SEJARAH PEMBENTUKAN RT-RW DI INDONESIA.
Penangkal Komunis, Pengumpul Suara
Golkar
Pembentukan
rukun tetangga di Jawa merupakan tiruan dari tonarigumi di Jepang dan
Taiwan pada masa perang. Jadi mesin pengendali pikiran untuk mengontrol rakyat
di akar rumput.
Seiring
dengan meningkatnya pengaruh komunis di daerah-daerah miskin, seperti Tegal dan
Pekalongan di Jawa Tengah serta beberapa daerah perbatasan Jawa Tengah-Jawa
Barat, staf teritorial TT-IV (kini Kodam Diponegoro) Ali Moertopo mengaktifkan
kembali sistem rukun tetangga (RT) dan rukun kampung di pedesaan-pedesaan.
Tujuannya adalah memperkenalkan masyarakat pada sistem pengamanan lingkungan
yang mereka urus sendiri.
Prinsip
gotong-royong dikembangkan melalui wadah kerukunan warga tersebut, sehingga
masyarakat terbiasa membahas dan memecahkan masalah mereka secara bersama dan
melakukan upaya bersama pula untuk menangkal ancaman dari luar. “Sistem ini
sebetulnya sudah diperkenalkan semasa pendudukan Jepang. Namanya tonarigumi,”
kata Bambang Wiwoho, penulis buku Memori Jenderal Yoga saat berbincang
dengan detikX, Selasa, 20 September 2016.
Dalam perekrutan tenaga romusha,
biasanya kumicho (ketua RT) yang menunjuk siapa yang menjadi korban."
Bukan
cuma terhadap perkembangan komunis, sistem ini dihidupkan juga untuk mendeteksi
dan menangkal gerakan-gerakan subversif lainnya yang hendak memisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia. Di era Reformasi, kata Wiwoho, ketika struktur teritorial Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia) di desa-desa
dikikis, idealnya keberadaan RT dan rukun warga (RW) dioptimalkan. “Bila
kesadaran itu masih ada, mestinya aksi terorisme di wilayah kita bisa dideteksi
lebih dini,” ujarnya.
Aiko
Kurasawa, peneliti asal Jepang, menyebutkan pembentukan tonarigumi atau
RT dimulai oleh pemerintah militer Jepang di Indonesia lewat sebuah maklumat
pada 11 Januari 1944. Untuk menyukseskan program tersebut, seluruh residen di
Pulau Jawa dikumpulkan di Jakarta. Mereka diminta mengikuti sebuah konferensi
yang khusus membahas rancangan baru itu. "Program tersebut belum pernah
ada saat zaman kolonial Belanda," kata Aiko kepada detikX, Jumat,
23 September.
Penelitiannya
tentang RT menjadi salah satu bahasan dalam disertasi doktoralnya di Universitas
Cornell, New York, Amerika Serikat. Disertasi dengan promotor indonesianis dari
Universitas Cornell, Benedict Anderson, itu diterbitkan menjadi buku berjudul Kuasa
Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Guru besar
emeritus Universitas Keio, Jepang, itu juga menulis berbagai buku tentang
Indonesia, di antaranya Peristiwa 1965.
Menurut
Aiko, pemerintah militer Jepang sudah membuat sebuah proyek percontohan tonarigumi
di sebuah desa di kawasan Jatinegara, Jakarta, menjelang pengumuman resmi.
Semua residen yang hadir dalam pertemuan di Jakarta lantas mengunjungi model tonarigumi
ini. Bahkan, pada 15 Januari 1944, Panglima Tertinggi Angkatan Darat Letnan
Jenderal Kumakici Harada menghadiri rapat pertama yang diadakan tonarigumi
di Jatinegara. "Ini menunjukkan betapa pentingnya pembentukan tonarigumi
untuk kepentingan pendudukan Jepang di Indonesia," ujar perempuan
kelahiran Osaka, 70 tahun lalu, itu.
Para pemimpin agama dimobilisasi
untuk melegitimasi gagasan tonarigumi seolah-olah sesuai dengan ajaran Islam.”
RT
ala Jepang ini terdiri atas 10-20 rumah tangga. Tiap kepala tonarigumi
atau disebut kumicho diberi berbagai tugas, di antaranya membantu
organisasi keamanan, mempertahankan Tanah Air, serta melawan serangan udara,
kebakaran, mata-mata, dan penjahat. Kumicho juga wajib memberi tahu
rakyat mengenai dekrit, peraturan, dan petunjuk pemerintah serta menyadarkan
mereka. Pemerintah militer memberi wewenang kepada ketua untuk mendistribusikan
penjatahan barang. "Dalam perekrutan tenaga romusha, biasanya kumicho
yang menunjuk siapa yang menjadi korban," kata Aiko.
Kumicho pun harus mengingatkan anggota jika ada yang bertingkah
laku “tak sesuai”. Maksud “tak sesuai” ini bukan semata melakukan tindakan
ekstrem, seperti menjadi mata-mata atau bersikap anti-pemerintah Jepang, tapi
juga meliputi sikap malas-malasan, gaya hidup kebarat-baratan, dan semua bentuk
kemewahan. Aiko pun mengutip laporan dinas intelijen Amerika Serikat yang
menyatakan, dengan sistem tonarigumi, penguasa Jepang mampu mengendalikan
pikiran serta tindakan seluruh penduduk. Dalam sistem itu, ada tanggung jawab
kolektif yang membuat anggotanya saling mengawasi agar tak ada yang melanggar
peraturan. "Tonarigumi dijalankan sebagai mesin pengendali pikiran
untuk mengontrol rakyat di akar rumput secara efektif," ujar Aiko.
Untuk
menarik perhatian, pemerintah militer Jepang menekankan bahwa tonarigumi
didasari semangat gotong-royong yang telah lama menjadi tradisi masyarakat
Jawa. "Tonarigumi dipromosikan bukan sesuatu yang asing bagi rakyat
Jawa," kata Aiko. Bahkan berbagai media propaganda dirancang sebagai media
kampanye untuk menggiatkan tonarigumi. Salah satunya menciptakan lagu
yang syairnya menggunakan ungkapan gotong-royong. Bukan hanya itu, ulama-ulama
pun dimobilisasi. Para pemimpin agama tersebut diminta melegitimasi gagasan tonarigumi.
"Ulama diminta menyatakan tonarigumi sesuai dengan ajaran
Islam," ujar Aiko.
Berbagai
upaya yang dilakukan pemerintah militer Jepang itu membuat tonarigumi
menyebar dengan cepat ke seluruh Jawa. Tepat tiga bulan setelah pertama kali
diluncurkan, total tonarigumi untuk seluruh Jawa mencapai 508 ribu dan
jumlah aza jokai atau RW hampir mencapai 65 ribu.
Setelah
kemerdekaan, tonarigumi resmi berganti nama menjadi RT. Fungsinya
sebagai alat kontrol oleh aparat pemerintah pun berkurang. "Sebaliknya,
fungsi sebagai institusi untuk mempromosikan gotong-royong bertambah,"
kata Aiko.
Pada
masa ini pula intervensi partai mulai terjadi. Partai Komunis Indonesia, yang
sangat berpengaruh, acap kali menggunakan RT dan RW sebagai alat untuk merekrut
anggota serta simpatisan. Namun, setelah Sukarno jatuh, RT dan RW kembali
ditempatkan sebagai alat mengendalikan rakyat. Aktivitas RT dan RW lebih banyak
untuk mengindoktrinasi anggotanya dengan ideologi Pancasila, setia kepada
negara, dan pentingnya stabilitas. "Pemerintahan Soeharto memakai RT dan
RW untuk mengumpulkan suara bagi Golkar dalam setiap pemilihan umum," ujar
Aiko.
*
* *
Pembentukan
tonarigumi di Jawa merupakan tiruan dari tonarigumi di Jepang dan
Taiwan pada masa perang. Di Jepang, cikal bakal tonarigumi sudah ada pada
masyarakat feodal Zaman Edo (1603-1867). "Ada namanya gonin gumi,
yang terdiri atas lima rumah tangga. Ditetapkan penguasa Tokugawa untuk
mengontrol petani," kata Aiko.
Setelah
Restorasi Meiji, semua struktur pedesaan direorganisasi, disesuaikan dengan
negara baru yang modern. Tonarigumi dibuat menggantikan gonin gumi.
Menjelang Perang Dunia II, tonarigumi kemudian dimanfaatkan pemerintah
Jepang untuk melakukan kontrol sekaligus memobilisasi penduduk. "Setiap
rumah tangga dipaksa ikut berpartisipasi. Yang tidak mau tidak berhak
mendapatkan distribusi makanan," ujar Aiko.
Namun
sekarang tonarigumi di Jepang tidak seperti dulu. Pemerintah Jepang
tidak mengeluarkan peraturan khusus untuk mengatur soal tonarigumi.
Bahkan tonarigumi tidak lagi dianggap sebagai sebuah institusi resmi.
"Zaman dulu memang harus ada. Sekarang sudah bebas. Ada boleh, tidak ada
juga boleh. Ikut boleh, tidak ikut juga boleh," kata Aiko. Tonarigumi,
dia menambahkan, tetap eksis dan kuat terutama di wilayah pedesaan.
Reporter/Penulis: Pasti Liberti Mappapa
Editor: Sudrajat
Desainer: Fuad Hasim
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda