lain berani membasmi
kemungkaran dan menegakkan kebenaran, ikhlas, tulus, jujur dan tawadhu.
Hidupnya harus bersih, sederhana serta
mengabdi pada kemaslahatan umat dan alam raya.
Marilah
kita berdoa, semoga kita khususnya penulis dan para pembaca, dianugerahi masuk ke dalam golongan
hamba-hambaNya yang seperti itu, yang senantiasa beriman dan beramal saleh.
Alhamdulillaah,
aamiin
1 Komentar:
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda