NAPAK TILAS REVOLUSI PERPAJAKAN INDONESIA (1): Membangun Monas Yang Bisa Menjadi Mesin Uang
Buku 1 dari trilogi Tonggak-Tonggak Orde Baru, The Untold Stroy.
Pengantar:
Sebulan terakhir ini,
jagad politik dan media sosial Indonesia diramaikan dengan isyu pro kontra
tentang rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) mulai 1 Januari 2025,
dari 11% menjadi 12%. Kenaikan ini mengikuti Undang-Undang No:7 Tahun 2021
tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang ditetapkan pada 19 Oktober 2021.
Dalam sejarah dunia, masalah perpajakan merupakan hal sangat penting, tetapi juga
sekaligus sangat peka. Guna mengetahui dan
memahami sejarah perpajakan di tanah air, berikut kami turunkan tulisan seri dari Pemimpin Umum Panji
Masyarakat B.Wiwoho yang telah dibukukan dalam buku 1 trilogi Tonggak-Tonggak
Orde Baru, melengkapi tulisan-tulisan lepasnya beberapa waktu terakhir. Selamat
mengikuti.
Pernahkah anda mengetahui ada Monumen Nasional selain Tugu Monas yang selama ini kita kenal? Tak banyak yang tahu, karena memang belum banyak dipublikasikan. Adapun yang dimaksud dengan Monumen Nasional tersebut adalah Reformasi Pajak tahun 1983 atau disebut juga sebagai Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN). Hal itu dikemukakan oleh Presiden Soeharto untuk membangun tekad dan semangat tatkala melakukan PSPN, yang kemudian ditimpali oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro, “yang bisa menjadi mesin uang” (Berdasarkan pembicaraan-pembicaraan penulis dengan Radius Prawiro dan Salamun AT. Hal yang sama juga disinggung dalam buku Radius Prawiro, Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi, PT, Elex Media Komputindo, 1998: 326 dan Radius Prawiro, Kiprah, Peran, dan Pemikiran, Pustaka Utama Grafiti, 1998 : 245 serta Anne Booth, Ledakan Harga Minyak dan Dampaknya, UI-Press 1994 : 52).
Tentu tidak semudah itu membuat monumen nasional yang bisa menjadi mesin uang. Bahkan sebelum
benar-benar terwujud menjadi mesin uang, Presiden Soeharto mengancam Direktur Jenderak Pajak
Salamun AT, setelah Dirjen Pajak tersebut memberikan penyuluhan kepada seluruh pimpinan pemerintahan di
Istana Negara, Sabtu 16 Pebruari
1985, dengan mengatakan jika pak Salamun tidak mampu menertibkan dan memimpin aparat pajak untuk mewujudkannya, maka
Presiden terpaksa akan merumahkan aparat-aparat pajak serta menyewa tenaga-tenaga asing buat menggantikannya. Pak Salamun mengungkapkan kegalauannya memperoleh ultimatum Pak Harto tersebut kepada
kami, pengurus Yayasan
Bina Pembangunan.
Ancaman Pak Harto itu cukup beralasan karena disamping citra buruk aparat pajak, Indonesia juga sudah mulai menghadapi bayang-bayang anjlognya harga minyak
dan gas bumi,
yang bisa mengakibatkan merosotnya penerimaan negara,
sehingga pada gilirannya bisa menyebabkan runtuhnya Pemerintahan bahkan negara.
Ancaman yang sama juga terbukti
dilakukan Pak Harto dua bulan kemudian, tatkala mereformasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dengan
menyewa jasa lembaga surveyor Swiss, Societe Generale de Surveillance (SGS). SGS mulai mengambilalih serta
melaksanakan tugas Ditjen Bea dan Cukai berdasarkan Instruksi Presiden no 4 tanggal 11
April 1985, dan berlangsung selama
12 tahun. (B.Wiwoho, buku
-1 trilogi The Untold Story, Tonggak-Tonggak
Orde Baru, bagian IV, Penerbit Buku
Kompas 2024. Bersambung: Trauma Pajak
Dengan Lebih 100 kali Pemberontakan).
#Tonggak-Tonggak
Orde Baru #Orde Baru #Soeharto # Radius Prawiro #Salamun AT #Monas.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda