Jumat, 28 Januari 2022

IKTIBAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO (2): SEJARAH YANG BERULANG-ULANG.

 

IKTIBAR DARI KEPEMIMPINAN SOEHARTO (2): SEJARAH YANG BERULANG-ULANG.

panjimasyarakat.com

Tahun 1964 – 1965, jagad politik Indonesia terbelah secara ideologis dengan teror-teror politik membahana, antara Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lantang mengaku Pancasilais sejati dan kelompok revolusioner, sedangkan yang lain dianggap tidak Pancasilais dan kontra revolusioner.  Sementara itu kehidupan masyarakat sehari-hari sangat berat karena kelangkaan berbagai bahan pokok di tengah laju inflasi yang menggila.                                                                                

 

     Roda kehidupan menggelinding, bumi berputar. Tiada hal yang langgeng di dunia ini, juga tiada pesta yang tak berakhir. Ada siang ada malam. Peristiwa G30S yang terjadi pada 30 September 1965, membawa perubahan besar dengan korban jiwa dan dendam sejarah tak terperikan. PKI ditumpas dan Bung Karno jatuh. Kolaborasi Tim Nasution dan Tim Soeharto tampil mengambil alih keadaan. Namun tak berlangsung lama. Tim Nasution tersisih dan Tim Soeharto memegang penuh kendali kekuasaan. Buntutnya, hanya dalam tempo pendek  sejarah berulang, Soeharto mengikuti jejak Bung Karno; dengan berbagai dalih, kembali memusatkan kekuasaan negara pada tangannya. Presiden selaku mandataris MPR menentukan siapa-siapa yang harus menjadi anggota MPR yang akan memilihnya sebagai mandataris, dan berulang sampai 7 kali untuk kemudian mundur pada 21 Mei 1998, karena demonstrasi mahasiswa dan berbagai tekanan.

     Meskipun demikian bagi Nasution, tahun 1967 tetaplah dikenang sebagai  tahun bersuasana Orde Baru, walaupun dalam tahun itu berangsur- angsur semakin terasa timbulnya perbedaan-perbedaan-pendapat  di antara para pejuangnya, yang di kemudian hari disimpulkan sebagi mulai bersimpang jalan.

     Beberapa perbedaan pendapat yang membuat hubungan antara Nasution dan Pejabat Presiden Soeharto memburuk, muncul ketika dimulai gerakan untuk menjalankan GBHN dengan pembangunan lima tahun (Pelita) berikut berbagai persyaratan yang diperlukan, serta rancangan konstitusi tentang penegasan pembatasan masa jabatan presiden, menjelang Sidang Istimewa MPRS tahun 1968. Masalah masa jabatan presiden ini mengacu pada pasal 7 UUD 1945, yang perlu diberi penegasan agar tidak multi tafsir. Seorang presiden pada hemat Nasution, hanya dua kali diperkenankan berturut-turut menjabat atau maksimal 2 kali menjabat berturut-turut. Dan yang lebih memprihatinkan mulai timbul bibit-bibit pembelahan bangsa, terutama antara Islam dan non Islam (buku 1 Bagian I - TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 3 – 72).

     Bahaya pembelahan tersebut terus dipantau oleh aparat-aparat intelijen yang dipimpin Jenderal Yoga Sugomo, yang dalam banyak kesempatan senantiasa mengingatkan ancaman terbesar atas bangsa dan negara dari negeri 17.500 pulau dengan lebih 300 suku bangsa ini, yakni kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang berkelindan dengan masalah-masalah lain, yang bisa meledak ke permukaan dalam berbagai bentuk, varian dan manifestasinya khususnya Suku – Agama – Ras – Antar Golongan (buku 2 trilogi TONGGAK TONGGAK ORDE BARU: 121 – 126).

     Pada dasa warsa pertama kepemimpinannya, Pak Harto didampingi orang- orang muda yang bagaikan burung-burung rajawalinya Aristoteles yang tangguh, yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi dengan baik. Pada dasa warsa II, tim rajawali itu makin berpengalaman serta masih memiliki stamina yang memadai.

     Fakta menunjukkan Pak Harto orang yang hebat dan kuat sehingga mampu  menguasai kursi kepresidenan selama 32 tahun. Tapi sehebat dan sekuat-kuat orang, suatu saat akan lemah juga, stamina pasti akan  turun dan kejenuhan menghampiri. Sekuat-kuat penguasa, pasti memiliki kelemahan. Sepandai- pandai tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Hal yang sangat sederhana ini dalam kenyataannya sering dilupakan para penguasa dunia, termasuk Pak Harto.

     Kelemahan lain yang kemudian muncul ialah, ia mulai kehilangan banyak sahabat, teman suka dan duka, teman seperjuangan yang kritis yang sudah teruji kesetiakawanannya, serta berani mengingatkan jika salah.

 

                            Pak Harto dan B.J.Habibie

     Berikutnya, sumber dan  jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Akibat kedua hal itu, sistem rekrutmennya merosot.

    Perihal rajawali-rajawali pembantu Pak Harto dalam dasawarsa ketiga kepresidenannya, apa yang dikuatirkan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara  Yoga Sugomo Mei 1985 tentang pola dan sumber rekrutmen Pak Harto yang melemah serta mengecil terbukti (buku 2 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 6 – 12).

     Jika semula selain mampu sendiri menggalang jaringan, mengenal langsung anggota jaringan dan memperoleh suplai sumber rekrutmen beserta informasinya dari sahabat dekat sekaligus orang kepercayaan generasi pertama, dalam dasawarsa ketiga banyak sahabat dan generasi pertama, yang sudah mendahului wafat, sakit, menua ataupun terpaksa berjarak. Mereka digantikan oleh para kroni - keluarga dan sahabat keluarga,yang bersamaan dengan itu membangun kerajaan-kerajaan bisnis yang menimbulkan kecemburuan.

     Akan hal itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978 – 1983) Daoed Joesoef menyatakan, anak-anak Pak Harto yang sementara itu sudah beranjak dewasa dan berumahtangga, serta anggota keluarganya, mulai terang- terangan ikut mengatur negara dan semakin aktif berbisnis dengan menggunakan fasilitas pemerintahan, men-transform kepentingan umum menjadi kepentingan pribadi dengan dalih bahwa dengan begitu kepentingan umum dapat dilindungi dan diamankan secara lebih efektif (buku 2 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 20).

 


     Akibatnya ketidakpuasan terus merebak. Bahkan orang-orang kepercayaan Pak Harto generasi kedua pun mulai kecewa. Di pertengahan 1990-an, banyak di antara mereka yang meski tetap menaruh hormat dan sayang terhadap pak Harto, namun tidak kepada para kroninya. Dari antara mereka pulalah, yang sesungguhnya ikut bermain di balik layar, dalam gerakan-gerakan masa sekitar 1997 – 1998.

      Sementara itu mekanisme manajemen yang dikenal sebagai KISS (Koordinasi Integrasi Sinkronisasi dan Simplifikasi), yang pada  dasawarsa pertama dan kedua berjalan baik di bawah kendali para Menteri Koordinator, dalam dasawarsa ketiga diplesetkan menjadi Ke Istana Sendiri Sendiri. Di satu pihak menunjukkan lemahnya koordinasi, di lain pihak menunjukkan banyak yang merasa paling dekat dengan Presiden. (Bersambung : WASPADAI USAHA MEMPERPANAJANG MASA KEKUASAAN).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda