Selasa, 31 Juli 2012

KAPAN KITA HARUS BERHENTI SAHUR, IMSAK KAH?

Perkembangan teknologi informasi, membuat suasana puasa Ramadhan kali ini terasa sangat luar biasa dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari pesan singkat SMS, Black Berry, face book sampai twitter, gegap gempita menyemarakkannya.  Didorong oleh prasangka positif dan keinginan untuk ikut syiar agama, sebuah kalimat dakwah tertentu bisa sampai ke tangan kita beberapa kali dalam seminggu, bahkan dalam sehari. Ada yang berulangkali datang sama persis tapi dari pengirim yang berbeda, ada pula yang ditambah, semakin lama semakin panjang, dan ada kalanya berubah jadi membingungkan. Malah boleh jadi pesan dakwah yang dibuat oleh seseorang, beberapa hari kemudian dikirim kembali kepadanya, sudah tidak sesuai aslinya lagi.

Salah satu dari materi yang banyak beredar  di media jejaring sosial tersebut adalah pandangan mengenai masalah imsak, yang selama ini dalam berbagai kalender Islam dan jadwal puasa di Indonesia, ditetapkan 10 (sepuluh) menit sebelum waktu Subuh.

Kata imsak seingat saya belum saya dengar  di masa kanak-kanak. Dan sebagai patokan batas akhir makan sahur, kami gunakan waktu Subuh. Tapi jam berapa persisnya waktu Subuh beserta waktu-waktu sholat dan buka puasa lainnya, itu tergantung dari apakah surat kabar langganan, yaitu Suara Merdeka (dari Semarang) dan Kedaulatan Rakyat (dari Yogyakarta) datang tepat pada hari yang sama.

Pada masa kanak-kanak, dari rumah kami di sebuah desa perkebunan  tebu (gula) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, praktis tidak pernah terdengar bunyi kentongan langgar atau bedug masjid, karena kedua tempat ibadah itu agak jauh jaraknya dari rumah. Sedangkan pada masa itu belum lazim digunakan pengeras suara. Oleh sebab  itu saat sholat lima waktu kami tetapkan kira-kira, misalkan Subuh sekitar pukul 04.30 – 05.00, dzuhur sekitar 12.00, ashar sekitar 15.30, maghrib 18.00 dan Isya pukul 19.15.
Bagaimana dengan batas akhir makan sahur , termasuk minum? Ayah dan ibu menetapkan sederhana saja. “Kalau menurut ajaran orang-orang tua mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad Saw., ya pada saat kita sudah bisa membedakan warna benang putih dengan benang hitam dalam keadaan tanpa lampu penerangan. Tapi kok repot amat, ya sudah sekitar waktu Subuh itu saja. Ini pun sesuai Kanjeng Nabi” Namun bagaimana jika bangun kesiangan? Kalau masih sekitar pukul 04.30 kami masih diijinkan makan-minum. Sementara pada jam 05.00 harus berhenti.

Seiring dengan perjalanan waktu dan kemajuan media komunikasi serta wawasan pergaulan, khususnya di Jakarta, saya menjadi mengenal kata imsak sebagai peringatan agar kita mempercepat sahur bagi yang belum selesai. Kumandang “imsaaaakkkkkk” dari masjid-masjid, seringkali menjadi pertanda agar kami bergegas menyudahi makan, pergi ke kamar mandi, gosok gigi dan mengambil wudhu, kemudian minum air putih beberapa teguk sambil menunggu adzan Subuh. Demikianlah dalam keluarga saya, bagi anak-anak yang sulit dibangunkan untuk makan sahur, masih kami ijinkan menyelesaikan makan dan minumnya sampai pada saat adzan Subuh mulai berkumandang.”Sesungguhnya waktu Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makanlah dan minumlah sampai kamu mendengar adzan atau panggilan yang dikumandangkan oleh Ibnu Ummu Maktum ( Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).

Pada zaman Rasulullah, umat Islam di Madinah memiliki dua pengumandang adzan, yaitu Bilal dan Ibnu Ummu Maktum. Di waktu fajar, Bilal bertugas mengumandangkan adzan pertama, guna membangunkan masyarakat agar bersiap-siap melaksanakan sholat Subuh. Sedangkan adzan kedua dikumandangkan oleh Ibnu Ummu Maktum untuk pertanda segera dimulainya sholat Subuh. Kebiasaan dua kali adzan Subuh ini, sampai sekarang masih berlangsung di Masjid Nabawi, Madinah.  Lantas berapa jarak waktu antara kedua adzan tersebut, menurut riwayat sekitar bacaan 50 (lima puluh) ayat. Bukan sekian menit, karena memang pada waktu itu belum ada jam dengan hitungan menitnya.

Sampai sekarang, kemampuan saya yang terbatas masih belum menemukan sejarah dipakainya kebiasaan hubungan waktu imsak dan sholat Subuh ini di Indonesia,  yang kurang lebih sama dengan jarak adzan Bilal dengan Ibnu Ummu Maktum tersebut. Kata imsak itu sendiri di dalam Al Qur’an hanya dijumpai satu kali, yaitu di dalam Surat al-Baqarah ayat 229, yang mengatur tentang talak yang dapat dirujuk sebanyak dua kali (aththalaaqu  marrataani fa imsaakum bi mar’ruufin  au tasriihum ……..dst).

Menurut buku Ensiklopedi Hukum Islam (penerbit PT.Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta), kata imsak yang berasal dari bahasa Arab “amsaka-yumsiku” berarti menahan diri. Yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Arti lain dari kata imsak adalah mengawini kembali setelah rujuk, sebagaiman Surat al-Baqarah di atas.

Mengapa masalah imsak ini menjadi populer di Indonesia? Sebagaimana tadi saya kemukakan, saya belum menemukan asal-usulnya. Bisa jadi itu merupakan kebiasaan yang otomatis diterima oleh para ulama dan masyarakat, atau mungkin juga hasil sebuah ijtihad dan ijmak ulama fikih. Mudah-mudahan  nanti ada ahli sejarah  hukum Islam Indonesia yang bisa menjelaskan.

Akan halnya ijtihad,  yaitu usaha sungguh-sungguh dari seorang ulama  untuk mencapai suatu putusan hukum Islam (syarak) tentang sesuatu kasus,  yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.  Sedangkan ijmak adalah kesepakatan para ulama mengenai sesuatu hukum Islam, yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw.
Baik ijtihad maupun ijmak dilakukan oleh para ulama fikih berdasarkan beberapa hadis sahih yang diriwayatkan oleh para perawi ternama antara lain Bukhari dan Muslim.

Khusus mengenai ijtihad, ahli fikih tersohor kelahiran Lhokseumawe, Aceh, 10 Maret 1904 almarhum Hasan ash Shiddieqy dalam Ensiklopedi Hukum Islam mengemukakan, syariat Islam bersifat dinamis dan elastis, sesuai perkembangan masa dan tempat. Ruang lingkupnya mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dengan Tuhannya. Metode untuk mengantisipasi  setiap perkembangan yang timbul dalam masyarakat itulah yang kemudian memunculkan ijtihad,  yang pada tahap selanjutnya melahirkan fikih dan mazhab-mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.

Pada hematnya, hukum fikih yang dianut oleh masyarakat Islam Indonesia banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Kita cenderung memaksakan berlakunya fikih  empat mazhab tersebut. Oleh karena itu sebagai alternatif, ia mengajukan gagasan perumusan kembali fikih Islam yang berkepribadian Indonesia, yang sesuai dengan sosio kultural dan religi masyarakat Indonesia. Namun begitu, hasil ijtihad ulama  masa lalu bukan berarti harus dibuang sama sekali, melainkan harus diteliti dan dipelajari secara bebas, kritis dan terlepas dari sikap fanatik. Dengan demikian pendapat ulama dari mazhab mana pun, asal sesuai dan relevan dengan situasi masyarakat Indonesia, dapat diterima dan diterapkan.

Pandangan  Hasan ash Shiddieqy itu menarik dan kurang lebih sama dengan pandangan almarhum Mr.Syafruddin Prawiranegara   dalam salah satu khotbah Ied di Jakarta tahun 1970-an. Jika kita tidak berani dan tidak mampu melakukan ijtihad, katanya, maka Islam menjadi sangat terkebelakang dan sulit dilaksanakan oleh umat di masa depan. Sebagai contoh, bagaimana kita melaksanakan zakat maal jika membabi-buta mengikuti yang berlaku di zaman Rasulullah? Mata uang kita bukan dinar dan dirham. Ternak dan kendaraan kita bukan onta. Ladang bisnis kita  bukan kebun kurma dan zaitun, melainkan pabrik-pabrik  moderen yang nilainya jauh lebih tinggi dibanding kebun kurma dan zaitun. Kita tidak memiliki onta tapi memiliki mobil yang harganya jauh lebih mahal dari beberapa ekor onta. Sungguh, khotbah ini sangat membekas pada diri saya.

Itulah saudaraku, catatan saya tentang imsak. Mungkin ada perbedaan pendapat di antara kita, tetapi marilah kita berdamai. Kepada pemeluk agama lain saja Al-Qur’an menyatakan, “ Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”.  Maka sesama muslim,  marilah jangan  saling menyalahkan,  apalagi mengecam satu sama lain dilandasi  ujub dan riya,  merasa paling benar sendiri,  merasa diri kitalah pemegang kunci surga. Kalau toh ada yang salah, misalkan berpendapat waktu imsak yang ditetapkan sekitar sepuluh menit sebelum adzan Subuh sebagai batas akhir sahur, ya kita luruskan baik-baik dengan penuh kesabaran.
Wal ‘Ashr.
 Beji, 31 Juli 2012.         

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda