Kamis, 05 Januari 2017

Pembauran Keturunan Tionghoa Relevan & Mendesak Untuk Ditingkatkan : Prof.Dr.DinSyamsudin


Pembauran Keturunan Tionghoa Relevan & Mendesak Untuk Ditingkatkan : Prof.Dr.DinSyamsuddin.

Sebenarnya pertautan antara Islam dan Tionghoa bukanlah hal asing dan baru, namun keduanya telah terjalin dalam temali sejarah dan budaya yang panjang dan dalam. Hanya saja di Indonesia, hubungan antara umat Islam dan Tionghoa seolah- olah berjarak jauh dan senjang. Pandangan umum umat Islam, etnik Tionghoa adalah “orang lain”, pendatang, suka hidup eksklusif, dan bahkan harus dijauhi kalau tidak dibenci. Begitu pula sebaliknya, bagi masyarakat keturunan Tionghoa, orang-orang Islam (termasuk mereka yang dulu disebut pri- bumi) itu adalah bodoh, pemalas, tertinggal, sampai kepada sebagian mereka mudah dan suka disuap. 

Mungkin penilaian tadi bisa dianggap berlebihan dan mendramatisasi, tapi agaknya relatif masih ada, walau sekarang berbeda dengan dulu.

Hubungan Islam dengan Tionghoa (Negeri China) sudah terjalin sejak masa Khalifah Kedua Umar bin Khattab, yang berhasil mengembangkan Islam ke luar Jazirah Arabia, dari Persia di sebelah Timur hingga ke Mesir di sebelah Barat. Pada masa setelah Khulafaur Rasyidin, yaitu masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah, kawasan (Dunia) Islam jauh lebih luas dan tentu mendorong kontak Islam dengan kawasan dan peradaban-peradaban lain menjadi intensif. Walau Negeri China tidak termasuk wilayah perluasan dakwah Islam, tapi hubungan budaya antara Dunia Islam dan Negeri China waktu itu berlangsung harmonis.
Pada sisi lain, Negeri China, sebagai salah satu pusat peradaban dunia sebelum Islam, telah menjadi pelaku utama perdagangan internasional yang menciptakan jalur sutera. Jalur perdagangan sutera ini melewati negeri-negeri Muslim, baik pada jalur Utara seperti Iran dan Negeri-negeri Asia Tengah, maupun pada jalur Selatan seperti India hingga Mekkah melalui Laut Merah. 

Perjalanan para sahabat Nabi Muhammad SAW ke Negeri China juga terjadi, antara lain ditandai oleh adanya jejak Saad bin Waqash (seorang panglima pasukan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab) di sebuah bukit di Guangzhou, berupa makam dan masjid. Kontak seperti itu sebenarnya sudah terjadi sebelum era Islam, dan Negeri China dianggap sebagai negeri maju. Mungkin hal ini yang mendorong adanya ungkapan (bukan hadits Nabi) yang berbunyi “uthlubul ‘ilma walaw bis Shin”, atau tuntutlah ilmu walau ke Negeri China.

Khusus dengan Indonesia (atau Nusantara), hubungan Negeri China dengan Indonesia (sebagai negeri Muslim) bahkan signifikan. Terdapat teori bahwa Islam masuk ke Nusantara, selain dari Gujarat/ India dan Jazirah Arabia, juga dari Negeri China. Bahkan, tidak banyak yang mengetahui, bahwa dari Sembilan Wali yang menyiarkan Islam di Tanah Jawa, ada yang berdarah Tionghoa (Sunan Ampel). Hubungan itu semakin kuat dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, Panglima Angkatan Laut Dinasti Ming, yang beragama Islam dan bergelar haji, ke Nusantara (mendarat antara lain di Sunda Kelapa, Semarang, dan Gresik).

Menurut cerita, sebelum berlayar dengan rombongannya Laksamana Cheng Ho berpamitan dulu kepada seorang imam di sebuah masjid tua (sudah berusia seribu tahun) di Xian, Negeri China. Di kota Xian, dan banyak kota lain di Negeri China, bahkan Beijing, terdapat banyak restoran halal yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa Muslim. Selain juga, di Negeri China ada provinsi berpenduduk mayoritas Muslim (etnik Uighur), dan Provinsi Otonomi Khusus seperti Ningxia

Alinea di atas hanyalah sketsa sejarah yang menggambarkan bahwa Islam dan Negeri China sudah dekat sejak dahulu kala. Dengan latar semacam inilah, kita mudah memahami proses masuk Islam tokoh keturunan Tionghoa di Indonesia sebagai hal biasa, lumrah, dan sudah sering terjadi sebelumnya, karena sesungguhnya Islam bukanlah agama asing bagi orang-orang Tionghoa. Begitu pula kita memahami masuk Islamnya Haji Karim Oei sebagai kelanjutan dari proses lama dan hubungan dekat Islam dengan Tionghoa itu sendiri.
Abdul Karim Oei, bernama Tionghoa Oey Tjeng Him (1005-1988), yang mendapat hidayah masuk Islam tahun 1929 pada usia 20 tahun, tentu bukan keturunan Tionghoa pertama di Indonesia yang memeluk Islam. Sudah banyak keturunan Tionghoa sebelumnya yang masuk Islam. Tentu Sunan Ampel, satu dari Wali Songo, yang berasal dari Negeri China, memiliki pengikut-pengikut dari keturunan Tionghoa. Begitu pula, pengikut dan pengagum Cheng Ho di Nusantara dari keturunan Tionghoa banyak yang memeluk Islam.

Namun, keberislaman Haji Karim Oei mempunyai arti tersendiri. Hal ini disebabkan karena beliau adalah seorang pengusaha besar, memiliki pengaruh di kalangan warga Tionghoa, dan juga mempunyai hubungan akrab dengan Presiden Soekarno dan ulama terkemuka Buya Hamka. Hubungan dengan kedua tokoh tersebut, mungkin karena Haji Karim Oei pernah menjadi Konsul Muhammadiyah di Bengkulu, sesudah dijabat oleh Ustadz Hasan Din, mertua Bung Karno di Bengkulu, di mana Soekarno muda pernah juga menjadi Ketua Bidang Pengajaran Muhammadiyah ketika “diungsikan” di sana. Begitu pula hubungannya dengan Buya Hamka adalah karena ayahanda Buya Hamka, Prof. Karim Amrullah, adalah Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah. Yang jelas, posisi Haji Karim Oei di organisasi Islam seperti itu menambah derajat hubungan umat Islam (khususnya warga Muhammadiyah) dengan warga keturunan Tionghoa. Mereka, warga keturunan Tionghoa itu, dianggap sebagai saudara sesama manusia dan sebangsa, dan apabila mereka masuk Islam maka dianggap juga sebagai saudara seiman.

Keberadaan Haji Karim Oei sebagai Muslim Tionghoa kemudian mendapat dukungan dari para tokoh Islam, seperti Lukman Harun dari Muhammadiyah, atau Prof. KH. Ali Yafi dari NU, Yunan Helmi Nasition dari Al-Washliyah, atau H.B. Wiwoho, seorang pengusaha/ aktifis Muslim. Hubungan antara Muslim Tionghoa dengan ormas- ormas Islam sangat dekat. Hal inilah yang ikut mendorong lahirnya Yayasan Karim Oei yang bertujuan membina para warga Tionghoa yang masuk Islam dan mengembangkan dakwah Islam di kalangan warga Tionghoa. Salah satu karya penting yayasan ini adalah men-dirikan Masjid “Karim Oei” Lautze di Jalan Lautze, Jakarta Pusat. 

Masjid Lautze yang bisa dikatakan berada di lingkungan “China Town” (walau di Indonesia sebenarnya tidak ada China Town karena warga Tionghoa tinggal menyebar di kalangan masyarakat non Tionghoa di hampir semua kota), memang berhasil menarik perhatian warga keturunan Tionghoa. Suasana demikian telah ikut mendorong cukup banyak tokoh keturunan Tionghoa memeluk Islam, seperti pengusaha Junus Jahja pada 1979, Yusuf Hamka pada 1981, atau Max Muljadi Supangkat pada 1982. Kendati saya dengar bahwa yang masuk Islam di Masjid Lautze terakhir ini sekitar tiga orang pada setiap Jum’at, namun peran Masjid Lautze sebagai Pusat Islam (Islamic Center) sangat penting. Peran itu tidak hanya di Ibu Kota tapi sudah merambah ke kota-kota lain seperti Bandung. 

Tentu, harus dikatakan, bahwa dakwah Islam di kalangan warga keturunan Tionghoa di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh Yayasan Karim Oei, tapi juga oleh organisasi-organisasi lain, terutama Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI, dan yayasan yang didirikan oleh pengusaha keturunan Tionghoa Mas Agung yang diberi nama Yayasan Wali Songo. 

Yayasan Karim Oei, alhamdulillah, masih eksis dan berkembang. Kepemimpinan yayasan sekarang sudah diestafetkan kepada generasi kedua/putra Haji Karim Oei, yakni H. Ali Karim Oei.

Salah satu peran penting dari Yayasan Karim Oei/Masjid Lauze, PITI, dan Yayasan Wali Songo, adalah mendorong proses akulturasi etnik Tionghoa dengan etnik-etnik lainnya di Indonesia.

Adalah tokoh Yayasan Karim Oei/Masjid Lautze Junus Jahja yang ikut memprakarsai gerakan ini. Pembauran adalah istilah tepat dan penting. Interaksi dua pihak yang dianggap “berseberangan”, masing-masing mewarisi trauma psikologis dari sejarah panjang bahkan sejak era penjajahan, dan masing-masing menyandang stereotipe negatif terhadap lainnya, memang harus mengambil bentuk integrasi, penyatuan, atau pensenyawaan. Itulah yang dimaksud sebagai pembauran, yakni berbaurnya dua komunitas (lebih khusus komunitas etnik Tionghoa berbaur atau membaur dengan komunitas etnik-etnik lainnya) baik lahiriah maupun batiniah.

Sebenarnya proses pembauran itu sudah pernah dimulai setelah kemerdekaan, seperti yang ditunjukkan secara simbolis oleh persahabatan akrab Haji Karim Oei dengan Bung Karno dan Buya Hamka, namun agak sedikit terganggu dengan Peristiwa G 30 S/ PKI. Kala itu banyak etnik Tionghoa yang menjadi sasaran/korban pemberantasan/pembubaran PKI, terutama karena dianggap menjadi bagian dari Poros Jakarta-Peking pada masa Presiden Soekarno.

Pada awal Orde Baru, terutama dengan adanya kebijakan setiap warga negara Indonesia harus memeluk suatu agama dan berketuhanan Yang Maha Esa sesuai Pancasila, maka mayoritas etnik Tionghoa memilih agama-agama non Islam, seperti Katolik, Kristen, atau Buddha/ Tridharma (mungkin karena menganggap kalangan Islam berperan besar dalam mengganyang PKI). Hal ini pula yang “membangkitkan” sentimen lama “Chinafobia” di kalangan umat Islam. Keadaan tentu semakin meningkat apalagi kemudian terjadi kesenjangan ekonomi di kalangan umat Islam sementara kekuasaan ekonomi berada di tangan etnik Tionghoa.

Kecenderungan ini memburukkan upaya pembauran lantaran pola hubungan antara etnik Tionghoa dan etnik-etnik non Tionghoa yang kebetulan mayoritas beragama Islam mengambil bentuk “superior-inferior” khususnya dalam bidang ekonomi. Kendati berkembang juga persepsi sebaliknya di kalangan etnik Tionghoa bahwa mereka merasa tertekan secara politik, terutama pada Era Orde Baru semua yang berbau Cina dilarang. Namun, kebebasan pada Era Reformasi dan sejalan dengan dinamika global dan kawasan Asia dengan kebangkitan China keadaan mulai membalik.

Keturunan Tionghoa di Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan memiliki keturunan serta diaspora Tionghoa terbesar di dunia, menikmati kebebasan sosial, ekonomi, bahkan politik yang terbuka. Hal ini tentu positif bagi kemajuan Indonesia di masa depan, namun jika tidak dilola dengan tepat maka bisa memunculkan kondisi negatif, seperti adanya kesan “superior- inferior ekonomi” tadi. Hal ini pada giliran berikutnya dapat mendorong sentimen suku-agama-ras-antar golongan (SARA) yang tentu kontra-produktif bagi kerukunan dan kemajuan bangsa dan negara pada masa depan. 

Dalam kaitan itulah, maka ide dan program pembauran menjadi tetap relevan dan mendesak untuk ditingkatkan. Tentu, pembauran yang perlu diwujudkan adalah pembauran sejati, bukan pembauran basa-basi yaitu pembauran semu. Pembauran sejati adalah bangsa yang majemuk bersedia untuk hidup berdampingan dengan damai dalam semangat saling memahami, saling menghormati, saling membantu, bahkan saling melindungi. Dalam pembauran sejati dan kerukunan sejati tidak boleh ada baik diktator mayoritas maupun tirani minoritas. Untuk itulah, perlu lahir dan hadir Haji Karim Oei-Haji Karim Oei baru, dan lembaga seperti Masjid Lautze perlu diperbanyak untuk menjadi rumah bagi Muslim Tionghoa dan jembatan bagi etnik Tionghoa untuk bersilaturahim dengan saudara- saudara sebangsa dan setanah air lainnya
(Pengantar buku:  Yayasan H.Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA & KETURUNAN TIONGHOA, penerbit Teplok Prees, telp 081382896969. Yayasan Karim Oei : 0216257413 dan 085717649127)


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda