Selasa, 24 April 2012

TOLAK TIRANI KOALISI HITAM.


Presiden mau mengevaluasi Koalisi Partai-Partai pendukung Kabinet Indonesia Bersatu II, itu hal yang wajar dan sepenuhnya merupakan hak Presiden, kapan saja.Tapi mengaitkan evaluasi dengan sikap kritis, cara, retorika, estetika dan etika anggota-anggota Panitia Khusus Hak Angket DPR tentang Bank Century (Pansus BC), sungguh amat mengkuatirkan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mengisyaratkan tanda-tanda munculnya TIRANI KOALISI HITAM.

Gejolak perlawanan terhadapketidakadilan, beberapa bulan belakangan ini telah menggelinding bagaikan bola salju, yang berintikan masyarakat kelas menengah antara lain para face-booker. Di negara mana pun serta zaman kapan pun, meskipun jumlahnya lebih kecil dibanding masyarakat lapisan bawah, kelas menengah selalu paling ditakuti oleh penguasa. “Aku lebih takut dengan sepucuk pena wartawan dibanding seratus ribu pucuk bayonet”, kata Napoleon Bonaparte.

Gejolak perlawanan tersebut sebenarnya telah memperoleh kanalisasi dengan dibentuknya Pansus BC, yang harus juga diapresiasi, tidak lepas dari keinginan Presiden SBY sendiri untuk membuka kasus BC seterang-terangnya, agar tidak ada fitnah diantara kita.

Sidang-sidang terbuka Pansus BC mulai memvisualisasikan secara gamblang Hasil Audit BPK, yang sesungguhnya menurut UU BPK adalah final, walau publik juga kecewa melihat cara, gaya dan retorika anggota Pansus dalam mengorek keterangan para saksi, dan lebih kecewa lagi (untuk tidak mengatakan:muak), terhadap lagak para saksi (yang digaji sangat tinggi dengan pajak rakyat), yang sering menjawab lupa, tidak tahu dan seperti bodoh. Padahal mereka adalah cendekiawan, pejabat negara dan orang-orang terhormat yang sudah disumpah.

Di tengah situasi yang seperti itu, tiba-tiba muncul wacana evaluasi Koalisi Kabinet dengan mendasarkan pada sikap kritis anggota Pansus non Fraksi Demokrat (FD), yang mencecar para saksi vis-à-vis dengan anggota dari FD yang terkesan senantiasa mencoba melindungi para saksi. Padahal jika tidak ada apa-apa, mengapa harus melindungi?

Kekuatiran saya terhadap kecenderungan munculnya tirani sekaligus diktator mayoritas, terbentuk semenjak Amandemen UUD 1945 di awal Reformasi. Amandemen-amandemen tersebut sangat dipengaruhi faham individualisme dan liberalisme, yang sangat ditentang oleh para pendiri Republik Indonesia.

Amandemen UUD’45 akan membawa kita, sekarang mulai terbukti, ke pola kehidupan demokrasi prosedural yang mengandalkan pada kekuatan uang, pragmatisme kekuasaan dan semata-mata suara mayoritas. Ini akan mengancam kemajemukan kita sebagai satu bangsa, menimbulkan perasaan kesukuan yang berlebihan, pragmatisme kekuasaan yang telanjang, pemaksaan kehendak dari kekuatan mayoritas yang dapat mengalahkan kebenaran minoritas, anarki sosial serta lemahnya “check and balances” dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan negara, termasuk uang negara
dalam kasus BC.

Demokrasi prosedural juga telah menyebabkan rusaknya “social trust” dalam masyarakat, kohesi sosial rapuh serta merebaknya gejala-gejala konflik vertikal dan horizontal.

Karena itu mari kita antisipasi agar tirani dan diktator mayoritas tidak datang bagaikan roda-roda gila yang menggilas, melumat habis kita. Sekali kita membiarkan muncul, hasrat kekuasaan hitam itu akan terus berkembang. Dan ijinkan saya mengingatkan, nasihat Sang Guru kepada Antigone dalam kisah Oedipus dari mitologi Yunani yang amat termasyhur, “…..dari semua kejahatan yang bagai cacing mengerikiti jalan menuju istana raja-raja, yang terburuk adalah nafsu berkuasa. Nafsu berkuasa mengadu saudara lawan saudara, ayah lawan anak dan anak lawan tenggorokan orangtuanya.”

Sungguh mengerikan, lantaran nafsu berkuasa bisa muncul dimana dan kapan saja, termasuk di dalam pusat lingkaran kekuasaa itu sendiri.Naudzubillah. (Beji, 17 Januari 2010. BW).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda