Jumat, 25 Februari 2022

Kyai Jawa Berdakwah (3): MEMAHAMI PENYEBARAN ISLAM DI KALANGAN PRIYAYI JAWA.

 

Kyai Jawa Berdakwah (3):

MEMAHAMI PENYEBARAN ISLAM DI KALANGAN PRIYAYI JAWA.

panjimasyarakat.com

 

 

                                    KGPAA Mangkunegoro IV

Priyayi Jawa ingin jadi orang Islam dan bukan orang Arab. Gambaran itu tersirat secara tegas dalam Serat Wedhatama, karya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara IV (3 Maret 1811 – 8 September 1881).

Dalam jagat  komunikasi dalam arti luas termasuk social-marketing serta penggalangan pola pikir, sikap hidup dan perilaku masyarakat, latar belakang sejarah, sosial dan budaya, perlu dipelajari dan dipahami. Demikian pula dalam berdakwah. Kita boleh suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, tapi gambaran dari Serat Wedhatama itu pernah ada dan masih ada sampai sekarang.

 

Demikianlah, para santri yang sering berbusana dengan jubah ala orang Arab, para kyai yang jika khotbah Jum’at dan berdoa sepenuhnya dalam bahasa Arab yang tidak dimengerti oleh khalayak umum, pada abad 18 – 19  oleh para masyarakat Jawa, dicemooh sebagai orang Jawa yang tidak memiliki jatidirinya sebagai orang Jawa. Bahkan dianggap sok memonopoli tiket surga. Disindir, jika sudah mengenakan surban dan jubah atau gamis Arab, apakah merupakan jaminan masuk surga? Bukankah musuh Kanjeng Nabi Muhammad, yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab juga berbahasa Arab serta memakai jubah Arab?

Demikian pula apakah Gusti Allah hanya bisa berbicara bahasa Arab? Tidak paham bahasa Jawa? Kalau demikian halnya, maka itu hanya Tuhannya orang Arab, bukan Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu. Gusti Allah sesembahan kita haruslah Tuhan seluruh umat manusia, baik Belanda, Arab, India, Jepang, Cina, Indonesia maupun Jawa. Priyayi-priyayi Jawa, yang pada umumnya menjadi panutan masyarakat itu ingin tetap menjadi orang Jawa tapi yang beragama Islam, bukan berubah menjadi orang Arab ataupun bangsa lain.

Apakah mereka membenci semua yang berbau Arab? Tidak juga. Jiwa tasawuf yang diajarkan para Wali Songo  telah banyak meresap dalam kehidupan mereka, termasuk rasa kagum dan sangat hormat kepada Rasulullah Saw, sehingga mereka merasa tidak sopan kalau hanya menyebut Muhammad Saw begitu saja, dan harus menambahkan sebutan kehormatan Kanjeng di depan namanya. Kanjeng berasal dari dua kata kang-ajeng, yang berarti yang di depan/dihormati/pemimpin sekaligus penguasa.

Rasa kagum dan hormat itu diwujudkan antara lain dengan mengubah nama-nama bulan dalam kalender Jawa menyesuaikan dengan kalender Hijriah. Misalkan bulan kelahiran atau maulid, milad, maulud Kanjeng Nabi yaitu Rabiulawal, dinamakan bulan Maulud. Bulan ini dirayakan secara meriah dan dijadikan sebagai bulan dakwah melalui pekan Sekaten, dari kata syahadaten atau dua kalimat syahadat. Semua itu membuat mereka kokoh memeluk Islam, meski jujur harus diakui banyak pula yang kemudian masih dikenal sebagai Islam – KTP.

                                    Buku ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH.

Perihal pertemuan nilai-nilai Jawa dengan nilai-nilai dari luar, digambarkan oleh Sultan Hamengkubuwono IX dalam pidato penobatannya tahun 1940. Walau beliau sejak taman kanak-kanak hidup dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga Belanda, bahkan langsung di negeri Belanda, ia menyatakan bahwa jalan pikiran Barat harus dipadukan dengan jalan pikiran Timur, sambil harus dijaga agar jiwa Timur tidak kehilangan ketimurannya. “Saya ini Jawa, dan bagaimana pun saya tetap Jawa”, katanya (Politik Islam Hindia Belanda, H.Aqib Suminto, Penerbit LP3ES 1996: 18).

Priyayi Jawa pada umumnya, bahkan sebagian masyarakat Jawa sampai sekarang, juga masih menyenangi berbagai adat-istiadat dan ajaran-ajaran tasawuf dari beberapa kitab tentang ajaran Islam yang dianggap sesuai dengan adat budaya Jawa seperti Centini, Wulangreh dan Wedhatama. Dalam kitab Wedhatama yang dianggap sarat dengan ajaran tasawuf misalkan, sang penulis yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara IV (3 Maret 1811 – 8 September 1881) menyindir hal-hal yang berbau Arab sebagai berikut:

 

Nanging enak ngupa boga

rehne ta tinitah langit

apa ta suwiteng nata

tani tanapi agrami

mangkono mungguh mami

padune wong dahat cubluk

durung wruh cara Arab

Jawaku bae tan ngenting

parandene paripeksa mulang putra.

(bait 25).

 

Yeku patut

tinulad-tulad tinurut

sapituduhira

aja kaya jaman mangkin

keh pra mudha mundhi dhiri rapal makna.

 

Durung pecus

kesusu kaselak besus

amaknani rapal

kaya sayid weton Mesir

pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.

 

Kang kadyeku

kalebu wong ngaku-aku

akale alangka

elok Jawane den mohi

paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah.

(bait 37 – 39).

 

          Terjemahan bebas kurang lebih :

 

Tapi enak mencari nafkah

karena ditakdirkan sebagai makhluk yang diperintah langit (makhluk yang lemah)

apakah mengabdi raja

bertani dan berdagang

begitulah menurut hematku

karena aku orang bodoh

belum paham bahasa Arab

bahasa Jawaku saja belum memadai

tetapi memaksa diri mengajari anak.

          (bait 25).

 

Yaitu patut dicontoh diturut

semua petunjuknya

Jangan seperti zaman kini

banyak muda-mudi menyombongkan rapal dan makna

 

 

Belum mampu

terburu ingin lekas pandai

mengartikan rapal

bagai sayid dari Mesir

sering meremehkan (menyalahkan) kemampuan orang lain

 

Yang seperti itu

termasuk orang yang mengaku-aku

pikirannya tidak masuk akal

aneh tak mengakui ke Jawaannya

memaksa ingin mencari ilmu ke Mekah”

          (bait 37-39).

 

Gambaran yang seperti itu, jujur saja sampai sekarang belum hilang sepenuhnya. Bahkan di sebagian masyarakat  semakin kuat, sejalan dengan pemahamannya yang meningkat tentang ayat 13 Surat  Al Hujuraat yaitu: ”Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kami di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”  

Ayat itu diyakini sebagai peneguhan atas eksistensi semua suku dan bangsa yang ada di dunia, yang masing-masing dibedakan antara lain dengan bahasa dan budaya masing-masing. Sekaligus menggambarkan pula keagungan serta kemuliaan ajaran Islam.

Oleh sebab itu dalam hidup bermasyarakat termasuk dalam berdakwah, disamping perlu memahami latar belakang sosial budaya dan psikologi masyarakat,  hendaknya kita bisa saling menghargai perbedaan budaya masing-masing termasuk dalam berpakaian dan berkomunikasi. Semoga dengan pemahaman ini kita bisa saling menjaga perasaan serta menghargai perbedaan demi membangun keharmonisan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Amin. ( Diangkat dari buku B.Wiwoho, ORANG JAWA MENCARI GUSTI ALLAH, Penerbit  IIMaN : 61- 65)

 

 

 

 

 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda