OPERASI WOYLA, RESENSI BUKU MAJALAH TEMPO
-
06 Februari 1982
OPERASI WOYLA
Oleh: B. Wiwoho
Penerbit: PT Menara Gading Nusantara Jakarta 1981, 318 halaman.
BISA dimengerti, bila pembajakan pesawat terbang Garuda Woyla
akhir Maret 1981 menjadi sasaran banyak penulis dan penerbit.
Peristiwanya memenuhi berbagai unsur cerita yang baik kekerasan,
ketegangan, dan drama yang diakhiri dengan suatu operasi militer
yang gemilang.
Namun satu hal tampaknya belum mendapat penelitian cukup:
peristiwa itu juga mengungkapkan adanya suatu gerakan
sempalan--kelompok pemuda diyimpin seorang "imam", yang bersedia
melakukan apa pun demi keyakinan.
Dibanding banyak "buku kilat" yang diterbitkan menyusul
pembajakan Woyla ini, tulisan B. Wiwoho memiliki kelebihan. Ia
tidak cuma mencomot, mengutip, menyarikan dan menjahit berbagai
tulisan di media massa. Wiwoho melakukan rekonstruksi, wawancara
langsung, menelaah rekaman pembicaraan, mengamati film
dokumentasi serta menyimak dokumen serta laporan.
Hasilnya dituangkan dalam suatu news feature. Gaya penulisan
semacam ini, yang juga dilakukan Bondan Winarno dalam bukunya
Tampomas II, membuatnya menarik.
Yang terasa mengganjal: Wiwoho menyebut bukunya dokumen sejarah.
Judul bukunya juga diembel-embeli dengan "kisah nyata". Predikat
ini memiliki konsekuensi: penulisnya harus berhati-hati menjaga
jangan sampai penuturannya menggelincir keluar dari kebenaran.
Di sini Wiwoho kurang berhasil. Ia memang mewawancarai -- secara
mendalam--para pelaku utama dalam peristiwa itu. Beberapa di
antaranya, seperti Kepala Bakin enderal Yoga Sugomo dan Dubes
Rl di Muangthai Letjen Hasnan Habib, malah lebih dari cukup.
Namun ia tidak (atau tidak berhasil) mewawancarai tokoh seperti
Laksamana Sudomo dan Letjen Benny Moerdani, dua orang yang
berperan penting dalam peristiwa.
Patut diketahui, beberapa jam setelah pembajakan terjadi,
Departemen Hankam -- dengan persetujuan Presiden--mengambil-alih
masalah dan menugaskan Benny sebagai project-officer untuk
menangani masalah di bawah koordinasi Wapangab Sudomo.
Wiwoho tampaknya juga kurang menyaring informasi yang
dikumpulkannya serta kurang mencoba mencari bahan pembanding.
Terasa ada sesuatu yang timpang ada sumber yang mendapat porsi
berlebihan, yang bisa disalahartikan sebagai "pesan sponsor".
Banyak sumber yang memang sulit ditembus wartawan, namun bahan
yang berat sebelah juga bisa mengakibatkan kesimpulan yang
salah.
Seperti disebutkan dalam Prakata, Wiwoho menulis dengan misi
moral ingin secara tidak langsung mengajar masyarakat --terutama
generasi'mudanya--budi pekerti, kematangan hidup dan hakekat
serta arti jiwa kesatria. Itu sebabnya bukunya cukup sarat
dengan berbagai tamsil yang hampir semuanya dipetik dari tokoh
Yoga Sugomo dan Hasnan Habib Ini patut dipuji --asal
contoh-contoh yang diambil tak berlebihan.
Usaha mulia yang dilakukan Wiwoho terkadang terasa
menggampangkan dan menimbulkan pertanyaan. Dalam upayanya untuk
menjelaskan "beda nenek moyang kita dari nenek moyang Presiden
Ronald Reagan" misalnya, ia menyebut buah khayalan nenek moyang
kita yang "tetap diwariskan sebagai khayal"--sementara khayal
nenek moyang bangsanya Reagan mewariskan sikap logis dan
tekanan pada hubungan sebab akibat (hlm. 110).
Yang tidak ditemui dalam karya ini adalah yang dijanjikan dalam
kulit buku: latar-belakang peristiwa. Wiwoho menulis secara
mendalam dan menarik mengenai beberapa fase penting dari
peristiwa pembajakan. Tapi tidak menjawab banyak pertanyaan.
Antara lain: apa sebenarnya gerakan Imran itu. Apa tujuannya.
Mengapa membajak pesawat terbang. Padahal bahan-bahan mengenai
ini sebenarnya tidak sulit diperoleh, karena sebulan setelah
pembajakan Menhankam Jenderal Jusuf dan Pangkopkamtib banyak
mengungkap.
Penulisan imajinatif Wiwoho juga bisa dipersoalkan. Sebagai
'kisah nyata' dan 'dokumen sejarah', caranya menggabarkan apa
yang ada di benak almarhum Kapten Pilot Herman Rante terasa
berlebihan, mengaburkan batas antara fakta dan imajinasi.
Ketergesa-gesaannya menulis kelihatan juga di akhir buku: epilog
pembajakan diringkasnya dalam Appendix 1, yang sebetulnya pantas
dikembangkan menjadi satu bab tersendiri .
Yang menolong buku ini adalah penceritaannya yang enak. Beberapa
kawan seniman bahkan menganggap buku ini lebih enak dibaca
dibanding beberapa novel "lulusan" Dewan Kesenian Jakarta
sekalipun. Sayang gambar sampulnya jauh dari selera seni. Juga
foto-foto di dalamnya--yang tentu lebih bagus bila tidak sekedar
reproduksi dari media massa, melainkan didapat langsung aslinya
dari penerbit masing-masing.
Susanto Pudjomartono
"Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo"
Silahkan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9.
Silahkan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-7255624 ext 486
Download versi digitalnya :
1. iPad : melalui aplikasi Tempo Media Apps. Klik disini
2. Samsung Galaxy Tab melalui aplikasi Samsung E Reader. Klik disini
3. Huawei Ideos S7 melalui aplikasi XL-Baca. Klik disini
Terima Kasih.
1 Komentar:
Selamat Siang Pak Wiwoho,
Saya Ferry, No. Telepon saya 081210242601 dan email saya damarcinema@gmail.com. Bolehkah saya mendapatkan email Bapak atau nomor telepon Bapak? Saya tertarik untuk mendapatkan salah satu karya Bapak. Terima Kasih Pak.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda