Dari sekian banyak Suluk-Suluk Demak, yaitu suluk-suluk yang
dibuat pada masa Kerajaan Islam Pertama, Demak Bintoro, ada satu suluk yang
sampai sekarang masih populer dan banyak didendangkan masyarakat Jawa, yaitu
sebuah suluk yang dipercaya sebagai ciptaan Sunan Kalijaga. Suluk ini dikenal
dengan tiga nama, yakni (1). Serat atau Surat
atau Kitab Kidungan Kawedar, (2) Kidung Sarira Ayu, sesuai dengan bunyi teks
dalam bait ketiga, (3) Kidung Rumeksa Ing Wengi, sesuai bunyi teks diawal Surat, sebagaimana kita
lazim menyebut Surat Al Ikhlas dengan nama Surat Qulhu atau Surat Al Insyiraah
dengan Surat Alam nasyrah. Ada
pun saya sendiri sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di daerah Pantai
Utara Jawa Tengah, sudah terbiasa menyebut Kidung Kawedar.
Suluk ini merupakan
kidung yang sangat populer bagi grup-grup karawitan atau seni gamelan Jawa, dan
lebih khusus lagi bagi grup-grup tembang Jawa (macapatan), tidak peduli apatah
anggota grup muslim atau bukan. Kidung
ini dahulu sangat dipercaya sebagai mantera penolak bala sekaligus membentuk
diri agar menjadi manusia yang dikasihi Gusti Allah, yaitu manusia yang
memiliki jiwa yang mulia. Untuk
menghayati kandungan suluk dan sukses mencapai maqam yang seperti itu, dahulu
kala kita harus melakukan puasa mutih, yaitu tirakat atau berpantang segala
macam makanan kecuali nasi putih, air putih dan buah-buahan segar selama 40
hari – 40 malam tanpa jeda. Di tengah malam selama periode tirakat, kita
diwajibkan mendendangkan Suluk secara lembut sambil meresapi maknanya,
selanjutnya dianjurkan tidur namun harus bangun kembali di waktu subuh guna
menjalankan salat Subuh.
Sebagai murid Sunan Bonang yang menjadi inti gerakan dakwah
Islam Abangan, yang berdakwah secara halus tanpa menimbulkan gejolak sosial,
menyusup dalam adat budaya masyarakat Jawa waktu itu, suluk dan berbagai ajaran
Sunan Kalijaga, menanamkan pemahaman
keislaman, keesaan serta kekuasaan Gusti Allah, para malaikat, para nabi
serta keluarga dan sahabat Kanjeng Nabi
Muhammad, yang tentu saja bercampur dengan nilai-nilai adat budaya lama
termasuk agama Syiwa (Hindu) – Budha. Oleh sebab itu dalam memahaminya kita
tidak boleh menelan mentah-mentah kalimat demi kalimat setiap ajarannya, melainkan harus pandai
memilah-milah, bahkan harus berusaha melakukan pencerahan sebagaimana yang
diharapkan oleh beliau-beliau para Kanjeng Sunan. (lihat tulisan:
“TONGGAK-TONGGAK AWAL TASAWUF JAWA”).
Bagi para pecinta seni budaya yang pada umumnya berperasaan
lembut, Suluk Kidung Kawedar yang
didendangkan dengan irama tembang Dandanggula, terdengar dan terasa sangat
meditatif dan kontemplatif. Lebih-lebih bila didendangkan di keheningan malam.
Sayang sekali pada bulan Februari 2012 yang lalu, tatkala
saya memenuhi undangan haul atau peringatan wafat seorang ulama di Demak,
kerinduan saya untuk mendengarkan berbagai aneka tembang dakwah para Wali di
daerah asalnya itu, tidak terpenuhi. Dalam peringatan yang digelar hampir sehari-semalam itu,
bahkan dalam acara sholawatan yang berlangsung lebih dari dua jam non stop –
medley – yang terdengar adalah irama musik padang pasir yang gemuruh, dengan
tembang-tembang sholawat yang sepenuhnya berbahasa Arab (sebagian sudah popular
di acara-acara televisi), kecuali empat lagu pujian, satu diantaranya Syi’iran
Hadrotus Gus Dur (Gus Dur, mantan Presiden RI).
Ironis sekali, tatkala dewasa ini para mubalig Islam kurang
mempedulikan lagi tembang-tembang, media dan sarana dakwah para Wali pendahulu,
saudara kita kaum nasrani justru melestarikan serta memanfaatkannya. Beberapa
waktu yang lalu ketika melayat seorang anggota keluarga yang wafat di Yogyakarta, dari pengeras suara saya mendengar
sayup-sayup irama-irama tembang dakwah ciptaan para Wali tersebut, dengan teks
puji-pujian sesuai agama nasrani. Masya Allah.
Kidung Kawedar terdiri dari 45 (empat puluh lima) bait. Berikut ini
saya kutipkan 3 (tiga) bait dalam bahasa Jawa dan terjemahan bebasnya sebagai
berikut:
Bait 1:
Ana kidung rumeksa ing wengi
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah penggawe ala,
guna ning wong luput,
geni temahan tirta,
maling adoh tan wani ngarah ing mami,
tuju duduk pan sirna.
Artinya:
Ada
tembang pujian menjaga di kala malam,
membuat kita selamat dan jauh dari segala penyakit,
terbebas dari segala mara bahaya,
jin dan setan tidak berani,
guna-guna atau teluh tidak mempan,
juga perbuatan buruk,
dari orang-orang jahat,
api menjadi dingin bagaikan air,
pencuri menjauh tiada yang berani mengincar saya,
segala mara bahaya sirna.
Bait 3:
Pagupakaning warak sakalir,
yen winaca ing segara asat,
temahan rahayu kabeh,
sarwo sarira ayu,
ingideran ing widodari,
rineksa malaekat,
sakathahing rosul,
pan dadyo sarira tunggal,
ati Adam utekku Baginda Esis,
pangucapku ya Musa.
Artinya:
Di tempat badak berkubang,
maupun jika dibaca di lautan bisa membuat air laut surut,
membuat kita semua selamat sejahtera,
diri kita menjadi serba cantik (elok),
di kelilingi para bidadari,
dijaga oleh para malaikat,
dan semua rasul,
pada hakekatnya sudah menyatu dalam diri kita,
di hati kita ada Nabi Adam, di otak kita ada Baginda Sis,
jika berucap bagaikan ucapan Nabi Musa.
Bait 4:
Napasku Nabi Ngisa linuwih.
Nabi Yakub pamiyarsaning wang,
Yusup ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Jeng Suleman kasekten mami,
Nabi Ibrahim nyawa,
Idris ing rambutku,
Bagendha Ali kulit ing wang,
Getih daging Abubakar Ngumar Singgih,
Balung Bagendha Ngusman.
Artinya:
Nafasku Nabi Isa,
Pendengaranku Nabi Yakub,
Wajahku Nabi Yusuf,
Nabi Dawud suaraku,
Kesaktianku Nabi Suleman,
Nabi Ibrahim nyawaku,
Nabi Idris dalam rambutku,
Baginda (Khalifah) Ali kulitku,
Darah – daging, Khalifah Abubakar dan Umar,
Tulangku Khalifah Usman.
Demikianlah saudaraku,
tulisan pendek tentang Suluk Kidung Kawedar atau Kidung Sarira Ayu, yang
pada hemat saya mengandung tiga makna utama. Pertama, kidung yang penuh dengan
tamzil dan perumpamaan ini, memperkenalkan Islam secara bertahap. Kedua,
merupakan jalan untuk menyatu dengan Gusti Allah, Sang Guru Sejati. Ketiga, bisa
menjadi wahana untuk senantiasa mengingat dan menyatu dengan Gusti Alah (dzikrullah), antara lain dengan
membiasakan mendendangkannya di tengah malam serta kapan saja mengikuti setiap
tarikan nafas kita.
Semoga.
Subhanallah.
(Beji, 10 April 2012).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda