BENCANA DI INDONESIA DALAM KACAMATA ISLAM KEJAWEN
Bencana di Indonesia dalam Kacamata Islam Kejawen
Raja
atau Sultan dalam filosofi Jawa adalah wakil atau utusan Gusti Allah. Oleh
karena itu raja-raja Jawa selalu memiliki gelar “Khalifatullah ing tanah Jawi”
(wakil Allah di tanah Jawa). Sebagai wakil Gusti Allah, Raja mempunyai tugas “memayu hayuning bawono,” yaitu
mensyukuri, menjaga dan melestarikan anugerah keindahan serta keharmonisan alam
raya.
Sebagai
pelestari dan penjaga keharmonisan alam raya, maka Raja Jawa bukan hanya mengemban
amanah untuk mensejahterakan manusia saja, tapi juga semua makhluk Allah, yang
tiada lain adalah alam raya dan seisinya. Ini sejalan dengan kaidah ilmu fiqih
yang menyatakan bahwa alam raya itu berubah, dan semua yang berubah itu adalah
makhluk.
Islam
mengajarkan, semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih, bersujud dan
memuji Allah Swt. Pohon, tumbuh-tumbuhan dan hewan tunduk kepadaNya. Guruh,
bebatuan, angin, air laut, semua bertasbih dan memuji Allah Sang Maha Pencipta.
Semua itu diciptakan dengan berbagai tujuan, fungsi dan peran masing-masing
dalam suatu keharmonisan alam raya. Sedangkan semua fungsi dan peran mereka
dengan seizin Allah Swt, diatur oleh malaikat, dicatat baik-baik, sampai-sampai
tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui oleh Allah Sang
Maha Sutradara.
Karena
mengemban amanah yang sedemikian besar, maka kalau ingin sukses, seorang Raja
Jawa harus bisa memadukan cipta-rasa dan karsanya untuk bisa berkomunikasi
secara baik dengan semua makhluk termasuk makhluk gaib antara lain roh halus
penguasa Laut Selatan (Ratu Kidul), roh halus penguasa Gunung Merapi serta
Gunung Lawu dll.
Demikianlah,
dalam persepsi masyarakat Jawa, seorang pemimpin atau Raja harus bisa mengayomi
dan diterima bukan hanya oleh rakyatnya yang berupa manusia, tapi juga oleh
semua makhluk alam raya tanah Jawa, ya langitnya, ya buminya, ya makhluk
gaibnya. Persepsi seperti ini kuat tertanam di benak orang Jawa baik yang
beraliran kejawen, maupun Jawa – Islam yang mempelajari kisah-kisah umat beberapa
nabi di dalam Al-Qur’an, yang diazab oleh Allah Swt dengan perantaraan berbagai
bencana alam dan wabah penyakit.
Anda boleh
percaya atau tidak
Di
samping percaya bahwa semua isi alam raya termasuk makhluk gaib adalah makhluk
sekaligus balatentara Gusti Allah, orang Jawa juga percaya pada petunjuk Allah
berupa isyarat-isyarat kehidupan. Isyarat kehidupan bagi orang Islam Jawa juga
dianggap bagian dari ayat-ayat kauniah, yang di dalam Islam memang dianjurkan
untuk dikaji dan dipahami.
Isyarat-isyarat
kehidupan itu dalam keseharian diterjemahkan dalam cara pandang terhadap
sesuatu yang disebut “gotak-gatik-gatuk,”
diutak atik ternyata cocok. Misalkan,
Menteri Penerangan Kabinet Pak Harto, yaitu Pak Harmoko, dianggap akronim dari Hari-hari Omong Kosong (versi Pak
Harmoko, Hari-hari Omong Komunikasi). Pak Habibie yang menjabat Menteri Riset
& Teknologi plus sejumlah jabatan dalan industri-industri strategis,
dimaknai “Habis Bikin Bingung”, mau
diapain produksinya. Sedangkan pesawat produksinya yang diberi nama Tetuko, diartikan Sing Teko Ora Tuku-tuku, Sing
Tuku Ora Teko-teko (Yang Datang Tak Kunjung Membeli, Yang Membeli Tak
Kunjung Datang).
Contoh
lain lagi adalah peristiwa pelantikan Presiden dalam Sidang Umum MPR. Yang
pertama Maret 1998, sewaktu Ketua MPR/DPR Harmoko mengetukkan palu pimpinan
sidang untuk menutup acara pelantikan Presiden Soeharto, ternyata palunya
patah. Waktu itu beberapa orang tua langsung mengambil kesimpulan, Pak Harto
tidak akan bisa menyelesaikan masa jabatannya dengan baik.
Demikian
pula sewaktu selesai dilantik, Presiden Gus Dur, kaki kanannya berjalan
melangkah ke atas meja, maka itu dianggap sebagai isyarat bahwa keadaan akan
“amburadul”.
Dalam lima tahun terakhir ini, Indonesia dilanda berbagai musibah
dan bencana yang bertubi-tubi nyaris tiada henti. Terhadap musibah dan bencana
tersebut, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. K.H. Ali Yafie
dalam tausyiah “Ramadhan Menggugah
Semangat Proklamasi” yang disampaikan pada tanggal 12 Oktober 2005, secara
tegas telah menyatakan sebagai peringatan dan hukuman kepada kita (Penerbit PT.
Bina Rena Pariwara).
Bagi
sebagian masyarakat, tanda-tanda peringatan (dan juga hukuman) bisa digotak-gatik-gatuk
dari berbagai isyarat datangnya bencana antara lain gempa bumi sebagai berikut
:
Begitulah
persepsi orang Islam – Jawa tentang bencana, gotak-gatik-gatuk, sikap alam atau
makhluk-makhluk Allah terhadap ulah manusia. Tentu semua itu tidak bisa ditumpahkan
sepenuhnya kepada Raja, sekarang Presiden, karena menurut pujangga sekaligus
ulama kasyaf Ronggowarsito dalam Serat Kalatida mengenai salah satu
tanda-tanda Jaman Edan (Zaman Gila) sbb :
Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
malah sangkin andadra
rubeda kang angribedi
beda-beda hardane wong sanagara
Terjemahannya
adalah:
Raja (pemimpin)nya Raja utama
Patih (orang kedua)nya Patih istimewa (linuwih)
Suasana hati para menterinya makmur sejahtera
para punggawanya pun baik-baik
mekipun demikian pemerintahannya
tidak berdaya menangkal bencana
bahkan semakin menjadi-jadi
malapetaka nan merintangi
karena angkara orang se negara berbeda-beda.
Jadi, tanpa
mengurangi beban dan tanggung jawab para pemimpin, karena memang begitulah
sepatutnya, kita semua juga harus bertanggung jawab.
Maasyaa Allah, laaquwwata illaa billaah.
Jakarta, 06 Oktober 2009
B. Wiwoho
Penulis buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di
Lorong Kehidupan,”
www.islamjawa.wordpress.com
|
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda