BERTASAWUF DI ZAMAN
EDAN
Bertasawuf di Kancah
Globalisasi
Dengan Tata Nilai
Yang Jungkir Balik
Zaman
Edan
Amenangi
zaman edan
Ewuh
aya ing pambudi
Melu
edan ora tahan
Yen tan
melu anglakoni
Boya
kaduman melik
Kaliren
wekasanipun
Ndilalah
karsa Allah
Begja-begjane
kang lali
Luwih
begja kangeling lan waspada.
Artinya:
Mengalami
hidup di zaman edan (gila)
Sungguh
repot lagi serba sulit
Mau
ikut edan tidak tahan (tidak bisa)
Jika
tidak (mau) ikut menjalani (edan)
Tidak
akan kebagian
Akhirnya
kelaparan
Namun
sudah (menjadi) ketetapan Allah
Sebesar
apapun keberuntungan orang yang lupa (diri karena edan)
Masih
lebih beruntung (bahagia) orang yang ingat (Tuhan) dan waspada.
(Pujangga
Ranggawarsita, Serat Kalatida bait ke 7).
Judul buku ini BERTASAWUF
DI ZAMAN EDAN, memiliki dua pengertian yang dipadukan menjadi satu. Yang
pertama, bertasawuf atau menjalankan
tasawuf dalam kehidupan kita sehari-hari. Yang kedua, di zaman edan, yaitu suatu zaman dimana tatanilai dalam kehidupan
jungkir balik. Oleh Pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Ranggawarsita (1802 –
1873) kehidupan bermasyarakat dan bernegara di zaman edan digambarkan rusak dan
sangat buruk, tiada pemimpin yang bisa dijadikan panutan, para cendekiawannya
tidak memiliki jatidiri dan hanya mengejar pesona dunia. Tata nilai kebaikan
dikalahkan oleh kejahatan.
Empat abad sebelumnya, ulama legendaris Sunan Kalijaga juga
sudah mewaspadai akan datangnya zaman seperti itu. Padahal di kala itu, tanah
Jawa masih berupa hutan belantara dengan sungai-sungai besarnya yang bisa
dilayari perahu. Menurut Sunan Kalijaga, kelak akan datang suatu masa yang amat
buruk, yang ditandai dengan hilangnya lubuk-lubuk di sungai-sungai (lantaran
terjadi pendangkalan akibat erosi seperti sekarang ini), gaung pasar-pasar tradisional
hilang, kaum lelaki kehilangan wibawa dalam rumahtangga, perempuan tak lagi
punya rasa malu, orang tamak-rakus-serakah menjadi-jadi, orang jujur justru
kojur (celaka).
Perihal zaman yang digambarkan kedua ulama di Tanah Jawa
tersebut, guru dan orangtua kita Prof.K.H.Ali Yafie mengingatkan sudah pula
diantisipasi oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw di abad ketujuh, melalui sabdanya
sebagai berikut: “Nanti pada suatu masa akan tampil pemimpin-pemimpin yang
menguasai harta benda kalian, mereka akan berbicara dengan kalian dan
membohongi kalian, mereka bekerja tetapi pekerjaannya tercela, serta tidak akan
senang pada kalian sampai kalian menganggap baik keburukannya dan membenarkan
kebohongannya. Maka berikanlah kepada mereka apa maunya, dan kalau mereka itu
melampaui batas maka siapa saja yang terbunuh dalam keadaan seperti itu akan
mati sahid.”
Apakah suasana kehidupan kita sekarang ini sudah bisa disamakan
dengan gambaran zaman edan tadi? Tentu belum sepenuhnya, namun jika tidak
segera diantisipasi bukanlah tidak mungkin, sebab gejalanya sudah mengarah ke
sana.
Ciri-ciri masyarakat Indonesia yang dulu diunggulkan yaitu
sopan, sabar, tertib, penuh toleransi serta menghargai hak orang lain,
gotongroyong, idealis, hemat dan sejumlah budi luhur lainnya ternyata tanpa
kita sadari telah berubah menjadi pragmatis, hedonis, individualis, materialis
dan narsis. Perubahan itu terjadi akibat serbuan Perang Semesta Global yang
dilancarkan oleh para Kapitalis Global baik Kapitalis Barat maupun Utara
khususnya China. Ironisnya, ditengarai sistem nilai serta struktur sosial
masyarakat Indonesia tidak terkonstruksi untuk mengakomodasi, apalagi melawan, gelombang
dahsyat globalisasi yang menerjang bergulung-gulung tanpa henti. Serbuan Divisi
Perang Moral dengan missile-missile tata nilai hedonis dan para sekutunya
tersebut apabila tidak bisa diatasi, tentu akan membawa bangsa Indonesia masuk
ke dalam pusaran krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks.
Buku ini menggambarkan suasana kehidupan di sekitar kita
sehari-hari yang sudah diwarnai oleh pragmatisme, hedonisme, individualisme,
materialisme dan narsisme yang bisa merusak mental dan moral kita baik secara
individu maupun koleksi sebagai bangsa, beserta tawaran solusi mengatasinya,
yaitu mengikuti jalan tasawuf yang mengajarkan hidup BERSIH – SEDERHANA – MENGABDI.
Menurut
Helmy A.Yafie, Sekjen Darud Dakwah wal Irsyad (DDI)
yang juga putera Prof.K.H.Ali Yafie, buku ini mengajak kita untuk
berefleksi dengan keadaan sekarang, yang sesungguhnya merisaukan, atau bahkan
menakutkan, dan mencoba menunjukkan bahwa sebenarnya ada cara atau jalan yang
bisa digunakan untuk menghadapinya, yakni apa yang disebut tasawuf. Tidak perlu
menempuh cara seekstrim yang pernah ditempuh oleh para sufi zaman dahulu. Tidak
perlu menjadi sufi seperti orang-orang terdahulu. Tetapi yang perlu adalah mengikuti jalan itu, jalan tasawuf yang lebih
moderat. Itulah yang dicoba diungkapkan melalui buku ini.
Sebagian
besar isi buku ini merupakan hasil nyantri Penulis dengan Prof.K.H.Ali Yafie,
serta dari beberapa ceramah beliau. Penulis berinteraksi secara intensif dengan
Prof.Ali Yafie sejak akhir 1980an. Isi buku ini bertumpu pada pesan “hidup
bersih, sederhana dan mengabdi.”
Tasawuf
pada hemat Prof Ali Yafie, bagaikan Salon Kecantikan Jiwa dan juga Rumah Sakit,
yang memberikan kiat-kiat pembinaan agar manusia bisa hidup BSM yakni bersih,
sederhana dan mengabdi.
Demi
hidup sesuai jalan tasawuf, salah seorang mursyid penulis yang lain yakni Buya
K.H.Endang Bukhari Ukhasyah, mengajak kita meneladani kehidupan sehari-hari
Kanjeng Nabi Muhammad Saw, yang senantiasa berada di tengah dan bersama umatnya
dalam suka dan duka. Dengan cara yang seperti itulah beliau bermakrifat, dan
bukan dengan hidup menyendiri di tempat sunyi.
Tasawuf
adalah jalan kehidupan yang dilandasi kebulatan hati pada Gusti Allah, Tuhan
Yang Maha Kuasa, yang seluruh jiwa raga dan kehidupan kita senantiasa dalam
genggaman-Nya, yang dilakukan dengan tekun ibadah dalam arti yang luas, serta
tidak cenderung pada kemewahan.
Di
dalam jalan tasawuf memang dikenal ada berbagai ajaran antara lain zuhud, yaitu
kondisi mental yang dalam membulatkan hati serta tekun ibadah kepada Allah,
tidak terpengaruh oleh harta benda dan pesona dunia. Namun demikian Buya Hamka menegaskan, itu
tidak berarti tidak mau sama sekali memiliki harta benda dan tidak suka
mengenyam nikmat dunia; karena yang seperti itu adalah zuhud yang melemahkan,
dan itu bukanlah ajaran Islam. Semangat Islam menurut beliau ialah semangat
berjuang. Semangat berkurban, bekerja dan bukan bermalas-malasan, lemah paruh
dan melempem.
Atas
buku ini, sahabat penulis, wartawan senior Parni Hadi menyatakan, bertasawuf di
Zaman Edan (Globalisasi) ini wajib hukumnya. Laku hidup BSM (Bersih, Sederhana,
Mengabdi) ala Prof.KH. Ali Yafie bisa menjadi tuntunan. Karena itu perlu dibaca
siapa pun yang gandrung kedamaian bathin. Sementara itu Sekretaris Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Prof.Dr.Muhammadiyah Amin
M.Ag menilai, buku ini mengemas,
mengulas, dan menghadirkan potret sosial berupa fragmen-fragmen kehidupan
masyarakat yang dijumpai sehari-hari di sekitar kita, serta mengajak pembaca
agar mengambil makna, hikmah, pelajaran dan perbandingan dari pengalaman hidup
sendiri dan orang lain.
Meski
bicara perihal tasawuf, buku ini hanyalah torehan pengalaman kehidupan yang
dijumpai penulis, baik yang dialami sendiri secara langsung maupun dialami oang
lain di sekitarnya. Dengan mengingat petuah, pengalaman adalah guru yang
terbaik, maka dengan bimbingan guru sekaligus orangtua kita, Puang atau mbah
atau Eyang Kyai Ali Yafie, penulis memberanikan diri menuangkannya secara
tertulis. Sudah barang tentu tiada gading nan tak retak, dan bila itu terjadi,
adalah lantaran kesalahan penulis sendiri, bukan orang lain dan pihak lain.
Sebaliknya jika ada manfaatnya bagi pembaca, itu adalah karena hikmah dan
hidayah-Nya. Oleh sebab itu kami mohon
maaf.
Subhanallah
walhamdulillah walailahaillallah wallahuakbar.
Link
Media Online Berita Buku “Bertasawuf di Zaman Edan”
http://bukurepublika.id/products/detail/281/Bertasawuf-di-Zaman-Edan
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda