Kamis, 24 Mei 2012

CARA PRESIDEN SOEHARTO MEREKRUT PARA MENTERINYA: Mengenang 14 th Reformasi



(Pengantar: tepat 14 tahun yang lalu, 21 Mei 1998, tanpa diduga oleh siapa pun, Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia. Guna mengenang peristiwa tersebut, dengan ini saya persembahkan  sebuah tulisan tentang salah satu hal dari Pak Harto, sebagai bahan renungan dan iktibar bagi kita semua, bangsa Indonesia. Semoga)



 MENGGALI  kenangan lama tentang Pak Harto ternyata tidaklah mudah. Bukan  karena lupa, tapi justru karena terlalu banyak hal yang menarik untuk ditulis, sementara  saya harus memilih salah satu topik.

Kesan pertama tatkala mulai meliput kegiatan Kepresidenan menjelang akhir 1972 adalah, Pak Harto itu orangnya tenang, berwibawa dengan wajah yang senantiasa menyungging senyuman. Dalam berkomunikasi dengan para menteri dan pembantunya yang lain, juga dengan para tamu, beliau pandai mendengar. Tidak mudah menjadi pendengar yang baik, lebih-lebih  bagi seorang penguasa. Tapi Pak Harto tidak demikian. Dengan air muka yang teduh serta ekspresi yang stabil, beliau sabar mendengarkan  ucapan ataupun  keterangan lawan bicaranya, dan jarang menyela apalagi memotong pembicaraan orang lain. Posisi dan sikap tubuhnya selalu santun, bahkan belum pernah sekalipun saya melihatnya mengangkat dan kemudian menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, sebagaimana layaknya orang yang merasa dirinya hebat.

Sebagai seorang Kepala Negara sekaligus Presiden, beliau tampil bersahaja, sederhana apa adanya,  tidak banyak basa-basi  serta  tidak mudah mengumbar janji. Dalam berpakaian di depan umum, tidak jarang hanya mengenakan baju safari, batik atau tenun ikat dari bahan katun biasa yang murah,  bukan sutera yang halus dan mahal. Bahkan beberapa kali saya melihatnya mengenakan batik cap dari bahan sutera tiruan.  Meskipun demikian juga tidak mengenakan kemeja biasa apalagi baju kaos.

Kesantunan yang seperti itu juga sangat berkesan bagi mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prof.K.H.Ali Yafie, yang mengemukakan hal itu kepada saya dalam satu mobil menuju Lapangan Udara Halim Perdanakusuma guna melepas keberangkatan jenazah Pak Harto ke Solo. "Dua puluh tahun saya mengenal Pak Harto, tapi baik dalam pertemuan-pertemuan formal maupun informal tidak pernah melihatnya mengangkat kakinya." Sikap seperti itu menurut pak Kyai nampaknya sederhana, namun dalam dan luas maknanya. Menunjukkan kepribadian yang kokoh kuat, sabar dan tenang, pandai mengendalikan diri, rendah hati dan menghargai orang lain serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Sebuah modal dasar yang besar dalam seni kepemimpinan dan berkomunikasi.

Dengan kepribadian yang demikian, meskipun pendidikan formalnya hanya sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama, Pak Harto mengelola negeri besar ini selama 32 tahun. Dengan kepribadian yang seperti itu pula beliau mencermati apa dan siapa tokoh-tokoh Indonesia, bagaikan seorang analis laboratorium meneliti sesuatu zat di bawah mikroskop, dan kemudian memilih satu demi satu untuk menjadi anggota timnya memimpin Negeri Zamrud Khatulistiwa ini.

Cara Pak Harto merekrut para pembantunya tidak heboh-hiruk pikuk berlarut-larut.
Sebagai mantan wartawan yang pernah bertugas di Istana dan mengenal sangat dekat karena tugas –tugasnya:  antara lain tokoh-tokoh  Pimpinan Operasi Khusus (OPSUS) Ali Murtopo (alm), Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) Yoga Sugomo (alm), pemegang rekor jabatan menteri lebih dari 30 tahun, alm Radius Prawiro dan Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro (alm), saya sering memperoleh bocoran catatan sebagian daftar 300-an tokoh-tokoh nasional dan daerah yang dibuat sendiri oleh Pak Harto, yang sewaktu-waktu dapat  direkrut untuk mengemban tugas membantu Presiden. Dari waktu ke waktu daftar itu, mungkin lebih tepat disebut oret-oretan atau seperti catatan daftar belanja,  selalu tersedia dan  senantiasa dinamis-diperbarui.

Pada awal-awal masa Pemerintahannya, terutama untuk bidang-bidang politik dan keamanan, Pak Harto mengenal sendiri secara langsung tokoh-tokoh nasional maupun daerah, khususnya teman-teman seperjuangannya, sehingga daftar tersebut dapat dengan mudah beliau susun sendiri. Seiring dengan waktu dan kesibukan, beberapa orang kepercayaan mensuplai informasi. Pak Harto mencermati serta mendalami informasi tersebut dan juga dari media massa,  kemudian menyaring berlapis-lapis. Jika suatu saat beliau membutuhkan, beliau menugaskan  Opsus/BAKIN, untuk mengecek dengan cepat dan sangat rahasia dalam hitungan hari, tanpa hiruk-pikuk,  informasi tentang seseorang tokoh yang akan direkrut, misalkan tentang siapa teman tidur-sekasurnya (isteri/suami), siapa  sedulur-sesumur (saudara dekat), siapa teman bergaulnya, apa saja hobbynya, bagaimana riwayat perjuangannya terutama rasa setiakawan-loyalitas kepada pimpinan dan senior, bagaimana sikap hidup dan kepribadiannya terutama kejujuran  dan kapasitas pribadinya. Bagaimana pandangan hidup dan rekam jejaknya terhadap harta, tahta dan wanita/pria. Beliau ingin betul – betul mengenal secara mendalam dan yakin mengenai orang-orang yang akan berada di dekatnya untuk membantu mengelola negara.

Sejalan dengan bertambahnya usia, kawan seperjuangan-segenerasi Pak Harto makin sedikit, banyak yang mendahului kepangkuan Ilahi. Bersamaan dengan itu, pada pertengahan 1985 hubungan Pak Harto dengan pak Yoga yang sudah berlangsung akrab semenjak tahun 1950-an, “membeku”. Jika biasanya hampir setiap Jumat malam selama sekitar 11 tahun mereka rutin bertemu melakukan evaluasi dan membahas perkiraan keadaan,  semenjak itu tidak lagi berlanjut. Pak Yoga yang sangat kesal dan prihatin,  mengajak saya menenangkan diri ke Jepang hampir selama 2 minggu.

Dalam suatu pertemuan rutin mingguan Pak Yoga menyampaikan pandangannya kepada Pak Harto antara lain: (1). Pak Harto yang sudah akan mencapai usia 67 pada Pemilihan Umum tahun 1988 dan sudah menjadi Kepala Negara selama 22 tahun, tentu akan sampai pada tahap jenuh dan lelah. (2) Periode kepemimpinan 1983 – 1988 menurut Pak Yoga adalah periode puncak keemasan kepemimpinan Pak Harto, yang sesudah itu dikuatirkan akan mulai melemah. (3). Bisnis keluarga dan putera-puterinya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak. (4). Sumber dan jaringan informasi serta rekrutmen pak Harto yang secara alamiah semakin menyempit disebabkan kesenjangan generasi. Di lain  pihak kesenjangan generasi juga akan mengganggu komunikasi. Karena itulah pak Yoga menyarankan agar pak Harto dengan jiwa besar legowo lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada tahun 1988. Pak Harto dimohon mempersiapkan kader peralihan generasi 45, dan siapapun kader yang ditunjuk,  Pak Yoga akan mengamankannya.

Saran pak Yoga tersebut tidak ditanggapi oleh Pak Harto dan ditolak oleh dua orang  pejabat penting lainnya melalui suatu perdebatan yang cukup menegangkan. Sementara  Pak Harto hanya diam saja tidak mengambil sikap, Ibu Tien Suharto yang diam-diam mengamati, melintas di ruang pertemuan seraya cenderung mendukung Pak Yoga.

Kembali pada cara Pak Harto memilih pembantu-pembantunya, Pak Ali Murtopo pernah menceritakan kepada saya, Pak Harto bukan hanya mengamati rekam jejak yang bersangkutan dalam jangka panjang, tapi juga menggunakan feeling, mata batin dan bisikan nuraninya. Kadang-kadang beliau juga meminta pendapat atau second opinion kepada seseorang atas seseorang. Hal inilah yang oleh orang-orang yang tidak suka terhadap Pak Harto dibilang Pak Harto menggunakan dukun., termasuk dianggap dukun adalah  Asisten Pribadi Presiden  Sudjono Humardhani (alm). Menanggapi isyu tersebut, Pak Sudjono pernah komentar, “Ngawur, mana mungkin Pak Harto berdukun ke saya. Ilmu dan kekuatan batin Pak Harto itu lebih hebat dari saya dan para dukun”.

Tentang itu, Pak Ali Murtopo pernah bercerita, pada suatu malam di awal Orde Baru, Pak Harto – Ali Murtopo – Sudjono Humardhani sedang duduk-duduk bertiga. Tiba-tiba Pak Harto mengeluarkan sebuah cicin berhiaskan batu permata dan seutas benang, yang kemudian dimasukkan ke dalam cincin dan ujung-ujungnya saling diikatkan sehingga membentuk kalung. Beliau meminta Pak Ali bergantian dengan Pak Sudjono memegang ujung benang dengan posisi cincin sebagai bandul. Ujung siku dari tangan yang memegang kalung menempel di meja, sedangkan tangan ditegakkan ke atas. Mereka berdua  diminta berkonsentrasi menggerakkan serta memutar cincin, tanpa boleh tangannya bergerak sedikitpun. Hasilnya, Pak Sudjono bisa menggerakkan pelan-pelan, Pak Ali bergerak sedikit lebih kencang, sedangkan Pak Harto, luar biasa, cincin bisa bergerak ke kiri, ke kanan bahkan berputar.

Menurut Pak Ali Murtopo, Pak Harto memiliki feeling, memiliki mata batin yang kuat terhadap seseorang. Feeling tersebut digunakan untuk bertanya pada dirinya sendiri, apakah Pak Harto dan seseorang yang akan dipilih menjadi pembantunya memiliki kecocokan satu sama lain. Apakah seseorang tadi bakal memiliki loyalitas serta setiakawan yang tinggi atau tidak,  menghasilkan sinergi yang baik atau tidak.

Berdasarkan laporan intelijen dan feeling, yang semuanya diproses secara tertutup, Pak Harto mengambil kata akhir serta memutuskan sendiri pilihannya. Terkait keputusan tersebut Pak Yoga pernah bercerita kepada saya, sarannya agar Pak Harto tidak mengangkat seseorang menjadi Menteri ditolak. Di kemudian hari, Menteri ini termasuk dalam kelompok Sebelas  Menteri yang tidak loyal lagi kepada Pak Harto. Mereka menyatakan mengundurkan diri dari jajaran Kabinet yang baru berumur 70 hari alias keberatan mendukung Pak Harto lagi. Surat pengunduran diri sebelas Menteri pada Rabu malam 20 Mei 1998 itu,  bersama sejumlah masalah lain, mendorong watak keras Pak Harto keluar, “ora dadi Presiden yo ra pateken (tidak jadi Presiden ya tidak akan kena penyakit patek, maksudnya ya tidak apa-apa, tidak akan rugi)”, sehingga keesokan harinya beliau mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden.  

Ada suatu ajaran sikap keras  yang ditanamkan pada anak-anak Jawa tempo dulu, untuk menolak hal-hal yang bersifat duniawi jika hal tersebut sudah menyentuh harga diri. Tahap yang paling lunak adalah ungkapan “tidak pateken” tadi. Lebih keras lagi adalah, tetap bergeming, tidak berubah sedikit pun  karena sudah terlanjur sakit hati walau mau ditebus, mau dibeli ataupun mau diobati dengan uang emas sekeranjang. Dan yang lebih fatal adalah jika sudah marah besar, maka orang yang melukai hatinya akan dilawan meskipun berisiko “pecahing dada wutahing ludira (dada pecah dan darah tumpah)”. Bahkan sangat mengerikan bila sampai tahap menghadapi lawan dengan sikap, “tak tumpes sak cindil abange (saya tumpas seluruh anak keturunannya, termasuk bayi yang  masih merah)”. Naudzubillah.

Pak Yoga juga pernah memberikan catatan terhadap seorang Calon Wakil Presiden, bahkan meminta saya membantu mempertemukan dengan seorang Jenderal Purnawirawan yang saya kenal baik, agar mau memberikan kesaksian atas masa lalu Calon Wakil Presiden tersebut. Apa jawaban Pak Harto kepada Pak Yoga mengenai dua orang dalam waktu yang berbeda tadi? Kalimatnya pendek dan sama persis, “ Saya tahu, tapi orang kan bisa berubah. Dan saya yang akan tanggungjawab.” 

Meskipun sarannya ditolak, Pak Yoga menghormati keputusan Pak Harto, karena sebagai seorang staf, kewajibannya hanyalah menyampaikan pendapat. Sedangkan keputusan akhir ada di pimpinan, dalam hal ini Pak Harto. Ia menghargai sikap Pak Harto yang “lembah manah” atau pemaaf, yang masih bisa memberikan kepercayaan kepada seseorang yang pernah berbuat salah atau pun berbeda sikap, sedangkan dirinya berpegang teguh pada peribahasa, “sekali lancung ke ujian seumur hidup orang tak percaya”. Memang ada sedikit “ganjelan” di hati, sedikit kekecewaan, karena pada saat itu Pak Harto tidak membuka ruang dialog. Padahal  apa yang disampaikan, telah dikaji secara obyektif berdasarkan analisis psikologi intelijen yang dipelajarinya sewaktu menjadi taruna Akademi Militer di Jepang tahun 1942 – 1945  dan pendidikan di lembaga intelijen sangat bergengsi di dunia M-16  Inggris tahun 1949 – 1950. Namun mau bagaimana lagi, Pak Harto telah menggariskan otoritasnya selaku pimpinan, bahkan dengan menegaskan akan bertangganggungjawab.

Demikianlah, sesudah memperoleh  masukan yang lengkap, Pak Harto memutuskan sendiri secara diam-diam tanpa ada yang tahu pasti, kecuali sekedar menduga-duga. Tidak seperti perusahaan merekrut calon karyawan yang menerapkan sistem “fit and proper test”  terbuka, calon-calon anggota Kabinet yang akan diangkat dan telah diamati kapasitas serta  rekam jejaknya secara mendalam,  beliau telpon sendiri secara langsung,  atau dipanggil menghadap ke rumah kediaman di Jalan Cendana 8, Jakarta Pusat, untuk diberitahu serta diminta kesediaannya membantu memimpin bangsa dan negara, bersama-sama mengelola Pemerintahan. Kepada yang bersangkutan dipesankan agar tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun termasuk anak isteri/suami, sampai saatnya nanti pengumuman Kabinet.

Bagi  kami wartawan-wartawan yang meliput kegiatan Kepresidenan, cara tersebut menjadi tantangan tersendiri. Kami harus bisa mengendus dengan tepat. Agar begitu Kabinet diumumkan, yang biasanya berlangsung malam hari di Istana Merdeka, kita bisa langsung sekaligus menurunkan foto serta menulis apa-siapa dan riwayat perjuangan, minimal  riwayat hidup resmi para anggota Kabinet. Pada masa itu belum ada internet seperti sekarang, yang bisa menjadi sumber informasi hampir mengenai apa saja. Oleh karena itu kami tidak boleh kehilangan akal dalam mengorek informasi. Sumber informasi pertama adalah adalah orang-orang dekat Pak Harto yang berpotensi dimintai pendapat oleh beliau. Sumber kedua, adalah orang-orang yang sehari-hari  berada di sekeliling pak Harto, yang mengetahui siapa-siapa saja yang pada hari-hari menjelang pengumuman Kabinet ditelpon atau dipanggil Pak Harto. Ada juga yang tekun memantau siapa-siapa tamu yang datang ke Cendana., meskipun yang bersangkutan menolak memberikan keterangan. Berdasarkan informasi yang pada umumnya hanya sepenggal-sepenggal  tadi , kami berdiskusi dan kemudian mereka-reka susunan Kabinet, bagaikan orang menyusun puzzle mozaik. Hasilnya, lebih dari 90 persen betul, bahkan tidak jarang 100 persen.

Betapa penting orang-orang di sekeliling pemimpin, diakui oleh para tokoh dunia dari masa ke masa.  Entah Pak Harto  pernah mempelajari filosofi Khong Hu Chu,  Aristoteles, nasihat kepemimpinan Nabi Muhammad dan Al Ghazali atau tidak, tapi jejak langkah kepemimpinannya mencerminkan hal-hal yang diajarkan tokoh-tokoh dunia tersebut. Khong Hu Chu misalkan, mengajarkan sikap hidup yang paling mulia sekaligus menjadi kunci sukses pertama dalam kehidupan adalah loyalitas. Di mana pun dan kepada siapa pun kita bekerja,  kita harus loyal.

Kanjeng Nabi Muhammad menyatakan, “Apabila Allah berkenan untuk munculnya kebaikan bagi seorang pemimpin, maka Allah akan memperuntukkan baginya menteri yang jujur, yang bila ia lupa, maka menteri itu akan mengingatkannya, dan bila ia ingat maka akan membantunya. Tetapi apabila Allah berkehendak selain itu, maka Allah akan menyediakan baginya menteri yang jahat, yang bila Sang Pemimpin lupa, maka sang menteri tidak mengingatkan, dan bila ingat tidak membantunya.”

Tentang kepemimpinan, filsuf Islam terkemuka, Al Ghazali menulis panjang lebar dalam bukunya “Nasihat Untuk Penguasa”.  Dalam hal para pembantu , Al Ghazali mendukung pendapat filsuf Yunani, Aristoteles yang menyatakan: “ Sebaik-baik penguasa adalah orang yang pandangannya tajam bak burung rajawali, sedangkan orang-orang yang berada di sampingnya  memiliki kecerdasan serupa, bagaikan banyak  burung  rajawali, bukan seumpama bangkai.”

Dalam konteks ini, Al Ghazali menggariskan 5 kewajiban seorang Pemimpin yaitu:
1.Menjauhkan orang-orang bodoh dari pemerintahannya.
2.Membangun negeri, merekrut orang-orang cerdas dan potensial.
3.Menghargai orang tua dan orang  bijak.
4.Melakukan uji coba dan meningkatkan kemajuan Negara dengan melakukan penertiban serta pembersihan terhadap segala tindak kejahatan.
5.Taat pada aturan serta Undang-Undang dan jangan sekehendak hati.

Seorang pemimpin, tulisnya lagi, harus menghindari 3 hal yang sangat berbahaya karena mudah menipunya yaitu, kekuasaan, kekuatan dan kesenangan akan pendapat serta pengetahuaannya sendiri. Akan hal ini. Si jelita yang gagah berani, Antigone puteri Oedipus dalam Mitologi Yunani juga menyatakan dalam kecamannya  terhadap Kreon, sang penguasa Tebes: “ Kelemahan seorang tiran, melakukan apa saja yang dipikirnya cocok tanpa banyak mendengar pikiran rakyatnya”.

Dari sepenggal kisah ini, insya Allah kita bisa mengambil iktibar, menarik pelajaran yang berharga. Pertama, terlepas dari kekurangan dan kelemahannya sebagai manusia, Pak Harto adalah orang besar yang pernah memimpin Indonesia, tumbuh menjadi negara kepulauan yang disegani oleh para pemimpin dunia khususnya Asia Tenggara. Pada dasa warsa I kepemimpinannya, beliau didampingi orang-orang muda yang bagaikan burung-burung rajawalinya Aristoteles, yang pada umumnya dikenalnya secara pribadi dengan baik. Mereka memiliki kapasitas yang sepadan dengan tugas dan tanggungjawabnya, berani pasang badan untuk Pak Harto serta bukan sekedar Asal Bapak Senang. Pada dasa warsa II, tim  rajawali itu makin berpengalaman dan masih memiliki stamina yang memadai.

Kedua, Pak Harto juga orang yang hebat dan kuat. Tapi sekuat-kuat orang, suatu saat akan lemah juga. Sekuat-kuat penguasa, pasti memiliki kelemahan.  Sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat jatuh juga. Hal yang sangat sederhana ini dalam kenyataannya sering dilupakan para penguasa dunia, termasuk Pak Harto.

Ketiga, setiap masa, setiap generasi memiliki pemimpinnya sendiri. Setiap masa dan setiap generasi memiliki ukuran nilai sendiri-sendiri. Karena itu janganlah pernah merasa kita bisa menjadi pemimpin pada semua masa,pada semua generasi. Janganlah pernah merasa tidak akan ada orang yang bisa menggantikan kita, sebab tidak akan ada pesta yang tidak berakhir. Naik tahta dan turun tahta, panas dan dingin, gelap dan terang adalah kodrat kehidupan yang bagaikan dua sisi dari satu keping uang logam.  Sebagaimana filosofi Jawa yang sering dikutip Pak Harta dalam berbagai dialog, “ Aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa lan ngrumangsani (jangan merasa bisa, tapi hendaknya bisa merasakan dan tahu diri)”. Karena itu sebagaimana pula nasihat orang-orang bijak, kuasailah cara turun sebelum kita mendaki ke puncak. Jangan menunggu setelah kita di puncak, karena memegang kekuasaan itu ibarat menunggang harimau, yang jika tidak hati-hati dan tidak berkah akan menerkam kita. Sementara itu siapkanlah kader-kader pengganti  yang lebih baik dari kita, sebab seorang pemimpin yang sungguh-sungguh berhasil, dinilai pula dari keberhasilannya mendidik penerusnya. 

Pak Harto telah mendahului kita menghadap Sang Khalik. Namun masih ada lagi sepenggal dialog yang amat menggetarkan perasaan kita, sebagaimana diceritakan Ustadz saya, Buya Kyai Haji Endang Bukhari Ukasyah dari Sumedang. Tatkala Pak Harto masih menjabat sebagai Presiden, beliau pernah mengirim utusan menemui Buya di pesantren, memohon Buya untuk berkenan silaturahim ke Cendana. Karena memegang kaidah keulamaan, Buya menolak undangan tersebut. Undangan kedua diterima dan dipenuhi sesudah Pak Harto lengser. Dalam kesempatan itu Pak Harto menyatakan, “ Pak Kyai, saya tidak minta macam-macam. Saya sudah ikhlas menerima keadaan, menerima ini semua. Saya hanya minta, tolong bantu doakan saya agar saya tabah dan kuat memikul ini semua”.
Subhanallah. Semoga Pak Harto memperoleh derajat yang mulia di sisiNYA. Aamiin.


Beji, 21 Mei 2012.












1 Komentar:

Blogger DEWA STREAMING SEO mengatakan...

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NONTON FILM ONLINE LENGKAP 2016
DEWASTREAMING NONTON FILM ONLINE
NONTON STREAMING ONLINE LENGKAP

---------------------------

25 Maret 2016 pukul 00.52  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda