Jumat, 20 Maret 2015

FILOSOFI TOPO NGRAME & MATI SAKJRONING URIP : Kandungan Makna Suluk Kidung Kawedar (4).





Dewa Ruci, Jagad Besar Jagad Kecil.


Bait 23 – 26 Kidung Kawedar atau Kidung Sariro Ayu, menguraikan apa yang disebut dalam filosofi Jawa, “jagad gede – jagad cilik atau jagad besar – jagad kecil”, yang tiada lain merupakan ajaran tasawuf tentang bagaimana mengendalikan hawa nafsu manusia agar bisa mencapai tahap manunggaling kawula – Gusti.

Bumi, gunung, lautan, sungai dan alam raya dengan segenap isinya, dalam pandangan orang awam adalah jagad atau dunia atau alam raya. Alam raya ini dalam tasawuf bisa tunduk kepada seseorang, apabila orang tersebut mampu mendayagunakan arta dayanya. Orang yang seperti ini akan diangkat derajatnya menjadi kekasih Gusti Allah yang dianugerahi segala macam kelebihan, walaupun yang bersangkutan tidak meminta bahkan sudah tidak memiliki keinginan apa-apa kecuali menempatkan diri sepenuhnya sebagai hamba sekaligus kekasih Allah, yang senantiasa taat, tunduk dan patuh kepada-Nya.

Dalam ajaran tasawuf, diri manusia pada umumnya diibaratkan sebagai jagad kecil yang merupakan copy  dan miniatur dari alam raya, sedangkan alam raya disebut jagad besar. Manusia akan tetap menjadi jagad kecil apabila kerohaniannya tidak dapat mengalahkan kemanusiaannya yang dipenuhi hawa nafsu. Sebaliknya jika rohaninya bisa menundukkan unsur kemanusiaan atau unsur lahiriahnya, sehingga hakikat dirinya lebih menonjol dibandingkan jangkauan pancainderanya, maka masuklah ia ke dalam “alam malakut yang jabarut”, yaitu alam yang dihuni para malaikat dan ruh suci.  Dalam keadaan yang seperti itu manusia menjadi jagad besar, sedangkan alam raya yang kita lihat justru berbalik menjadi jagad kecil. Begitu besar rohani kita sehingga tidak dapat ditampung oleh bumi dan langit. Sementara itu bumi, langit dan seisinya menjadi kecil bagi manusia. Mereka semua tunduk dan takluk kepada manusia yang seperti itu.

Dalam filosofi Jawa, hubungan jagad besar – jagad kecil diajarkan secara indah melalui cerita wayang dengan kisah Dewa Ruci, yaitu kisah khas Jawa yang disisipkan dalam babon kisah induk Mahabarata. Oleh Sunan Kalijaga yang merupakan murid Sunan Bonang, kisah Dewa Ruci bersama kisah Jimat Kalimasada (Ajimat Sakti Dua Kalimat Syahadat) dan kisah-kisah carangan (ranting) khas Jawa lainnya seperti Petruk Jadi Ratu, dipopulerkan ke masyarakat dalam bentuk pertunjukkan wayang kulit, sebagai sarana dakwah agama Islam yang sarat hikmah, dan bukan sekedar cerita lucu-lucuan. Kisah-kisah wayang dakwah tersebut masih sangat populer di kalangan penggemar wayang sampai sekarang.

Serupa dengan kisah Dewa Ruci, cucu pujangga Ranggawarsita yang juga cicit Yasadipura, yaitu Iman Anom, pada tahun 1884 M, menggubah Suluk Ling Lung Sunan Kalijaga (Syeh Malaya). Suluk Ling Lung secara jelas merupakan ajaran tasawuf yang dituangkan dalam kisah pencarian jati diri Sunan Kalijaga, semenjak dari pemuda berandalan, kemudian disadarkan dan berguru ke Sunan Bonang, sampai akhirnya berjumpa dengan Nabi Khidir. Perjumpaan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir dilukiskan hampir sama dengan perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci, namun dalam bentuk ajaran tasawuf yang cukup kental.

Dalam tasawuf, manusia digambarkan terdiri dari dua unsur yaitu ruh atau roh dan tubuh. Dari kinerja keduanya menghasilkan  apa yang kita sebut dengan jiwa. Jiwa manusia ini apabila suci dari segala kekeruhan yang datang dari alam lahiriah, maka naiklah kedudukan dan status jiwa tersebut ke alam malakut-jabarut. Dalam keadaan seperti itu manusia bisa bertawajuh, membulatkan hati dan menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah (bait 25), sehingga tiada lagi dinding penghalang antara sang jiwa dengan Sang Pencipta. Di mata orang ini, alam raya dengan segala pesona dunianya menjadi nampak begitu kecil bagaikan sebutir biji sawi. Alam atau jagad raya yang tertangkap oleh mata batinnya menjadi jagad kecil, karena dirinya telah berubah menjadi jagad besar

Manusia yang seperti itu memperoleh sebutan rohaniyin malakutiyin, manusia-manusia rohani yang berada dalam alam malaikat, yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Meskipun tubuhnya bergaul berada di tengah sesama manusia lainnya, tetapi jiwanya sedang melakukan perjalanan yang tak terbatas lagi tiada ujung, senantiasa berada di sisi Gusti Allah Yang Maha Agung. Ia telah mencapai tingkat yang oleh orang Jawa disebut tapa ngrame, mati sak jeroning urip dan urip sak jeroning mati. Hidup bagaikan bertapa di tengah keramaian, dan menjalani kematian di dalam kehidupan serta hidup di dalam kematian.

Al Ghazali dalam Raudhatut Thalibien wa ‘Umdatus Saalikien (Raudah, Taman Jiwa Kaum Sufi) menyatakan, orang tersebut sudah mencapai tingkatan mati dari nafsunya dalam keadaan fisiknya masih hidup di dunia, dan menghidupkan hatinya yang mati, sampai kedudukannya kokoh dalam penyaksiaannya terhadap yang Qadim (yang ada terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir), serta menempatkan selain Dia pada tempat ketiadaan.

Secara sederhana bisa dikatakan ia telah mematikan, sebetulnya lebih tepat mampu mengendalikan sepenuhnya nafsu pesona dunianya, dan sebaliknya menghidupkan atau mengutamakan kemuliaan rohaninya.
                             
Tidak sembarang orang bisa menghadap Presiden lebih-lebih selalu berada di sisinya. Apalagi berhadapan dengan Gusti Allah tanpa penghalang sama sekali. Hanya orang-orang yang disayang lagi dikasihi Gusti Allahlah yang bisa. Sebagai kekasih Allah, kalau mau ia bisa dianugerahi banyak hal dan segala keinginannya akan dipenuhi. Ia memperoleh mangunah linuhung  sebagaimana diuraikan dalam bait 25, juga bait-bait awal serta bait-bait selanjutnya. Betapa tidak. Kalaulah kita menjadi kesayangan seorang Raja, Presiden atau konglomerat, banyak kesenangan atau pesona dunia yang bisa kita dapat. Apalagi menjadi kekasih Gusti Allah, menjadi wali Allah. Hanya sayang, orang yang menjadi kekasih Gusti Allah adalah justru orang-orang yang sudah mati sak jeroning urip, sehingga bisa disebut sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi bagi dirinya sendiri, kecuali semata-mata mengabdi kepada Gusti Allah.

Orang yang senantiasa taat dan ikhlas kepada Allah, yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya, akan sampai ke maqam makrifat, bisa berhadapan dengan Gusti Allah tanpa penghalang, menurut Al Gazhali dalam kitab Minhajul ‘Abidin, bisa memperoleh anugerah 40 kemuliaan, dua puluh ketika masih di dunia dan dua puluh lagi di akhirat. Mulai dari yang berbentuk pujian, kekayaan hati, keberkahan, sampai pun tatkala sudah wafat masih diijinkan memberikan syafaat kepada orang lain di padang mahsyar dan lain-lain.

Lantas apa yang harus dilakukan lagi di dunia ini oleh orang-orang yang sudah mencapai maqam makrifat? Seperti Bima dalam cerita Dewa Ruci, harus kembali ke kerajaan Amarta, kembali ke masyarakat mewujudkan rahmatan lil alamin, hamemayu hayuning bawono, mewujudkan rahmat bagi alam semesta dengan segenap isinya, bukan hanya bagi keluarga Pandawa, apalagi bagi diri Bima pribadi. Bima harus kembali ke tengah rakyatnya untuk tegar memberantas kebatilan dan menegakkan kebenaran, serta melindungi dan menyejahterakan mereka.

Ketegaran memberantas kemungkaran dan kebatilan tanpa kompromi sedikit jua itulah, yang menimbulkan ungkapan bagi orang-orang yang tegar, kokoh dan lurus dalam membasmi kemungkaran dan kebatilan, bagaikan Bima yang tidak peduli tembok kokoh pun akan ditabrak demi kebaikan dan kebenaran.

Manusia sebagai abdullah atau hamba Allah, mengemban tugas khalifah fil ard, atau wakil dan utusan Gusti Allah untuk mengelola alam raya demi terwujudnya rahmatan lil alamin.  Bukan  dengan lantas berzuhud pergi uzlah, menyepi lari dari hiruk pikuk masyarakat. Dia harus tapa ngrame, berzuhud dan wara di tengah keramaian dunia, menjalankan tugasnya sebagai khalifah fil ard, yang semuanya semata-mata demi Allah, seperti dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan para wali lainnya.  Selaku duta Allah yang menjalankan tugas-tugas kemanusiaan semata-mata demi Allah, maka segala tindak-tanduk dan caranya pun harus betul-betul  taat dan sesuai dengan aturan Allah, antara lain berani membasmi kemungkaran dan menegakkan kebenaran, ikhlas, tulus, jujur dan tawadhu. Hidupnya harus bersih, sederhana  serta  mengabdi pada kemaslahatan umat dan alam raya.
Marilah kita berdoa, semoga kita khususnya penulis dan para pembaca,  dianugerahi masuk ke dalam golongan hamba-hambaNya yang seperti itu, yang senantiasa beriman dan beramal saleh. 
Aamiin.



1 Komentar:

Blogger MATARAM GOLONG GILIG mengatakan...


Ka’bah dan Topo Ngrame

Oleh Saratri Wilonoyudho • 12 November 2012 Dipublikasikan dengan tag Esai

Orang yang kelas beribadahnya sudah sampai tataran S3 bahkan S4, tentu sudah tidak perlu lagi tempat dan alat tertentu untuk menggabungkan diri dengan Allah SWT. Ia juga tidak perlu lagi, misalnya, harus menyepi, mencari tempat sunyi “hanya” untuk sekadar agar dapat lebih “khusyu” menemui Allah. Ia tidak perlu lagi harus membawa tasbih kemana pun ia pergi, atau bahkan alat tertentu untuk menghitung jumlah kalimat dzikir yang berbunyi “cethak–cethik” hingga membikin Malaikat terkagum-kagum dan kemudian tertawa melihat alat itu.
Share:
Facebook
Twitter
Google+

Dalam tradisi Jawa ada istilah “Topo Ngrame”, yakni sebuah kemampuan spiritual yang luar biasa untuk mengingat dan melihat Allah di berbagai situasi dan kondisi apapun, entah itu di pasar, di toko, mal, hotel, bahkan di lokalisasi sekalipun. Artinya ia sudah sekelas Khalifah Ali yang ketika melihat daun jatuh ke bumi saja, beliau langsung dapat melihat Allah SWT. Demikian pula, dalam mendirikan tempat ibadah, umat Islam juga tidak perlu meniru biara atau kuil shaolin, yakni memilih tempat di puncak gunung atau di tengah hutan yang jauh dari keramaian manusia. Karena bagi Islam, Allah SWT ada di mana-mana, bahkan sangat dekat dengan urat leher kita.

Karenanya saya juga tidak heran ketika datang ke tanah suci dan kemudian melihat Masjidil Haram beserta Ka’bah, saat ini sudah dikepung oleh bangunan-bangunan menjulang langit. Karenanya, saya juga bisa memahami jika ada seorang teman yang merasakan bahwa ia seperti sedang sholat di tengah rimba beton Tokyo, Hongkong atau New York ketika sholat menghadap kiblat di Masjidil Haram.

Para ahli tata kota dan tata rancang bangunan di Arab Saudi nampaknya sudah memahami nilai spiritual Topo Ngrame ini, sehingga dalam merancang bangunan-bangunan di sekitar Masjidil Haram, mereka tidak perlu mengharamkan bangunan-bangunan komersil. Masjidil Haram sudah disepakati para ahli tersebut, dalam radius tertentu (misalnya) tidak harus steril dari keramaian dunia, seperti arena-arena perdagangan.

Dengan cara seperti ini maka setelah selesai sholat, para jamaah Masjidil Haram dapat langsung berbelanja atau menikmati hidangan ala Barat di sekitarnya Mereka nampaknya juga sepakat bahwa Ka’bah tidak harus lebih tinggi dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Silakan bangunan-bangunan komersil menjulang tinggi mengepung Ka’bah, dan nanti boleh jadi Ka’bah akan nampak seperti dasar sumur yang dindingnya adalah bangunan-bangunan komersil tersebut. Para ahli tata bangunan juga sangat yakin bahwa hotel di tanah haram ini tidak akan pernah digunakan (misalnya) untuk selingkuh sambil melihat Ka’bah di bawahnya, dan ia lalu tertawa dengan penuh kemenangan.

Kita juga tidak boleh curiga bahwa ini adalah ulah keluarga kerajaan yang mungkin senang mendendangkan lagu “kemesraan ini janganlah cepat berlalu” dengan negara-negara kapitalis maju. Kita juga tidak boleh curiga kalau kebanyakan minuman atau makanan yang berada di sekitar Masjidil Haram ini datang dari negeri Barat tertentu, dan itu berarti bukan dalam rangka bersekutu dengan keluarga kerajaan misalnya. Kita juga tidak boleh curiga bahwa ini juga merupakan suatu usaha terstruktur rapi untuk mendesakralisasi Ka’bah atau situs-situs yang pernah digunakan Rasulullah dalam menyebarkan Islam. Tujuannya agar kelak “tidak ada bukti” bahwa Rasulullah telah menyebarkan Islam dengan cara damai dan berbudaya.

Islam adalah kekuatan besar, dan kekuatan itu hanya dapat dikalahkan dengan cara memangku atau “menyolu” mereka, bahkan kalau perlu membutatulikan mereka dengan cara-cara halus yang terlihat Islami. Tujuannya, agar umat hanya sibuk menyembah syariat belaka tanpa mampu mendayagunakan Islam di berbagai lapangan kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

14 November 2015 pukul 11.05  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda