Judul di atas seringkali ditanyakan oleh sahabat-sahabat
fesbuker, sama halnya dengan arti tasawuf dan tarekat. Tapi sungguh tidak mudah
mengulas makna “Sedulur papat, lima
pancer” atau empat saudara kita ditambah
yang kelima yang berhubungan lurus dan langsung. Nah, baru
menterjemahkannya saja sudah sulit mencari padanan katanya, supaya menghasilkan
arti yang tepat.
Istilah “sedulur papat, lima pancer” sampai sekarang diketahui
bersumber dari Suluk Kidung Kawedar atau disebut pula Kidung Sarira Ayu, bait
ke 41 – 42. Suluk ini diyakini masyarakat sebagai karya Sunan Kalijaga (sekitar
abad 15 – 16), yang berupa tembang-tembang tamzil. Ada empat hal yang
agak menyulitkan penafsiran dan pemahaman tembang tersebut. Pertama, karena
berupa tembang tamzil, uraiannya pendek-pendek dan penuh dengan tamzil atau pun
perumpamaan, tanpa ada penjelasan sebagaimana tulisan prosa.
Kedua, suluk-suluk periode itu termasuk Kidung Kawedar,
menggunakan gaya bahasa peralihan dari Jawa Kuno ke Jawa Madya (Pertengahan)
yang berbeda dengan gaya bahasa Jawa sekarang, apalagi bahasa Indonesia.
Ketiga, suluk yang dimaksudkan sebagai dakwah ini, menyusup secara halus ke
dalam adat-budaya dan agama masyarakat yang masih menganut agama Syiwa (Hindu) -
Budha, dengan harapan Islam dapat masuk dan berkembang tanpa harus menimbulkan
gejolak besar di masyarakat. Akibatnya istilah serta nilai- nilai keislaman
bercampur-baur dengan istilah dan nilai-nilai Syiwa-Budha- Kejawen.
Keempat, suluk yang berupa kidung yang diciptakan para Wali
pada masa Kesultanan Demak, merupakan bagian dari ilmu tasawuf, sehingga guna
memahami hakikatnya, tidak bisa hanya berdasarkan kata serta kalimat yang
tersurat semata, apalagi sepotong-sepotong, melainkan harus menyelami makna yang
tersirat dari keseluruhan isi kidung sebagai suatu kesatuan.
Lantaran berupa tembang tamzil, maka kemudian banyak orang
yang mencoba menafsirkannya, tentu saja dengan versi masing-masing tergantung
latar belakang pengetahuan dan kehidupannya.
Sebelum melangkah lebih jauh, marilah terlebih dulu kita
kutip dua bait kidung yang mengulas masalah “sedulur papat, lima pancer” ini, sebagai berikut:
Bait 41.
Ana kidung akadang premati,
among tuwuh ing kawasanira,
nganakaken saciptane,
kakang kawah punika,
kang rumeksa ing ngawak mami,
anekakaken sedya,
ing kawasanipun,
adhi ari-ari ika, kang mayungi ing laku kawasaneki,
anekakaken pangarah.
Terjemahan bebasnya:
Ada
kidung berteman dengan kehati-hatian,
bertugas mengatur kehidupan,
mewujudkan apa yang dikehendaki,
itulah dia Kanda Ketuban (kakang kawah),
yang menjaga diriku,
memenuhi kehendakku,
merupakan kewenangannya,
Adinda Ari-Ari ( adi atau dinda plasenta),
berwenang menaungi segala perbuatan,
memberikan arahan.
Bait 42.
Ponang getih ing rina wengi,
ngrewangi Allah kang kuwasa,
andadekaken karsane,
puser kawasanipun,
nguyu-uyu sabawa mami,
nuruti ing panedha,
kawasanireki,
jangkep kadangingsun papat,
kalimane pancer wus dadi sawiji,
tunggal sawujuding wang.
Terjemahan bebasnya:
Adapun darah, siang malam bertugas,
membantu Gusti Allah Yang Maha Kuasa,
mewujudkan keinginan,
sedangkan tentang
pusar (tali pusar),
memperhatikan setiap gerak-gerikku,
memenuhi permohonan,
itulah kewenangannya,
lengkap sudah empat saudaraku,
yang kelima, yang lurus langsung, sudah menjadi satu,
menyatu dalam wujudku.
Demikianlah saudaraku, bersumber dari kidung tersebut
selanjutnya muncul berbagai penafsiran beserta amalan-amalannya. Saya mencatat
selama ini ada lima
penafsiran yakni, pertama, penafsiran fisik ragawi persis sebagaimana yang
disebut dalam kidung. Artinya, “sedulur papat, lima pancer” yaitu ketuban, ari-ari, darah (yang tumpah atau keluar
menyertai kelahiran kita) dan tali pusar, sedangkan yang kelima adalah ruh yang
menyatu di diri kita. Keempat saudara-- ketuban, ari-ari (plasenta), darah dan
tali pusar -- setia mendampingi dan menyertai kita semasa bayi, baik tatkala
masih di dalam perut maupun sewaktu lahir ke dunia. Meskipun sesudah kita lahir
secara fisik keempat saudara itu sudah tidak berguna lagi, sesungguhnya secara
spiritual tidaklah demikian. Mereka tetap mendampingi kita dengan kemampuan dan
kewenangan seperti diuraikan tadi.
Sebagaimana layaknya sebuah hubungan, mereka akan setia membantu kita apabila
kita juga senantiasa peduli terhadapnya.
Penafsiran versi kedua yaitu berupa empat macam nafsu yang
berada di dalam diri manusia, yaitu (1). Nafsu supiyah, berhubungan dengan
masalah kesenangan, yang jika tidak dikendalikan akan menyesatkan jalan hidup
kita. (2).Nafsu amarah yang berkaitan dengan emosi. Jika tidak dikendalikan, ia
sangat berbahaya karena akan mengarahkan manusia kepada perbuatan dan perilaku
yang keji dan rendah. (3). Nafsu aluamah, yaitu nafsu yang sudah mengenal baik
dan buruk. (4) Nafsu mutmainah, yaitu nafsu yang telah menguasai keimanan
(mungkin lebih tepat nafsu yang telah dikendalikan oleh keimanan), yang membawa
sang pemilik menjadi berjiwa tenang, ridho dan tawakal. Sedangkan saudara yang
kelima (5) yaitu hati nurani.
Penafsiran versi ketiga adalah empat unsur atau anasir alam
yang membentuk jasad manusia, yaitu tanah, air, api dan angin. Sedangkan unsur yang
kelima adalah diri dan jiwa manusia itu sendiri.
Penafsiran keempat, yaitu cipta, rasa, karsa, karya dan jati
diri manusia. Hal itu disimbolkan dengan tokoh-tokoh dalam cerita wayang. Cipta
disimbolkan sebagai tokoh Semar, rasa sebagai tokoh Gareng, karsa sebagai
Petruk, karya sebagai Bagong dan jati diri manusia sebagai tokoh ksatria, antara lain Arjuna.
Penafsiran kelima yaitu 4 (empat) malaikat yang menjaga setiap
orang. Malaikat Jibril menjaga keimanan, malaikat Izrail menjaga kita agar
senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, malaikat Israfil
menerangi qalbu kita dan malaikat Mikail mencukupi kebutuhan hidup kita
sehari-hari. Sedangkan yang kelima adalah Sang Guru Sejati yang tiada lain
adalah Gusti Allah Yang Maha Kuasa. Penafsiran versi kelima ini merunut ajaran Sunan Kalijaga sendiri sebagaimana
diuraikan dalam Kidung Kawedar, khususnya bait ke 28 dan 29. Bait tersebut
menuturkan adanya keempat malaikat tadi beserta tugasnya dalam menjaga setiap
manusia.
Saudaraku, mungkin masih ada lagi penafsiran yang lain. Tapi
yang sudah saya ketahui baru lima itu tadi. Sementara
saya sendiri memberikan catatan atas tafsir kelima. Saya cenderung memilih tafsir
ini tapi malaikatnya bukan Jibril, Izrail, Israfil dan Mikail, melainkan malaikat Hafazhah atau malaikat Penjaga sesuai
firman Gusti Allah dalam Al Qur’an
Surat Ar-Ra’ad ayat 11 dan Surat Al Infithar ayat 10 – 12, tentang adanya
malaikat-malaikat yang menjaga dan memelihara
manusia secara bergiliran.
Dalam Tafsir Al Azhar mengenai Surat Ar-Ra’ad ayat 11, Buya Hamka menulis
giliran tugas malaikat-malaikat tersebut sesuai hadis adalah pada waktu subuh
dan sehabis waktu asar. Dalam suatu riwayat yang lain (namun saya belum
menemukan sumber rujukan yang sahih, kecuali dalam kisah-kisah), diceritakan jumlah
malaikat Hafazhah yang menjaga dan memelihara kita sebanyak 5 (lima) orang. Dua bertugas
di siang hari, dua di malam hari dan yang satu lagi tidak pernah berpisah
dengan diri kita.
Mengenai malaikat ini, Kanjeng Nabi Muhammad Saw dalam hadis
yang diriwayatkan Imam Ahmad, bersabda: “ Tidak seorang pun dari antara kamu, melainkan telah diwakilkan
untuknya temannya dari jin dan temannya dari malaikat. Para Sahabat bertanya: ‘
Engkau juga ya Rasulullah?’ Beliau menjawab:
‘Aku juga! Tetapi Allah selalu menolongku atasnya, maka tidaklah dia
menyuruhkan kepadaku melainkan yang baik-baik’”.
Kepedulian yang bagaimana dan apa yang harus kita lakukan
agar malaikat “sedulur” kita, menjaga kita dengan sebaik-baiknya? Buya Hamka
menjelaskan dengan mengingatkan Surat Az-Zukhruf ayat 36, yaitu “Barangsiapa yang
berpaling dari mengingat Allah Yang Maha Pengasih, niscaya Kami sertakan setan
sebagai temannya (yang selalu menyertainya).” Maka menurut Buya, selama zikir
kita kepada Allah masih kuat dan ibadah masih teguh, pengawalan dari
malaikatlah yang bertambah banyak, dan jika kita lalai dari jalan Tuhan,
datanglah teman dari iblis, jin dan setan.
Selain itu, pada hemat penulis, janganlah lupa sewaktu membaca salam diakhir
salat, untuk bermurah hati dengan meniatkan menyedekahkan salam yang pada
hakekatnya adalah doa, di samping kepada makhluk-makhluk Allah yang nampak mata,
juga kepada yang tak nampak mata termasuk para malaikat penjaga kita.
Demikianlah, beberapa penafsiran terhadap “Sedulur Papat,
Lima Pancer”. Mana yang paling tepat, yang paling benar? Hanya Gusti Allah Yang
Maha Tahu.
Subhanallah.
Beji,11 April 2012.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda