Kebijakan-kebijakan besar mendasar yang diluncurkan pada 30
Maret 1983 dan 2 Juni 1984, terus disempurnakan dan dilengkapi dengan
kebijakan-kebijakan lain di waktu-waktu kemudian. Sesudah kebijakan-kebijakan
yang diharapkan bisa menyehatkan perekonomian dan dunia usaha tersebut,
reformasi pajak memperoleh giliran berikutnya.
Namun sebagaimana diuraikan di bagian depan, masalah pajak
ini amat sangat peka. Di samping harus cermat membaca sikap masyarakat yang
masih mengidap trauma pajak, juga perlawanan dari aparat pajak. Sudah selama
tiga tahun pemerintah bekerja mempersiapkan sistem perpajakan baru. Tetapi
kecuali Presiden Soeharto, anggota kabinet dan Direktur Jenderal Pajak Salamun
AT, usaha ini sangat ditentang di semua front, mulai dari departemen perpajakan
( penulis: secara lebih khusus yang dimaksud adalah aparat pajak), DPR sampai
masyarakat umum.
Walaupun menemukan banyak oposisi, tim ekonomi meyakini
bahwa reformasi merupakan hal yang perlu dilaksanakan, dan mereka tetap maju
dengan memberi prioritas kepada masalah-masalah keamanan negara. Kemampuan
pemerintah untuk membiayai operasi-operasinya di kemudian hari dipertaruhkan di
sini. Perlawanan pertama adalah justru
di internal aparat pajak (fiskus) itu sendiri. Dengan reformasi pajak yang akan
dilakukan secara total dan mendasar, banyak kewenangan serta peluang permainan
mereka yang akan terpangkas atau dihapus. Guna meyakinkan manfaat reformasi
pajak bagi bangsa dan negara, dan pada gilirannya bagi setiap anggota
masyarakat serta individu, diadakanlah seminar internal di Jakarta, di Puncak
hingga di Unversitas Harvard, Amerika Serikat, total mencapai lebih dari 1000
jam seminar.
Untuk memberikan gambaran situasi mengapa aparat pajak
melawan dari dalam, berikut ini saya kutipkan kata pengantar saya selaku editor
buku “Bunga Rampai: Pajak di Mata Rakyat” sebagai berikut:
“Di restoran Oasis – Jakarta.
Pada suatu hari dalam pertengahan tahun 1970-an, dalam jamuan makan siang
dengan beberapa tokoh pengusaha untuk
memperoleh bahan masukan dan umpan balik bagi penyusunan rencana kebijaksanaan
pemberitaan, saya sebagai Redaktur Ekonomi Harian Suara Karya (waktu itu),
melemparkan gagasan mengembangkan rubrik pajak. Seorang pengusaha yang hadir
mentertawakan ide saya, dan mengatakan, ‘Percuma kita membuang waktu dan tenaga
untuk belajar pajak. Toh pada akhirnya semuanya bisa kita atur di kamar hotel”.
Dirjen Pajak Salamun AT pun mengakui, citra negatif aparat
pajak bahkan dapat mengarah pada pribadi aparatnya, misalnya ungakapan “Pantas
saja dia kaya, orang pajak sih!”. Singkatnya, aparat pajak seakan berkonotasi
dengan penyelewengan.
Sekalipun tidak semua aparat pajak melakukan penyelewengan
seperti itu, namun pengaruh negatifnya
menyebar kemana-mana (penulis: bahkan sampai sekarang sewaktu tulisan
ini dibuat, kembali marak dengan terungkapnya berbagai korupsi aparat pajak
khususnya kasus aparat pajak yang masih sangat muda yang bernama Gayus
Tambunan). Akibatnya terjadi generalisasi citra buruk terhadap perpajakan. Kita
misalnya dapat mengutip Gubernur Bengkulu Suprapto dalam koran Jurnal Ekuin, 13
Oktober 1982, yang menyatakan, petugas pajak lebih merupakan momok di mata
rakyat ketimbang petugas yang menjalankan fungsinya bagi kepentingan negara
(Bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda