Pengantar
Helmy A.Yafie:
JALAN TASAWUF YANG MODERAT
Buku
ini dibuka dengan pertanyaan atau pernyataan (?) menggelitik, ‘bertasawuf di
era global, mana mungkin ?’. Bagaimana mungkin, bertasawuf di kancah
globalisasi, yang menuntut orang untuk bersaing secara ketat, bekerja keras,
agar bisa memperoleh fasilitas untuk dapat menikmati kenyamanan hidup sesuai
dengan ukuran-ukuran modern secara
memadai (bergengsi); sedangkan jalan tasawuf mendorong untuk hidup prihatin dan
sederhana. Bagaimana mungkin bertasawuf di tengah-tengah kegaduhan dan
kebisingan persaingan yang sangat ketat dan menekan, yang memaksa orang untuk
memikir diri sendiri dan mengutamakan kepentingan sendiri. Kehidupan modern, di
era global dan tasawuf adalah dua hal yang memiliki perbedaan ekstrim, tidak
bisa menyatu, seperti minyak dan air. Maka dengan gambar seperti itu bisa mendatangkan kesimpulan bahwa tidak
mungkin bertasawuf di era global sekarang. Tetapi, kata Bapak Wiwoho, penulis buku
ini, mungkin, dan bisa.
Globalisasi yang kita kenali sekarang
ini adalah sebuah tatanan global, yang bertumpu pada apa yang disebut pasar
bebas, mempengaruhi hampir seluruh aspek
kehidupan kita, menjangkau sampai ke
pelosok yang terpencil sekalipun. Tidak ada ruang tersisa, di desapun kita
melihat bentuk-bentuk globalisasi. Paling tidak, disana ada layanan televisi
dan internet atau warung-warung internet yang memungkin orang-orang memperoleh
informasi tentang atau berinteraksi dengan kota, dengan dunia dalam waktu
sekejap. Jaringan toko-toko mini market
sudah ada dimana-mana. Globalisasi tidak hanya mendominasi perekonomian
kita, yang terintegrasi dalam suatu
sistem perekonomian global di bawah bendera pasar bebas, tetapi juga telah
mencengkram dan merubah kehidupan sosial dan budaya kita serta lingkungan hidup
kita.
Globalisasi,
yang dikontrol melalui World Trade
Organizaztion (WTO),
telah membawa kita kepada suatu kehidupan penuh dengan persaingan yang sangat
ketat dan menekan, mendorong sikap
individualistis, pragmatis, hedonis, dan konsumtif. Secara keseluruhan kita didorong
pada suatu kehidupan yang merangsang keserakahan kita, dengan suguhan suatu
impian tentang kehidupan yang indah. Kita didorong berbelanja untuk terus
menerus berbelanja. Semua barang yang dibutuhkan tampak tersedia, dan seperti
mudah diperoleh. Tersedia layanan kredit, dan kartu kredit, dengan
syarat-syarat yang tampak mudah, tetapi sesunggunya menjebak. Estetika
barang-barang termanifestasikan di jendela toko, papan reklame, iklan dan papan reklame sebagai layanan
cuma-cuma dan kemewahan suasana pelayanan konsumen serta sebagai artefak atau
komoditas itu sendiri. Jantung evolusi estetika komersial adalah materi-mteri
visual yang penuh dengan hasrat seperti warna, kaca dan lampu. Pokoknya setiap
saat kita disuguhi dengan segala macam tontonan yang merangsang keserakahan
kita.
Cara
memandang, sikap dan tindakan seperti itu bertentangan dengan tasawuf, yang mendorong orang
untuk hidup prihatin dan sederhana, menjauhi kehidupan dunia yang gemerlap. Tasawuf, atau sufisme, adalah tradisi mistik yang Qur’ani dan Muhammadi. Menurut sejarah tasawuf adalah usaha spiritual yang
tersebar secara luas di berbagai daerah dengan perbedaan bahasa dan budaya,
tetapi disatukan dengan otoritas spiritual wahyu-wahyu Qur’an dan tauladan Nabi
Muhammad, yang dimulai dengan perbahan jiwa, atau perputaran, menuju Tuhan. Tasawuf bisa juga dikatakan cara dan jalan bagaimana seorang muslim
dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt.
Untuk
dekat kepada Tuhan, bagi seorang sufi
harus menempuh jalan panjang, yang berisi stasiun-stasiun, yang disebut maqamat dalam bahasa Arab atau stages dan stations dalam istilah Inggeris. Literatur tasawuf tidak memberikan angka dan
susunan yang sama. Tetapi yang paling umum dikenalkan adalah : tobat—wara—zuhud—kefakiran—sabar—tawakkal—kerelaan
hati—ma’rifat. Di atas stasiun-stasiun itu ada lagi : cinta—ma’rifat—fana’ dan
baka—persatuan. Persatuan mengambil dua bentuk, al hulul dan wahdat al wujud. Selain istilah maqam, dalam literature tasawuf juga
dikenal istilah hal. Hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan
senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal yang biasa
disebutkan adalah : takut—rendah hati—patuh—ihlas—rasa berteman—gembira
hati—syukur.
Hal, berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha
manusia, tetapi diperoleh sebagai anugerahdan rahmat dari Tuhan. Dan, berlainan
dengan maqam, hal bersifat sementara,
datang dan pergi dalam perjalanan mendekati Tuhan.
Dari
literature yang ada statiun yang paling penting bagi seorang yang mau menempuh
jalan tasawuf adalah al-zuhd, yaitu keadaan meninggalkan
dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seseorang yang ingin menjadi sufi
harus terlebih dahulu menjadi zahid,
atau ascetic. Dalam sejarah Islam,
sebelum aliran tasawuf dikenal,
terlebih dahulu ada aliran zuhud.
Aliran zuhud sudah ada sejak abad
pertama dan permulaan abad kedua Hijriyah. Sesungguhnya, laku
kehidupan asektis, seperti mengasingkan diri dari masyarakat, tidak pernah
menjadi praktik yang dianjurkan selama periode awal perkembangan Islam. Nabi
Muhmmaad SAW, yang kehidupannya menjadi teladan bagi umat Islam, sepenuhnya
hidup dengan masyarakat; ia menikah, memiliki anak, memimpin perjuangan pembebasan
umatnya, memimpin umatnya. Kehidupan zuhud atau asketisme yang muncul pada
abad kedua hijriyah timbul sebagai reaksi terhadap kerusakan moral, karena
merasakan kemakmuran sebagai akibat dari semakin meluasnya wilayah Islam.
Reaksi terhadap hidup mewah dari para Khalifah dan keluarganya serta
pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah semakin
meluasnya ke Syria, Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang-orang melihat perbedaan yang sangat
besar antara hidup sederhana dari Rasul serta para sahabatnya dan
Khalifah-khalifah yang empat, terutama Abu Bakar dan Umar. Mu’awiyah hidup
dalam kemewahan sebagaimana halnya dengan raja-raja Roma dan Persia. Anaknya
Yazid dikenal tidak mempedulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah Yazid
dikenal sebagai seorang pemabuk. Diantara penguasa Bani Umayah, hanya Khalifah
Umar Abdul Aziz (717-720) yang dikenal mempunyai sifat takwa dan patuh kepada
ajaran-ajaran Islam, dan hidup sederhana. Begitu juga dengan
Khalifah-khalifah Bani Abbas. Al Amin, anak Harun al Rasyid, kemudian
menggantikan Harun al Rasyid sebagai khalifah, dikenal rusak moralnya, sehingga
ibunya sendiri, Zubaidah, memilih memihak kepada al Ma’mun, ketika kedua
saudara itu bertikai.
Orang-orang
yang kecewa dengan keadaan itu, tidak mau turut dalam hidup kemeawahan, hidup
berlebihan, dan ingin mempertahankan hidup dalam kesederhanaan zaman Rasulullah
dan Sahabat-sahabatnya, menjauhkan diri dari kehidupan mewah seperti itu.
Aliran
zuhud itu mulai tampak di Kufah dan Basrah di Irak. Para zahid Kufalah yang
pertama sekali memakai wol kasar sebagai reaksi terhadap pakian sutera halus
yang dipakai para Khalifah dan pembesar Bani Umayyah. Pakaian mereka yang
terbuat dari wol kasar adalah symbol penolakan dan perlawanan. Misal Sufyan
al-Tsauri (wafat 190 H), Abu Hasyim (wafat 150 H) dan Jabir Ibn Hasyim (wafat
190 H). Di Basrah, kota yang tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhd mengambil
corak yang lebih ekstrim, sehingga meningkat kepada ajaran mistik. Para zahid
yang terkenal disini adalah Hasan al Basri (wafat 110 H) dan Rabiyah
al-Adawiyah (wafat 185 H). Dari Kufa dan Basra
gerakan kezuhudan itu menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di Khurasan Persia, kemudian
muncul Ibrahim al Adham (wafat 162 H). Di Madinah muncul Ja’far al-Sadiq (wafat
148 H).
Gerakan
para zahid besar abad ke 2 Hijiriyah— seperti al Hasan al Basri, Abu Hasyim
al-Kuf, Sufyan as-Tsauri, Fudhail bin Iyad, Rabiyah al-Adawiyah, dan Marfu
al-Karhi—kemudian dilanjutkan oleh para zahid berikutnya. Muncul nama-nama
seperti al-Bistami, al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, al-Ghazali, Ibnu Sabin, Ibnu
al-Farid, Jalaludin ar-Rumy.
Sebelum
Rabiah al-Adawiyah, tujuan tasawuf yang diupayakan oleh para zahid, tidak dari
terciptanya kehidupan yang diridoi oleh Tuhan, sehingga di akhirat nanti
terlepas dari azab Allah (neraka) dan memperoleh surganya. Para zahid, seperti
al-Hasan al-Basri, Abu Hasyim al-Kufi terdorong mengembangkan sikap zahid,
takut pada Tuhan, menyusuaikan diri dengan emosi dan sikap yang dicontohkan
oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya atau generasi berikutnya yang saleh dan
bertakwa. Rabiah al-Adawiyah, mengembangan emosi cinta kepada Tuhan, sehingga
menguasi segenap hatinya. Yang diharapkan tidak lain cintanya dibalas Tuhan
dengan cinta pula. Dia dicatat dalam sejarah sebagai tonggak peralihan dari dominasi emosi
takut kepada Tuhan menjadi emosi cinta kepada Tuhan. Lalu ada masa tasawuf
mengambil bentuk mistisisme, yang menekankan pada ma’rifatullah (mengenal Tuhan
dengan hati nurani). Dipelopori oleh Ma’ruf al-Karkhi (wafat 815/200 H),
ad-Darani (wafat 830/215 H) dan semakin tegas pada Zunnun al-Misri (815/245 H).
Gerakan tasawuf bisa dikatakan mencapai puncuknya pada abad ke 9 (abad 3 H),
kendali para Ulama dari kalangan fuqaha memberikan reaksi negatif, terutama
karena ucapan-ucapan ganjil (syatahat) yang muncul dari lidah mereka, yang
asyik-masyuk bercinta dengan kekasihnya, Tuhan. Namun Junaid al-Bagdadi,
al-Quyairi, dan lain-lain beruasaha
meyakinkan kepada semua pihak bahwa tasawuf itu tidak bertentangan dengan
syariat. Ia berdasarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi, dan tidak lain bentuk
pengamalan syariat secara sangat sungguh-sungguh dengan memberikan perhatian
pada sikap hati atau batin. Upaya mendamaikan ketegangan antara oarng-orang
tasawuf dengan para fuqaha dan teolog, akhirnya berhasil dilakukan oleh al-Gahzali
(1111/505 H). Berkat al-Ghazali tasawuf diterima secara umum di kalangan umat
Islam, lebih-lebih setelah mengambil bentuk (organisasi) tarekat, menguasai
umat Islam selama lebih kurang enam abad, sejak abad 13 (abad ke-7 H).
Dari
sejak para zahid besar yang menolak dan
mengecam kehidupan duniawi yang megah dan berlebihan pada abad kedua Hijriyah,
sampai kepada generasi berikutnya, karena memakai pakaian dari bulu domba yang
kasar, maka digelari orang sebagai sufi, tasawuf dan mutasawif itu memperoleh tambahan
arti yang khas.
Meskipun
dengan tekanan yang bervariasi, mereka telah
mengembangkan emosi takut pada Tuhan atau azab-Nya, sikap zuhud (tidak terikat
atau tidak tertarik dengan kesenangan dunia, sikap wara (hanya mau mengambil
yang halal dan pantang mengambil yang diragukan kehalalannya, apalagi yang
haram), sikap qanaah (merasa cukup dengan rezeki yang halal, betapapun sedikitnya),
sikap sabar dalam menahan tekanan dan menahan suka duka kehidupan di jalan
Tuhan, emosi ridho pada Tuhan (senang pada-Nya dalam segala sesuatu), sikap
ingat selalu kepada-Nya, sikap khusyu dan bertekun dalam beribadah (shalat,
puasa, zikir), emosi cinta kepada-Nya, sedemikian rupa sehingga mereka
betul-betul merasakan kehadiran Allah dalam hati mereka atau merasa sangat
dekat dengan-Nya. Dengan demikian, arti khas yang menambah muatan kata tasawuf
itu tidak lain dari upaya mengolah atau mengembangkan sikap dan emosi agama
dalam rangka mencapai kehidupan yang diridhoi Allah, dalam rangka mencapai
kedekatan dengan-Nya. Kata mutasawwif kemudian
difahami mengacu kepaa orang yang sedang berjuang menjalankan upaya tasawuf,
dan sufi mengacu kepada mereka yang telah mencapai tujuan dari upaya tasawuf.
Kita
dapat mengatakan bahwa sebagai sebuah gerakan, tasawuf atau sufisme,
sesungguhnya muncul karena situasi tertentu. Gerakan ini muncul sebagai kritik
terhadap situasi sosial tertentu, situasi sosial yang timpang dan tidak adil.
Bahkan dalam banyak kasus, sufisme adalah gerakan perlawanan terhadap kemapanan,
sehingga beberapa tokoh tasawuf atau sufi menjadi korban atau mengorbankan diri
untuk menunjukkan konsistensinya terhadap apa yang diyakininya atau apa yang
diperjuangkannya. Al Hallaj misalnya (di hukum mati pada tahun 309), atau Syekh
Siti Jenar di Jawa, terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan keyakinan,
adalah Sufi yang harus berhadapan langsung dengan kekuasaan pada masanya,
karena menolak untuk mengakui kekuasaan yang ada, maka dihukum mati.
Kembali
kepada pertanyaan pembuka buku ini, apakah mungkin bertasawuf di era global?
Kalau melihat sejarahnya, jawabannya adalah sangat mungkin, sebagaimana juga
yang dicoba dijawab oleh penulis melalui bukunya ini. Tentu dengan prasyarat
tertentu. Kalau kita melihat bahwa pada dasarnya ajaran tasawuf adalah pengendalian
hawa napsu, menghapus keserakahan, melawan
atau mengendalikan kecenderungan yang bersifat badani, melepaskan diri dari
ketakutan terhadap hari esok, maka itu harus secara total menyerahkan diri
kepada Allah SWT. Untuk mengontrol itu maka sufi senantiasa tidak pernah
melepaskan ingatannya kepada Tuhan. Mereka terus menerus berzikir. Dalam rangka
itu mereka memperkuat diri dengan kesabaran dan kesabaran. Itu bukanlah hal yang mudah, karena
godaan dan jebakannya banyak, mulai dari kecenderungan yang bersifat badani,
sampai kepada keterikatan kepada orang terdekat. Itu sebabnya sufi pergi
menyendiri. Maka mereka menjalani kehidupan sebagai zahid. Perjalanan sebagai
zahid biasanya dilakukan bertahun-tahun, sebelum sampai kepada pemahaman yang
benar, sering dengan semakin meningkatnya kontrol terhadap hawa napsu,
keserakahan dan kecenderungan-kecenderungan badani. Dalam perjalanan sebagai
zahid, selain selalu mengingat kepada Allah, menyantuni sesama, mereka juga
melakukan pembiasaan-pembiasaan.
Dalam cerita-cerita tentang sufi kita dapat menemukan tindakan-tindakan
ekstrim dari seorang zahid, yang tidak normal atau melampaui batas kebiasaan
menurut ukuran masyarakat manusia pada umumnya. Misalnya, ketika musim salju,
ada yang secara sengaja datang ke tempat yang penuh salju, dan pada tengah
malam ketika salju baru saja seleasi turun, dalam keadaan minus sekian derajat
dengan rasa dingin yang menggigit dia mandi. Karena adanya
latihan-latihan yang dilakukan rutin periodik atau pembiasaan-pembiasaan maka
pada umumnya Sufi dapat mengontrol tidak hanya pikiran, emosi, tetapi tubuh
fisiknya. Misalnya, banyak kisah tentang sufi yang dapat berjalan diatas air. Bahkan ada sufi,
al-Muhashibi (wafat 243 H/857 M), tubuhnya seperti sudah dapat mendeteksi
hal-hal (tak wajar, mengotori kebersihan mereka) yang ada disekitarnya tanpa
dia harus memikirkannya. Ketika dia disodori makanan yang mengandung subhat,
tanpa ada yang memberitahukan sebelumnya, tangannya menjadi kaku tidak bisa
digerakkan.
Tegasnya
tasawuf itu adalah pengetahuan yang dipraktek, bukan sekadar ilmu yang dibicarakan,
dan praktek itu semakin memperdalam atau memperluas pengetahun, jika
direnungkan kembali, dan pada akhirnya menyatu dengan diri. Praktek artinya membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan
tertentu atau menjalani ajaran-ajaran tertentu secara konsisten. Sabar,
tawakkal, berserah diri, prihatin, sederhana, rendah hati, kerelaan,
keikhlasan, mengekang diri (untuk tidak mengambil lebih, mengambil bukan hak),
memberi, tidak meminta dan sebagainya bukanlah untuk dikhotbahkan tetapi dilakukan,
dipraktekkan. Tentu itu tidak otomatis bisa dijalani. Tidak otomatis orang
sampai kepada tingkat kesabaran yang terjaga.
Maka perlu ada proses membiasakan diri, yang mengantar kepada semakin
terbiasa dan pada akhirnya menjadi kebiasaan atau menjadi sesuatu yang tampak
alami. Proses membiasakan pada permulan akan berlangsung berat, karena itu memerlukan pengorbanan. Hasilnya nanti adalah
pembebasan. Bebas dari rasa takut dan khawatir terhadap apapun, yang mengikat
kita, kecuali kepada murka Allah.
Menjalani
kehidupan dengan jalan tasawuf memungkinkan dilakukan sekarang. Tidak perlu
seekstrim para sufi zaman dahulu, pergi mengembara, atau meninggalkan jabatan
penting (seperti Ibrahim al Adam, seorang raja yang kemudian meninggalkan
singgana kerajaan, pergi mengembara untuk menjalani kehidupan zahid). Tetapi lebih pada membiasakan
diri, mulai membiasakan diri dengan dengan kebiasaan-kebiasaan dan tradisi
zahid. Mencoba membebaskan diri dari kehidupan yang menekan sekarang ini.
Tetapi
yang perlu mendapat catatan adalah bahwa kita hidup dalam kancah globalisasi
yang menjadi bungkus terbaru dari
kapitalisme, dan kapitalisme itu hidup dari eksploitasi untuk bisa eksis.
Kapitalisme mengekspoitasi dan merangsang napsu dan keserakahan manusia (untuk
menguasi dan memiliki) sehingga produksi, distribusi dan perputaran
barang-barang yang diproduksinya menjadi berlipat dengan jangkauan yang semakin
meluas. Dengan alasan itu, kapitalisme juga mengeksploitasi alam. Semua bisa
dijual. Manusia, selain dieksploitasi
sebagai konsumen dimana napsu untuk menguasai dan membeli dirangsang
terus menerus melalui berbagai cara dan setiap saat, juga dieksploitasi sebagai
pekerja atau orang yang dimanfaatkan jasa dan sumberdayanya. Sedangkan tasawuf mengekang napsu dan keserakahan
manusia, semakin kecil semakin baik.
Artinya ajaran atau jalan tasawuf itu bertentangan dengan kepentingan
kapitalisme. Kalau jalan tasawuf menjadi gerakan, maka itu ancaman bagi
kapitalisme. Dan dalam sejarah, beberapa sufi, seperti al-Hallaj, bisa dihabisi
ketika dianggap sebagai ancaman kemapanan,
oleh yang berkuasa, serta dicap sebagai
sesat.
Saya
kira buku ini mengajak kita untuk berefleksi dengan keadaan sekarang, yang
sesungguhnya merisaukan, atau bahkan menakutkan, dan mencoba menunjukkan bahwa
sebenarnya ada cara atau jalan yang bisa digunakan untuk menghadapinya, yakni
apa yang disebut tasawuf. Tidak perlu menempuh cara seekstrim yang pernah
ditempuh oleh para sufi zaman dahulu. Tidak perlu menjadi sufi seperti orang-orang
terdahulu. Tetapi yang perlu adalah
mengikuti jalan itu, jalan tasawuf yang lebih moderat. Itulah yang dicoba
diungkapkan melalui buku ini.
Sebagian
besar isi buku ini merupakan hasil nyantri Penulis dengan Prof.K.H.Ali Yafie,
serta dari beberapa ceramah beliau. Penulis berinteraksi secara intensif dengan
Prof.Ali Yafie sejak akhir 1980an. Isi buku ini bertumpu pada pesan “hidup
bersih, sederhana dan mengabdi.”
Wamaa taufiqi illa billah ‘alaihi tawakkaltu wailaihi uniib.
Jakarta,
6 November 2016
Helmy
Ali Yafie dalam buku BERTASAWUF DI ZAMAN EDAN, penerbit BUKUREPUBLIKA.
Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran dan aspek-aspek kebudayaan
lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk
kemunculan internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin
mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan
budaya. Lihat, Al-Rodhan, R.F.
Nayef and Gérard Stoudmann. (2006). Definitions
of Globalization: A Comprehensive Overview and a Proposed Definition.: Albrow,
Mrtin and Elizabeth King (eds) (1990), Globalization, Knowlledge and Society
London, Sage. ISBN 978-0-8039-8324-3. P. 8.
“.. all those processes by
which the people of the world are incorporated into single world society.
Kemajuan transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan
internet merupakan faktor utama dalam globalisasi yang mendorong saling
ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya. Lihat, Steven H.
Guyford (1972), Science, System and Society”, Journal of Cybernetics, 2(3):1-3.
DOI: 10.1080/01969727208542909; Dalam
Wikipedia Indonesia, Globalisasi, Ensiklopedi Bebas, diakses tanggal 2 November
2016.
Akar Globalisasi dapat
ditelusuri hingga lebih dari lima ratus tahun lalu ketika kerajaan-kerajaan
Eropa saling berlomba untuk mendapatkan kontrol atas sumberdaya alam berharga
seperti emas, perak, tembaga, dan kayu yang didapatkan dari Asia, Afrika, dan Amerika. Ketika
perusahaan perkapalan raksasa seperti
Hudson’s Bay Company dan East India Company diizinkan beroperasi melalui
perjanjian antar kerajaaan, dimandatkan untuk menyusuri sebagian besar dunia
guna mencari sumberdaya yang akan menguntungkan kerajaan mereka secara komersial.
Meskipun sumberdaya yang ditergetkan telah berubah seiring berkembangnya
teknologi, tetapi model pasar globalisasi tetap sama, yakni eksploitasi. Di masa kini
globalisasi ekonomi di dorong bergerak dengan kecepatan tinggi, terutama sejak
runtuhnya Tembok Berlin. Sebelum hal itu terjadi, dan selama sebagian besar
abad 20, ekonomi dunia terpisah antara dua kubu: komunisme dan kapitalisme.
Secara simbolis, runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin menandai
kemenangan kapitalisme atas komunisme dan hilangnya sistem ekonomi dunia yang
bipolar. Mulai saat itu, kapitalisme mendominasi ekonomi global. Sebagai
institusi dominan dari kapitalisme global, perusahaan transnasional secara
membabai buta membuka pasar dan meluaskan jaringan operasi mereka hingga keempat
penjuru dunia. Lihat, Maude
Barlow dan Tony Clarke, Blue Gold, Perampasan dan
Komersialisasi Sumberdaya Air, Gramedia, 2005, halaman 101.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda