Senin, 01 April 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (8) : KAMPANYE NASIONAL PERPAJAKAN



1983 – 1988 : Krisis Ekonomi Terbesar  Orde Baru

Jika mobilisasi kabinet untuk mengatasi krisis Pertamina dilukiskan Radius Prawiro bagaikan menghadapi masa darurat perang atau  bencana nasional yang sangat besar, maka situasi perekonomian pada tahun 1986 dilukiskan seperti menghadapi krisis ekonomi terbesar sejak masa Orde Baru mulai berkuasa di pertengahan dekada 1960-an. Radius adalah pejabat yang paling lama berada di dalam jajaran kabinet, 28 tahun, yakni selama periode 1965 – 1993. Bahkan ketika Indonesia mengalami krisis moneter tahun 1998, dan BJ.Habibie tampil menjadi Presiden menggantikan Pak Harto, Habibie masih meminta Radius turun gelanggang ikut mengatasi krisis memimpin INDRA, Indonesian Debt Restructuring Agency (Badan Restrukturisasi Utang Luar Negeri Perusahaan Swasta Indonesia).

Tulisan yang cukup mendalam mengenai keadaan perekonomian Indonesia periode 1983 – 1988 , saat Radius menjabat sebagai Menteri Keuangan, ia tuangkan dalam dua bukunya yang berjudul “Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi, Pragmatisme Dalam Aksi” dan “Radius Prawiro, Kiprah, Peran dan Pemikiran”. Uraian yang lebih singkat yang dimaksudkan untuk menggambarkan latar belakang Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional, bisa dibaca dalam tulisan saya “Revolusi Perpajakan th 1983: Membangun Monumen Nasional Yang Bisa Menjadi Mesin Uang”.

Bersyukur sebelum krisis 1986 terjadi, pada 1983 tim ekonomi pemerintah telah merasakan tanda-tandanya sehingga dengan cepat mengambil sejumlah langkah antisipasi, di antaranya melakukan reformasi total terhadap sistem perpajakan nasional . Pajak akan bisa menggantikan penerimaan minyak dan gas bumi yang terjun bebas dan bisa habis, menjadi tumpuan sumber pembiayaan negara yang memiliki basis luas, kuat dan kokoh mandiri secara nasional.  Mungkin banyak orang, lebih-lebih generasi muda, kurang bisa memahami bagaimana situasi perpajakan nasional 30 tahun yang lalu itu, bagaikan panas setahun yang hilang karena hujan sehari. Tetapi dokumentasi media massa dan buku-buku ekonomi-perpajakan yang terbit pada masa itu dapat menggambarkan betapa besar tantangan yang dihadapi Pemerintah, baik tantangan dari masyarakat termasuk dunia usaha maupun aparat pajaknya sendiri. Sampai-sampai menurut Radius, tatkala mempersiapkan revolusi perpajakan selama 3 tahun sejak 1979, “kecuali Presiden Soeharto, anggota kabinet dan Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, usaha ini sangat ditentang di semua front, mulai dari departemen perpajakan, DPR, sampai masyarakat umum”.

Sambutan yang kurang kondusif juga masih terus dihadapi setelah Pembaruan Sistem Perpajakan Nasional (PSPN) disetujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir tahun 1983. Akibatnya Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UUPPN) dan keputusan Presiden mengenai pengampunan pajak terpaksa ditunda pelaksanaannya. Baik Menteri Keuangan Radius Prawiro maupun Direktur Jenderal Pajak Salamun AT, menilai situasi sudah sampai pada tahap menegangkan dan bisa menimbulkan frustasi.

Dalam kondisi yang seperti itulah penulis dan beberapa teman wartawan senior selaku pimpinan dari lembaga swadaya masyarakat Yayasan Bina Pembangunan (YBP), pada tanggal 11 September 1984, diminta untuk membantu membalikkan keadaan mengatasi situasi. Sesungguhnya beberapa saat sebelum PSPN diajukan ke DPR, Penasehat Pemerintah Prof.Dr.Widjojo Nitisastro sudah pernah meminta agar penulis membantu Pak Radius menggarap PSPN. Namun penulis hanya mengiyakan tanpa pernah sama sekali menyampaikan hal tersebut kepada Pak Radius. Ternyata menurut Pak Radius, sebenarnya Pak Widjojo  sudah pernah membicarakan hal itu dengannya, tetapi ia berpendapat saatnya belum tepat. Karena tanpa kehadiran pihak luar saja, perlawanan  dari dalam terhadap PSPN sudah sangat besar. Apalagi jika melibatkan pihak luar. Padahal ia sudah mengkaji kemampuan staf internal yang tidak  akan mampu menangani sosialisasi PSPN. Toh ia akan memberikan kesempatan terlebih dulu kepada mereka untuk mencobanya, “sampai tiba saatnya sekarang ini”, Radius dan Dirjen Pajak Salamun AT sudah tidak bisa memberikan toleransi lagi.

Dalam bukunya “Pajak, Citra dan Upaya Pembaruannya”, Salamun menyatakan, “Sebagai pihak yang terlibat langsung, dan telah terbentuknya kesan salah yang terjadi timbal balik, Aparat Pajak sejak semula tidak dalam posisi yang baik untuk melakukan tugas kampanye pajak. Sama halnya seperti mencoba menjual barang yang dibenci oleh calon pembeli – dalam hal ini Wajib Pajak – dan  dilakukan oleh pihak yang tidak disukai pula.

Berdasarkan pertimbangan itu, dan juga setelah tahun pertama pelaksanaan PSPN dicoba untuk dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah, pada akhirnya pimpinan Departemen Keuangan meminta bantuan dari Yayasan Bina Pembangunan (YBP), yang para pendiri dan pengurus intinya terdiri dari para wartawan dan bekas wartawan, yang telah dikenal lama oleh para penentu dan pengambil kebijaksanaan di lingkungan ekonomi, keuangan dan industri. Sebagai lembaga swasta non-profit dan independen YBP dengan bekal pengalaman di bidang komunikasi massa, disertai jaringan hubungan yang luas ke berbagai pihak, dipandang sesuai dan mampu untuk melaksanakan tugas tersebut.” (halaman 299).

Dalam pertemuan tanggal 11 September 1984 tersebut penulis menyampaikan bahwa keadaan telah menuntut konsekuensi dilakukannya suatu gerak kampanye yang tidak kepalangtanggung, yang simultan, integral dan komprehensif. Yang mampu menembus batas-batas birokrasi namun tetap bertanggungjawab. Yang sistematis serta mampu berpacu mengatasi desakan ruang dan waktu. Ini juga berarti sebagai pelaksana kampanye, kami harus memiliki akses langsung dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak, kapan saja diperlukan.

Kami meminta diberikan latarbelakang kebijakan yang terbuka dan sebenar-benarnya, bahkan untuk kebijakan-kebijakan yang akan diambil di masa depan.  Ini agar di  kemudian hari kami bisa mengawali pekerjaan sosialisasi kebijakan sedari awal, mulai dari tahap “pra conditioning dan conditioning”. Dengan dilibatkan semenjak awal, maka kami juga akan bisa memberikan bahan masukan dan umpan balik secara tepat dan berdayaguna.  Mengingat banyak hal di lingkungan Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak yang sangat peka dan rahasia, untuk itu kami berjanji akan menjaga kerahasiaan bagi hal-hal yang diperlukan.

Pertemuan itu segera ditindaklanjuti dengan membuat analisa SWOT (Strong – Weakness – Opportunity – Threat),  dan sambil menyusun rencana kerja Kampanye Nasional Perpajakan, kami sesekali mengemukakan prinsip-prinsip kerja social-marketing, misalkan prinsip melibatkan peranserta tokoh-tokoh kunci dan populer, prinsip “third party endorsement” serta beberapa prinsip kerja yang lain melalui joke-joke segar. Dengan demikian diharapkan kedua tokoh itu bisa memahami dan berperan secara tepat dalam putaran mesin kampanye, yang sekali sudah digelindingkan, maka harus berjalan secara cepat, memusat, penuh konsentrasi dan berkelanjutan sampai betul-betul mencapai hasil. Pak Salamun yang selama itu hanya kami kenal dalam acara-acara resmi, dengan cepat menyatu. Beliau ternyata mempunyai selera humor yang tinggi dengan perbendaharan joke yang seperti tidak pernah ada habisnya.

Baik Pak Radius maupun Pak Salamun, memiliki kerendahan hati dan kesabaran tinggi dalam menghadapi lawan bicara, juga kerelaan mengikuti skenario kegiatan yang sudah disepakati bersama, bagaikan artis yang taat pada arahan sutradara. Kampanye yang mulai digulirkan akhir Desember 1984 itu, mendapat dorongan kuat dari Presiden Soeharto dengan meminta Dirjen Pajak Salamun memberikan penjelasan tentang PSPN kepada seluruh pejabat tinggi negara tingkat nasional di Istana Negara, Sabtu 16 Februari 1985. Presiden dalam kesempatan itu menyatakan kekecewaannya karena banyak pejabat tinggi negara belum mengisi dan menyampaikan surat laporan pajak pribadi mereka. Banyak pejabat tinggi yang mengisi secara seronok merupakan indikasi ketidaktahuan mereka tentang formulir-formulir pajak. Pak Harto tidak segan menegur seperti itu, lantaran selama ini ia sudah mempelajari dan mengisi sendiri Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) -nya. Setiap tahun ia memanggil Dirjen Pajak mengkonsultasikan cara pengisian SPT, dan selanjutnya datang menyerahkan sendiri SPT-nya ke kantor pajak.

Kepercayaan besar kepada YBP untuk menangani Kampanye Nasional Perpajakan, bukan tanpa halangan. Berbagai hambatan dan surat kaleng yang bertujuan untuk menentang dan mendiskreditkan, berhamburan ke segala penjuru. Kepada Presiden, Wakil Presiden, Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, DPR, media massa dan lain-lain. Lembaga atau instansi yang menerima surat kaleng dan pengaduan mengirim utusan menemui kami guna meminta klarifikasi. Sebuah media massa ternama bahkan sempat seperti mengadili kami di kantornya, tetapi alhamdulillah akhirnya tercapai saling pemahaman yang baik, bahkan selanjutnya memberikan simpati serta dukungan yang besar.

Situasi dengan cepat berbalik. Tatkala harga minyak terjun bebas dan krisis ekonomi menerpa Indonesia pada tahun 1986, meski belum genap berjalan 2 tahun, PSPN terbukti berhasil menjadi penyelamat. Jika pada saat PSPN dilaksanakan, penerimaan pajak hanya Rp.2,9 trilyun atau sekitar 30% dari seluruh penerimaan negara, dengan jumlah wajib pajak baik badan maupun perseorangan 435.517, dua tahun kemudian, pada tahun 1986/1987, penerimaan pajak bergerak ke angka 61%, sedangkan penerimaan minyak dan gas bumi merosot dari 70% menjadi 39%. Dari tahun ke tahun, penerimaan pajak terus melesat naik bahkan pada tahun fiskal 1994/1995 pernah mencapai 76%. Dalam tahun  2013 ini, dari jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp.1.529 trilyun, 75 % berasal dari penerimaan pajak yaitu Rp.1.193 trilyun. Sementara jumlah wajib pajak mencapai 22,89 juta.

Tugas kampanye nasional perpajakan berlangsung selama 15 tahun, dan  selama itu pula banyak tugas-tugas lain yang dititipkan, terutama yang berkaitan dengan “pra conditioning dan conditioning” sesuatu kebijakan yang sangat peka. (BERSAMBUNG).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda