Kamis, 21 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (4): ANCAMAN PRESIDEN SOEHARTO/TNI TERHADAP SIAPA SAJA YANG MAU MENGUBAH UUD'45.



Jika Perlu Menculik 1 Orang Demi UUD 1945.

Banyak orang yang terkejut dan tidak suka mendengar pidato keras Pak Harto mengenai tekadnya untuk habis-habisan mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Tapi kini tigapuluh tiga tahun kemudian, meski tidak sepenuhnya setuju dengan sistem dan cara yang dipakai Pak Harto, banyak orang yang sependapat dengan tujuan akhirnya yaitu mengembalikan (karena sudah terlanjur diubah),  Undang-Undang Dasar, yang telah empat kali diubah, dimulai pada tahun bulan Oktober 1999 dan terakhir tahun 2002, kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang asli dengan satu perubahan tentang pembatasan masa jabatan presiden saja.

Hanya setahun setelah reformasi digulirkan dan Pak Harto “legowo lengser keprabon”, mengundurkan diri sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, pertahanan nasional atas Undang-Undang Dasar 1945 mulai jebol. Digempur pertama kali dalam Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Oktober 1999, digempur kedua pada Agustus 2000, gempuran ketiga November 2001 dan akhirnya benar-benar runtuh pada  bulan Agustus 2002, setelah Fraksi  ABRI yang semula sangat diandalkan Pak Harto menyerah.

Tentang strategi antisipasi menghadapi upaya-upaya untuk mengubah UUD 1945, Presiden Soeharto menggariskan secara rinci dan terbuka, blak-blakan sampai mengeluarkan kata-kata bila perlu menculik satu orang anggota MPR. Penjelasan pertama dilakukan ketika memberikan pidato tanpa teks pada Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980, yang selanjutnya ditegaskan kembali pada peringatan ulang tahun Kopassandha 16 April 1980. Dimulai dengan menggambarkan perjalanan bangsa Indonesia semenjak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dengan cita-cita kemerdekaannya, kemudian timbulnya berbagai pergolakan terutama yang bertujuan mengubah idelogi Pancasila dengan ideologi-ideologi lain, sampai akhirnya lahir Orde Baru yang bertekad mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, serta langka-langkah yang sudah ditempuh dalam menyederhanakan sistem kepartaian.

Menurut Pak Harto, UUD sesuai konstitusi bisa diubah oleh MPR dengan minimal 2/3 (dua pertiga) suara yang menghendaki perubahan. Demi mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila, ABRI bisa saja dengan kekuatan senjatanya melakukannya. Ini dimungkinkan berdasarkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang secara tegas menyatakan sumpah setianya kepada Pancasila dan UUD 1945. Tetapi jika itu dilakukan, maka akan menimbulkan korban jiwa di antara sesama anak bangsa. Oleh sebab itu guna menghindari hal tersebut namun tetap bisa menjaga UUD 1945 dan Pancasila, maka ABRI yang sudah rela mengorbankan hak asasinya untuk dipilih dan memilih dalam Pemilihan Umum, demi menjaga netralitas, menggunakan peluang yang memang dimungkinkan serta tidak bertentangan dengan konstitusi, menghendaki anggota-anggotanya diangkat dan mengisi 1/3 (sepertiga) jumlah anggota MPR.

Jumlah tersebut, katanya, masih tetap kurang jika harus mencapai 2/3 suara untuk mempertahankan UUD 1945 dan Pancasila. Masih memerlukan tambahan kawan seperjuangan. “Maka saya gambarkan juga pada semua kekuatan politik pada waktu itu, daripada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perobahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, itu lebih baik kami menculik seorang dari 2/3 suara yang ingin mengadakan perobahan, karena 2/3 dikurangi satu sudah tidak sah sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 itu”.

Kedua pidato yang diucapkan tanpa teks oleh Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Pangti ABRI) hanya dalam selang 20 hari itu, memicu reaksi keras di masyarakat, termasuk dari sesama rekannya sejumlah purnawirawan ABRI seperti Letnan Jenderal Marinir (Purn) Ali Sadikin, Jenderal Polisi (Purn) Hugeng serta seniornya Jenderal TNI(Purn) Dr.Abdul Haris Nasution dan beberapa negarawan senior antara lain SK.Trimurti, Mohammad Natsir, Kasman Singodimejo, Syafrudddin Prawiranegara dan Chris Siner Key Timu. Mereka membentuk kelompok “Petisi 50” dan mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang ditandatangani oleh 51 (limapuluh satu) orang. Petisi 50 prihatin dengan praduga Presiden tentang adanya polarisasi “melestarikan Pancasila” di satu pihak dan “mengganti Pancasila” di lain pihak.  Mereka juga prihatin dengan pembenaran perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji di pihak penguasa untuk secara berencana melumpuhkan UUD 1945, dengan dalih Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, padahal kedua ikrar itu tidak mungkin berada di atas UUD 1945. Yang mereka sesalkan pula, pidato Pak Harto mengesankan seolah-olah ada yang menilai dirinya sebagai pengejawantahan (personifikasi) Pancasila, sehingga setiap kabar angin tentang dirinya diartikan sebagai sikap anti Pancasila.

Demikianlah, hukum besi sejarah telah berlaku. Tonggak-tonggak perjalanan bangsa sudah dipancangkan, dan UUD 1945 sudah dibongkar oleh MPR dengan dukungan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam negeri CETRO (Centre for Electoral Reform) dan kekuatan luar yaitu USAID ( United States Agency for International Development) dan NDI (The National Democratic Institute for International Affairs).

Wartawan senior Yop Pandie dalam bukunya “Polemik Cabut Mandat SBY” (penerbit Bina Rena Pariwara 2007) menulis, “Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga mengakui, UUD 45 setelah empat kali amandemen mengalami perubahan sampai 300 persen dibanding UUD 1945 yang asli”. Sementara   pakar hukum tatanegara Maria Farida mengatakan, sesungguhnya Indonesia sudah membuat konstitusi baru, bukan hanya mengubah UUD 1945.

Menjadi pertanyaan, mengapa UUD yang baru sama sekali itu tetap disebut sebagai UUD 1945 dan bukan UUD 2002?  Mengapa dipaksakan untuk dimanipulasi sebagai UUD 1945, pada hemat  penulis adalah untuk menghindari  konflik dan penentangan dari TNI, sebab  prajurit TNI telah digembleng dan telah bersumpah dengan Sumpah Prajurit yang terdiri dari lima butir, dan butir pertama berbunyi: Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pula dengan Tri Brata Polri yang butir keduanya berbunyi: Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kini apa yang dulu dikuatirkan Pak Harto, yaitu UUD 1945 diubah - dan dimanipulasi sudah terjadi. Yang tidak terbukti adalah ternyata ketika proses perubahan itu berlangsung selama kurun waktu tiga tahun, tidak ada pertumpahan darah, bahkan tidak ada seorang prajurit TNI pun  yang tampil sebagaimana diharapkan Pak Harto untuk mempertahankannya, apalagi dengan mengangkat senjata, meskipun tahu sudah dikelabui. Sekarang banyak orang menyesalkan perubahan itu, namun semuanya masih sebatas wacana dan di dalam ruang-ruang terbatas pula. Banyak orang marah, tapi masih sebatas jago kandang. Sesal kemudian tiada guna. Apalagi kalau hanya NATO, “no action talk only”.

Sejalan dengan itu, berbagai undang-undang dan peraturan turunannya, sampai sekarang masih terus dilakukan bagaikan menggelar karpet merah untuk menyambut kedatangan kekuatan-kekuatan asing ke bumi Nusantara, mengancam masa depan generasi muda, anak cucu kita, anak cucu para prajurit TNI-Polri dan segenap rakyat. Termasuk anak cucu para anggota MPR yang melakukan perubahan UUD 1945. Kelak sejarah akan mencatat, seperti apakah kaliber patriotisme generasi kita sekarang. Semoga tidak mengecewakan, apalagi memalukan. (BERSAMBUNG).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda