Pembauran Keturunan Tionghoa Relevan & Mendesak Untuk
Ditingkatkan : Prof.Dr.DinSyamsuddin.
Sebenarnya pertautan antara Islam
dan Tionghoa bukanlah hal asing dan baru, namun keduanya telah terjalin dalam
temali sejarah dan budaya yang panjang dan dalam. Hanya saja di Indonesia, hubungan
antara umat Islam dan Tionghoa seolah- olah berjarak jauh dan senjang. Pandangan
umum umat Islam, etnik Tionghoa adalah “orang lain”, pendatang, suka hidup
eksklusif, dan bahkan harus dijauhi kalau tidak dibenci. Begitu pula
sebaliknya, bagi masyarakat keturunan Tionghoa, orang-orang Islam (termasuk
mereka yang dulu disebut pri- bumi) itu adalah bodoh, pemalas, tertinggal,
sampai kepada sebagian mereka mudah dan suka disuap.
Mungkin penilaian tadi bisa dianggap
berlebihan dan mendramatisasi, tapi agaknya relatif masih ada, walau sekarang
berbeda dengan dulu.
Hubungan Islam dengan Tionghoa
(Negeri China) sudah terjalin sejak masa Khalifah Kedua Umar bin Khattab, yang
berhasil mengembangkan Islam ke luar Jazirah Arabia, dari Persia di sebelah Timur
hingga ke Mesir di sebelah Barat. Pada masa setelah Khulafaur Rasyidin, yaitu
masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah, kawasan (Dunia) Islam jauh lebih
luas dan tentu mendorong kontak Islam dengan kawasan dan peradaban-peradaban
lain menjadi intensif. Walau Negeri China tidak termasuk wilayah perluasan dakwah
Islam, tapi hubungan budaya antara Dunia Islam dan Negeri China waktu itu
berlangsung harmonis.
Pada sisi lain, Negeri China,
sebagai salah satu pusat peradaban dunia sebelum Islam, telah menjadi pelaku
utama perdagangan internasional yang menciptakan jalur sutera. Jalur
perdagangan sutera ini melewati negeri-negeri Muslim, baik pada jalur Utara seperti
Iran dan Negeri-negeri Asia Tengah, maupun pada jalur Selatan seperti India
hingga Mekkah melalui Laut Merah.
Perjalanan para sahabat Nabi Muhammad SAW ke
Negeri China juga terjadi, antara lain ditandai oleh adanya jejak Saad bin
Waqash (seorang panglima pasukan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab) di
sebuah bukit di Guangzhou, berupa makam dan masjid. Kontak seperti itu
sebenarnya sudah terjadi sebelum era Islam, dan Negeri China dianggap sebagai
negeri maju. Mungkin hal ini yang mendorong adanya ungkapan (bukan hadits Nabi)
yang berbunyi “uthlubul ‘ilma walaw bis Shin”, atau tuntutlah ilmu walau ke
Negeri China.
Khusus dengan Indonesia (atau
Nusantara), hubungan Negeri China dengan Indonesia (sebagai negeri Muslim)
bahkan signifikan. Terdapat teori bahwa Islam masuk ke Nusantara, selain dari
Gujarat/ India dan Jazirah Arabia, juga dari Negeri China. Bahkan, tidak banyak
yang mengetahui, bahwa dari Sembilan Wali yang menyiarkan Islam di Tanah Jawa,
ada yang berdarah Tionghoa (Sunan Ampel). Hubungan itu semakin kuat dengan
kedatangan Laksamana Cheng Ho, Panglima Angkatan Laut Dinasti Ming, yang
beragama Islam dan bergelar haji, ke Nusantara (mendarat antara lain di Sunda
Kelapa, Semarang, dan Gresik).
Menurut cerita, sebelum berlayar
dengan rombongannya Laksamana Cheng Ho berpamitan dulu kepada seorang imam di
sebuah masjid tua (sudah berusia seribu tahun) di Xian, Negeri China. Di kota
Xian, dan banyak kota lain di Negeri China, bahkan Beijing, terdapat banyak
restoran halal yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa Muslim. Selain juga, di
Negeri China ada provinsi berpenduduk mayoritas Muslim (etnik Uighur), dan
Provinsi Otonomi Khusus seperti Ningxia
Alinea di atas hanyalah sketsa
sejarah yang menggambarkan bahwa Islam dan Negeri China sudah dekat sejak
dahulu kala. Dengan latar semacam inilah, kita mudah memahami proses masuk
Islam tokoh keturunan Tionghoa di Indonesia sebagai hal biasa, lumrah, dan
sudah sering terjadi sebelumnya, karena sesungguhnya Islam bukanlah agama asing
bagi orang-orang Tionghoa. Begitu pula kita memahami masuk Islamnya Haji Karim
Oei sebagai kelanjutan dari proses lama dan hubungan dekat Islam dengan
Tionghoa itu sendiri.
Abdul Karim Oei, bernama Tionghoa
Oey Tjeng Him (1005-1988), yang mendapat hidayah masuk Islam tahun 1929 pada
usia 20 tahun, tentu bukan keturunan Tionghoa pertama di Indonesia yang memeluk
Islam. Sudah banyak keturunan Tionghoa sebelumnya yang masuk Islam. Tentu Sunan
Ampel, satu dari Wali Songo, yang berasal dari Negeri China, memiliki pengikut-pengikut
dari keturunan Tionghoa. Begitu pula, pengikut dan pengagum Cheng Ho di
Nusantara dari keturunan Tionghoa banyak yang memeluk Islam.
Namun, keberislaman Haji Karim Oei
mempunyai arti tersendiri. Hal ini disebabkan karena beliau adalah seorang
pengusaha besar, memiliki pengaruh di kalangan warga Tionghoa, dan juga
mempunyai hubungan akrab dengan Presiden Soekarno dan ulama terkemuka Buya
Hamka. Hubungan dengan kedua tokoh tersebut, mungkin karena Haji Karim Oei
pernah menjadi Konsul Muhammadiyah di Bengkulu, sesudah dijabat oleh Ustadz
Hasan Din, mertua Bung Karno di Bengkulu, di mana Soekarno muda pernah juga
menjadi Ketua Bidang Pengajaran Muhammadiyah ketika “diungsikan” di sana.
Begitu pula hubungannya dengan Buya Hamka adalah karena ayahanda Buya Hamka,
Prof. Karim Amrullah, adalah Konsul Muhammadiyah di Sumatera Tengah. Yang
jelas, posisi Haji Karim Oei di organisasi Islam seperti itu menambah derajat
hubungan umat Islam (khususnya warga Muhammadiyah) dengan warga keturunan Tionghoa.
Mereka, warga keturunan Tionghoa itu, dianggap sebagai saudara sesama manusia
dan sebangsa, dan apabila mereka masuk Islam maka dianggap juga sebagai saudara
seiman.
Keberadaan Haji Karim Oei sebagai
Muslim Tionghoa kemudian mendapat dukungan dari para tokoh Islam, seperti
Lukman Harun dari Muhammadiyah, atau Prof. KH. Ali Yafi dari NU, Yunan Helmi Nasition
dari Al-Washliyah, atau H.B. Wiwoho, seorang pengusaha/ aktifis Muslim.
Hubungan antara Muslim Tionghoa dengan ormas- ormas Islam sangat dekat. Hal
inilah yang ikut mendorong lahirnya Yayasan Karim Oei yang bertujuan membina
para warga Tionghoa yang masuk Islam dan mengembangkan dakwah Islam di kalangan
warga Tionghoa. Salah satu karya penting yayasan ini adalah men-dirikan Masjid
“Karim Oei” Lautze di Jalan Lautze, Jakarta Pusat.
Masjid Lautze yang bisa dikatakan
berada di lingkungan “China Town” (walau di Indonesia sebenarnya tidak ada
China Town karena warga Tionghoa tinggal menyebar di kalangan masyarakat non
Tionghoa di hampir semua kota), memang berhasil menarik perhatian warga
keturunan Tionghoa. Suasana demikian telah ikut mendorong cukup banyak tokoh
keturunan Tionghoa memeluk Islam, seperti pengusaha Junus Jahja pada 1979,
Yusuf Hamka pada 1981, atau Max Muljadi Supangkat pada 1982. Kendati saya
dengar bahwa yang masuk Islam di Masjid Lautze terakhir ini sekitar tiga orang
pada setiap Jum’at, namun peran Masjid Lautze sebagai Pusat Islam (Islamic
Center) sangat penting. Peran itu tidak hanya di Ibu Kota tapi sudah merambah
ke kota-kota lain seperti Bandung.
Tentu, harus dikatakan, bahwa dakwah
Islam di kalangan warga keturunan Tionghoa di Indonesia tidak hanya dilakukan
oleh Yayasan Karim Oei, tapi juga oleh organisasi-organisasi lain, terutama
Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI, dan yayasan yang didirikan oleh pengusaha
keturunan Tionghoa Mas Agung yang diberi nama Yayasan Wali Songo.
Yayasan Karim Oei, alhamdulillah,
masih eksis dan berkembang. Kepemimpinan yayasan sekarang sudah diestafetkan kepada
generasi kedua/putra Haji Karim Oei, yakni H. Ali Karim Oei.
Salah satu peran penting dari
Yayasan Karim Oei/Masjid Lauze, PITI, dan Yayasan Wali Songo, adalah mendorong
proses akulturasi etnik Tionghoa dengan etnik-etnik lainnya di Indonesia.
Adalah tokoh Yayasan Karim
Oei/Masjid Lautze Junus Jahja yang ikut memprakarsai gerakan ini. Pembauran
adalah istilah tepat dan penting. Interaksi dua pihak yang dianggap
“berseberangan”, masing-masing mewarisi trauma psikologis dari sejarah panjang bahkan
sejak era penjajahan, dan masing-masing menyandang stereotipe negatif terhadap
lainnya, memang harus mengambil bentuk integrasi, penyatuan, atau pensenyawaan.
Itulah yang dimaksud sebagai pembauran, yakni berbaurnya dua komunitas (lebih
khusus komunitas etnik Tionghoa berbaur atau membaur dengan komunitas
etnik-etnik lainnya) baik lahiriah maupun batiniah.
Sebenarnya proses pembauran itu
sudah pernah dimulai setelah kemerdekaan, seperti yang ditunjukkan secara
simbolis oleh persahabatan akrab Haji Karim Oei dengan Bung Karno dan Buya Hamka,
namun agak sedikit terganggu dengan Peristiwa G 30 S/ PKI. Kala itu banyak
etnik Tionghoa yang menjadi sasaran/korban pemberantasan/pembubaran PKI,
terutama karena dianggap menjadi bagian dari Poros Jakarta-Peking pada masa
Presiden Soekarno.
Pada awal Orde Baru, terutama dengan
adanya kebijakan setiap warga negara Indonesia harus memeluk suatu agama dan
berketuhanan Yang Maha Esa sesuai Pancasila, maka mayoritas etnik Tionghoa
memilih agama-agama non Islam, seperti Katolik, Kristen, atau Buddha/ Tridharma
(mungkin karena menganggap kalangan Islam berperan besar dalam mengganyang
PKI). Hal ini pula yang “membangkitkan” sentimen lama “Chinafobia” di kalangan
umat Islam. Keadaan tentu semakin meningkat apalagi kemudian terjadi
kesenjangan ekonomi di kalangan umat Islam sementara kekuasaan ekonomi berada
di tangan etnik Tionghoa.
Kecenderungan ini memburukkan upaya
pembauran lantaran pola hubungan antara etnik Tionghoa dan etnik-etnik non Tionghoa
yang kebetulan mayoritas beragama Islam mengambil bentuk “superior-inferior”
khususnya dalam bidang ekonomi. Kendati berkembang juga persepsi sebaliknya di
kalangan etnik Tionghoa bahwa mereka merasa tertekan secara politik, terutama
pada Era Orde Baru semua yang berbau Cina dilarang. Namun, kebebasan pada Era
Reformasi dan sejalan dengan dinamika global dan kawasan Asia dengan
kebangkitan China keadaan mulai membalik.
Keturunan Tionghoa di Indonesia,
negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan memiliki keturunan serta
diaspora Tionghoa terbesar di dunia, menikmati kebebasan sosial, ekonomi, bahkan
politik yang terbuka. Hal ini tentu positif bagi kemajuan Indonesia di masa
depan, namun jika tidak dilola dengan tepat maka bisa memunculkan kondisi
negatif, seperti adanya kesan “superior- inferior ekonomi” tadi. Hal ini pada
giliran berikutnya dapat mendorong sentimen suku-agama-ras-antar golongan
(SARA) yang tentu kontra-produktif bagi kerukunan dan kemajuan bangsa dan negara
pada masa depan.
Dalam kaitan itulah, maka ide dan
program pembauran menjadi tetap relevan dan mendesak untuk ditingkatkan. Tentu,
pembauran yang perlu diwujudkan adalah pembauran sejati, bukan pembauran basa-basi
yaitu pembauran semu. Pembauran sejati adalah bangsa yang majemuk bersedia
untuk hidup berdampingan dengan damai dalam semangat saling memahami, saling
menghormati, saling membantu, bahkan saling melindungi. Dalam pembauran sejati
dan kerukunan sejati tidak boleh ada baik diktator mayoritas maupun tirani
minoritas. Untuk itulah, perlu lahir dan hadir Haji Karim Oei-Haji Karim Oei
baru, dan lembaga seperti Masjid Lautze perlu diperbanyak untuk menjadi rumah
bagi Muslim Tionghoa dan jembatan bagi etnik Tionghoa untuk bersilaturahim
dengan saudara- saudara sebangsa dan setanah air lainnya.
(Pengantar buku: Yayasan
H.Karim Oei & Masjid Lautze : RUMAH BAGI MUSLIM, INDONESIA & KETURUNAN
TIONGHOA, penerbit Teplok Prees, telp 081382896969. Yayasan Karim Oei :
0216257413 dan 085717649127)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda