Selasa, 01 Februari 2022

Iktibar Dari Kepemimpinan Soeharto (3) : WASPADAI USAHA MEMPERPANJANG KEKUASAAN.

 

Iktibar Dari Kepemimpinan Soeharto (3) : WASPADAI USAHA MEMPERPANJANG KEKUASAAN.

 panjimasyarakat.com

 

 

Makam mantan Presiden Soeharto dan nyonya, Ibu Tien Soeharto di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah.

 Di banyak negara, perpanjangan masa berkuasa menjadi akar dan landasan pembangunan dinasti. Pelajaran sekaligus peringatan ini berlaku sepanjang masa, dan bagi siapa saja termasuk Indonesia di Era Reformasi (Prof.Dr.Salim Haji Said).

 

     Sejak 1988 sampai dengan 1996, Indonesia sesungguhnya sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dengan rata-rata 7,27 persen per tahun. Kita tumbuh menjadi salah satu “macan Asia” yang disegani, sekaligus dikuatirkan negara-negara lain.                                                                                 

     Namun perekonomian nasional yang tumbuh bagus itu justru memacu munculnya berbagai gangguan yang membuat  situasi di bawah permukaan menjadi pabaliut. Keluar sejumlah Keputusan Presiden (Keppres) yang memberikan keistimewaan luar biasa kepada kroni-kroni penguasa. Ekspektasi dan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah mulai goyah akibat berbagai praktek monopoli-oligopoli serta berbagai proyek mercusuar dan kebijakan-kebijakan yang mendistorsi pasar.

     Sementara itu perusahaan-perusahaan swasta berhutang ke luar negeri, tanpa diketahui secara pasti jumlahnya oleh otoritas moneter. Karena tidak memiliki data yang akurat mengenai utang swasta, akibatnya otoritas moneter menjadi  serba gamang dalam mengatur rambu-rambu bahaya. Itu terbukti tatkala krisis moneter melanda Asia Tenggara, yang dimulai di Thailand 14 – 15 Mei 1997 dan  berkembang menjadi pukulan telak yang berimbas ke negara-negara tetangganya pada 2 Juli 1997.

     Indonesia yang tengah membenahi sejumlah skandal perbankan yang mulai terkuak pada 1994, tak tahan menghadapi badai krisis moneter tersebut, yang berujung harus menyerah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), yang ditandatangani pada 15 Januari 1998 oleh Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus. 

     Belakangan setelah berhenti sebagai Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus mengakui skenario IMF yang dijalankannya untuk menjatuhkan Soeharto. (buku 3 TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU : 67 – 71).

     Tatkala desakan-desakan rasa tidak puas terus menggumpal, para elit politik, baik dari partai politik maupun Golkar, justru sibuk mencari muka dengan menyanjung dan meminta pak Harto agar bersedia kembali dipilih untuk ketujuh kalinya, sebagai Presiden periode 1998 – 2003. Tetapi para cendekiawan dan tokoh aktivis tidak demikian halnya. Mereka enggan menjilat pak Harto sebagaimana lazimnya para abdi dalem kepada Sang Raja,  sebaliknya aktif berdiskusi mengajukan kriteria-kriteria kepemimpinan yang berbeda dengan ciri-ciri kepemimpinan Pak Harto, dan sudah berani secara terbuka  mengungkapkan hasil diskusinya.

      Semenjak itu sampai dengan pernyataan berhenti Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998,  meski secara rentang waktu berlangsung pendek, terjadi banyak peristiwa penting, pergolakan-pergolakan di bawah permukaan maupun yang meledak terbuka yang dikenal sebagai Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998, nyaris berkembang menjadi kerusuhan SARA yang dahsyat, yang bisa membelah bangsa berkeping-keping. Dari pernyataan mantan Direktur Camdessus yang mengaku menjatuhkan Soeharto serta dari rentetan berbagai pengembangan peristiwa di luar negeri yang nampak terskenario rapi, terasa kaitannya, paling tidak saling memanfaatkan.

 

Presiden Soeharto memberikan keterangan pers, seusai berdialog dengan 9 ulama di Istana Merdeka, 19 Mei 1998.

     Pergolakan di bawah permukaan, terutama yang terkait dengan kaderisasi kepemimpinan dan suksesi,  mengingatkan kita pada pergolakan di kerajaan Mataram, khususnya periode Amangkurat I yang juga  bertahta selama 32 tahun, sama dengan Pak Harto, serta sama-sama pula tidak mempersiapkan kaderisasi yang baik, sehingga menyebabkan pergolakam di bawah permukaan.  Kedua tokoh ini pun jatuh secara tragis. Amangkurat I dijatuhkan oleh pemberontakan yang diprakarsai oleh puteranya sendiri, sementara Pak Harto oleh desakan massa sekaligus ditinggalkan secara mendadak oleh oleh orang-orang dekatnya yang bisa diibaratkan, kemarin masih memuja dan mendukungnya. Tanpa ada bela rasa sama sekali. Apalagi bela pati. Bak peribahasa ada gula ada semut. Nah tatkala gulanya terbakar membara, semut-semut pada lari menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

     Rabu malam 20 Mei 1998, Soeharto menyadari posisinya di tubir jurang, dan sudah menyampaikan kepada Habibie rencananya berhenti pada 23 Mei 1998. Namun, sesudah Habibie pulang, Soeharto harus menemui fakta banyak tokoh menolak bergabung dalam komite reformasi yang ditawarkannya, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden lebih cepat, pada keesokan hari Kamis 21 Mei 1998.

     Pak Harto telah mendahului kita menghadap Sang Khalik. Semoga beliau diampuni segala dosa dan kesalahannya serta mendapat tempat yang mulia di sisiNya, sedangkan kita bangsa Indonesia dikarunia kemampuan untuk mengambil iktibar, pelajaran dari perjalanan kepemimpinannya, yang baik maupun yang buruk.

     Selalu banyak hikmah dan iktibar yang bisa diambil dari kehidupan seorang tokoh. Ijinkanlah penulis menggarisbawahi dua hal saja. Pertama, merajalelanya skandal korupsi para elit, sebagaimana keprihatinan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, yang menyatakan korupsi saat ini jauh lebih gila dibandingkan era Orde Baru. Hal itu dikatakan Mahfud dalam dialog dengan Rektor Universitas Gajah Mada dan pimpinan Perguruan Tinggi Negeri/Perguruan Tinggi Swasta seluruh Yogyakarta Sabtu (5/6/2021). "Korupsi sekarang semakin meluas. Lebih meluas dari zaman Orde Baru. Saya katakan, saya tidak akan meralat pernyataan itu. Kenyatannya saja, sekarang, hari ini korupsi itu jauh lebih gila dari zaman Orde Baru,” katanya (buku 3 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : 259).

     Kedua, sambutan Prof.Dr.Salim Haji Said yang mengingatkan adanya benang merah yang kuranglebih sama  tentang kekuasaan di pusat pemerintahan negara, dengan sejarahnya yang cepat berulang termasuk pembajakan atas demokrasi. Pada awal Orde Baru para aktivis mahasiswa berulang-ulang mengingatkan penguasa agar Orde Baru jangan sampai hanya menjadi Orde Lama minus PKI.

     Salim Said menggarisbawahi pelajaran penting yang bisa kita petik dari pengalaman di bawah pemerintahan otoriter Indonesia selama hampir 40 tahun (Orde Lama dan Orde Baru), yaitu menyangkut soal konstitusi, peranan politik tentara dan pemerintahan otoriter yang selalu berkecenderungan memperpanjang masa berkuasanya dengan seribu satu alasan. Di banyak negara, perpanjangan masa berkuasa menjadi akar dan landasan pembangunan dinasti. Pelajaran sekaligus peringatan ini berlaku sepanjang masa, dan bagi siapa saja termasuk Indonesia di Era Reformasi (buku 3 TONGGAK TONGGAK ORDE BARU : vii – xi). 

    Kedua hal tadi yakni KKN dan haus kekuasaan,  sering berkelindan satu sama lain dan perlu kita jadikan iktibar untuk diambil hikmahnya. Terkait itu marilah kita cerna sebuah nasihat dalam mitologi Yunani, yang diungkapkan  Antigone puteri Oedipus kepada Kreon, sang penguasa Tebes. Si jelita ini dengan berani mengingatkan, “Kelemahan seorang tiran, melakukan apa saja yang dipikirnya cocok tanpa banyak mendengar pikiran rakyatnya.”

     Sejalan dengan Antigone, filsuf Islam tersohor Al Ghazali (1058 – 1111) juga mengajarkan kepada para pemimpin untuk menghindari 3 hal yang sangat berbahaya karena mudah menipunya, yakni kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuannya sendiri.

     Di jagat politik kekuasaan dewasa ini, kita juga mengenal hubungan erat antara kekuasaan dan korupsi yang dikenal sebagai dalil Lord Acton (1834 – 1902), “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen); dan ada satu anak kalimat tambahannya yang sering dilupakan, “ a great men are almost bad man.” Maknanya sangat luas, dalam dan penuh hikmah.

    Sebagai penutup, berikut penulis ungkapkan sepenggal dialog yang amat menggetarkan perasaan, sebagaimana diceritakan Ustadz dan juga mursyid, Buya Kyai Haji Endang Bukhari Ukasyah dari Sumedang kepada penulis. Tatkala Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, beliau pernah mengirim utusan menemui Buya di pesantren, memohon Buya untuk berkenan silaturahim ke Cendana. Karena memegang kaidah keulamaan, Buya menolak undangan tersebut.                        

     Undangan kedua diterima dan dipenuhi dengan datang ke kediaman Jalan Cendana, Jakarta, sesudah Pak Harto lengser. Dalam kesempatan itu Pak Harto menyatakan, “Pak Kyai, saya tidak minta  macam-macam. Saya sudah ikhlas menerima keadaan, menerima ini semua. Saya hanya minta, tolong bantu doakan saya agar saya tabah dan kuat memikul ini semua”. Masya Allah laa quwwata illa billah. (Info dan nara hubung buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU ke WA 08174892033) *****

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda