Sabtu, 12 Mei 2012

OPERASI WOYLA, RESENSI BUKU MAJALAH TEMPO

  • Woyle tanpa imran

    OPERASI WOYLA Oleh: B. Wiwoho Penerbit: PT Menara Gading Nusantara Jakarta 1981, 318 halaman. BISA dimengerti, bila pembajakan pesawat terbang Garuda Woyla akhir Maret 1981 menjadi sasaran banyak penulis dan penerbit. Peristiwanya memenuhi berbagai unsur cerita yang baik kekerasan, ketegangan, dan drama yang diakhiri dengan suatu operasi militer yang gemilang. Namun satu hal tampaknya belum mendapat penelitian cukup: peristiwa itu juga mengungkapkan adanya suatu gerakan sempalan--kelompok pemuda diyimpin seorang "imam", yang bersedia melakukan apa pun demi keyakinan. Dibanding banyak "buku kilat" yang diterbitkan menyusul pembajakan Woyla ini, tulisan B. Wiwoho memiliki kelebihan. Ia tidak cuma mencomot, mengutip, menyarikan dan menjahit berbagai tulisan di media massa. Wiwoho melakukan rekonstruksi, wawancara langsung, menelaah rekaman pembicaraan, mengamati film dokumentasi serta menyimak dokumen serta laporan. Hasilnya dituangkan dalam suatu news feature. Gaya penulisan semacam ini, yang juga dilakukan Bondan Winarno dalam bukunya Tampomas II, membuatnya menarik. Yang terasa mengganjal: Wiwoho menyebut bukunya dokumen sejarah. Judul bukunya juga diembel-embeli dengan "kisah nyata". Predikat ini memiliki konsekuensi: penulisnya harus berhati-hati menjaga jangan sampai penuturannya menggelincir keluar dari kebenaran. Di sini Wiwoho kurang berhasil. Ia memang mewawancarai -- secara mendalam--para pelaku utama dalam peristiwa itu. Beberapa di antaranya, seperti Kepala Bakin enderal Yoga Sugomo dan Dubes Rl di Muangthai Letjen Hasnan Habib, malah lebih dari cukup. Namun ia tidak (atau tidak berhasil) mewawancarai tokoh seperti Laksamana Sudomo dan Letjen Benny Moerdani, dua orang yang berperan penting dalam peristiwa. Patut diketahui, beberapa jam setelah pembajakan terjadi, Departemen Hankam -- dengan persetujuan Presiden--mengambil-alih masalah dan menugaskan Benny sebagai project-officer untuk menangani masalah di bawah koordinasi Wapangab Sudomo. Wiwoho tampaknya juga kurang menyaring informasi yang dikumpulkannya serta kurang mencoba mencari bahan pembanding. Terasa ada sesuatu yang timpang ada sumber yang mendapat porsi berlebihan, yang bisa disalahartikan sebagai "pesan sponsor". Banyak sumber yang memang sulit ditembus wartawan, namun bahan yang berat sebelah juga bisa mengakibatkan kesimpulan yang salah. Seperti disebutkan dalam Prakata, Wiwoho menulis dengan misi moral ingin secara tidak langsung mengajar masyarakat --terutama generasi'mudanya--budi pekerti, kematangan hidup dan hakekat serta arti jiwa kesatria. Itu sebabnya bukunya cukup sarat dengan berbagai tamsil yang hampir semuanya dipetik dari tokoh Yoga Sugomo dan Hasnan Habib Ini patut dipuji --asal contoh-contoh yang diambil tak berlebihan. Usaha mulia yang dilakukan Wiwoho terkadang terasa menggampangkan dan menimbulkan pertanyaan. Dalam upayanya untuk menjelaskan "beda nenek moyang kita dari nenek moyang Presiden Ronald Reagan" misalnya, ia menyebut buah khayalan nenek moyang kita yang "tetap diwariskan sebagai khayal"--sementara khayal nenek moyang bangsanya Reagan mewariskan sikap logis dan tekanan pada hubungan sebab akibat (hlm. 110). Yang tidak ditemui dalam karya ini adalah yang dijanjikan dalam kulit buku: latar-belakang peristiwa. Wiwoho menulis secara mendalam dan menarik mengenai beberapa fase penting dari peristiwa pembajakan. Tapi tidak menjawab banyak pertanyaan. Antara lain: apa sebenarnya gerakan Imran itu. Apa tujuannya. Mengapa membajak pesawat terbang. Padahal bahan-bahan mengenai ini sebenarnya tidak sulit diperoleh, karena sebulan setelah pembajakan Menhankam Jenderal Jusuf dan Pangkopkamtib banyak mengungkap. Penulisan imajinatif Wiwoho juga bisa dipersoalkan. Sebagai 'kisah nyata' dan 'dokumen sejarah', caranya menggabarkan apa yang ada di benak almarhum Kapten Pilot Herman Rante terasa berlebihan, mengaburkan batas antara fakta dan imajinasi. Ketergesa-gesaannya menulis kelihatan juga di akhir buku: epilog pembajakan diringkasnya dalam Appendix 1, yang sebetulnya pantas dikembangkan menjadi satu bab tersendiri . Yang menolong buku ini adalah penceritaannya yang enak. Beberapa kawan seniman bahkan menganggap buku ini lebih enak dibaca dibanding beberapa novel "lulusan" Dewan Kesenian Jakarta sekalipun. Sayang gambar sampulnya jauh dari selera seni. Juga foto-foto di dalamnya--yang tentu lebih bagus bila tidak sekedar reproduksi dari media massa, melainkan didapat langsung aslinya dari penerbit masing-masing. Susanto Pudjomartono

    "Nikmati tulisan lengkap artikel ini pada versi cetak dan versi digital majalah Tempo" Silahkan hubungi customer service kami untuk berlangganan edisi cetak di 021-5360409 ext 9. Silahkan hubungi Pusat Data Analisa Tempo untuk mendapatkan versi arsip dalam bentuk PDF, di 021-7255624 ext 486
    Download versi digitalnya :
    1. iPad : melalui aplikasi Tempo Media Apps. Klik disini
    2. Samsung Galaxy Tab melalui aplikasi Samsung E Reader. Klik disini
    3. Huawei Ideos S7 melalui aplikasi XL-Baca. Klik disini

    Terima Kasih.

1 Komentar:

Blogger Unknown mengatakan...

Selamat Siang Pak Wiwoho,

Saya Ferry, No. Telepon saya 081210242601 dan email saya damarcinema@gmail.com. Bolehkah saya mendapatkan email Bapak atau nomor telepon Bapak? Saya tertarik untuk mendapatkan salah satu karya Bapak. Terima Kasih Pak.

20 September 2013 pukul 13.48  

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda