Senin, 11 Februari 2013

Revolusi Perpajakan th 1983 (6): REFORMASI PAJAK, DITENTANG DI SETIAP FRONT.




Kebijakan-kebijakan besar mendasar yang diluncurkan pada 30 Maret 1983 dan 2 Juni 1984, terus disempurnakan dan dilengkapi dengan kebijakan-kebijakan lain di waktu-waktu kemudian. Sesudah kebijakan-kebijakan yang diharapkan bisa menyehatkan perekonomian dan dunia usaha tersebut, reformasi pajak memperoleh giliran berikutnya.

Namun sebagaimana diuraikan di bagian depan, masalah pajak ini amat sangat peka. Di samping harus cermat membaca sikap masyarakat yang masih mengidap trauma pajak, juga perlawanan dari aparat pajak. Sudah selama tiga tahun pemerintah bekerja mempersiapkan sistem perpajakan baru. Tetapi kecuali Presiden Soeharto, anggota kabinet dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, usaha ini sangat ditentang di semua front, mulai dari departemen perpajakan ( penulis: secara lebih khusus yang dimaksud adalah aparat pajak), DPR sampai masyarakat umum.

Walaupun menemukan banyak oposisi, tim ekonomi meyakini bahwa reformasi merupakan hal yang perlu dilaksanakan, dan mereka tetap maju dengan memberi prioritas kepada masalah-masalah keamanan negara. Kemampuan pemerintah untuk membiayai operasi-operasinya di kemudian hari dipertaruhkan di sini.  Perlawanan pertama adalah justru di internal aparat pajak (fiskus) itu sendiri. Dengan reformasi pajak yang akan dilakukan secara total dan mendasar, banyak kewenangan serta peluang permainan mereka yang akan terpangkas atau dihapus. Guna meyakinkan manfaat reformasi pajak bagi bangsa dan negara, dan pada gilirannya bagi setiap anggota masyarakat serta individu, diadakanlah seminar internal di Jakarta, di Puncak hingga di Unversitas Harvard, Amerika Serikat, total mencapai lebih dari 1000 jam seminar.  

Untuk memberikan gambaran situasi mengapa aparat pajak melawan dari dalam, berikut ini saya kutipkan kata pengantar saya selaku editor buku “Bunga Rampai: Pajak di Mata Rakyat” sebagai berikut:
“Di restoran Oasis – Jakarta. Pada suatu hari dalam pertengahan tahun 1970-an, dalam jamuan makan siang dengan  beberapa tokoh pengusaha untuk memperoleh bahan masukan dan umpan balik bagi penyusunan rencana kebijaksanaan pemberitaan, saya sebagai Redaktur Ekonomi Harian Suara Karya (waktu itu), melemparkan gagasan mengembangkan rubrik pajak. Seorang pengusaha yang hadir mentertawakan ide saya, dan mengatakan, ‘Percuma kita membuang waktu dan tenaga untuk belajar pajak. Toh pada akhirnya semuanya bisa kita atur di kamar hotel”.

Dirjen Pajak Salamun AT pun mengakui, citra negatif aparat pajak bahkan dapat mengarah pada pribadi aparatnya, misalnya ungakapan “Pantas saja dia kaya, orang pajak sih!”. Singkatnya, aparat pajak seakan berkonotasi dengan penyelewengan.
Sekalipun tidak semua aparat pajak melakukan penyelewengan seperti itu, namun pengaruh negatifnya  menyebar kemana-mana (penulis: bahkan sampai sekarang sewaktu tulisan ini dibuat, kembali marak dengan terungkapnya berbagai korupsi aparat pajak khususnya kasus aparat pajak yang masih sangat muda yang bernama Gayus Tambunan). Akibatnya terjadi generalisasi citra buruk terhadap perpajakan. Kita misalnya dapat mengutip Gubernur Bengkulu Suprapto dalam koran Jurnal Ekuin, 13 Oktober 1982, yang menyatakan, petugas pajak lebih merupakan momok di mata rakyat ketimbang petugas yang menjalankan fungsinya bagi kepentingan negara (Bersambung).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda