Selasa, 24 April 2012

BAILOUT 1997 & 2008: BUKAN KELEDAI TAPI 2X TERPEROSOK LOBANG YANG SAMA


Pansus Hak Angket Skandal Bank Century (BC) telah berakhir ,dengan kontroversi yang bisa menjadi babak baru dalam sengketa ketatanegaraan, karena di satu pihak lembaga legislatif:DPR + auditor negara tertinggi:BPK (keduanya lembaga tinggi yang dijamin hak + kewenangannya secara konstitusional) menyatakaan ada masalah dalam bailout BC, sementara Presiden menyatakan tidak.

Terlepas dari masalah politik yang bukan tidak mungkin bakal menyulut api peperangan baru, ada satu hal yang justru sangat penting namun kurang memperoleh kajian, yaitu akar permasalahan. Sebagai orang yang pada saat terjadinya krisis ekonomi dan moneter tahun 1997 berada sangat dekat dengan api kekuasaan, penulis haqul yakin bahwa akar permasalahan bailout perbankan yang gila-gilaan tahun 1997 dan bailout BC tahun 2008, tetaplah sama, yaitu kelemahan serta tetap tidak transparan dan akuntabelnya BI, bahkan meminjam istilah mantan Deputy Senior Bank Indonesia (BI) Prof.Dr.Anwar Nasution: “BI masih sebagai sarang penyamun”.

Oleh karena itu penulis tak hendak terjebak dalam argumentasi data-data ekonomi makro yang debatebel, apalagi kesaksian para pelaku pasar yang besar kemungkinan tidak akan netral karena bayang-bayang para tokoh yang dipermasalahkan, tetap menjabat sebagai “penguasa” dan tidak non aktif lebih dulu sampai permasalahannya selesai.

Badai krisis menerjang di hari Jumat siang 11 Juli 1997, tatkala dealing room perbankan Indonesia sedang istirahat sholat Jumat dan makan siang. Badai tersebut tentu saja memporakporandakan Indonesia, karena fundamental ekonomi kita rapuh di dalam, sekaligus mengandung unsur-unsur ekonomi gelembung sabun.

Di tengah suasana yang pada saat itu sangat tidak transparan, ditambah adanya campur tangan super penguasa terhadap Dewan Moneter dan BI, penulis mencatat paling sedikit ada 3 kesalahan mendasar BI.

Pertama, BI tidak mampu mendeteksi hutang swasta jangka pendek, yang menurut catatan resmi hanya sekitar US.$.10 milyar, padahal ternyata sekitar US.$.23 milyar. Jadi 2 kali lipat. Sementara itu jumlah seluruh utang LN versi resmi adalah US.$.117 milyar, sedangkan menurut estimasi perusahaan-perusahaan sekuritas asing waktu itu adalah sekitar US.$.200 milyar. Hutang inilah pada hemat saya, khususnya hutang-hutang jangka pendek, yang merupakan sumber utama malapetaka krisis 1997, dan yang bertanggungjawab atas itu semua adalah BI. Jika BI benar-benar mengemban tugasnya mengawasi perkembangan devisa dan neraca pembayaran, maka mengutip istilah Dr.HMT Oppusunggu, swasta tidak akan menjadi sangat leluasa dan sembrono mengambil pinjaman LN.

Kedua, seperti juga dalam kasus BC di tahun 2008, pada pertengahan 1990an itu, BI juga tidak menjalankan tugasnya dengan baik dalam mengawasi kegiatan dan perkembangan perbankan nasional, sehingga banyak perbankan yang melakukan pelanggaran secara semena-mena berkelanjutan, misalkan pelanggaran legal lending limit, capital adequacy ratio, laporan keuangan fiktif, saldo debet dll.. Semenjak tahun 1996, sesungguhnya sudah mulai ada bank yang mengalami saldo debet sehingga kalah kliring, namun dibiarkan saja. Akibatnya dari tahun 1996 dari hanya satu-dua, bergerak naik menjadi 5, kemudian 6 pada Juni 1997, 20 pada Agustus 1997 dan 39 per Oktober 1997. Dalam kondisi pengawasan yang demikian buruk, selanjutnya dengan alasan sebagai lender of the last resort, dalam tempo yang pada umumnya berlangsung dalam hitungan semalam, BI membailout bank demi bank, tentu saja dengan jaminan agunan yang jauh dari sepadan bahkan juga tidak mudah dicairkan. Inilah moral hazard kerah putih yang mengerikan.

Ketiga, dampak dari hantaman badai krisis menjadi parah karena BI salah diagnose dalam berusaha menekan uang beredar dengan menaikkan suku bunga. Akibatnya uang semakin mahal dan perusahan-perusahan terpukul, inflasi meningkat, harga-harga kebutuhan pokok meroket. Semakin parah lagi tatkala tanpa persiapan yang memadai, tanpa ada program penjaminan sama sekali, mendadak menuruti tekanan IMF melikuidasi 16 bank sekaligus pada 1 November 1997.

Belajar dari pengalaman tahun 1997/1998, maka guna mengantisipasi berbagai kemungkinan terjadinya krisis, kepada BI dianggap perlu diberikan kewenangan dan tanggungjawab yang besar serta kemandirian, demi mencegah campur tangan pihak luar, khususnya super eksekutif, maka pada tanggal 17 Mei 1999, diundangkan Undang-Undang No.23 tentang Bank Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang no.3 Tahun 2004. BI yang sekarang memiliki kemandirian plus kewenangan besar, oleh UU no.3/2004 harus mengikuti prinsip keseimbangan dengan pengawasan dan tanggungjawab atas kinerjanya, serta akuntabilitas publik yang transparan. BI juga tetap berperan sebagai lender of the last resort melalui pemberian fasilitas kredit kepada Bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun tetap harus dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan, yang nilanya sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diperlukan. Semua itu dilakukan demi mencegah berbagai kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang atau pun kekuasaan.

Krisis 2008, menurut “Begawan Pasar Uang” George Soros tatkala baru-baru ini bertemu Wakil Presiden Budiono, tidaklah terlampau besar pengaruhnya terhadap Indonesia. Oleh karena itu jika pengawasan BI berjalan baik, mestinya bailout BC tidak perlu dilakukan.

Demikianlah pada hemat saya, bailout dalam dunia perbankan tetap diperlukan, tapi dengan ketentuan-ketentuan baku yang terukur, yang tidak boleh diutak-utik sesuka hati setiap saat, serta menutup peluang terjadinya berbagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

Nyatanya: BC dibailout. Nyatanya BPK dan DPR menyatakan bailout itu bermasalah. Hasil audit BPK itu sendiri menurut mantan Hakim Agung Bismar Siregar yang dikenal bersih, sudah bisa dijadikan bukti awal penyelidikan, dan yurisprudensi untuk itu sudah cukup banyak antara lain dalam kasus mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah serta mantan Deputy Gubernur BI Aulia Pohan.
Sementara itu akar permasalahan yang sesungguhnya masih tetap di BI. Padahal BI sudah ditahbiskan menjadi Bank Sentral yang independen dengan berbagai tugas dan kewenangannya yang besar, dengan gaji mega besar ditengah sebagian besar rakyatnya yang miskin (saya yakin ini tidak sesuai dengan akhlak serta keteladanan Rasululah dan 4 khalifah pertama). Dengan gaji, bonus, aneka tunjangan plus pesangon yang aduhai besarnya, Anggota Dewan Gubernur memperoleh gaji dll tersebut jauh, jauh lebih tinggi dari Presiden sekaligus Kepala Negara. Mungkinkah gaji gede minus tanggungjawab? Maka wajar pulalah rasa keadilan seorang rakyat yang dalam setiap membeli mie instant, air minum bahkan sebutir permen dll. wajib membayar pajak kepada negara, menuntut tanggungjawab semua pejabat BI tanpa kecuali. Kanjeng Nabi Muhammad Saw menyatakan, sehari keadilan seorang penguasa jauh lebih baik dari 70 tahun beribadah. Bahkan diperkuat lagi, kekuasaan dapat kekal bersama kekufuran, tapi tidak bisa kekal bersama kezaliman.

Adapun bu Sri Mulyani, kita berprasangka baik saja, beliau adalah orang yang baik tapi pada tempat dan waktu yang kurang tepat. Ya, itulah yang namanya tanggungjawab plus risiko dari sesuatu kekuasaan. Biarlah waktu dan keadilan yang menjawabnya. Namun memang, sebelum keadilan Tuhan yang mutlak, wajar saja keadilan dunia lebih dulu diujikan dan ditegakkan. Jika bersih, tak ada yang perlu ditakutkan. Semeleh, insya Allah semuanya mengalir baik. Subhanallah.

(B.WIWOHO, 07/03.2010).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda