Kamis, 01 Desember 2016

Bertasawuf di Zaman Edan, Meneladani KH Ali Yafie



Bertasawuf di Zaman Edan, Meneladani KH Ali Yafie

Oleh Parni Hadi.

Jakarta (ANTARA News) – Bertasawuf (mengenal diri untuk mengenal Tuhan) di zaman edan perlu bagi setiap insan untuk mencapai kedamaian batin dan kebahagiaan orang lain dengan melakoni hidup bersih, sederhana, mengabdi (BSM) ala ahli fiqih (hukum Islam), Prof KH Ali Yafie.

Hal itu terungkap dalam buku “Bertasawuf di Zaman Edan”, karya Bambang Wiwoho, wartawan senior, yang diluncurkan di Jakarta, 22 November 2016. Peluncuran buku sekaligus memperingati HUT mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang tahun ini genap berusia 90 tahun.
Zaman edan adalah masa ketika tata nilai kehidupan “jungkir balik” yaitu yang salah dibenarkan dan yang benar disalahkan, yang salah dibela dan yang benar dicela. Orang yang kurang atau tidak waras pikirannya disebut edan atau gila.
Ungkapan zaman edan dipopulerkan oleh pujangga Jawa Ronggowarsito. Sebelumnya oleh Sunan Kalijogo, salah seorang Wali Songo. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sudah menyampaikan akan datang suatu masa seperti itu, menurut kitab Mukhtarul Ahadist an-Nabawiyah seperti dikutip Puang (Eyang) KH Ali Yafie dalam buku itu.
Hadir dalam acara peluncuran buku tersebut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan sejumlah tokoh nasional, termasuk Prof Dr M Quraish Shihab, Prof Dr Jimly Assidiqie, mantan Gubernur DKI Soerjadi Soedirdja, Fahmi Idris, Marzuki Usman, AM Fatwa, Hariman Siregar, dan adik almarhum Gus Dur, Hj Lilly Wahid.
Buku ini adalah sebuah kisah penulisnya, seorang pencari hakikat Tuhan, Kebenaran Tertinggi atau Kebenaran Mutlak Tanpa Batas. Bentuk, cara, dan gaya penyajian kisah pencariannya diwarnai oleh latar belakang budaya, agama, dan profesi sang penulis: seorang Jawa, beragama Islam dan wartawan.
Bambang artinya satria yang hidup dan tumbuh berkembang di pertapaan, padepokan atau perguruan bersama sang pertapa dan sang guru sekaligus. Wiwoho berarti dimuliakan. Begitu maksud sang pemberi nama.
Tasawuf adalah sebuah ajaran dalam agama Islam untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah. Sebuah ilmu, cara, dan sekaligus jalan menuju Tuhan dengan laku-laku tertentu yang berintikan dan dimulai dengan pengenalan diri sendiri melalui pengendalian nafsu, penataan batin, dan berakhir pada pasrah kepada Allah.
Sebagai orang Jawa yang budayanya terkenal suka meramu segala macam ilmu dan laku menjadi satu padu, Mas Wie, begitu orang biasa memanggilnya, membingkai keislamannya dengan nama Islam Jawa. Ada yang menyebutnya “Islam rasa Jawa” dan atau “Jawa rasa Islam”. Ada juga: “Wadah Islam, rasa Jawa” dan atau “Wadah Jawa, rasa Islam”. Wadah dan isi menyatu. Syariat dan hakikat telah saling mengikat. Keduanya adalah tajali (pengejawantahan) Sang Maha Hakikat.
Seorang wartawan adalah sosok yang senang mempertanyakan segala sesuatu. “A questioning mind” atau batin yang selalu bertanya. Tidak gampang percaya begitu saja pada segala hal, selalu resah, gelisah, ingin membuktikannya sendiri. Minimal, ingin melakukan klarifikasi dengan ahlinya. Di sini sang pelaku, pencari dan pejalan (traveller) menuju hakikat, perlu pemandu yang bertindak sebagai guru.
Praktik hidup keseharian

Allah mempertemukan Mas Wie dengan Sang Guru, yakni Puang Profesor Kyai Haji Ali Yafie, seorang tokoh Islam terkemuka dari Sulawesi Selatan, yang menurut perhitungan Hijriah, tahun ini genap berusia 93 tahun.
Tampilnya sang Guru yang non Jawa menunjukkan bahwa hakikat itu bersifat universal, tidak mengenal SARA (suku, agama/aliran, ras dan antar-golongan), istilah top zaman Pak Harto, serta kebangsaan, ideologi, apalagi partai politik.
Tasawuf tidak identik dengan ilmu “klenik” yang umumnya dianggap bertujuan untuk memiliki kekuatan supranatural, seperti kesaktian menggandakan uang. Bertasawuf tidak berarti hidup menyepi sendiri di hutan, gua atau pucuk gunung dengan hanya khusyuk berdoa (khalwat). Tetap bekerja seperti biasa, bahkan lebih keras, tapi tujuan utamanya untuk beribadah. Orang Jawa menyebutnya “topo ngrame, sepi ing pamrih rame ing gawe” (bertapa di tempat ramai).
Seorang sufi (pengikut tasawuf) tetap harus menjalani ibadah syariat, sholat, seraya menempuh tarekat menuju hakekat untuk menggapai makrifat.
Kyai Ali Yafie memenuhi syarat untuk menjadi guru sesuai ajaran Jawa yang termaktub dalam “Serat Wulangreh” buku karya Kanjeng Sinuhun Pakubuwono IV, Raja Surakarta.
Sang pujangga-raja atau raja-pujangga dalam Tembang Dhandhanggula menasehatkan: jika mencari guru pilihlah manusia yang nyata, yang bagus martabatnya, tahu hukum (syariah), yang beribadah dan “wirangi” (wara), syukur petapa, yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, tidak berpikir lagi tentang pemberian orang lain.
Puang Ali Yafie sangat pantas menyandang gelar “mursyid” (guru tasawuf). Laku hidup Pak Kyai, yang juga tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), dapat diperas secara bernas menjadi BSM.
Ia terkenal bersikap tegas. Karena menolak SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang dianggapnya judi, ia memilih mundur dari jabatan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Laku sangat penting dalam menempuh jalan (tarekat) menuju hakikat dan makrifat seperti ajaran Sri Mangku Negoro IV, Raja Puri Mangkunegaran, Surakarta dalam karyanya Serat Wedhatama: “ngelmu iku kalakone kanthi laku” (ilmu itu mewujudnya dengan laku).
BSM sebagai laku menjiwai buku ini dari awal sampai akhir. Kebetulan, wartawan adalah pengemban profesi mulai sebagai pewaris tugas kenabian: menyampaikan kabar gembira dan peringatan seperti tersurat dalam Al-Khafi, QS 18:56, (lihat “Jurnalisme Profetik”) demi kesejahteraan bagi seluruh alam semesta. Buku ini diterbitkan PT Buku Republika.
Islam mengajarkan pengendalian nafsu, bukan penghilangan nafsu, karena nafsu adalah perangkat hidup sebagai sunatullah. Berkat nafsu, kehidupan dapat berkembang maju. Kata kuncinya adalah pengendalian berdasar ajaran budaya dan agama sesuai tuntunan Allah melalui para rasul dan atau orang pilihan-Nya.
BSM perlu menjadi pedoman setiap insan, terutama para pemimpin, dalam mengarungi Zaman Edan di era globalisasi kini. Ini gampang diomongkan, tapi sulit diamalkan. Banyak orang mendapat gelar “Jarkoni”, bisa berujar, tidak bisa melakoni. Sederet gelar akademis dan keagamaan tidak menjamin dan mencerminkan kualitas intelektualitas dan religiusitas seseorang.
Era globalisasi yang dipicu oleh kapitalisme mempengaruhi sikap hidup hampir semua orang sejagat menjadi: individualis, egoistis, egosentris, dan hedonis. Semua cenderung memperturutkan hawa nafsunya. Pengendalian nafsu terkait erat dengan disiplin diri yang ketat.
Seorang dosen tasawuf, baru-baru ini berkata: Hanya sufi yang lurus dapat memandu menyelamatkan perjalanan bangsa ini dan seluruh umat manusia menuju kebahagiaan melewati jalan cinta untuk semua (rahmatan lil alamin).
Prof Dr KH Ali Yafie dengan BSM-nya adalah suri teladan. Beliau konsisten suci dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan (Dasadharma Pramuka) dalam kehidupan sehari-hari. (*)
*Penulis adalah Wartawan, Inisiator/Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa dan Penulis “Jurnalisme Profetik”.
Editor: Ruslan Burhani

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda