Jumat, 22 Maret 2013

Penggalangan Citra di Masa Orde Baru (5): DISEMINASI & SOSIALISASI KEBIJAKAN






Untuk mendiseminasi atau menyebar-luaskan berbagai kebijakan, Pemerintah Orde Baru menggunakan berbagai lembaga, sarana dan cara. Secara resmi, lembaga yang menangani serta mengkoordinasikan hal itu ialah Departemen Penerangan (Deppen). Deppen pada masa itu merupakan salah satu departemen yang kuat karena menentukan hidup dan matinya suatu media massa, membawahi badan-badan usaha media massa Pemerintah seperti Radio Republik Indonesia, Televisi Republik Indonesia, Lembaga Kantor Berita Antara, Perusahaan Film Negara dan Percetakan Negara. Deppen juga bertugas serta bertanggungjawab mengkoordinasikan unit-unit kehumasan dan penerangan di seluruh instansi pemerintah, dari pusat sampai daerah, di dalam maupun di luar negeri.

Kecuali Deppen, Pemerintah kadang-kadang membentuk satuan-satuan tugas (Satgas) tertentu guna menangani sesuatu kasus. Salah satu Satgas yang paling menonjol dan berlangsung beberapa tahun adalah Satgas Mass Media, di bawah kendali  Operasi Khusus yang dipimpin Letjen Ali Murtopo. Media massa yang tergabung dalam satgas ini antara lain Harian  Berita Yudha, Harian Suara Karya, Harian The New Standard, Harian El Bahar, Majalah Berita Ekspres, Majalah Ekonomi Progres dan Radio Safari. Di samping itu ada lagi suatu kelompok kegiatan yang pada masa itu sangat terkenal yaitu Koordinator Artis Safari dan Safari Film.  Beberapa wartawan dan karyawan dari Satgas ini secara berkala dilatih dan dibekali dengan pemahaman mengenai ketahanan nasional Indonesia, ilmu perang urat syaraf dan “contra subversi”.

Meski sudah memiliki dua jalur utama dalam kehumasan, seringkali menteri atau pejabat tinggi tertentu yang ingin menggalang suatu program pemberitaan membuat sendiri tim-tim kecil. Penulis pernah dua kali memperoleh tugas ikut mengkoordinasikan tim kecil tersebut. Pertama, tugas dari Menteri Koordinator Ekonomi – Keuangan dan Industri/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prof.Dr.Widjojo Nitisastro pada tahun 1973/1974, untuk memantau dan mengekspose daerah-daerah tingkat II yang memperoleh penghargaan Parasamnya Purna Karya Nugraha. Pada  tahun 1974, untuk pertama kalinya Pemerintah menganugerahkan penghargaan tadi kepada Daerah Tingat II terbaik di setiap propinsi. Tugas ini tidak mudah mengingat prasarana dan sarana perhubungan serta komunikasi di daerah-daerah jauh dari memadai dibanding keadaan sekarang. Anggota tim terdiri dari wartawan berbagai media massa, dipilih yang muda-muda dan sehat, serta dibagi dalam tiga kelompok yaitu Indonesia bagian Barat, Tengah dan Timur. Bersyukur sekali, tim didukung secara penuh dan baik oleh seorang birokrat muda eselon II di Bappenas, Saadilah Mursyid (almarhum), yang di kemudian hari menjadi Menteri Sekretaris Negara.

Kedua, tugas dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang baru, Laksamana Sudomo segera sesudah Peristiwa Malari. Tugas ini hampir sama dengan yang pertama, namun rentang waktu dan wilayahnya lebih kecil. Tim ditugaskan untuk secara bebas berjalan-jalan melihat dan melaporkan sejauh mana pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) Tahap I, sampai di pesolok daerah dan dampaknya bagi masyarakat luas. Setelah dibekali dengan surat tugas dan logistik, tim ini betul-betul harus terjun bebas tanpa dukungan seperti Tim Parasamya.  Jika Tim Parasamnya di setiap daerah disambut oleh seluruh Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) bagaikan tamu kehormatan, sebaliknya tim pemantau Repelita tidak jarang harus menghadapi interogasi Pemerintah Daerah setempat.

Selain diminta secara khusus untuk melakukan  pemantauan sekaligus peliputan sebagaimana di atas, sebagai wartawan  penulis juga sering diundang meliput oleh instansi/lembaga  pemerintah. Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, penulis tidak pernah berfikir, sejauh mana Presiden Soeharto memantau hal-hal sekecil ini. Sampai beberapa hari menjelang Konperensi V Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) tahun 1979 di Manila, Sabtu sore 5 Mei 1979 di rumah,  penulis kedatangan tamu Sekretaris Ditjen dari Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri Departemen  Luar Negeri (Ditjen HELN – Deplu), menyampaikan undangan untuk mengikuti  perjalanan dinas Menko Ekuin/Ketua Bappenas Widjojo Nitisasto selama dua sampai tiga minggu di Manila. Karena  saat itu penulis sedang sakit batuk pilek berat, penulis berusaha menolak. Namun sang tamu mendesak karena itu sudah perintah Pak Widjojo, yang menurut dia siang sebelumnya sudah dibicarakan dengan Presiden. Sebetulnya saya tidak percaya dan tidak peduli apakah benar-benar hal sekecil ini merupakan hasil pembicaraan dengan Presiden. Tapi lantaran Pemimpin Redaksi -  DH.Assegaff juga memerintahkan agar penulis berangkat, maka penulis bersedia dengan syarat mengajak teman wartawan lain yang sudah akrab seperti saudara sendiri, yaitu saudara Darmansyah Darwis dari Harian Angkatan Bersenjata, guna menemani penulis yang sedang kurang sehat. Karena tidak siap sebelumnya dan  subuh keesokan harinya sudah harus di bandara, sementara paspornya ada di kantor di Jalan Kramat Raya,  malam itu saudara Darmansyah harus membongkar jendela untuk masuk ke ruang kerjanya mengambil paspor.

Pada masa itu, setiap orang yang mau bepergian ke luar negeri harus memperoleh ijin keluar negeri yang disebut exit-permit. Subuh hari Minggu 6 Mei 1979, kami berdua sudah di VIP Room, Bandara Kemayoran, bersama Sekretaris Ditjen HELN (maaf, saya lupa namanya) untuk mengurus exit-permit, sedangkan seorang petugas Deplu lainnya mengurus tiket dan check-in. Sampai sekitar pukul  06.15 atau 45 menit sebelum pesawat tinggal landas, petugas imigrasi tidak bersedia memberikan exit permit karena Sekditjen HELN tidak membawa Surat Tugas untuk saya dan Darmansyah. Pada menit-menit kritis itu datang Kepala Protokol Kepresidenan almarhum Dewanto, yang juga dengan pesawat yang sama akan ke Singapura menjemput tamu negara Korea Selatan  Choi Kyu Hah.  Begitu melihat kerumunan kami, alm Dewanto menghampiri dan bertanya, “Ada apa?”. Setelah penulis jelaskan, beliau spontan berkata, “Lha ini sudah dibicarakan dengan Presiden kemarin siang. Memang mendadak. Saya saksinya, kebetulan saya juga dipanggil untuk persiapan menjemput dan bergabung dengan tamu negara di Singapura. Sudah saya yang menjamin, kalau tidak percaya buatkan surat jaminan untuk saya tandatangani dan pegang ini pas istana saya”. Dengan sertamerta, exit permit keluar tanpa surat jaminan ataupun meninggalkan pas istana, sementara keberangkatan pesawat Garuda ditunda lebih setengah jam untuk menunggu kami, dengan Pak Widjojo sudah berada di dalam pesawat, dan sebuah mobil VW Combi Garuda menunggu untuk khusus mengantarkan kami ke tangga pesawat. Sungguh sampai sekarang saya tidak pernah tahu dan tidak pernah mengecek kepada siapa pun, apakah ucapan pejabat Deplu dan Kepala Protokol Istana tadi memang benar ataukah hanya sekedar gertakan. Yang jelas sangat ampuh. Dan karena baik Pak Harto, Pak Widjojo maupun pak Dewanto sudah wafat, maka hanya tinggal Allah Yang Maha Tahu yang mengetahui kebenarannya.BERSAMBUNG.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda