Melihat filosofi dan isinya, sesungguhnya reformasi atau
Pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional 1983 lebih tepat disebut sebagai
revolusi. Karena ini bukan sekedar penataan kembali, bahkan juga bukan hanya
sekedar membongkar total, melainkan membuang berbagai Undang-Undang dan
peraturan-peraturan lama warisan zaman penjajahan Belanda sejak tahun 1925,
serta menggantikannya dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang baru
sama sekali.
Memang seperti tidak masuk akal. Tapi itulah kenyataannya.
Sistem Perpajakan yang berlaku sebelumnya adalah sistem yang dibuat pada
zaman penjajahan seperti Ordonansi Pajak
Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak
Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.
Ditinjau dari segi ketatanegaraan, landasan pemikiran,
sasaran dan tujuannya, terlihat adanya perbedaan mendasar antara pemungutan
pajak di zaman penjajahan dan di alam kemerdekaan sekarang ini. Pada zaman
kolonial, pemungutan pajak semata-mata untuk memenuhi kepentingan Pemerintahan
Penjajahan, sedangkan di era kemerdekaan pajak
adalah dari, oleh dan untuk rakyat pembayar pajak itu sendiri. Dalam
suatu negara merdeka, pajak merupakan perwujudan atas kewajiban kenegaraan dan
peranserta anggota masyarakat dalam memenuhi keperluan pengelolaan negara dan
pembangunan nasionalnya, demi mencapai keadilan sosial dan kemakmuran yang
merata, baik spiritual maupun material.
Sejak tahun 1945, Indonesia adalah sebuah negara merdeka,
sehingga sudah seharusnya pula memiliki sistem perpajakan baru dengan falsafah dan landasan ideologi dari
suatu negara modern yang berdaulat, yang demokratis berasaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, khususnya prinsip kegotongroyongan dalam pengelolaan serta kehidupan bernegara.
Di samping asas demokrasi, perpajakan nasional harus
didayagunakan sehingga mencerminkan asas keadilan sosial. Asas-asas dan
falsafah tersebut harus mengubah falsafah pajak sebagai iuran wajib dari warga
negara kepada Pemerintah, yang baik penetapan, adminstrasi maupun
penggunannya semata-mata menjadi
wewenang Pemerintah, sebab itu Wajib Pajak ditempatkan sebagai obyek, ke suatu
falsafah perpajakan baru yang menempatkan Wajib Pajak menjadi subyek yang harus
aktif serta memegang peranan yang menentukan baik dalam
membayar pajak maupun dalam menggunakannya.
Untuk itu pembiayaan Pemerintah harus bertumpu pada sumber yang memiliki
basis yang luas dan kuat, kokoh mandiri secara nasional. Basis yang seperti
itu, yang secara potensial dimiliki negara adalah penduduk atau rakyatnya. Sumber pembiayaan yang berasal dari rakyat
itulah yang disebut pajak. Akan tetapi kebanyakan penduduk kita sama sekali
tidak membayar pajak, bahkan di antara yang membayar pun masih banyak yang belum
sebagaimana sewajarnya.
Permasalahannya, disamping sistem perpajakan yang ada tidak
menunjang karena sudah kuno, juga tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan, baik filosofis, sistem
ketatanegaraan maupun kondisi
perekonomian modern. Oleh sebab itu sistem yang lama harus diganti dengan
sistem baru sama sekali.
Namun timbul masalah lain. Di mana pun dan kapan pun,
masalah pajak ini amat peka. Banyak Pemerintah di berbagai belahan bumi, yang
jatuh gara-gara pajak. Banyak gejolak
bahkan pemberontakan yang berkobar lantaran pajak. Karena itu meskipun
Pemerintah Orde Baru semenjak awal menyadari bahwa sistem perpajakan harus
diperbaiki, terpaksa mengulur-ulur waktu, dengan sekedar membuat
perubahan-perubahan kecil dan perbaikan tambal-sulam, yang ternyata semakin
lama bukan semakin baik, tapi justru semakin membuat ruwet dan memiliki banyak
kelemahan, antara lain:
1.
Terdapat berbagai jenis pajak dengan peraturan
yang beraneka ragam
- Pelaksanaan kewajiban
pajak sangat tergantung pada aparat pajak.
- Terdapat berbagai jenis
tarif termasuk adanya tarif khusus, dengan struktur tarif yang mudah
menimbulkan peluang menghindari pajak.
- Tata cara pemungutan
yang berbelit-belit sehingga juga membuka peluang permainan.
Dalam rangka membangun sistem yang baru sama sekali buat
menggantikan sistem lama, Pemerintah membentuk Panitia Pengarah serta berbagai
Tim Kerja baik yang berada di dalam lingkungan Ditjen Pajak dan Departemen
Keuangan maupun yang berada di luar Departemen Keuangan. Jumlah seluruh Tim
mencapai 22, ditambah Panitia Pengarah menjadi 23. 13).
Guna memperoleh pengalaman dari negara-negara lain dalam
melakukan reformasi perpajakan, maka disamping melakukan berbagai studi
banding, Pemerintah juga meminta pendapat dari sejumlah tenaga ahli asing yang
berpengalaman, agar kita bisa mengambil hal-hal yang positif dan menutup
hal-hal negatif.
Bagi Indonesia,
persiapan pembaruan ini mencakup semua
aspek yang terkait, mulai dari bersifat struktural sampai ke hal-hal yang
bersifat prosedur, adminstratif dan bahkan berbagai permasalahaan pelaksanaannya
sekaligus. Dalam perkembangannya masih ditambah lagi dengan persiapan
pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Karena itu tim yang dibentuk
mencakup para ahli dan pejabat perpajakan, akuntan, ahli teknologi informasi,
hukum, ekonomi bahkan ahli bahasa Indonesia.
Pelaksanaan Pembaruan Sistem Perpajakan dilakukan
berdekatan waktunya dengan dimulainya Pelita IV pada bulan April 1984. Untuk
periode tersebut anggaran belanja negara telah ditentukan sebesar 26% dari
Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila harga ekspor migas tidak menurun, maka
pendapatan dari migas akan bisa memenuhi setengah dari anggaran belanja negara
tadi, atau sektar 13% dari PDB. Arus bantuan luar negeri atau hutang luar
negeri, sementara itu diharapkan memenuhi sekitar 2,5% dari PDB. Dengan
demikian jika tidak ada kenaikan pinjaman komersial oleh Pemerintah dan
penurunan target anggaran yang drastis, maka pendapatan dari non migas harus
dinaikkan menjadi sekurang-kurangnya 10,5% dari PDB atau 3,5% lebih besar
dibanding biasanya yang mencapai 7%.
Dengan kata lain, laju pertumbuhan pengumpulan pajak haruslah sekurang-kurangnya dua kali lipat laju perkembangan PDB. Namun
perhitungan dengan data yang ada menyatakan tidak mungkin mempercepat laju
perkembangan pendapatan non migas yang seimbang dengan perkembangan PDB. Karena
itu, laju pendapatan non migas haruslah tiga kali lipat laju PDB, agar tingkat
anggaran belanja negara bisa tetap. Akan tetapi berdasarkan pengalaman, hal ini
tidak pernah terjadi di negara mana pun, sehingga sasaran pendapatan dari
reformasi pajak hanyalah meningkatkan laju pendapatan dari pajak penjualan dan
pajak pendapatan sebesar dua kali lipat dari laju PDB dalam jangka waktu lima
tahun. Itu pun belum pernah terjadi di mana pun, kecuali bila porsi dari kedua
jenis pajak tersebut rendah sekali.
Ringkasnya, paket PSPN dipersiapkan guna menghadapi
kemungkinan penurunan porsi penerimaan migas dalam PDB dengan harga ekspor
tahun 1983 sebagai batasan. Kalau pada pertengahan 1984 harga ekspor migas
menurun lagi, maka tidak ada jalan lain guna menutup defisit negara kecuali
dengan cara memotong anggaran belanja
atau meningkatkan pinjaman komersial dari negara lain. Dalam hal ini
PSPN tidak diandalkan. 14).
Setelah falsafah baru berhasil dirumuskan, selanjutnya dirumuskan
tujuan PSPN sebagai berikut:
1.
Menegakkan kemandirian dalam membiayai
Pembangunan dengan menggerakkan segenap kemampuan nasional.
2.
Menyederhanakan sistem perpajakan terutama yang
mencakup jenis, tarif dan pembayarannya. Dengan sistem yang sederhana,
diharapkan masyarakat mudah mempelajari sendiri, sementara di lain pihak
memperkecil kesempatan kontak dengan aparat pajak.
3.
Menyusun sistem pembayaran pajak yang adil tapi
mudah diwujudkan pelaksanaannya.
4.
Membenahi dan menata aparatur perpajakan yang
meliputi semua aspek baik porsedur, tata kerja, disiplin maupun mental.
5.
Membuat beban pajak yang semakin adil, wajar dan
mengandung semangat pemerataan bagi semua penduduk, sehingga di satu pihak
mendorong Wajib Pajak melaksanakan
dengan sadar kewajibannya membayar pajak, di lain pihak menutup
lubang-lubang bagi penghindaran dan penggelapan pajak.
PSPN dengan falsafah dan tujuan seperti diuraikan diatas
memiliki enam ciri, yaitu:
1.
Sederhana baik dalam jumlah dan jenis pajaknya,
tarif dan sistem pemungutannya serta
menghapuskan pajak berganda.
2.
Mencerminkan pemerataan dalam pengenaan dan
pembebanan.
3.
Memberikan asas keadilan dan kepastian hukum
baik bagi Wajib Pajak maupun aparat pajak.
4.
Menutup peluang penggelapan pajak dan
penyalahgunaan wewenang.
5.
Memberikan kepercayaan yang besar kepada Wajib
Pajak dengan memberlakukan asas menghitung dan menyetor sendiri kewajiban
pajaknya (self assessment).
6.
Mendorong dan memberikan pengaruh yang positif
pada kegiatan ekonomi dan bisnis.
Berdasarkan falsafah, tujuan dan ciri-ciri seperti itu,
Rancangan Undang-Undang (RUU) disusun, sehingga menjelang pidato kenegaraan
Presiden Soeharto tanggal 16 Agustus 1983, Panitia Pengarah dan timnya sudah
mempunyai gambaran yang pasti tentang paket PSPN. Gambaran itu pulalah yang
menjadi dasar bagi Presiden untuk
menyinggung dan memberitahukan kepada sidang Dewan Perwakilan Rakyat, mengenai
akan diajukannya beberapa RUU dalam rangka melakukan reformasi perpajakan
sebelum Repelita IV (1 April 1984) dimulai.
Sebelum pidato kenegaraan 16 Agustus 1983, sesungguhnya
Pemerintah juga sudah melakukan pra-kondisi dengan memasukkan pokok-pokok dari
reformasi perpajakan ke dalam pembahasan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1983.
Demikianlah, pematangan penggodogan PSPN terus dilakukan
secara maraton, menyeluruh, terpadu dan simultan mulai dari RUU sampai dengan
rancangan berbagai peraturan pelaksanaannya seperti rancangan Peraturan
Pemerintah, Surat Keputusan Menteri sampai Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak, yang dipersiapkan sudah bisa dikeluarkan sekaligus semuanya pada saat
diundangkan.
Tiga bulan semenjak disinggung dalam pidato kenegaraan,
akhirnya pada hari Saptu tanggal 5 November 1983, Pemerintah yang diwakili oleh
Menteri Keuangan Radius Prawiro, mengajukan Paket I dari PSPN ke Sidang Paripurna DPR. Paket I ini terdiri
dari tiga RUU yaitu RUU tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), RUU tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan RUU
tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Paket II diajukan
dua tahun berikutnya, yaitu Senin 4 November 1985, terdiri dari RUU
tetang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta RUU tentang Bea Meterai (BM). (bersambung).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda