1983 –
1988 : Krisis Ekonomi Terbesar Orde Baru
Jika
mobilisasi kabinet untuk mengatasi krisis Pertamina dilukiskan Radius Prawiro
bagaikan menghadapi masa darurat perang atau
bencana nasional yang sangat besar, maka situasi perekonomian pada tahun
1986 dilukiskan seperti menghadapi krisis ekonomi terbesar sejak masa Orde Baru
mulai berkuasa di pertengahan dekada 1960-an. Radius adalah pejabat yang paling
lama berada di dalam jajaran kabinet, 28 tahun, yakni selama periode 1965 –
1993. Bahkan ketika Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, dan
BJ.Habibie tampil menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, Habibie masih
meminta Radius turun gelanggang ikut mengatasi krisis memimpin INDRA,
Indonesian Debt Restructuring Agency (Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri
Perusahaan Swasta Indonesia).
Tulisan yang
cukup mendalam mengenai keadaan perekonomian Indonesia periode 1983 – 1988 ,
saat Radius menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia tuangkan dalam dua bukunya
yang berjudul “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi”
dan “Radius Prawiro, Kiprah, Peran dan Pemikiran”. Uraian yang lebih singkat
yang dimaksudkan untuk menggambarkan latar belakang Pembaruan Sistem Perpajakan
Nasional, bisa dibaca dalam tulisan saya “Revolusi Perpajakan th 1983:
Membangun Monumen Nasional Yang Bisa Menjadi Mesin Uang”.
Bersyukur
sebelum krisis 1986 terjadi, pada 1983 tim ekonomi pemerintah telah merasakan
tanda-tandanya sehingga dengan cepat mengambil sejumlah langkah antisipasi, di
antaranya melakukan reformasi total terhadap sistem perpajakan nasional . Pajak
akan bisa menggantikan penerimaan minyak dan gas bumi yang terjun bebas dan bisa
habis, menjadi tumpuan sumber pembiayaan negara yang memiliki basis luas, kuat
dan kokoh mandiri secara nasional.
Mungkin banyak orang, lebih-lebih generasi muda, kurang bisa memahami
bagaimana situasi perpajakan nasional 30 tahun yang lalu itu, bagaikan panas
setahun yang hilang karena hujan sehari. Tetapi dokumentasi media massa dan buku-buku
ekonomi-perpajakan yang terbit pada masa itu dapat menggambarkan betapa besar
tantangan yang dihadapi Pemerintah, baik tantangan dari masyarakat termasuk
dunia usaha maupun aparat pajaknya sendiri. Sampai-sampai menurut Radius,
tatkala mempersiapkan revolusi perpajakan selama 3 tahun sejak 1979, “kecuali
Presiden Soeharto, anggota kabinet dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT,
usaha ini sangat ditentang di semua front, mulai dari departemen perpajakan,
DPR, sampai masyarakat umum”.
Sambutan
yang kurang kondusif juga masih terus dihadapi setelah Pembaruan Sistem
Perpajakan Nasional (PSPN) disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir tahun
1983. Akibatnya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UUPPN) dan keputusan
Presiden mengenai pengampunan pajak terpaksa ditunda pelaksanaannya. Baik
Menteri Keuangan Radius Prawiro maupun Direktur Jenderal Pajak Salamun AT,
menilai situasi sudah sampai pada tahap menegangkan dan bisa menimbulkan
frustasi.
Dalam
kondisi yang seperti itulah penulis dan beberapa teman wartawan senior selaku
pimpinan dari lembaga swadaya masyarakat Yayasan Bina Pembangunan (YBP), pada
tanggal 11 September 1984, diminta untuk membantu membalikkan keadaan mengatasi
situasi. Sesungguhnya beberapa saat sebelum PSPN diajukan ke DPR, Penasehat
Pemerintah Prof.Dr.Widjojo Nitisastro sudah pernah meminta agar penulis
membantu Pak Radius menggarap PSPN. Namun penulis hanya mengiyakan tanpa pernah
sama sekali menyampaikan hal tersebut kepada Pak Radius. Ternyata menurut Pak
Radius, sebenarnya Pak Widjojo sudah
pernah membicarakan hal itu dengannya, tetapi ia berpendapat saatnya belum
tepat. Karena tanpa kehadiran pihak luar saja, perlawanan dari dalam terhadap PSPN sudah sangat besar.
Apalagi jika melibatkan pihak luar. Padahal ia sudah mengkaji kemampuan staf
internal yang tidak akan mampu menangani
sosialisasi PSPN. Toh ia akan memberikan kesempatan terlebih dulu kepada mereka
untuk mencobanya, “sampai tiba saatnya sekarang ini”, Radius dan Dirjen Pajak
Salamun AT sudah tidak bisa memberikan toleransi lagi.
Dalam
bukunya “Pajak, Citra dan Upaya Pembaruannya”, Salamun menyatakan, “Sebagai
pihak yang terlibat langsung, dan telah terbentuknya kesan salah yang terjadi
timbal balik, Aparat Pajak sejak semula tidak dalam posisi yang baik untuk
melakukan tugas kampanye pajak. Sama halnya seperti mencoba menjual barang yang
dibenci oleh calon pembeli – dalam hal ini Wajib Pajak – dan dilakukan oleh pihak yang tidak disukai pula.
Berdasarkan
pertimbangan itu, dan juga setelah tahun pertama pelaksanaan PSPN dicoba untuk
dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah, pada akhirnya pimpinan Departemen
Keuangan meminta bantuan dari Yayasan Bina Pembangunan (YBP), yang para pendiri
dan pengurus intinya terdiri dari para wartawan dan bekas wartawan, yang telah
dikenal lama oleh para penentu dan pengambil kebijaksanaan di lingkungan
ekonomi, keuangan dan industri. Sebagai lembaga swasta non-profit dan
independen YBP dengan bekal pengalaman di bidang komunikasi massa, disertai jaringan hubungan yang luas
ke berbagai pihak, dipandang sesuai dan mampu untuk melaksanakan tugas
tersebut.” (halaman 299).
Dalam
pertemuan tanggal 11 September 1984 tersebut penulis menyampaikan bahwa keadaan
telah menuntut konsekuensi dilakukannya suatu gerak kampanye yang tidak
kepalangtanggung, yang simultan, integral dan komprehensif. Yang mampu menembus
batas-batas birokrasi namun tetap bertanggungjawab. Yang sistematis serta mampu
berpacu mengatasi desakan ruang dan waktu. Ini juga berarti sebagai pelaksana
kampanye, kami harus memiliki akses langsung dengan Menteri Keuangan dan Dirjen
Pajak, kapan saja diperlukan.
Kami meminta
diberikan latarbelakang kebijakan yang terbuka dan sebenar-benarnya, bahkan
untuk kebijakan-kebijakan yang akan diambil di masa depan. Ini agar di
kemudian hari kami bisa mengawali pekerjaan sosialisasi kebijakan sedari
awal, mulai dari tahap “pra conditioning dan conditioning”. Dengan dilibatkan
semenjak awal, maka kami juga akan bisa memberikan bahan masukan dan umpan
balik secara tepat dan berdayaguna.
Mengingat banyak hal di lingkungan Departemen Keuangan dan Direktorat
Jenderal Pajak yang sangat peka dan rahasia, untuk itu kami berjanji akan
menjaga kerahasiaan bagi hal-hal yang diperlukan.
Pertemuan
itu segera ditindaklanjuti dengan membuat analisa SWOT (Strong – Weakness –
Opportunity – Threat), dan sambil
menyusun rencana kerja Kampanye Nasional Perpajakan, kami sesekali mengemukakan
prinsip-prinsip kerja social-marketing, misalkan prinsip melibatkan peranserta
tokoh-tokoh kunci dan populer, prinsip “third party endorsement” serta beberapa
prinsip kerja yang lain melalui joke-joke segar. Dengan demikian diharapkan
kedua tokoh itu bisa memahami dan berperan secara tepat dalam putaran mesin
kampanye, yang sekali sudah digelindingkan, maka harus berjalan secara cepat,
memusat, penuh konsentrasi dan berkelanjutan sampai betul-betul mencapai hasil.
Pak Salamun yang selama itu hanya kami kenal dalam acara-acara resmi, dengan
cepat menyatu. Beliau ternyata mempunyai selera humor yang tinggi dengan
perbendaharan joke yang seperti tidak pernah ada habisnya.
Baik Pak
Radius maupun Pak Salamun, memiliki kerendahan hati dan kesabaran tinggi dalam
menghadapi lawan bicara, juga kerelaan mengikuti skenario kegiatan yang sudah
disepakati bersama, bagaikan artis yang taat pada arahan sutradara. Kampanye
yang mulai digulirkan akhir Desember 1984 itu, mendapat dorongan kuat dari
Presiden Soeharto dengan meminta Dirjen Pajak Salamun memberikan penjelasan
tentang PSPN kepada seluruh pejabat tinggi negara tingkat nasional di Istana
Negara, Sabtu 16 Februari 1985. Presiden dalam kesempatan itu menyatakan
kekecewaannya karena banyak pejabat tinggi negara belum mengisi dan
menyampaikan surat
laporan pajak pribadi mereka. Banyak pejabat tinggi yang mengisi secara seronok
merupakan indikasi ketidaktahuan mereka tentang formulir-formulir pajak. Pak
Harto tidak segan menegur seperti itu, lantaran selama ini ia sudah mempelajari
dan mengisi sendiri Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) -nya. Setiap tahun ia
memanggil Dirjen Pajak mengkonsultasikan cara pengisian SPT, dan selanjutnya
datang menyerahkan sendiri SPT-nya ke kantor pajak.
Kepercayaan
besar kepada YBP untuk menangani Kampanye Nasional Perpajakan, bukan tanpa
halangan. Berbagai hambatan dan surat
kaleng yang bertujuan untuk menentang dan mendiskreditkan, berhamburan ke
segala penjuru. Kepada Presiden, Wakil Presiden, Kepala Badan Pemeriksa
Keuangan, DPR, media massa
dan lain-lain. Lembaga atau instansi yang menerima surat kaleng dan pengaduan mengirim utusan
menemui kami guna meminta klarifikasi. Sebuah media massa ternama bahkan sempat seperti mengadili
kami di kantornya, tetapi alhamdulillah akhirnya tercapai saling pemahaman yang
baik, bahkan selanjutnya memberikan simpati serta dukungan yang besar.
Situasi
dengan cepat berbalik. Tatkala harga minyak terjun bebas dan krisis ekonomi
menerpa Indonesia
pada tahun 1986, meski belum genap berjalan 2 tahun, PSPN terbukti berhasil
menjadi penyelamat. Jika pada saat PSPN dilaksanakan, penerimaan pajak hanya
Rp.2,9 trilyun atau sekitar 30% dari seluruh penerimaan negara, dengan jumlah
wajib pajak baik badan maupun perseorangan 435.517, dua tahun kemudian, pada
tahun 1986/1987, penerimaan pajak bergerak ke angka 61%, sedangkan penerimaan
minyak dan gas bumi merosot dari 70% menjadi 39%. Dari tahun ke tahun,
penerimaan pajak terus melesat naik bahkan pada tahun fiskal 1994/1995 pernah
mencapai 76%. Dalam tahun 2013 ini, dari
jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp.1.529 trilyun, 75 %
berasal dari penerimaan pajak yaitu Rp.1.193 trilyun. Sementara jumlah wajib
pajak mencapai 22,89 juta.
Tugas
kampanye nasional perpajakan berlangsung selama 15 tahun, dan selama itu pula banyak tugas-tugas lain yang
dititipkan, terutama yang berkaitan dengan “pra conditioning dan conditioning”
sesuatu kebijakan yang sangat peka. (BERSAMBUNG).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda