Untuk
mendiseminasi atau menyebar-luaskan berbagai kebijakan, Pemerintah Orde Baru
menggunakan berbagai lembaga, sarana dan cara. Secara resmi, lembaga yang
menangani serta mengkoordinasikan hal itu ialah Departemen Penerangan (Deppen).
Deppen pada masa itu merupakan salah satu departemen yang kuat karena
menentukan hidup dan matinya suatu media massa, membawahi badan-badan usaha
media massa Pemerintah seperti Radio Republik Indonesia, Televisi Republik
Indonesia, Lembaga Kantor Berita Antara, Perusahaan Film Negara dan Percetakan
Negara. Deppen juga bertugas serta bertanggungjawab mengkoordinasikan unit-unit
kehumasan dan penerangan di seluruh instansi pemerintah, dari pusat sampai
daerah, di dalam maupun di luar negeri.
Kecuali
Deppen, Pemerintah kadang-kadang membentuk satuan-satuan tugas (Satgas)
tertentu guna menangani sesuatu kasus. Salah satu Satgas yang paling menonjol
dan berlangsung beberapa tahun adalah Satgas Mass Media, di bawah kendali Operasi Khusus yang dipimpin Letjen Ali
Murtopo. Media massa yang tergabung dalam satgas ini antara lain Harian Berita Yudha, Harian Suara Karya, Harian The
New Standard, Harian El Bahar, Majalah Berita Ekspres, Majalah Ekonomi Progres
dan Radio Safari. Di samping itu ada lagi suatu kelompok kegiatan yang pada
masa itu sangat terkenal yaitu Koordinator Artis Safari dan Safari Film. Beberapa wartawan dan karyawan dari Satgas
ini secara berkala dilatih dan dibekali dengan pemahaman mengenai ketahanan
nasional Indonesia,
ilmu perang urat syaraf dan “contra subversi”.
Meski sudah
memiliki dua jalur utama dalam kehumasan, seringkali menteri atau pejabat
tinggi tertentu yang ingin menggalang suatu program pemberitaan membuat sendiri
tim-tim kecil. Penulis pernah dua kali memperoleh tugas ikut mengkoordinasikan
tim kecil tersebut. Pertama, tugas dari Menteri Koordinator Ekonomi – Keuangan
dan Industri/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
Prof.Dr.Widjojo Nitisastro pada tahun 1973/1974, untuk memantau dan mengekspose
daerah-daerah tingkat II yang memperoleh penghargaan Parasamnya Purna Karya
Nugraha. Pada tahun 1974, untuk pertama
kalinya Pemerintah menganugerahkan penghargaan tadi kepada Daerah Tingat II
terbaik di setiap propinsi. Tugas ini tidak mudah mengingat prasarana dan
sarana perhubungan serta komunikasi di daerah-daerah jauh dari memadai
dibanding keadaan sekarang. Anggota tim terdiri dari wartawan berbagai media massa, dipilih yang muda-muda dan sehat, serta dibagi
dalam tiga kelompok yaitu Indonesia
bagian Barat, Tengah dan Timur. Bersyukur sekali, tim didukung secara penuh dan
baik oleh seorang birokrat muda eselon II di Bappenas, Saadilah Mursyid
(almarhum), yang di kemudian hari menjadi Menteri Sekretaris Negara.
Kedua, tugas
dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
yang baru, Laksamana Sudomo segera sesudah Peristiwa Malari. Tugas ini hampir
sama dengan yang pertama, namun rentang waktu dan wilayahnya lebih kecil. Tim
ditugaskan untuk secara bebas berjalan-jalan melihat dan melaporkan sejauh mana
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Tahap I, sampai di pesolok
daerah dan dampaknya bagi masyarakat luas. Setelah dibekali dengan surat tugas dan logistik,
tim ini betul-betul harus terjun bebas tanpa dukungan seperti Tim
Parasamya. Jika Tim Parasamnya di setiap
daerah disambut oleh seluruh Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) bagaikan tamu
kehormatan, sebaliknya tim pemantau Repelita tidak jarang harus menghadapi
interogasi Pemerintah Daerah setempat.
Selain
diminta secara khusus untuk melakukan
pemantauan sekaligus peliputan sebagaimana di atas, sebagai wartawan penulis juga sering diundang meliput oleh
instansi/lembaga pemerintah. Dalam
menjalankan tugas-tugas tersebut, penulis tidak pernah berfikir, sejauh mana
Presiden Soeharto memantau hal-hal sekecil ini. Sampai beberapa hari menjelang
Konperensi V Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan
(UNCTAD) tahun 1979 di Manila, Sabtu sore 5 Mei 1979 di rumah, penulis kedatangan tamu Sekretaris Ditjen
dari Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen Luar Negeri (Ditjen HELN – Deplu),
menyampaikan undangan untuk mengikuti
perjalanan dinas Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisasto selama dua
sampai tiga minggu di Manila. Karena
saat itu penulis sedang sakit batuk pilek berat, penulis berusaha
menolak. Namun sang tamu mendesak karena itu sudah perintah Pak Widjojo, yang
menurut dia siang sebelumnya sudah dibicarakan dengan Presiden. Sebetulnya saya
tidak percaya dan tidak peduli apakah benar-benar hal sekecil ini merupakan
hasil pembicaraan dengan Presiden. Tapi lantaran Pemimpin Redaksi - DH.Assegaff juga memerintahkan agar penulis
berangkat, maka penulis bersedia dengan syarat mengajak teman wartawan lain
yang sudah akrab seperti saudara sendiri, yaitu saudara Darmansyah Darwis dari
Harian Angkatan Bersenjata, guna menemani penulis yang sedang kurang sehat.
Karena tidak siap sebelumnya dan subuh
keesokan harinya sudah harus di bandara, sementara paspornya ada di kantor di
Jalan Kramat Raya, malam itu saudara
Darmansyah harus membongkar jendela untuk masuk ke ruang kerjanya mengambil
paspor.
Pada masa
itu, setiap orang yang mau bepergian ke luar negeri harus memperoleh ijin
keluar negeri yang disebut exit-permit. Subuh hari Minggu 6 Mei 1979, kami
berdua sudah di VIP Room, Bandara Kemayoran, bersama Sekretaris Ditjen HELN
(maaf, saya lupa namanya) untuk mengurus exit-permit, sedangkan seorang petugas
Deplu lainnya mengurus tiket dan check-in. Sampai sekitar pukul 06.15 atau 45 menit sebelum pesawat tinggal
landas, petugas imigrasi tidak bersedia memberikan exit permit karena Sekditjen
HELN tidak membawa Surat Tugas untuk saya dan Darmansyah. Pada menit-menit
kritis itu datang Kepala Protokol Kepresidenan almarhum Dewanto, yang juga
dengan pesawat yang sama akan ke Singapura menjemput tamu negara Korea Selatan Choi Kyu Hah.
Begitu melihat kerumunan kami, alm Dewanto menghampiri dan bertanya, “Ada apa?”. Setelah penulis
jelaskan, beliau spontan berkata, “Lha ini sudah dibicarakan dengan Presiden
kemarin siang. Memang mendadak. Saya saksinya, kebetulan saya juga dipanggil untuk
persiapan menjemput dan bergabung dengan tamu negara di Singapura. Sudah saya
yang menjamin, kalau tidak percaya buatkan surat jaminan untuk saya tandatangani dan
pegang ini pas istana saya”. Dengan sertamerta, exit permit keluar tanpa surat
jaminan ataupun meninggalkan pas istana, sementara keberangkatan pesawat Garuda
ditunda lebih setengah jam untuk menunggu kami, dengan Pak Widjojo sudah berada
di dalam pesawat, dan sebuah mobil VW Combi Garuda menunggu untuk khusus
mengantarkan kami ke tangga pesawat. Sungguh sampai sekarang saya tidak pernah
tahu dan tidak pernah mengecek kepada siapa pun, apakah ucapan pejabat Deplu
dan Kepala Protokol Istana tadi memang benar ataukah hanya sekedar gertakan.
Yang jelas sangat ampuh. Dan karena baik Pak Harto, Pak Widjojo maupun pak
Dewanto sudah wafat, maka hanya tinggal Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui
kebenarannya.BERSAMBUNG.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda