Jumat, 13 Maret 2015

REVOLUSI MENTAL & FILOSOFI JATI DIRI ORANG JAWA: Kandungan Makna Suluk Kidung Kawedar (3).




Manunggaling Kawulo Gusti.

Bait 15 sampai dengan 18 Kidung Kawedar atau Kidung Sariro Ayu menguraikan tentang manunggaling kawulo – Gusti atau penyatuan sang hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana kelaziman penyair-penyair sufi di berbagai negara, penggambaran hubungan antara sang hamba dengan Sang Khalik itu dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa kiasan serta ungkapan-ungkapan simbolik dan metaforis. Begitu pula dalam Kidung Kawedar yang merupakan suluk yang berupa tembang puisi yang kontemplatif-meditatif ini.

Agar segera bisa menarik perhatian khalayak, Sunan Kalijaga seperti gurunya Sunan Bonang, juga menggunakan kiasan-kiasan yang lazim berlaku pada saat itu, sehingga langsung bisa diterima oleh sebagian besar masyarakat yang masih menganut Syiwa-Buddha, berbagai aliran kepercayaan serta percaya pada roh-roh gaib.

Berbeda dengan bait-bait awal, dalam bait 15 – 18 tidak disisipkan sama sekali istilah dan kata-kata dari bahasa Arab atau pun Islam, sehingga karenanya, bagi penganut berbagai aliran kepercayaan dan Syiwa-Buddha, juga bisa ditafsirkan sesuai metode meditasi mereka. Keempat bait itu selanjutnya dan bahkan sampai sekarang, menjadi pegangan dari banyak aliran kebatinan dan Kejawen.

Bait 15 dan 16 ditafsirkan sebagai keadaan manusia semenjak masih di alam ruh, di dunia tatkala ruh dan raga menyatu maupun setelah kematian. Di alam ruh ia bagai cahaya kebiruan yang jernih, bening, suci tak bernoda. Tatkala mengembara di dunia, nafsunya yang menyenangi pesona dunia, dapat menjadi racun yang menyebar dalam kehidupannya. Bisa atau racun itu dapat bermanfaat bagi kehidupan, sebaliknya kehidupan yang semula tenang juga bisa berubah menjadi racun. Namun sesungguhnya ia memiliki kekuatan tersembunyi yang disebut arta daya atau kebijaksanaan dan kekuatan batin dengan rasa belas kasihnya, yang mampu menjadi daya kekuatan jiwa yang luar biasa, yang sebenarnya selalu berusaha mengingatkan pada asal mula dan jati dirinya.

Bait 17 – 18 adalah bait yang yang menggambarkan kemustahilan sekaligus kekosongan atau suwung. Semuanya dilukiskan dalam kalimat yang dimulai dari, ada pendeta yang ingin menciptakan ilham sehingga diibaratkan kumbang menggapai langit. Dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang sarang angin, inti batang (empulur yang mengeras seperti batu) kangkung, letak cakrawala, isi buluh atau batang bambu yang kosong, jejak burung yang sedang terbang serta punggung dari bola besi dan seterusnya, yang pada dasarnya tidak ada, kosong dan mustahil.

Bait 18 masih melanjutkan kemustahilan dan kekosongan yang diuraikan di bait 17, namun sudah mulai memasukkan isyarat-isyarat pencarian manusia terhadap jati diri dan Sang Pencipta. Pencarian itu ibarat mau mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air, mengambil api dengan pelita yang menyala sampai merendam air dalam air, membakar api yang membara, mengubur bumi dan seterusnya. Sesungguhnya apa yang dicari dan diinginkan, sudah ada pada dirinya.

Bagi penganut aliran-aliran kebatinan dan kejawen, keadaan kemustahilan itu adalah tan kena kinaya ngapa, tidak tergambarkan atau tidak dapat disepertikan. Jadi hakikat Tuhan adalah kekosongan yang tak terbayangkan tetapi memiliki energi yang luar biasa, sehingga mampu mengatur kehidupan serta keserasian alam raya.

Dengan semedi dan tirakat diharapkan semua nafsu dan keinginan manusiawi dapat dimatikan sehingga atman menjadi kosong. Kosong akan mudah menyatu, manunggal dengan yang sama kosongnya pula. Dengan pemahaman yang seperti itulah Kidung Kawedar sampai sekarang bisa diterima, bahkan dijadikan sumber referensi utama oleh semua kalangan masyarakat Jawa yang menyenangi olah batin, baik yang Islam maupun bukan.

Dalam tasawuf, suluk berarti jalan atau cara mendekatkan diri ke Gusti Allah Swt yang pada umumnya ditempuh secara tahap demi tahap, tanjakan demi tanjakan, tapi secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua tahap.

Tahap pertama adalah tahap penyucian diri antara lain dengan bertobat dan berhenti melakukan dosa serta berbagai perbuatan tercela lebih-lebih yang dilarang Gusti Allah. Tahap kedua yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah swt. Jika diibaratkan salon kecantikan, tahap pertama adalah tahap membersihkan wajah sedangkan tahap kedua adalah tahap membuat pondasi yang dilanjutkan dengan merias wajah agar menjadi cantik. Sementara itu bila diibaratkan dunia kesehatan, maka tahap pertama adalah mengenali dan membuang semua penyakit, sedangkan tahap kedua adalah perbaikan dan perawatan menuju manusia yang sehat lahir dan batin.

Tahap pertama disebut juga tahapan takhalli atau pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Tahap kedua disebut tahali atau mengisi kembali setelah kosong, dengan sifat-sifat terpuji seperti ikhlas, sabar, jujur, taat, tawakal, tawadlu, ridho dan merasa cukup atau qanaah. Hasil dari kedua tahapan ini adalah tajalli, yaitu manusia baru dengan wajah batin yang nampak indah sempurna, yang dengan itu ia bisa melihat serta merasakan keagungan Gusti Allah (Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era Globalisasi, https://islamjawa.wordpress.com). Jika memakai istilah sekarang, maka secara islami inilah yang sesungguhnya disebut Revolusi Mental.

Mengenai manunggaling kawula – Gusti, Kitab Al Hikam yang tersohor dan menjadi salah satu pegangan penganut tasawuf, karya Al Imam Ibnu Athaillah Askandary menyatakan apabila jiwa manusia suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah jiwa tersebut ke alam jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat. Dalam keadaan begitu, tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang Pencipta. Di mata orang yang memiliki jiwa seperti itu, alam raya nampak begitu kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh pancainderanya menjadi jagad kecil, sedangkan dirinya menjadi jagad besar. Maka berlangsunglah apa yang disebut manunggaling kawula – Gusti. Manusia menyatu dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan keinginannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah, mampu melaksanakan dengan baik tugas-tugasnya selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, halaman 100 – 115 dan 143, serta Memaknai Kehidupan halaman 32 – 33).

Al Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi, menggambarkan suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta, tercapai tatkala dzat dari sang hamba mencapai tahap fana’, sifatnya telah sirna dan kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka bagi sang hamba bisa berlaku “dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat”. Jadilah Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi wali (kekasih) sang hamba. Jika sang hamba berkata, maka berkata dengan zikir-zikir-Nya. Jika memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak dengan kekuasaan-Nya. Jika memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya.

Allahu Akbar.

Sang Guru Sejati, Hartati & Arta Daya.

Bait 19 sampai 22  menunjukkan betapa Sunan Kalijaga sebagai penggubah kidung, memiliki pengetahuan yang luas dan perasaan yang peka terhadap alam semesta. Karena itu ia bisa menuangkan nuansanya secara indah ke dalam kiasan-kiasan yang memiliki daya sugesti spiritual yang tinggi. Ia juga bisa bertutur tentang Gunung Agung di Bali dan segara Serandil yang ada di daerah Cilacap. Keduanya pada saat itu cukup jauh jaraknya dari daerah Pantai Utara Jawa, dan bagi penganut kepercayaan dan kebatinan, dipercaya memiliki kekuatan magis alam semesta yang dahsyat.

Ia memulai bait 19 dengan gambaran sebuah pohon keyakinan yang bersumber dari sawiji yang bisa berarti satu, tapi bisa juga berarti dari sebuah biji. Maknanya sama saja yakni berasal dari Yang Satu. Pohon keyakinan itu tumbuh subur dan menyebar ke segenap penjuru mata angin. Pohon keyakinan yang berpijak berakar kokoh di bumi, menjulang tinggi ke angkasa menembus langit.

Bait 20 sampai 22 menceritakan pencarian seorang hamba pada keyakinan terhadap yang Maha Kuasa dari waktu ke waktu. Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak ada yang tahu di mana istana Tuhan. Namun akhirnya ia menemukan Hartati atau karsa yang utama, yaitu daya kekuatan jiwa yang luar biasa, yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak.

Hartati yang berasal sekaligus merupakan manifestasi dari Tuhan pada setiap diri manusia itu, tidak mudah diketemukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukan hawa nafsunya yang setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan guntur, meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan.

Manusia yang bisa memahami, menaklukkan serta mengendalikan hawa nafsunya juga akan memiliki arta daya, yaitu kebijaksanaan dan kekuatan batin yang luar biasa. Orang yang seperti itu akan berdiri kokoh di dunia, serta dihormati manusia sejagad lantaran sudah memperoleh berkah kekuasaan Yang Maha Kuasa. Arta daya akan menuntunnya di dalam kehidupan di dunia. Manusia yang seperti itu oleh para penganut tasawuf disebut sudah menguasai ilmu hikmah, dan bagi para penghayat Kejawen akan selalu dibimbing oleh Sang Guru Sejati.

Perihal Sang Guru Sejati, ada dua pendapat. Satu pendapat meyakini Sang Guru Sejati itu tiada lain adalah Gusti Allah yang bersemayam di dalam rahsa manusia. Sedangkan bagi yang lain, Sang Guru Sejati itu hanyalah utusan atau pembawa pesan Gusti Allah kepada rahsa manusia. Si pembawa pesan itu adalah malaikat atau ruh suci yang ditugasi Gusti Allah untuk menyampaikan pesan, dan bukan Gusti Allah itu sendiri. Sungguh hal-hal gaib seperti itu, sebaiknyalah kita kembalikan pada firman-Nya dalam Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’.

Maasyaa Allaah laa quwwata illaa billaah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda