Zikir Ya Hu Allah dan Keutamaan Surat Al Ikhlas.
Kandungan
isi bait 30 Kidung Kawedar sungguh luar biasa. Sarat makna dan keutamaan.
Diawali dengan ajaran zikir, keberadaan malaikat yang menjaga kita dan menolak
segala perbuatan buruk, kemudian bagaimana mengenal Gusti Allah dan keutamaan
Surat Kolhu atau Al Ikhlas. Bait ini juga menjadi landasan ulah batin bagi para
penganut kejawen, baik yang muslim maupun yang bukan.
Baris
pertama adalah mengajarkan berzikir di kala malam. Zikir artinya mengingat atau
menyebut. Ingat dalam bahasa Jawa adalah eling. Jadi eling atau ingat itu sama
maknanya dengan zikir, dan zikir yang terbaik adalah zikrullah atau mengingat
Allah
Dalam
rangka mengajarkan zikir mengingat Gusti Allah itulah, maka Sunan Kalijaga
memulai bait ini dengan kalimat Ya Hu Dat
myang pamujining wengi, yang bermakna berzikirlah di kala malam kepada Dzat
Allah. Kalimat ini di dalam masyarakat Jawa berlanjut dengan ajaran zikir Ya Hu Allah. Kalimat zikir Ya Hu Allah, Hu Allah dan Allahu sampai
sekarang banyak dijumpai di kalangan para penganut dan praktisi spiritual
muslim Asia Tenggara khususnya Nusantara.
Allah adalah salah satu
bahkan merupakan asma yang utama yang menggenapkan sembilan puluh sembilan (99)
asma-asma Allah yang mulia (asma’ul husna)
menjadi seratus. Penggunaan asma Allah
sering dijumpai secara berdiri sendiri, dan sering pula bersama kata lain
seperti Akbar dan Nur, sehingga menjadi Allahu Akbar (Allah Maha Besar) dan Allahu Nur (Allah adalah Cahaya dari
segala Cahaya). Tak jarang dalam berzikir, kata Allah diberi tambahan Hu, sehingga menjadi Hu Allah yang berarti Dialah Allah.
Baris ketiga dan keempat bait 30,
menyebutkan tentang adanya dua malaikat yaitu Kirun di sebelah kanan kita dan
Wana Kirun di sebelah kiri, membawa gada besi dan bertugas menolak semua
perbuatan buruk pada diri kita. Nama malaikat Kirun tidak dijumpai di dalam
Qur’an maupun hadis. Melihat tugasnya terhadap manusia, kemungkinan besar
mereka adalan Qorin dari golongan setan yang senantiasa menggoda dan mengajak
manusia untuk berbuat buruk, serta Qorin dari golongan malaikat yang mengajak
pada kebajikan. Pada hemat penafsir, Sunan Kalijaga dalam kidung menyebut
Qorin, tapi pada pendengaran masyarakat adalah Kirun. Inilah salah satu
kelemahan dari sastra tutur, yang disebarkan secara lesan dari mulut ke mulut.
Tafsiran penulis dikuatkan dengan
baris kedelapan yang menguraikan tugas Qirun membuka hati manusia agar bisa
mengenal Allah. Tenajul berasal dari kata tanazul yang berarti mengenal Allah
melalui hati yang terbuka bersih. Sedangkan rijal memiliki beberapa makna yaitu
lelaki, orang yang berani, tulus, taat azas, berani berkorban untuk berdakwah.
Dalam kaitan bait ini tenajul rijal bisa dimaknai menjadi orang yang bisa
mengenal Allah melalui hati yang bersih yang sudah terbuka untuk itu.
Semua hal baik yang diuraikan dalam
bait-bait Kidung Kawedar, adalah berkat keutamaan kolhu. Kolhu adalah
pengucapan orang Jawa terhadap Surat Qulhu atau Surat Al Ikhlas, sebagaimana
juga menyebut Patekah untuk Al Fatihah.
Kandungan makna dan keutamaan Surat
Al Ikhlas dari berbagai hadis dan riwayat, bisa disebut istimewa. Surat Al
Ikhlas menegaskan ketulusan pengakuan umat atas kemurnian keesaan dan kekuasaan
Gusti Allah Swt, menolak segala macam kemusyrikan dan menerangkan tiada sesuatu
pun yang menyamai-Nya. Semua pengakuan dan keyakinan atas keesaan beserta
kekuasaan Tuhan itulah yang dinamai tauhid, yang merupakan induk atau inti sari
dari ajaran Islam.
Ayat 1 dan ayat 2 menjelaskan
keesaan, kesempurnaan serta kekuasaan Tuhan, sekaligus menegaskan bahwa yang
tidak mempunyai kedua sifat tersebut bukan Tuhan, tidak pantas dan tidak bisa
disebut Tuhan. Sedangkan ayat ketiga dan keempat menegaskan perbedaan Tuhan
dengan manusia dan makhluk-Nya. Dia sudah ada sebelum yang lain ada, bukan anak
siapa-siapa dan tidak memiliki seorang anak pun. Begitu sempurnanya sifat dan
kekuasaan Allah, sehingga tiada siapa pun dan tiada sesuatu pun menyamai-Nya.
“Qul
huwallaahu ahad, katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa”, adalah puncak
ilmu tentang akidah. Oleh sebab itu pula ada sejumlah hadis yang menyatakan
sabda Rasulullah bahwa nilai Surat Al Ikhlas sama dengan sepertiga Al Qur’an.
Sejumlah hadis yang cukup sahih sebagaimana diuraikan antara lain dalam Tasir
Al Azhar, mengungkapkan berbagai keutamaan surat ini, misalkan siapa yang
membacanya akan disenangi Allah (Hadis Riwayat Bukhari), dan “wajib orang itu
masuk surga” (Hadis Riwayat Tarmidzi).
Dengan keutamaan-keutamaan Surat
Ikhlas tadi, maka tidak berlebihan apabila Sunan Kalijaga memberikan kabar gembira
kepada siapa yang mempercayainya, ambalik
lara roga. Kembali atau tertolak semua penyakit dan penderitaannya. Allaahush shamad, Allah tempat
bergantung segala sesuatu. Tempat, maksudnya satu-satunya sesembahan kita yang
Maha Kuasa, kepada siapa kita berharap memohon pertolongan atas segala masalah,
termasuk segala penyakit dan penderitaan.
Allahu
Akbar.
Keutamaan Ayat Kursi.
Seperti halnya bait sebelumnya,
bait 31 juga sarat makna dan keutamaan. Namun demikian ada dua versi untuk
kalimat pada baris pertama. Satu versi menyebut dudur molo sedangkan versi lain dudut
molo. Kata dudur tidak ditemukan pada kamus bahasa Jawa Kuno maupun bahasa
Jawa pergaulan sehari-hari pada umumnya, namun Raden Wiryapanitra dalam Serat Kidungan Kawedar terbitan Dahara
Prize menyebut dudur molo sebagai
kayu penyangga bubungan rumah. Dalam buku “Joglo,
Arsitektur Rumah Tradisional Jawa” karangan R.Ismunandar K, penerbit Dahara
Prize 1997, Semarang, bagian bangunan yang disebut molo dan dudur molo itu
dijumpai di halaman 57 dan 83. Sedangkan versi dudut molo, bisa berarti mencabut atau membersihkan (dudut) molo yang bisa berarti noda,
penyakit atau dosa. Jika melihat baris keempat yang berbunyi usuk-usuk ing luhur, yaitu kayu kasau
penyangga genting yang di atas, nampaknya yang benar adalah dudur molo.
Disambung baris kelima yaitu ingkang aran
wesi ngalarik, semakin memperkuat tafsir pemakaian tamzil bangunan rumah
untuk menyebutkan kedudukan ayat Kursi dan Surat Al Anaam.
Meskipun
terdapat dua versi, pemakaian ayat Kursi bisa diterima pada keduanya. Ia bisa
saja diibaratkan balok penyangga bubungan rumah, tapi bisa juga sebagai
pembersih penyakit dan noda kehidupan.
Mari kita
coba pahami ayat ke 255 Surat Al Baqarah ini:
“Allaahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu, laa
ta’khudzuhuu sinatuw walaa nauum, lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardhi,
man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi idznihii, ya’lamu maa baina aidiihim
wa maa khalfahum, wa laa yuhiithuuna bi syai-im min ‘ilmihii illaa bi maa
syaa-a, wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha, wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaa
wa huwal ‘aliyyul ‘azhiim.”
Ayat Kursi
menurut Prof.Dr.Quraish Shihab adalah ayat yang paling agung di antara seluruh
ayat-ayat Al Qur’an. Karena dalam ayat ini disebutkan tidak kurang enam belas
kali, bahkan tujuh belas kali, kata yang menunjuk kepada Allah swt, Tuhan Yang
Maha Agung. Dalam Tafsir Al-Mishbah ia menulis sebagai berikut: “Allah (1); Tidak ada Tuhan (penguasa Mutlak
dan yang berhak disembah) kecuali Dia (2); Yang Maha Hidup (3); Maha Kekal (4);
yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya (5); Dia (6); tidak dikalahkan oleh
kantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya (7); apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi, tiada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya (8); tanpa izin-Nya
(9); Dia (Allah) (10); mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di
belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya (11);
melainkan apa yang dikehendaki-Nya (12); Kursi (ilmu/kekuasaan)-Nya (13); meliputi
langit dan bumi. Dia (14); tidak lelah memelihara keduanya dan Dia (15); Maha
Tinggi (16); lagi Maha Besar (17).”
Pada bait
30 kita telah dikenalkan dengan bacaan zikir Ya Hu Allah dan Surat Al
Ikhlas. Melalui ayat Kursi, bait ini memperkenalkan lebih jauh tentang
siapa Allah yang dikidungkan sebelumnya itu. Dalam satu ayat yang terdiri dari
lima puluh kata ini, terdapat tujuh belas kata yang menunjuk kepada Allah.
Dari ayat
Kursi pula keluar ungkapan yang sangat terkenal di dalam bahasa Jawa yaitu Gusti Allah ora sare, Gusti Allah tidak
tidur. Artinya Gusti Allah mengetahui apa saja,
meskipun manusia mencoba menyembunyikan sesuatu terhadap manusia yang
lain. Ungkapan ini lazim dikeluarkan oleh seseorang yang tidak berdaya terhadap
perbuatan zalim orang lain kepada dirinya. Maknanya sangat luas, terutama untuk
menenangkan dirinya sendiri dengan meyakinkan hatinya, bahwa Gusti Allah pasti
akan menolongnya dengan menegakkan kebenaran dan keadilan.
Menurut
para ahli tafsir Al Qur’an, yang dimaksudkan dengan “kursi Allah” dalam ayat
ini ialah gambaran tentang kekuasaan-Nya Yang Maha Besar dan kerajaan-Nya Yang
Maha Luas. Jadi bukanlah kursi seperti yang kita kenal sehari-hari.
Prof.Dr.Quraish
Shihab berpendapat, pengulangan tujuh belas kata yang menunjuk nama Allah, bila
dicamkan dan dihayati akan memberi kekuatan batin tersendiri bagi pembacanya.
Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’i menurutnya, memberi penafsiran “supra rasional”
menyangkut ayat Kursi. Pada hemat ulama ini dalam tafsirnya, Nazhm ad-Durar, “Lima puluh kata adalah
lambang dari lima puluh kali shalat yang pernah diwajibkan Allah kepada Nabi
Muhammad saw. ketika beliau berada di tempat yang maha tinggi dan saat
dimi’rajkan. Lima puluh kali itu diringankan menjadi lima kali dengan tujuh
belas rekaat sehari semalam. Di sisi lain, perjalanan menuju Allah ditempuh
oleh malaikat dalam lima puluh ribu tahun menurut perhitungan manusia ( Surat Al Ma’arij 70:4)” Dari
sinilah pakar tafsir itu mengaitkan bilangan ayat Kursi dengan perlindungan
Allah. “Kalau di hadirat Allah gangguan tidak mungkin akan menyentuh seseorang,
dan setan tidak akan mampu mendekat, bahkan akan menjauh, maka menghadirkan
Allah dalam benak dan jiwa melalui bacaan ayat Kursi, yang sifatnya seperti
diuraikan di atas, dapat menghindarkan manusia dari gangguan setan, serta
memberinya perlindungan dari segala macam yang ditakutinya.
Demikian
penjelasan ulama ahli tafsir al-Biqa’i, yang sekaligus penulis jadikan penegas
atas hikmah dan keutamaan sebagaimana yang diajarkan Sunan Kalijaga melalui
Kidung Kawedar
Setelah
mengajarkan ayat Kursi, baris kedua sampai dengan keempat bait 31 Kidung ini mengajarkan
Surah Ngam-ngam yang tiada lain adalah Surat Al An’aam. Surat keenam dalam Al
Qur’an yang arti katanya adalah binatang ternak, dinamakan seperti itu karena
di dalamnya disebut kata “an ‘aam” yang berhubungan dengan adat istiadat kaum
musyrikin, yang mempercayai bahwa binatang ternak dapat dipergunakan buat
mendekatkan diri kepada tuhan mereka.
Begitu
tinggi kandungan ajaran Surah Ngam-ngam (Al An’aam) dan relevansinya dengan
keadaan masyarakat Jawa pada saat itu, sehingga Sunan Kalijaga mengajarkannya
sesudah Surat Al Ikhlas dan ayat Kursi. Apa yang diungkapkan semenjak bait
pertama, menjadi gamblang setelah mempelajari dan memahami zikir Ya Hu Allah, Surat Al Ikhlas, ayat Kursi
dan Surat Al An’aam.
Dari ajaran
berzikir Ya Hu Allah itu pula, bersemai ajaran shalat daim pada masyarakat
Islam di Jawa, yaitu zikir yang tidak pernah berhenti, bahkan terus menerus
menyertai tarikan nafas, yang iramanya dilatih sesuai kata hati (Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan halaman 118). Shalat
daim dimaksudkan buat melatih agar kalbu kita senantiasa dipenuhi dengan
ingatan terhadap Gusti Allah, sehingga selanjutnya pikiran dan perbuatan kita
selalu mengikuti jalan yang diridhoi-Nya, selalu dalam ketaatan dan bimbingan-Nya.
Aamiin.
Baris
keenam sampai dengan kesepuluh bait 31, adalah penegasan atas kenabian Kanjeng
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam, yang sudah diungkapkan dalam Surat
Al An’aam, beserta segala keagungan dan keutamaannya.
Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad.
3 Komentar:
Subhanalloh memahami ini begitu dalam maknanya terima kasih kepada bapak B.Wiwoho yang telah sudi berbagi memposting ini, salam Suseno.
terimakasih
Pak, boleh minta alamat email? Saya ada pertanyaan khusus. Saya tunggu ya. Trimakasih.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda