Senin, 07 Mei 2018

Peristiwa Lapangan Banteng dan Peranan Intelijen


·       

Kamis 18 Maret 1982, Jakarta kembali diguncang kerusuhan yang mengakibatkan 318 orang ditangkap aparat keamanan, sebagian besar adalah pelajar yang kemudian dilepaskan karena dianggap hanya ikut-ikutan. Kerusuhan itu meledak tatkala sedang berlangsung kampanye Golkar menjelang Pemilu 1982 di Lapangan Banteng,  dengan juru kampanye nasional Ali Moertopo.

Sejak awal Kepala Bakin Yoga Sugomo tidak setuju dengan penyelenggaraan kampanye di Lapangan Banteng yang sempit, yang dikelilingi oleh gedung-gedung penting, yang tidak memiliki ruang gerak yang cukup baik bagi operasi pengamanan dan ketertiban jika terjadi kerusuhan massa. Namun demikian kampanye tetap dilaksanakan karena baik penyelenggara maupun aparat penanggungjawab keamanan menjamin tidak akan terjadi hal-hal buruk yang dikuatirkan Yoga.

Ternyata perkiraan keadaan Yoga benar. Bentrokan antara massa rombongan truk kampanye Golkar dengan massa yang tidak ikut kampanye terjadi di Jalan Kramat Raya, dan terus merembet ke arena kampanye yang dipadati masa yang sedang menyaksikan hiburan artis-artis ibukota. Kerusuhan juga merembet ke sekitarnya, merusak mobil-mobil, menjarah toko-toko serta melempari beberapa gedung.

Pukul 18.30 aparat berhasil menguasai keadaan. Namun bagi Yoga peristiwa ini harus menjadi pelajaran berharga , terutama bagi setiap insan intelijen dan aparat keamanan agar mampu menyerap informasi dengan cepat, tepat dan benar, kemudian mengolah serta membuat berbagai kemungkinan yang akan terjadi berikut antisipasinya. Demikian pula pihak pengguna analisis intelijen, seyogyanya mau mendengar dan menggunakan analisis intelijen yang sudah disiapkan. Siapa yang dirugikan oleh kerusuhan ini? Ikuti Bab 13 buku “Jenderal YOGA, Loyalis di Balik Layar.” Foto : Ali Moertopo.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda