Setelah terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2004, SBY memang terlihat
sibuk merancang kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan. Saat
mengundang wartawan ke rumah pribadinya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa
Barat, SBY mengakui sudah banyak peminat mengirim lamaran untuk menjadi
menterinya.
“Banyak sekali rekomendasi atau lamaran dialamatkan kepada saya. Bahkan
beberapa organisasi, sekali mengusulkan bisa 10 bisa 15 nama. Saya
hormati, saya baca usulan itu,” jelas SBY seperti dikutip dari BBC.
Yang jelas, langkah pertama Yudhoyono saat mencari calon menteri adalah
dengan menjaring sekaligus menyaring nama-nama yang masuk. Tugas ini
dibebankan kepada Badan Pemenangan Pemilu SBY.
Nama-nama calon yang lolos itu kemudian diumumkan melalui siaran
televisi. Satu per satu calon menteri lantas dipanggil SBY untuk
dilakukan wawancara di kediaman pribadinya di Puri Cikeas.
“Wawancara dengan Yudhoyono lebih pas dibilang diskusi daripada ujian,”
tutur mantan Rektor Institut Teknologi Bandung Kusmayanto Kadiman, salah
seorang yang mengikuti seleksi calon menteri dan akhirnya menempati
posisi sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada Kabinet Indonesia
Bersatu periode 2004-2009.
Lolos seleksi di Puri Cikeas, para calon menteri kemudian menjalani
pemeriksaan kesehatan, termasuk psikotes, di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Mereka harus menjawab 567
pertanyaan tertulis untuk pemeriksaan kesehatan jiwa.
Meskipun sudah diliput televisi dan menjalani tes kesehatan, belum tentu
pula calon itu lolos menjadi menteri. Sedangkan jika dianggap lolos,
yang bersangkutan akan diminta menandatangani komitmen koalisi, kontrak
kinerja, serta pakta integritas. Seluruhnya ditujukan untuk mengikat
komitmen calon agar bekerja sesuai keinginan Sang Presiden.
Seleksi ala Soeharto
Cosmas Batubara yang 3 kali menjadi menteri pada kabinet pemerintahan
Soeharto mengatakan Sang Presiden hampir tidak mengenal kata kompromi
politik saat menyusun kabinet.
“Golkar adalah single majority sehingga memudahkan beliau menentukan
pilihan. Sedang saat ini adalah partai yang ada berkoalisi sehingga
tidak semudah Pak Harto menentukan pembantunya,” ujar Cosmas.
Untuk mencari menteri yang terbaik dan bisa dipercaya masuk kabinet,
Soeharto biasanya mengandalkan orang-orang yang berada di jaringan yang
sangat dia percaya. Yang utama adalah mereka yang berasal dari TNI (dulu
ABRI) dan Partai Golkar, baru kemudian calon dari kalangan profesional.
Tidak hanya itu, Soeharto juga sangat memperhatikan asas perimbangan
wilayah yang ada di Indonesia dengan mencari calon menteri dari latar
belakang etnis yang beragam sebagai perwakilan pulau-pulau besar.
Tak sulit bagi Soeharto mencari sosok menteri yang dia inginkan karena
dia bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang data-data penting
calon terkait.
“Pak Harto memiliki sumber data yang rinci terkait orang yang dicalonkan
sebagai menterinya,” tegas Cosmas.
Ucapan Cosmas bahwa Soeharto punya sumber data yang rinci terkait calon
menterinya ternyata masuk akal. Bagi mantan Menteri Pemberdayaan
Aparatur Negara di era Soeharto, Sarwono Kusumaatmadja, Presiden yang
berkuasa selama 32 tahun itu menggunakan jasa intelijen untuk merekrut
para menterinya.
Soeharto akan menggunakan data-data dari laporan intelijen untuk melihat
data dan latar belakang seseorang yang ingin ditunjuknya menjadi
menteri. Karena itu, kehidupan calon menterinya sangat diketahui secara
detail oleh Pak Harto.
“Pak Harto itu memiliki metode untuk mencarikan orang, beliau sering
memakai laporan intelijen. Jadi siapa pun yang ingin menjabat, data,
latar belakang itu Pak Harto sudah punya, dan cara itu sangat akurat dan
profesional,” ujar Sarwono kepada Liputan6.com, Minggu 26 Oktober 2014.
“Zaman Pak Harto, itu semuanya harus screening. Mau jadi PNS, menteri,
harus screening dulu lewat Badan Intelijen Negara. Barulah nanti
terlihat laporan kegiatan itu. Pernah kritik atau tidak? Ikut organisasi
apa? Sama dengan Akbar Tandjung dan Pak Sarwono yang terus dipantau
BIN,” jelas Ikrar.
Namun begitu, Ikrar mengatakan meski mendapatkan info dari BIN, Pak
Harto menyusun sendiri kabinetnya tanpa orang lain. Menurut dia, Pak
Harto dalam memilih selalu melihat benar-benar tentang track record para
kandidat.
Dengan kekuasaan besar yang dimiliki, Soeharto juga tak banyak meminta
saran atau tanggapan dari wakil presiden yang mendampinginya. “Saran
saya itu ada yang dia (Soeharto) terima, dia oke. Tapi ada yang dia
tidak terima, dan dia marah-marah sama saya,” kata mantan Wapres BJ
Habibie (Maret 1998-Mei 1998), belum lama ini.
Jika sudah terjadi perbedaan pendapat seperti itu, Habibie mengaku tak
bisa lagi berbuat banyak. Soeharto akan tetap mengusung nama yang
dipilihnya, meski Habibie tidak menyetujuinya.
“Dia (Soeharto) bilang, ‘pokoknya menterinya ini. Saya kan presidennya’.
Kata saya silakan, tapi saya tahu menurut saya itu salah,” ujar
Habibie.
Sikap Soeharto yang tak mau mendengarkan masukan dalam memilih seorang
menteri itu sangat disayangkan Habibie. Meskipun memilih menteri adalah
hak prerogatif presiden, masukan dari berbagai pihak menurut dia tetap
penting untuk didengarkan.
Dengan pola semacam ini, meski dukungan politik nyaris mutlak, Soeharto
masih membutuhkan waktu panjang dan proses yang tidak mudah. Mungkin
karena itu, setelah memilih menteri-menterinya, Soeharto hampir tidak
pernah merombak kabinetnya di tengah jalan.
Pecat Menteri ala Gus Dur
Dipilih di tengah kompromi politik ketat antarkekuatan pendukung dan
penentang pascapemilu multipartai pertama tahun 1999, Presiden
Abdurrahman Wahid yang berkuasa tahun 1999-2001 mengalami tekanan hebat
dalam pembentukan kabinetnya.
“Tapi Gus Dur tidak menganggap itu sebagai tekanan. Prinsipnya menurut
Gus Dur, tidak bisa ada jaminan menteri itu sekali dipilih pasti cocok,”
kata mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi.
Audisi menteri era Abdurrahman Wahid lebih sederhana. Setelah
mencari-cari orang yang cocok atau menerima masukan dari pihak lain, Gus
Dur biasanya akan langsung mengangkat yang bersangkutan.
Secara umum, menurut Adhie Gus Dur sudah punya visi apa yang
diinginkannya dalam pemerintahannya. Visi ini lalu diterjemahkan dalam
bentuk penunjukan orang yang dianggap Gus Dur sesuai dengan konsepnya.
“Kecakapan teknis saja tidak cukup. Harus juga memiliki kepemimpinan,
integritas dan keberpihakan kepada rakyat yang jelas,” kata Adhie.
Dia memberi contoh, misalnya Gus Dur punya konsep tentang TNI, tentang
pertahanan. Kemudian akan dicari orang yang punya pemikiran serta sikap
yang sesuai tentang itu.
“Maka ketemulah Mahfud MD yang orang lain mungkin tidak tahu, tapi Gus
Dur tahu ketika Mahfud sebagai anggota MPR dulu dia mendengarkan
pemikirannya tentang pertahanan. Maka dia dijadikan Menteri Pertahanan,
habis itu kita tidak perlu kontrol lagi, pasti akan seperti itu
pemikirannya. Rata-rata begitu,” tegas dia.
Kalau ternyata menteri yang sudah dipilih tidak mampu bekerja sesuai
keinginan, menurut Adhie, Gus Dur tidak segan-segan mencopot mereka di
tengah jalan, termasuk untuk mereka yang membawa legitimasi partai
politik.
“Dulu Jusuf Kalla kan juga diganti, Susilo Bambang Yudhoyono, lalu
Laksamana Sukardi. Ada Bondan Gunawan, kemudian juga Hamzah Haz, ya
nggak apa apa,” kata Adhie.
Oleh karena itu, dia menyarankan Jokowi agar melakukan rekrutmen calon
menteri-menteri seperti halnya yang dilakukan Gus Dur.
“Menurut saya, cara Gus Dur melakukan rekrutmen anggota kabinet adalah
cara paling benar untuk saat ini. Gus Dur memakai pola pelatih sepakbola
Inggris. Memilih orang untuk jadi anggota kabinet berdasarkan karakter
dan integritas,” terang Adhie.
Memilih menteri menurut Adhie tak sulit-sulit amat, karena tidak ada
jaminan bahwa orang-orang yang terpilih akan menjadi baik setelah
menjadi menteri, meski yang bersangkutan dari akademisi sekalipun.
Dia mencontohkan Rudi Rubiandini, mantan Kepala SKK Migas. Rudi berasal
dari akademisi, tepatnya profesor dari Institut Teknologi Bandung (ITB),
namun tersangkut masalah suap terkait kewenangannya sebagai orang nomor
1 di SKK Migas.
Merah dan Kuning Calon Menteri Jokowi
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya cara tersendiri untuk
merekrut para pembantunya. Tidak mau mencari sendirian, Jokowi
menggunakan lembaga profesional semacam head hunter.
“Mereka yang menyeleksi, tapi dikomunikasikan dengan Tim Transisi,” kata
salah satu mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto.
Ini jelas bukan tugas yang ringan karena mereka sangat rentan untuk
ditekan serta diintervensi. Karena itu tim ini harus meneken pakta
kerahasiaan. Identitas mereka juga dirahasiakan demi menjaga
independensi.
Lembaga yang disewa Jokowi ini di akhir tugasnya menghasilkan 2.800
nama. Jumlah itu kemudian dikerucutkan menjadi 200 dan langsung
dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan bidang profesinya. Tim pemburu
ini selesai bertugas ketika menghasilkan 42 nama.
Setelah itu, seleksi dilakukan langsung oleh pasangan Jokowi-Jusuf
Kalla. Berbeda dengan era SBY yang diliput media, Jokowi-JK cenderung
melakukannya dalam suasana senyap. JK punya alasan sendiri soal cara dia
dan Jokowi menyeleksi calon menteri.
Tahap akhir seleksi calon menteri juga berbeda dengan era SBY. Nama yang
sudah diseleksi diserahkan Jokowi kepada Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna
menelusuri apakah si calon bersih dari kemungkinan keterlibatan kasus
korupsi.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan catatan KPK didasari dugaan
keterkaitan calon menteri itu dalam kasus-kasus yang ditangani
lembaganya. “Kami memberikan saran sesuai dengan yang diminta,” tutur
Zulkarnain, Senin 20 Oktober lalu.
“Kita tidak pakai istilah lolos tidak lolos, tapi memberikan masukan
sesuai yang diminta. Yang berisiko tinggi kami anggap merah, yang kami
anggap kurang kami beri warna kuning,” kata Zulkarnaen dalam pesan
singkatnya, Senin 20 Oktober lalu.
Setiap kabinet yang pernah dibentuk memang punya karakteristik
masing-masing. Pemerintahan Presiden Soeharto antara tahun 1966-1998
dikenal memiliki kabinet dengan sejarah solid, nyaris tanpa friksi dan
hampir tidak pernah diubah sebelum masa jabatan 5 tahun selesai.
Sebaliknya, kabinet di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
yang hanya memerintah antara 1999-2001 justru mengalami banyak perubahan
personel di tengah jalan.
Demikian pula dengan pengumuman menteri, tak ada yang baku terkait waktu
yang dihabiskan untuk melakukan seleksi. Semuanya ditentukan oleh tarik
ulur kepentingan serta selera presiden tertentu.
Gus Dur dan wakilnya ketika itu, Megawati Soekarnoputri, dilantik pada
20 Oktober 1999 dan mengumumkan kabinet mereka yang disebut Kabinet
Persatuan Nasional 6 hari sesudahnya, pada 26 Oktober.
Kabinet Persatuan Nasional hanya bertahan selama 2 tahun karena
pergantian presiden di tengah jalan. Kabinet itu berakhir 9 Agustus 2001
ketika Megawati naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur yang
dilengserkan sebelum periode pemerintahannya berakhir.
Megawati yang resmi menjabat sebagai presiden pada 23 Juli 2001 kemudian
mengubah susunan kabinet. Ia baru mengumumkan kabinetnya yang diberi
judul Kabinet Gotong Royong pada 9 Agustus 2001, 2 pekan lebih setelah
ia menjadi presiden.
SBY paling cepat mengumumkan kabinetnya. Ia dilantik menjadi presiden
pada 20 Oktober 2004, dan mengumumkan nama-nama menteri Kabinet
Indonesia Bersatu I sehari sesudahnya, 21 Oktober.
Sedangkan Jokowi yang dilantik pada 20 Oktober 2014 baru mengumumkan
kabinetnya pada hari ke-7 masa kerjanya yaitu 26 Oktober 2014.
Share this Article now on :
ARTIKEL YANG BERHUBUNGAN :
Indonesia
0 komentar:
Make Money at :
http://bit.ly/copy_win
Pengusaha sekaligus politisi Partai Golkar Fahmi Idris punya cerita menarik saat dipanggil oleh
Presiden
Susilo
Bambang Yudhoyono untuk menjadi calon menteri.
Awalnya, mantan Menteri
Tenaga Kerja (2004-2005) dan Menteri Perindustrian (2005-2009) itu dihubungi
staf SBY bahwa dirinya akan dipanggil ke Cikeas dan diminta untuk menyiapkan
diri."Saya belajar seperti mau ujian," ujar Fahmi yang kini terbaring
sakit itu, beberapa waktu lalu.Fahmi mengaku mulai membuka-buka buku lama,
menebak-nebak pertanyaan apa yang akan diajukan Pak Presiden nanti. Namun,
ternyata materi yang ditanyakan saat audisi berbeda dari apa yang telah
dipelajari. Kendati demikian, posisi menteri akhirnya tetap dalam genggaman
pria kelahiran Jakarta, 20 September 1943 itu.Setelah terpilih sebagai Presiden
pada Pilpres 2004, SBY memang terlihat sibuk merancang kabinet yang akan
menjalankan roda pemerintahan.
Saat mengundang wartawan ke
rumah pribadinya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, SBY mengakui sudah banyak
peminat mengirim lamaran untuk menjadi menterinya."Banyak sekali
rekomendasi atau lamaran dialamatkan kepada saya. Bahkan beberapa organisasi,
sekali mengusulkan bisa 10 bisa 15 nama. Saya hormati, saya baca usulan
itu," jelas SBY seperti dikutip dari BBC.Yang jelas, langkah pertama
Yudhoyono saat mencari calon menteri adalah dengan menjaring sekaligus
menyaring nama-nama yang masuk. Tugas ini dibebankan kepada Badan Pemenangan
Pemilu SBY.Nama-nama calon yang lolos itu kemudian diumumkan melalui siaran
televisi.
Satu per satu calon menteri lantas
dipanggil SBY untuk dilakukan wawancara di kediaman pribadinya di Puri Cikeas.
"Wawancara dengan Yudhoyono lebih pas dibilang diskusi daripada
ujian," tutur mantan Rektor Institut Teknologi Bandung Kusmayanto Kadiman,
salah seorang yang mengikuti seleksi calon menteri dan akhirnya menempati
posisi sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada Kabinet
Indonesia Bersatu periode 2004-2009.Lolos seleksi di Puri Cikeas,
para calon menteri kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk psikotes,
di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto,
Jakarta. Mereka harus menjawab 567 pertanyaan tertulis untuk pemeriksaan
kesehatan jiwa. Meskipun sudah diliput televisi dan menjalani tes kesehatan,
belum tentu pula calon itu lolos menjadi menteri. Sedangkan jika dianggap
lolos, yang bersangkutan akan diminta menandatangani komitmen koalisi, kontrak
kinerja, serta pakta integritas. Seluruhnya ditujukan untuk mengikat komitmen
calon agar bekerja sesuai keinginan Sang Presiden.
Namun, proses yang terjadi
sebenarnya tidak sesederhana urut-urutan tersebut. Tekanan dari luar juga terus
berdatangan dalam bentuk usulan nama untuk jadi calon menteri SBY.Yang dikirim
lewat jalur pribadi atau orang dekat, tidak kurang banyaknya. SBY tidak
mengatakan berapa persis jumlah nama yang diusulkan padanya.
"Permintaan...maaf saya tidak mungkin semua dapat diwadahi. Kursinya
terbatas," kata SBY.
Kisah SBY Kena Marah
Ada cerita
di balik permintaan maaf SBY.
Usai mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu pada 20 Oktober 2004, SBY mendapat banyak
kiriman pesan singkat (SMS), baik yang memuji, berterima kasih dan tak sedikit
pula yang marah-marah."Mereka mengumpat dan bahkan mendamprat saya,"
tutur SBY dalam buku 'SBY: Selalu Ada Pilihan'.Umumnya yang marah-marah itu
adalah mereka yang merasa bakal jadi menteri namun tidak jadi kenyataan.
Padahal, menurut SBY, kesalahan ada di pers yang kerap menulis kabinet bayangan
dan memuat nama-nama calon menteri yang sebenarnya tidak berasal dari dia.
Hal yang sama juga terjadi pada
seleksi menteri periode kedua Yudhoyono."Dalam penyusunan kabinet
berikutnya tidak akan ada yang marah-marah lagi. Tapi, ternyata tidak,"
ujar SBY. Saat SBY mengumumkan KIB Jilid II pada Oktober 2009, kasus yang sama
terulang lagi. Meski tidak lagi marah-marah, banyak yang mengungkapkan
kekecewaan atas kabinet yang dibentuk SBY."Saya tahu bahwa mereka marah
dan hubungan saya dengan mereka menjadi renggang. Saya ikuti, mereka akhirnya
memperkuat barisan yang gemar mengkritik saya," jelas SBY.Bisa dimaklumi,
karena SBY melakukan seleksi secara terbuka, sehingga siapa saja bisa melihat
sosok yang dipanggil untuk menjadi calon menteri, meski belum tentu yang
bersangkutan bakal terpilih. Tentu saja, setiap nama yang dipanggil atau
disebut Tim SBY akan menaruh harapan dan menjadi kekecewaan serta rasa malu
ketika harapan itu tidak menjadi kenyataan.Selain itu, pemerintah di era Presiden SBY
disokong oleh sejumlah partai politik, sehingga perlu mempertimbangkan
keterwakilan parpol pendukung di kabinet sebagai bentuk balas budi. Kerumitan
itu yang tidak dimiliki pemerintahan
Soeharto sepanjang dirinya memilih menteri.
Seleksi ala SoehartoCosmas Batubara
yang 3 kali menjadi menteri pada kabinet pemerintahan Soeharto mengatakan Sang
Presiden hampir tidak mengenal kata kompromi politik saat menyusun
kabinet." Golkar adalah
single majority sehingga memudahkan beliau menentukan pilihan. Sedang saat ini
adalah partai yang ada berkoalisi sehingga tidak semudah
Pak Harto menentukan pembantunya," ujar Cosmas.
Untuk mencari menteri yang terbaik
dan bisa dipercaya masuk kabinet, Soeharto biasanya mengandalkan orang-orang
yang berada di jaringan yang sangat dia percaya. Yang utama adalah mereka yang
berasal dari TNI (dulu ABRI) dan Partai Golkar, baru kemudian calon dari
kalangan profesional.Tidak hanya itu, Soeharto juga sangat memperhatikan asas
perimbangan wilayah yang ada di Indonesia dengan mencari calon menteri dari
latar belakang etnis yang beragam sebagai perwakilan pulau-pulau besar.Tak
sulit bagi Soeharto mencari sosok menteri yang dia inginkan karena dia bisa
dengan mudah mendapatkan informasi tentang data-data penting calon
terkait."
Pak Harto
memiliki sumber data yang rinci terkait orang yang dicalonkan sebagai
menterinya," tegas Cosmas.Cosmas sendiri dipanggil Soeharto ke kediamannya
di Jalan Cendana tahun 1978 setelah sidang MPRS mengangkatnya kembali sebagai
presiden. Soeharto memintanya masuk kabinet dan Cosmas bertahan hingga 15 tahun
di kabinet sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat (1978-1988) dan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1988-1993). Intelijen dan
Terawangan Batin Pak Harto
Ucapan Cosmas bahwa Soeharto punya
sumber data yang rinci terkait calon menterinya ternyata masuk akal. Bagi
mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara di era Soeharto, Sarwono
Kusumaatmadja, Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu menggunakan jasa
intelijen untuk merekrut para menterinya.Soeharto akan menggunakan data-data
dari laporan intelijen untuk melihat data dan latar belakang seseorang yang
ingin ditunjuknya menjadi menteri. Karena itu, kehidupan calon menterinya sangat
diketahui secara detail oleh Pak Harto."Pak Harto itu memiliki metode
untuk mencarikan orang, beliau sering memakai laporan intelijen. Jadi siapa pun
yang ingin menjabat, data, latar belakang itu Pak Harto sudah punya, dan cara
itu sangat akurat dan profesional," ujar Sarwono kepada Liputan6.com,
Minggu 26 Oktober 2014.
Cerita Sarwono dibenarkan peneliti
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti. Menurutnya, apa
yang dilakukan pada era Soeharto semuanya harus lolos screening (pengecekan)
yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN)."Zaman Pak Harto, itu semuanya
harus screening. Mau jadi PNS, menteri, harus screening dulu lewat Badan
Intelijen Negara. Barulah nanti terlihat laporan kegiatan itu. Pernah kritik
atau tidak? Ikut organisasi apa? Sama dengan Akbar Tandjung
dan Pak Sarwono yang terus dipantau BIN," jelas Ikrar.
Namun begitu, Ikrar mengatakan meski
mendapatkan info dari BIN, Pak Harto menyusun sendiri kabinetnya tanpa orang
lain. Menurut dia, Pak Harto dalam memilih selalu melihat benar-benar tentang
track record para kandidat."Pak Harto itu menyusun sendiri tanpa orang
lain. Memang zaman tersebut jelas sangat otoriter. Di mana, Pak Harto memilih
yang baik di hitung benar-benar track record-nya," jelas dia.
Dengan kekuasaan besar yang
dimiliki, Soeharto juga tak banyak meminta saran atau tanggapan dari wakil
presiden yang mendampinginya. "Saran saya itu ada yang dia (Soeharto)
terima, dia oke. Tapi ada yang dia tidak terima, dan dia marah-marah sama
saya," kata mantan Wapres
BJ Habibie (Maret 1998-Mei 1998), belum lama ini.Jika sudah terjadi
perbedaan pendapat seperti itu, Habibie mengaku tak bisa lagi berbuat banyak.
Soeharto akan tetap mengusung nama yang dipilihnya, meski Habibie tidak menyetujuinya.
"Dia (Soeharto) bilang, 'pokoknya menterinya ini. Saya kan presidennya'.
Kata saya silakan, tapi saya tahu menurut saya itu salah," ujar Habibie.
Sikap Soeharto yang tak mau
mendengarkan masukan dalam memilih seorang menteri itu sangat disayangkan
Habibie. Meskipun memilih menteri adalah hak prerogatif presiden, masukan dari
berbagai pihak menurut dia tetap penting untuk didengarkan. Dengan pola semacam
ini, meski dukungan politik nyaris mutlak, Soeharto masih membutuhkan waktu
panjang dan proses yang tidak mudah. Mungkin karena itu, setelah memilih
menteri-menterinya, Soeharto hampir tidak pernah merombak kabinetnya di tengah
jalan.
Di tempat terpisah, mantan ajudan
Soeharto, Letjen (Purn) Soerjadi mengatakan, yang membedakan Pak Harto dari presiden
lainnya adalah dia sangat mengerti kualitas anak buahnya, sehingga untuk
menyeleksi tidak diserahkan pada orang lain atau tim. "Tidak diserahkan
kepada tim, ditangani sendiri. Ada 1 contoh, tahun 1981 atau 1982, saya
mendapat tugas menghubungi 2 orang calon menteri untuk datang ke Pak Harto.
Akhirnya ditangani sendiri, dan beliau (Pak Harto) punya record sendiri
terhadap orang-orang itu," jelas Soerjadi kepada Liputan6.com. Dia
melanjutkan, dengan berpegang pada data dan pertimbangan yang matang, Pak Harto
percaya dan yakin bahwa orang yang dia pilih sebagai menteri bisa melaksanakan
pekerjaannya. "Jadi bukan karena ini pilihan siapa atau masukan
siapa," tegas Soerjadi. Pak Harto, kata dia, juga mengandalkan mata batin.
Haya dengan melihat., ia bisa menilai kualitas seseorang. "Saya pernah
ikut beliau kunjungan ke Asem Bagus, Jawa Timur. Ada tentara yang dia (Pak
Harto) lihat bagus. Di tengah jalan dia lihat dan ditanya, 'iku sopo?' Namanya
Basofi Sudirman. Kemudian dia ditarik jadi Gubernur Jawa Timur."
Pecat Menteri ala Gus Dur.
Dipilih di tengah kompromi politik
ketat antarkekuatan pendukung dan penentang pascapemilu multipartai pertama
tahun 1999, Presiden Abdurrahman
Wahid yang berkuasa tahun 1999-2001 mengalami tekanan hebat dalam
pembentukan kabinetnya."Tapi Gus Dur tidak menganggap itu sebagai tekanan.
Prinsipnya menurut Gus Dur, tidak bisa ada jaminan menteri itu sekali dipilih
pasti cocok," kata mantan juru bicara Presiden Abdurrahman
Wahid, Adhie M Massardi.
Audisi menteri era Abdurrahman Wahid
lebih sederhana. Setelah mencari-cari orang yang cocok atau menerima masukan
dari pihak lain, Gus Dur biasanya akan langsung mengangkat yang
bersangkutan.Secara umum, menurut Adhie Gus Dur sudah punya visi apa yang
diinginkannya dalam pemerintahannya. Visi ini lalu diterjemahkan dalam bentuk
penunjukan orang yang dianggap Gus Dur sesuai dengan konsepnya."Kecakapan
teknis saja tidak cukup. Harus juga memiliki kepemimpinan, integritas dan
keberpihakan kepada rakyat yang jelas," kata Adhie.Dia memberi contoh,
misalnya Gus Dur punya konsep tentang TNI, tentang pertahanan. Kemudian akan
dicari orang yang punya pemikiran serta sikap yang sesuai tentang itu.
"Maka ketemulah
Mahfud MD yang orang lain mungkin tidak tahu, tapi Gus Dur tahu
ketika Mahfud sebagai anggota MPR dulu dia mendengarkan pemikirannya tentang
pertahanan. Maka dia dijadikan Menteri Pertahanan, habis itu kita tidak perlu
kontrol lagi, pasti akan seperti itu pemikirannya. Rata-rata begitu,"
tegas dia
.
Kalau ternyata menteri yang sudah
dipilih tidak mampu bekerja sesuai keinginan, menurut Adhie, Gus Dur tidak
segan-segan mencopot mereka di tengah jalan, termasuk untuk mereka yang membawa
legitimasi partai politik."Dulu Jusuf Kalla
kan juga diganti,
Susilo Bambang Yudhoyono, lalu Laksamana
Sukardi. Ada Bondan Gunawan, kemudian juga
Hamzah Haz, ya nggak apa apa," kata Adhie.
Oleh karena itu, dia menyarankan Jokowi agar
melakukan rekrutmen calon menteri-menteri seperti halnya yang dilakukan Gus
Dur."Menurut saya, cara Gus Dur melakukan rekrutmen anggota kabinet adalah
cara paling benar untuk saat ini. Gus Dur memakai pola pelatih sepakbola
Inggris. Memilih orang untuk jadi anggota kabinet berdasarkan karakter dan
integritas," terang Adhie.Memilih menteri menurut Adhie tak sulit-sulit
amat, karena tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang terpilih akan menjadi
baik setelah menjadi menteri, meski yang bersangkutan dari akademisi
sekalipun."Tidak ada jaminan. Misal kalau ada orang dari akademisi begitu
duduk di kabinet tidak ada jaminan dia akan baik," ucap Adhie.
Dia mencontohkan Rudi Rubiandini,
mantan Kepala SKK Migas. Rudi berasal dari akademisi, tepatnya profesor dari
Institut Teknologi Bandung (ITB), namun tersangkut masalah suap terkait
kewenangannya sebagai orang nomor 1 di SKK Migas."Contoh, kurang baik
apanya Profesor Rudi Rubiandini, menjadi dosen teladan, tapi dia masuk kabinet
dengan iklim yang korup. Dia masuk dalam pusaran korup juga. Jadi ya jalan
saja, kalau jelek kan diganti," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat pekan
lalu.
Merah dan Kuning Calon Menteri Jokowi
Namun, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) punya cara tersendiri untuk merekrut para pembantunya. Tidak mau
mencari sendirian, Jokowi menggunakan lembaga profesional semacam head hunter.
"Mereka yang menyeleksi, tapi dikomunikasikan dengan Tim Transisi,"
kata salah satu mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto.Ini jelas bukan
tugas yang ringan karena mereka sangat rentan untuk ditekan serta diintervensi.
Karena itu tim ini harus meneken pakta kerahasiaan. Identitas mereka juga
dirahasiakan demi menjaga independensi. Lembaga yang disewa Jokowi ini di akhir
tugasnya menghasilkan 2.800 nama. Jumlah itu kemudian dikerucutkan menjadi 200
dan langsung dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan bidang profesinya. Tim
pemburu ini selesai bertugas ketika menghasilkan 42 nama.Setelah itu, seleksi
dilakukan langsung oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Berbeda dengan era SBY yang diliput
media, Jokowi-JK cenderung melakukannya dalam suasana senyap. JK punya alasan
sendiri soal cara dia dan Jokowi menyeleksi calon menteri. "Coba
bayangkan, kalau orang yang kami seleksi terbuka ternyata tidak lulus, malunya
kayak apa ini orang," ujar JK.
Tahap akhir seleksi calon menteri
juga berbeda dengan era SBY. Nama yang sudah diseleksi diserahkan Jokowi kepada
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menelusuri apakah si calon bersih dari
kemungkinan keterlibatan kasus korupsi.Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan
catatan KPK didasari dugaan keterkaitan calon menteri itu dalam kasus-kasus
yang ditangani lembaganya. "Kami memberikan saran sesuai dengan yang
diminta," tutur Zulkarnain, Senin 20 Oktober lalu.Zulkarnain mengatakan,
calon menteri yang dinilai bermasalah diberikan warna merah pada namanya.
Sedangkan calon menteri yang berpotensi bermasalah ditandai dengan warna
kuning."Kita tidak pakai istilah lolos tidak lolos, tapi memberikan
masukan sesuai yang diminta. Yang berisiko tinggi kami anggap merah, yang kami
anggap kurang kami beri warna kuning," kata Zulkarnaen dalam pesan
singkatnya, Senin 20 Oktober lalu.
Kabinet Solid dan Bongkar Pasang
Setiap kabinet yang pernah dibentuk
memang punya karakteristik masing-masing. Pemerintahan
Presiden Soeharto antara tahun 1966-1998 dikenal memiliki kabinet
dengan sejarah solid, nyaris tanpa friksi dan hampir tidak pernah diubah
sebelum masa jabatan 5 tahun selesai.Sebaliknya, kabinet di bawah pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya memerintah antara 1999-2001 justru
mengalami banyak perubahan personel di tengah jalan.Demikian pula dengan
pengumuman menteri, tak ada yang baku terkait waktu yang dihabiskan untuk
melakukan seleksi. Semuanya ditentukan oleh tarik ulur kepentingan serta selera
presiden tertentu.Gus Dur dan wakilnya ketika itu, Megawati
Soekarnoputri, dilantik pada 20 Oktober 1999 dan mengumumkan kabinet
mereka yang disebut Kabinet Persatuan Nasional 6 hari sesudahnya, pada 26
Oktober.Kabinet Persatuan Nasional hanya bertahan selama 2 tahun karena
pergantian presiden di tengah jalan.
Kabinet itu berakhir 9 Agustus 2001
ketika Megawati naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur yang dilengserkan
sebelum periode pemerintahannya berakhir.Megawati yang resmi menjabat sebagai
presiden pada 23 Juli 2001 kemudian mengubah susunan kabinet. Ia baru
mengumumkan kabinetnya yang diberi judul Kabinet
Gotong Royong pada 9 Agustus 2001, 2 pekan lebih setelah ia menjadi
presiden. SBY paling cepat mengumumkan kabinetnya. Ia dilantik menjadi presiden
pada 20 Oktober 2004, dan mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Indonesia
Bersatu I sehari sesudahnya, 21 Oktober.
Sedangkan Jokowi yang dilantik pada
20 Oktober 2014 baru mengumumkan kabinetnya pada hari ke-7 masa kerjanya yaitu
26 Oktober 2014.
(dikutip dari: http://www.tokohindonesia.com/lintas-berita/artikel/506143/cara-pak-harto-jokowi-cari-menteri-mata-batin-intel-).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda