Senin, 30 Desember 2024

NAPAK TILAS REVOLUSI PERPAJAKAN INDONESIA (1): Membangun Monas Yang Bisa Menjadi Mesin Uang

 


 
Buku 1 dari trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, The Untold Stroy.
 

Pengantar:

Sebulan terakhir ini, jagad politik dan media sosial Indonesia diramaikan dengan isyu pro kontra tentang rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mulai 1 Januari 2025, dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini mengikuti Undang-Undang No:7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2021. Dalam sejarah dunia, masalah perpajakan merupakan hal sangat penting, tetapi juga sekaligus sangat peka. Guna mengetahui dan memahami sejarah perpajakan di tanah air, berikut kami turunkan  tulisan seri dari Pemimpin Umum Panji Masyarakat B.Wiwoho yang telah dibukukan dalam buku 1 trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, melengkapi tulisan-tulisan lepasnya beberapa waktu terakhir. Selamat mengikuti.

Pernahkah anda mengetahui ada Monumen Nasional selain Tugu Monas yang selama ini kita kenal? Tak banyak yang tahu, karena memang belum banyak dipublikasikan. Adapun yang dimaksud dengan Monumen Nasional tersebut adalah Reformasi Pajak tahun 1983 atau disebut juga sebagai Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Hal itu dikemukakan oleh Presiden Soeharto untuk membangun tekad dan semangat tatkala melakukan PSPN, yang kemudian ditimpali oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, “yang bisa menjadi mesin uang” (Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan  penulis dengan Radius Prawiro dan Salamun AT. Hal yang sama juga disinggung dalam buku Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi, PT, Elex Media Komputindo, 1998: 326 dan Radius Prawiro, Kiprah, Peran, dan Pemikiran, Pustaka Utama Grafiti, 1998 : 245 serta Anne Booth, Ledakan Harga Minyak dan Dampaknya, UI-Press 1994 : 52).

Tentu tidak semudah itu membuat monumen nasional yang bisa menjadi mesin uang. Bahkan sebelum benar-benar terwujud menjadi mesin uang, Presiden Soeharto mengancam Direktur Jenderak Pajak Salamun AT, setelah Dirjen Pajak tersebut memberikan penyuluhan kepada seluruh pimpinan pemerintahan di Istana Negara, Sabtu 16 Pebruari 1985, dengan mengatakan jika pak Salamun tidak mampu menertibkan dan memimpin aparat pajak untuk mewujudkannya, maka Presiden terpaksa akan merumahkan aparat-aparat pajak serta menyewa tenaga-tenaga asing buat menggantikannya. Pak Salamun mengungkapkan  kegalauannya memperoleh ultimatum Pak Harto tersebut kepada kami, pengurus Yayasan Bina Pembangunan.

        Ancaman Pak Harto itu cukup beralasan karena disamping citra buruk aparat pajak, Indonesia juga sudah mulai menghadapi bayang-bayang anjlognya harga minyak dan gas bumi, yang bisa mengakibatkan merosotnya penerimaan negara, sehingga pada gilirannya bisa menyebabkan runtuhnya Pemerintahan bahkan negara. Ancaman yang sama juga terbukti dilakukan Pak Harto dua bulan kemudian, tatkala mereformasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan menyewa jasa lembaga surveyor Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). SGS mulai mengambilalih serta melaksanakan tugas Ditjen Bea dan Cukai berdasarkan Instruksi Presiden no 4 tanggal 11 April 1985, dan berlangsung selama 12 tahun. (B.Wiwoho, buku -1  trilogi The Untold Story, Tonggak-Tonggak Orde Baru,  bagian IV, Penerbit Buku Kompas 2024. Bersambung:  Trauma Pajak Dengan Lebih 100 kali Pemberontakan).

#Tonggak-Tonggak Orde Baru   #Orde Baru #Soeharto  # Radius Prawiro #Salamun AT #Monas.


 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda