Manunggaling Kawulo
Gusti.
Bait 15 sampai dengan 18 Kidung
Kawedar atau Kidung Sariro Ayu menguraikan tentang manunggaling kawulo – Gusti
atau penyatuan sang hamba dengan Tuhannya. Sebagaimana kelaziman
penyair-penyair sufi di berbagai negara, penggambaran hubungan antara sang
hamba dengan Sang Khalik itu dilakukan dengan menggunakan bahasa-bahasa kiasan
serta ungkapan-ungkapan simbolik dan metaforis. Begitu pula dalam Kidung
Kawedar yang merupakan suluk yang berupa tembang puisi yang
kontemplatif-meditatif ini.
Agar segera bisa menarik perhatian
khalayak, Sunan Kalijaga seperti gurunya Sunan Bonang, juga menggunakan
kiasan-kiasan yang lazim berlaku pada saat itu, sehingga langsung bisa diterima
oleh sebagian besar masyarakat yang masih menganut Syiwa-Buddha, berbagai
aliran kepercayaan serta percaya pada roh-roh gaib.
Berbeda dengan bait-bait awal, dalam
bait 15 – 18 tidak disisipkan sama sekali istilah dan kata-kata dari bahasa
Arab atau pun Islam, sehingga karenanya, bagi penganut berbagai aliran
kepercayaan dan Syiwa-Buddha, juga bisa ditafsirkan sesuai metode meditasi
mereka. Keempat bait itu selanjutnya dan bahkan sampai sekarang, menjadi
pegangan dari banyak aliran kebatinan dan Kejawen.
Bait 15 dan 16 ditafsirkan sebagai
keadaan manusia semenjak masih di alam ruh, di dunia tatkala ruh dan raga
menyatu maupun setelah kematian. Di alam ruh ia bagai cahaya kebiruan yang
jernih, bening, suci tak bernoda. Tatkala mengembara di dunia, nafsunya yang
menyenangi pesona dunia, dapat menjadi racun yang menyebar dalam kehidupannya.
Bisa atau racun itu dapat bermanfaat bagi kehidupan, sebaliknya kehidupan yang
semula tenang juga bisa berubah menjadi racun. Namun sesungguhnya ia memiliki
kekuatan tersembunyi yang disebut arta daya atau kebijaksanaan dan kekuatan
batin dengan rasa belas kasihnya, yang mampu menjadi daya kekuatan jiwa yang
luar biasa, yang sebenarnya selalu berusaha mengingatkan pada asal mula dan
jati dirinya.
Bait 17 – 18 adalah bait yang yang
menggambarkan kemustahilan sekaligus kekosongan atau suwung. Semuanya
dilukiskan dalam kalimat yang dimulai dari, ada pendeta yang ingin menciptakan
ilham sehingga diibaratkan kumbang menggapai langit. Dilanjutkan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang sarang angin, inti batang (empulur yang mengeras
seperti batu) kangkung, letak cakrawala, isi buluh atau batang bambu yang
kosong, jejak burung yang sedang terbang serta punggung dari bola besi dan
seterusnya, yang pada dasarnya tidak ada, kosong dan mustahil.
Bait 18 masih melanjutkan kemustahilan
dan kekosongan yang diuraikan di bait 17, namun sudah mulai memasukkan
isyarat-isyarat pencarian manusia terhadap jati diri dan Sang Pencipta.
Pencarian itu ibarat mau mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air,
mengambil api dengan pelita yang menyala sampai merendam air dalam air,
membakar api yang membara, mengubur bumi dan seterusnya. Sesungguhnya apa yang
dicari dan diinginkan, sudah ada pada dirinya.
Bagi penganut aliran-aliran
kebatinan dan kejawen, keadaan kemustahilan itu adalah tan kena kinaya ngapa,
tidak tergambarkan atau tidak dapat disepertikan. Jadi hakikat Tuhan adalah
kekosongan yang tak terbayangkan tetapi memiliki energi yang luar biasa,
sehingga mampu mengatur kehidupan serta keserasian alam raya.
Dengan semedi dan tirakat diharapkan
semua nafsu dan keinginan manusiawi dapat dimatikan sehingga atman menjadi
kosong. Kosong akan mudah menyatu, manunggal dengan yang sama kosongnya pula.
Dengan pemahaman yang seperti itulah Kidung Kawedar sampai sekarang bisa
diterima, bahkan dijadikan sumber referensi utama oleh semua kalangan
masyarakat Jawa yang menyenangi olah batin, baik yang Islam maupun bukan.
Dalam tasawuf, suluk berarti jalan
atau cara mendekatkan diri ke Gusti Allah Swt yang pada umumnya ditempuh secara
tahap demi tahap, tanjakan demi tanjakan, tapi secara garis besar bisa
dikelompokkan menjadi dua tahap.
Tahap pertama adalah tahap penyucian
diri antara lain dengan bertobat dan berhenti melakukan dosa serta berbagai
perbuatan tercela lebih-lebih yang dilarang Gusti Allah. Tahap kedua yaitu
penyerahan diri secara total kepada Allah swt. Jika diibaratkan salon
kecantikan, tahap pertama adalah tahap membersihkan wajah sedangkan tahap kedua
adalah tahap membuat pondasi yang dilanjutkan dengan merias wajah agar menjadi
cantik. Sementara itu bila diibaratkan dunia kesehatan, maka tahap pertama
adalah mengenali dan membuang semua penyakit, sedangkan tahap kedua adalah
perbaikan dan perawatan menuju manusia yang sehat lahir dan batin.
Tahap pertama disebut juga tahapan
takhalli atau pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela. Tahap kedua disebut
tahali atau mengisi kembali setelah kosong, dengan sifat-sifat terpuji seperti
ikhlas, sabar, jujur, taat, tawakal, tawadlu, ridho dan merasa cukup atau
qanaah. Hasil dari kedua tahapan ini adalah tajalli, yaitu manusia baru dengan
wajah batin yang nampak indah sempurna, yang dengan itu ia bisa melihat serta
merasakan keagungan Gusti Allah (Tasawuf, Salon Kecantikan Jiwa di Era
Globalisasi, https://islamjawa.wordpress.com). Jika memakai istilah sekarang,
maka secara islami inilah yang sesungguhnya disebut Revolusi Mental.
Mengenai manunggaling kawula –
Gusti, Kitab Al Hikam yang tersohor dan menjadi salah satu pegangan
penganut tasawuf, karya Al Imam Ibnu Athaillah Askandary menyatakan apabila
jiwa manusia suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka
naiklah jiwa tersebut ke alam jabarut, yaitu alam yang dihuni para malaikat.
Dalam keadaan begitu, tidak ada dinding penghalang antara sang jiwa dan Sang
Pencipta. Di mata orang yang memiliki jiwa seperti itu, alam raya nampak begitu
kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh
pancainderanya menjadi jagad kecil, sedangkan dirinya menjadi jagad besar. Maka
berlangsunglah apa yang disebut manunggaling kawula – Gusti. Manusia menyatu
dengan Tuhannya, dalam arti jiwa manusia mampu mengendalikan segala nafsu dan
keinginannya, sehingga menyatu dengan kehendak Allah, mampu melaksanakan dengan
baik tugas-tugasnya selaku wakil dan utusan Allah di muka bumi (Pengembaraan
Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan, halaman 100 – 115 dan 143, serta Memaknai
Kehidupan halaman 32 – 33).
Al Ghazali dalam Raudhatut
Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien atau Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi,
menggambarkan suasana penyatuan antara sang hamba dengan Sang Pencipta,
tercapai tatkala dzat dari sang hamba mencapai tahap fana’, sifatnya telah
sirna dan kefanaannya lebur dalam keabadian-Nya. Maka bagi sang hamba bisa
berlaku “dengan diri-Ku ia mendengar dan dengan diri-Ku ia melihat”.
Jadilah Dia yang melimpahkan kewalian sang hamba dan menjadi wali (kekasih)
sang hamba. Jika sang hamba berkata, maka berkata dengan zikir-zikir-Nya.
Jika memandang dengan cahaya-cahaya-Nya. Jika bergerak maka akan bergerak
dengan kekuasaan-Nya. Jika memukul dengan limpahan keperkasaan-Nya.
Allahu Akbar.
Sang Guru Sejati, Hartati & Arta
Daya.
Bait 19 sampai 22 menunjukkan
betapa Sunan Kalijaga sebagai penggubah kidung, memiliki pengetahuan yang luas
dan perasaan yang peka terhadap alam semesta. Karena itu ia bisa menuangkan
nuansanya secara indah ke dalam kiasan-kiasan yang memiliki daya sugesti
spiritual yang tinggi. Ia juga bisa bertutur tentang Gunung Agung di Bali dan
segara Serandil yang ada di daerah Cilacap. Keduanya pada saat itu cukup jauh
jaraknya dari daerah Pantai Utara Jawa, dan bagi penganut kepercayaan dan
kebatinan, dipercaya memiliki kekuatan magis alam semesta yang dahsyat.
Ia memulai bait 19 dengan gambaran
sebuah pohon keyakinan yang bersumber dari sawiji yang bisa berarti satu, tapi
bisa juga berarti dari sebuah biji. Maknanya sama saja yakni berasal dari Yang
Satu. Pohon keyakinan itu tumbuh subur dan menyebar ke segenap penjuru mata
angin. Pohon keyakinan yang berpijak berakar kokoh di bumi, menjulang tinggi ke
angkasa menembus langit.
Bait 20 sampai 22 menceritakan
pencarian seorang hamba pada keyakinan terhadap yang Maha Kuasa dari waktu ke
waktu. Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak
ada yang tahu di mana istana Tuhan. Namun akhirnya ia menemukan Hartati atau
karsa yang utama, yaitu daya kekuatan jiwa yang luar biasa, yang mendorong
makhluk hidup untuk berkehendak.
Hartati yang berasal sekaligus
merupakan manifestasi dari Tuhan pada setiap diri manusia itu, tidak mudah
diketemukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukan hawa nafsunya yang
setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan guntur,
meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan.
Manusia yang bisa memahami,
menaklukkan serta mengendalikan hawa nafsunya juga akan memiliki arta daya,
yaitu kebijaksanaan dan kekuatan batin yang luar biasa. Orang yang seperti itu
akan berdiri kokoh di dunia, serta dihormati manusia sejagad lantaran sudah
memperoleh berkah kekuasaan Yang Maha Kuasa. Arta daya akan menuntunnya di
dalam kehidupan di dunia. Manusia yang seperti itu oleh para penganut tasawuf
disebut sudah menguasai ilmu hikmah, dan bagi para penghayat Kejawen akan
selalu dibimbing oleh Sang Guru Sejati.
Perihal Sang Guru Sejati, ada dua
pendapat. Satu pendapat meyakini Sang Guru Sejati itu tiada lain adalah Gusti
Allah yang bersemayam di dalam rahsa manusia. Sedangkan bagi yang lain, Sang
Guru Sejati itu hanyalah utusan atau pembawa pesan Gusti Allah kepada rahsa
manusia. Si pembawa pesan itu adalah malaikat atau ruh suci yang ditugasi Gusti
Allah untuk menyampaikan pesan, dan bukan Gusti Allah itu sendiri. Sungguh
hal-hal gaib seperti itu, sebaiknyalah kita kembalikan pada firman-Nya dalam
Surat Al Israa ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,
‘ruh itu urusan Rab-ku, dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan hanya sedikit’.
Maasyaa Allaah laa quwwata illaa
billaah.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda