Rabu, 30 Mei 2012

BENCANA DI INDONESIA DALAM KACAMATA ISLAM KEJAWEN

Bencana di Indonesia dalam Kacamata Islam Kejawen




Raja atau Sultan dalam filosofi Jawa adalah wakil atau utusan Gusti Allah. Oleh karena itu raja-raja Jawa selalu memiliki gelar “Khalifatullah ing tanah Jawi” (wakil Allah di tanah Jawa). Sebagai wakil Gusti Allah, Raja mempunyai tugas “memayu hayuning bawono,” yaitu mensyukuri, menjaga dan melestarikan anugerah keindahan serta keharmonisan alam raya.

Sebagai pelestari dan penjaga keharmonisan alam raya, maka Raja Jawa bukan hanya mengemban amanah untuk mensejahterakan manusia saja, tapi juga semua makhluk Allah, yang tiada lain adalah alam raya dan seisinya. Ini sejalan dengan kaidah ilmu fiqih yang menyatakan bahwa alam raya itu berubah, dan semua yang berubah itu adalah makhluk.

Islam mengajarkan, semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih, bersujud dan memuji Allah Swt. Pohon, tumbuh-tumbuhan dan hewan tunduk kepadaNya. Guruh, bebatuan, angin, air laut, semua bertasbih dan memuji Allah Sang Maha Pencipta. Semua itu diciptakan dengan berbagai tujuan, fungsi dan peran masing-masing dalam suatu keharmonisan alam raya. Sedangkan semua fungsi dan peran mereka dengan seizin Allah Swt, diatur oleh malaikat, dicatat baik-baik, sampai-sampai tidak ada selembar daun pun yang jatuh yang tidak diketahui oleh Allah Sang Maha Sutradara.

Karena mengemban amanah yang sedemikian besar, maka kalau ingin sukses, seorang Raja Jawa harus bisa memadukan cipta-rasa dan karsanya untuk bisa berkomunikasi secara baik dengan semua makhluk termasuk makhluk gaib antara lain roh halus penguasa Laut Selatan (Ratu Kidul), roh halus penguasa Gunung Merapi serta Gunung Lawu dll.

Demikianlah, dalam persepsi masyarakat Jawa, seorang pemimpin atau Raja harus bisa mengayomi dan diterima bukan hanya oleh rakyatnya yang berupa manusia, tapi juga oleh semua makhluk alam raya tanah Jawa, ya langitnya, ya buminya, ya makhluk gaibnya. Persepsi seperti ini kuat tertanam di benak orang Jawa baik yang beraliran kejawen, maupun Jawa – Islam yang mempelajari kisah-kisah umat beberapa nabi di dalam Al-Qur’an, yang diazab oleh Allah Swt dengan perantaraan berbagai bencana alam dan wabah penyakit.


Anda boleh percaya atau tidak

Di samping percaya bahwa semua isi alam raya termasuk makhluk gaib adalah makhluk sekaligus balatentara Gusti Allah, orang Jawa juga percaya pada petunjuk Allah berupa isyarat-isyarat kehidupan. Isyarat kehidupan bagi orang Islam Jawa juga dianggap bagian dari ayat-ayat kauniah, yang di dalam Islam memang dianjurkan untuk dikaji dan dipahami.

Isyarat-isyarat kehidupan itu dalam keseharian diterjemahkan dalam cara pandang terhadap sesuatu yang disebut “gotak-gatik-gatuk,” diutak atik ternyata cocok. Misalkan, Menteri Penerangan Kabinet Pak Harto, yaitu Pak Harmoko, dianggap akronim dari Hari-hari Omong Kosong (versi Pak Harmoko, Hari-hari Omong Komunikasi). Pak Habibie yang menjabat Menteri Riset & Teknologi plus sejumlah jabatan dalan industri-industri strategis, dimaknai “Habis Bikin Bingung”, mau diapain produksinya. Sedangkan pesawat produksinya yang diberi nama Tetuko, diartikan Sing Teko Ora Tuku-tuku, Sing Tuku Ora Teko-teko (Yang Datang Tak Kunjung Membeli, Yang Membeli Tak Kunjung Datang).

Contoh lain lagi adalah peristiwa pelantikan Presiden dalam Sidang Umum MPR. Yang pertama Maret 1998, sewaktu Ketua MPR/DPR Harmoko mengetukkan palu pimpinan sidang untuk menutup acara pelantikan Presiden Soeharto, ternyata palunya patah. Waktu itu beberapa orang tua langsung mengambil kesimpulan, Pak Harto tidak akan bisa menyelesaikan masa jabatannya dengan baik.

Demikian pula sewaktu selesai dilantik, Presiden Gus Dur, kaki kanannya berjalan melangkah ke atas meja, maka itu dianggap sebagai isyarat bahwa keadaan akan “amburadul”.

Dalam lima tahun terakhir ini, Indonesia dilanda berbagai musibah dan bencana yang bertubi-tubi nyaris tiada henti. Terhadap musibah dan bencana tersebut, mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. K.H. Ali Yafie dalam tausyiah “Ramadhan Menggugah Semangat Proklamasi” yang disampaikan pada tanggal 12 Oktober 2005, secara tegas telah menyatakan sebagai peringatan dan hukuman kepada kita (Penerbit PT. Bina Rena Pariwara).
Bagi sebagian masyarakat, tanda-tanda peringatan (dan juga hukuman) bisa digotak-gatik-gatuk dari berbagai isyarat datangnya bencana antara lain gempa bumi sebagai berikut :
  1. Gempa di Tual, Maluku, tanggal  24/10-2004 (QS 24/ An-Nuur ayat 10) pada pukul 20.31 (QS 20/ Thaahaa : 31, tentang ajakan mensyukuri pertolongan Allah dan bertobat)
  2. Gempa di Nabire – Papua, 26/11-2004 pukul 09.25 (QS 26/ Asy Syua’raa:11 dan QS 9/ At-Taubah :25, tentang peringatan kepada kaum Fir’aun dan orang-orang yang sombong)
  3. Gempa dan Tsunami Aceh, pada 26/12-2004 pukul 07.59 (QS 26/Asy Syu’araa : 12  dan QS 7/ Al-A’raaf : 59, tentang ancaman nabi Nuh)
  4. Gempa Yogyakarta dan ledakan Lumpur Lapindo, 27/05-2006 Jam 05.53 (QS 27/ An-Nahl : 5 dan QS 5/ Al-Maidah : 53, tentang orang-orang yang memperoleh seburuk-buruk siksa dan terhapusnya segala amal menjadi orang – orang yang merugi)
  5. Gempa Sumatera Barat, 06/03-2007 (QS 6/ Al-An’am : 3, tentang kekuasaan Allah Swt untuk mengetahui apa saja yang kita lakukan)
  6. Gempa Bengkulu, 12/09-2007 (QS 12/ Yusuf : 9, tentang persekutuan jahat saudara-saudara Nabi Yusuf).
  7. Gempa Bengkulu, 13/09-2007 jam 07.40 (QS 13/ Ar-Ra’du : 9 dan QS 7/         Al-A’raaf : 40, tentang kekuasaan Tuhan mengetahui segala hal termasuk yang tersembunyi, serta balasan terhadap orang-orang yang sombong, berdosa dan mendustakan ayat-ayat Allah Swt)
  8. Gempa Sulawesi, 13/09-2007 jam 17.48 (QS 13/ Ar-Ra’du : 9, idem di atas,  dan QS 17/ Al-Israa : 48, tentang peringatan Tuhan terhadap orang-orang dzolim)
  9. Gempa Bengkulu, 22/09-2009 (QS 22/Al-Hajj : 9, tentang azab untuk orang-orang yang sombong)
  10. Gempa Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu & Sumatera Barat, 09/08-2007 (QS 9/At-Taubah : 8, tentang orang-orang fasik)
  11. Beberapa kali gempa di berbagai tanah air termasuk Bengkulu 17/08-2009 (QS 17/Al-Israa : 8, yaitu peringatan tentang rahmat untuk orang-orang yang taubat dan azab bagi yang durhaka)
  12. Gempa Pantai Selatan Jawa Barat, 02/09-2009 (QS 2/ Al-Baqarah : 9, tentang orang-orang yang hendak menipu Allah dan orang-orang beriman).
  13. Gempa Bengkulu, 17/09-2009 jam 06.46 (QS 17/ Al-Israa : 9, yaitu pemberitahuan dan peringatan agar mengikuti petunjuk Allah dan QS 6/                  Al-An’am :46, tentang berbagai tanda dan peringatan Allah beserta hukumannya)
  14. Gempa Bali, 19/09-2009 jam 06.06 (QS 19/ Maryam : 9, tentang betapa mudah Allah menjalankan kuasanya dan QS 6/ Al-An’am : 6, tentang banyaknya umat yang dibinasakan Allah karena dosa-dosanya.
  15. Gempa Sumatera Barat 30/09-2009 jam 17.16 (QS 30/ Ar-Ruum : 9, tentang orang-orang yang menganiaya diri sendiri dan QS 17/ Al-Israa : 16, tentang azab Allah akibat perbuatan orang-orang yang durhaka dan bermewah-mewahan, dengan menghancurkan negerinya sehancur-hancurnya.
  16. Gempa Sumatera Barat susulan, 30/09-2009 jam 17.38 (QS 17/ Al-Israa : 38 tentang kejahatan yang dibenci Allah karena melanggar larangan-larangan-Nya.
  17. Gempa Jambi, 01/10-2009 jam 08.52 (QS 8/ Al-Anfaal : 52, tentang siksaan Allah yang sangat keras terhadap orang-orang yang ingkar dan berdosa sebagaimana ditimpakan terhadap Fir’aun)

Begitulah persepsi orang Islam – Jawa tentang bencana, gotak-gatik-gatuk, sikap alam atau makhluk-makhluk Allah terhadap ulah manusia. Tentu semua itu tidak bisa ditumpahkan sepenuhnya kepada Raja, sekarang Presiden, karena menurut pujangga sekaligus ulama kasyaf Ronggowarsito dalam Serat Kalatida mengenai salah satu tanda-tanda Jaman Edan (Zaman Gila) sbb :
Ratune ratu utama
patihe patih linuwih
pra nayaka tyas raharja
panekare becik-becik
parandene tan dadi
paliyasing kalabendu
malah sangkin andadra
rubeda kang angribedi
beda-beda hardane wong sanagara

Terjemahannya adalah:
Raja (pemimpin)nya Raja utama
Patih (orang kedua)nya Patih istimewa (linuwih)
Suasana hati para menterinya makmur sejahtera
para punggawanya pun baik-baik
mekipun demikian pemerintahannya
tidak berdaya menangkal bencana
bahkan semakin menjadi-jadi
malapetaka nan merintangi
karena angkara orang se negara berbeda-beda.

Jadi, tanpa mengurangi beban dan tanggung jawab para pemimpin, karena memang begitulah sepatutnya, kita semua juga harus bertanggung jawab.

Maasyaa Allah, laaquwwata  illaa billaah.

Jakarta, 06 Oktober 2009

B. Wiwoho
Penulis buku “Pengembaraan Batin Orang Jawa di Lorong Kehidupan,”
www.islamjawa.wordpress.com

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda