Majalah Tempo Online: ARSITEK POLITIK KAMPANYE SBY
-
13 September 2004Rachmat Witoelar
Arsitek Politik Kampanye SBY
Orang boleh heran melihat jumlah anggota tim sukses calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencapai 1.000 orang. Tapi ternyata hanya 29 orang yang sibuk menyukseskan kandidat presiden yang populer dengan inisial SBY itu. "Saya ini staf khusus bagian khusus," kata Rachmat Witoelar Kartaadipoetra, yang jadi komandan Tim 29 itu.
Rupanya tak mudah bagi mantan Dubes RI untuk Moskow itu untuk mendefinisikan tugas timnya, sampai-sampai merasa perlu dua kali menggunakan kata "khusus". Bukan sekadar "khusus", Tim 29 ternyata malah bertugas mengerjakan semua urusan pencalonan SBY. Mulai dari memberi saran, menyeleksi acara, mengatur taktik dan strategi, sampai mengukur efek penampilan kandidat. Saking pentingnya, posisi Tim 29 berada di luar struktur tim sukses pimpinan Letjen (Purn.) Mohammad Ma'ruf, yang tersebar di semua provinsi.
Rachmat Witoelar, 63 tahun, bukanlah orang baru di panggung politik. Ia adalah suami tokoh LSM Erna Witoelar, mantan Menteri Negara Urusan Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pengalaman politik lelaki kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, yang sempat mewakili Golkar di DPR RI sejak 33 tahun lalu itu cukup banyak. Pernah menduduki posisi kunci sebagai Sekretaris Jenderal Golkar, belakangan namanya sempat tenggelam ketika ia bertugas sebagai Duta Besar RI di Moskow pada 1993.
Baru setahun bertugas di Moskow, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung ini bertemu dengan Kepala Kontingen Pemantau Pemilu Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia Herzegovina, yang tiada lain adalah SBY. Keterlibatan Republik Rusia dalam konflik itu mengharuskan SBY beberapa kali berkonsultasi dengan negara tersebut. Nah, saat itulah ia selalu mampir ke kedutaan untuk berdiskusi dengan Duta Besar Rachmat Witoelar. "Dan sejak itu saya merasa cocok dengan SBY," tutur Rachmat.
Ketika Rachmat pulang ke Jakarta, karier politik SBY, yang sempat mengetuai Fraksi ABRI di DPR (1998), tengah mencorong. Selanjutnya mereka semakin sering bertemu ketika Presiden Abdurrahman Wahid memimpin pemerintahan. Apalagi ketika itu istri Rachmat, yaitu Erna Witoelar, ditunjuk sebagai salah seorang anggota sebuah tim untuk menyusun personalia kabinet bersama SBY dan Ryaas Rasyid.
Sementara itu, kinerja pemerintah Presiden Megawati yang kurang memenuhi harapan, menurut Rachmat, telah mendorongnya untuk berpikir mencari tokoh alternatif. Maka, bersama beberapa kawannya-Heru Lelono, Suko Sudarso, Joyo Winoto, Agus Tagor-ia pun menimang-nimang sejumlah nama sebagai calon presiden. Dan salah seorang yang mereka anggap cocok ialah SBY. "Itu hasil kongko-kongkolah," ujarnya.
Rachmat semakin yakin dengan pilihannya setelah mendapat dukungan dari mantan presiden Abdurrahman Wahid. "Kita dukung orang itu, tapi sampean saja yang njalanin," kata Rachmat menirukan komentar Abdurrahman saat itu. Dukungan Abdurrahman-meski belakangan mengempis karena Abdurrahman sendiri mencalonkan diri-menjadi momentum untuk melakukan pendekatan kepada SBY. Maka, dua tahun lalu, ia pun bertandang ke rumah dinas SBY di kompleks perumahan menteri Widya Candra, Jakarta. Secara resmi ia melamar sebagai tim sukses kampanye calon presiden, dan SBY pun menyambutnya. Sejak itulah ia bergerak bersama kelompok kecilnya.
Salah satu tugas awal tim Rachmat ialah mencarikan calon wakil presiden sebagai pasangan SBY. Suatu hari ia menjaringnya dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah tokoh di Yayasan Bina Pembangunan di Pejaten, Jakarta Selatan. Beberapa nama yang dinominasikan antara lain Nurcholish Madjid, Hasyim Muzadi, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. "Tapi saya hanya sebagai tuan rumah, enggak ikut-ikutan," kata Bambang Wiwoho, Ketua Yayasan Bina Pembangunan.
Setelah itu Rachmat melakukan pendekatan ke beberapa tokoh. Tapi pilihan yang paling cocok akhirnya jatuh pada Jusuf Kalla (JK). Ketika Kalla hadir dalam pernikahan putri Gubernur Sumatera Utara, Rizal Nurdin, pertengahan Februari lalu, Rachmat langsung memburunya. Setelah itu, mereka berdua semakin sering berkomunikasi untuk menyelaraskan "bahasa dan frekuensi" JK dengan SBY.
Tugas Rachmat menjodohkan SBY dengan JK berakhir ketika mereka berdua sepakat bertemu di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, sebulan menjelang Konvensi Golkar, 20 April. Pertemuan empat mata selama satu setengah jam itu sempat bikin tegang anggota tim sukses kedua kandidat yang menunggu di lobi hotel mewah itu. "Ketika mereka keluar dari lift dengan wajah tersenyum, kami langsung lega," kata salah seorang anggota tim sukses. JK mengakui adanya pertemuan itu, termasuk peran Rachmat yang menjodohkannya dengan SBY. "Ya, begitulah. Tapi sebenarnya sudah lama kami ada pembicaraan," katanya singkat.
Bersamaan dengan proses perjodohan itu, SBY, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, terlibat konflik kecil dengan Presiden Megawati karena ia merasa otoritasnya dipreteli. Konflik itu meruncing ketika ia muncul dalam sebuah iklan pemilu damai di televisi. Hubungan semakin renggang ketika permintaan SBY untuk bertemu dengan Presiden tak digubris. Suasana pun memanas ketika Taufiq Kiemas, suami Presiden Megawati, menyebut SBY sebagai "jenderal yang kekanak-kanakan".
Gara-gara konflik kecil itu, SBY mengajukan surat pengunduran diri pada 11 Maret. Tak ayal, kasus itu menjadi sorotan media massa hingga semakin melambungkan popularitas SBY-yang muncul bagaikan sosok yang diperlakukan sewenang-wenang. Tapi momentum itu justru digunakan oleh SBY untuk mengumumkan niatnya mencalonkan diri sebagai presiden.
"Peristiwa itu menjadi Sarajevo-nya," kata Rachmat. Sarajevo adalah lokasi perang saudara dalam konflik etnis di Bosnia. Ia mengakui, dramatisasi yang akhirnya melambungkan popularitas SBY itu adalah hasil kerja timnya. Katanya, strategi kampanye SBY dilakukan dengan mencontoh berbagai kampanye presiden di negara lain. Bahkan, untuk melihat kecenderungan hasilnya, semua langkah dilakukan dan dievaluasi melalui analisis komputer.
Namun tak semua langkah Tim 29 mencapai sasaran. Menurut Rachmat, ia gagal menggandeng Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung. Di lain pihak ia menyayangkan keputusan Partai Golkar berkoalisi dengan PDI Perjuangan untuk mendukung Megawati-padahal sebelumnya getol mengkritik pemerintahan anak Bung Karno itu. Yang pasti, Rachmat menolak disebut sebagai otak pembelotan di tubuh Golkar hingga muncul Golkar Pembaruan. "I give you my word," katanya meyakinkan sambil mengangkat dua jari.
Singkat cerita, Tim 29 memang sukses mengkampanyekan SBY. Tapi, di lain pihak, kedekatan mereka dengan sang kandidat menimbulkan friksi dan kecemburuan anggota tim sukses yang lain. Setiap kali SBY berkunjung ke daerah, misalnya, Tim 29 berusaha membatasi kader Partai Demokrat bertemu dengan SBY. Sumber-sumber di partai itu menilai, Tim 29 hanya memanfaatkan Partai Demokrat sebagai batu loncatan bagi SBY untuk mencalonkan diri sebagai presiden. "Setelah itu, kami ditinggalkan," kata sumber tersebut. Ia bahkan menyebut, sejak awal Rachmat menolak SBY dicalonkan melalui Partai Demokrat. "Katanya, kami ini terlalu kecil," tambah sumber tadi, yang juga meragukan kesetiaan Rachmat karena berlatar belakang Golkar.
Dengan tegas Rachmat membantah. Katanya, sejak awal justru dialah yang menggagas pencalonan SBY diajukan langsung oleh rakyat, tidak dicalonkan oleh partai mana pun. Apalagi ketika itu belum ada undang-undang pemilu yang mensyaratkan kandidat harus dicalonkan melalui partai. Dia mengambil contoh pencalonan presiden di Swiss dan Amerika Serikat: siapa saja bisa mencalonkan diri dengan mengumpulkan sekian juta tanda tangan. "Kalau dicalonkan oleh partai, saya khawatir setelah presiden kelak terpilih, akan muncul upaya kooptasi oleh partai," katanya.
Itulah Ir. Rachmat Witoelar, aktivis mahasiswa 66, arsitek lulusan ITB, yang sukses sebagai arsitek politik kampanye seorang calon presiden. (TEMPO ONLINE).
diposting oleh B.Wiwoho pada 17.45
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda